"Nasya sayang. Ayah nggak bermaksud menyakiti kamu." Ini pertama kalinya aku mendengar secara langsung kata jahat yang keluar dari mulut putriku.
Nasya memang sudah sering memperlihatkan wajah kecewa jika Mas Adi pergi begitu saja demi memenuhi keinginan Rahman. Walaupun tidak pernah di ucapkan pada Mas Adi, Nasya berulang kali mengatakan padaku jika ia jadi benci pada Rahman. Karena sudah merebut semua perhatian Mas Adi dari Nasya.
Kemarin malam saat demam Nasya semakin tinggi, Nasya terus mengigau jika dia benci pada Ayahnya. Ucapan yang aku kira hanya bunga tidur karena demam yang di derita Nasya tadi malam. Rupanya itu adalah ungkapan kecewa yang sebenarnya pada Mas Adi.
"Nggak mau. Suruh Ayah pergi sekarang Bu." Jerit Nasya tidak terkendali.
"Lebih baik Mas Adi pergi sekarang. Nggak enak sama pasien lain kalau suara tangis Nasya sampai keluar dari kamar ini."
Mas Adi menganggukan kepalanya lalu mulai melangkah pergi dari kamar ini. Saat Mas Adi berjalan keluar dari kamar, aku menegur Nasya. Sekaligus memberikan nasihat pada putriku agar tidak bersikap seperti tadi.
"Kenapa Kak Nasya bersikap seperti itu? Ibu tidak pernah mengajari Kak Nasya untuk jadi anak yang kurang ajar pada Ayah, Ibu dan Mama."
Ya Allah maafkan hamba yang terlalu keras pada Nasya. Karena aku tidak ingin menanamkan kebencian di hati putriku. Tidak ada jawaban dari Nasya selain sesegukan kecil. Tenggorokan Nasya juga pasti masih sakit. Di tambah tiba-tiba menangis lalu berteriak pada Mas Adi.
Aku tidak tahu kemana Mas Adi pergi. Apakah dia masih di rumah sakit ini atau justru sudah pulang ke rumah istri keduanya. Karena Rumi jelas tidak akan mau di tinggal lebih lama. Apalagi jika Rumi sampai tahu Mas Adi datang menemuiku di rumah sakit.
Tiba-tiba aku teringat dengan kejadian di masa lalu. Saat pertama kali bertemu dengan keluarga Mas Adi aku baru tahu jika Abah menikah dua kali. Pertama dengan Ibu Mas Adi setelah melakukan taaruf. Yang kedua dengan Umi karena surat wasiat dari mendiang suami pertama Umi. Setelah pertemuan itu, aku sempat ragu untuk melanjutkan hubunganku dengan Mas Adi. Karena aku takut jika dia juga akan melakukan poligami seperti Abah dengan alasan yang berbeda.
Aku lalu mengutarakan rasa khawatirku itu pada Mas Adi. Karena aku takut jika dia akan menjadikan alasan Abah menikah lagi agar bisa dapat ijin dariku untuk melakukan poligami. Padahal dari cerita Ibu dan Umi, aku taku jika Abah sangat berat saat melakukan praktik ini. Terutama ketika hati beliau masih sangat condong pada Ibu. Sehingga Abah pernah dzalim pada Umi sebagai istri kedua.
"Poligami memang di perbolehkan. Bahkan tanpa ijin istri pertama. Tapi, dalam pelaksanannya sungguh sangat berat Nad. Abah sendiri melakukan poligami pada Ibu dan Umi karena terpaksa. Bahkan Abah pernah berlaku tidak adil pada Umi karena terpaksa menikah dengannya. Memikirkan masa lalu, aku bahkan tidak berani berpikir untuk melakukan poligami seperti Abah. Punya satu istri saja sudah kewalahan. Apalagi harus punya dua?"
Kelakar Mas Adi kala itu yang membuatku percaya untuk menerima pinangannya. Hubunganku dengan Mas Adi juga terjadi melalui proses taaruf, Bedanya kami sudah lebih dulu saling mengenal sebagai senior dan junior di kampus yang sama. Berbeda dengan Abah dan Ibu dulu.
Tiga tahun pernikahan kami lewati dengan bahagia. Kehadiran Nasya semakin menambah warna dalam pernikahan kami. Mas Adi adalah suami dan Ayah yang sangat baik. Ia tidak segan untuk terlibat langsung dalam pekerjaan rumah tangga. Setelah pulang kerja Mas Adi akan bermain dengan Nasya agar aku bisa mandi dan memasak makan malam kami. Bahkan Mas Adi juga rela begadang saat Nasya tengah sakit.
Aku kira aku yang akan menjadi satu-satunya wanita dalam hidup Mas Adi, hingga suatu hari sikap Mas Adi berbeda. Dia lebih sering menatap hpnya. Bahkan saat sedang menjaga Nasya. Mas Adi juga pergi bekerja tanpa membawa bekal dariku lebih dulu. Kejadian itu berlangsung selama satu minggu. Hingga Mas Adi akhirnya meminta ijin padaku untuk menikah lagi.
Mas Adi memperlihatkan foto perempuan bernama Rumi yang memakai seragam karyawan toko milik keluarga kami. Rumi adalah salah karyawan yang bekerja di toko baju utama milikku dan Mas Adi. Tidak bisa di pungkiri jika Rumi memiliki wajah ayu khas orang Jawa. Dengan aura yang memikat membuat setiap pria akan menolehkan kepala pada perempuan muda itu.
Aku hanya bisa terdiam. Tidak bisa menjawab pertanyaan Mas Adi apakah aku akan setuju jika dia menikah lagi dengan Rumi atau tidak. Hanya satu pertanyaan saja yang keluar dari mulutku. "Apa salahku mas?" Hanya itu. Mas Adi seketika berlutut di depan kakiku.
"Kamu tidak salah apapun Nada sayang. Mas yang salah karena sudah membagi perasaan Mas pada Rumi. Daripada Mas terus melakukan zina mata, bukankah lebih baik Mas menikah dengan Rumi?" Alasan yang sangat klasik. Padahal bisa saja Mas Adi terus menundukan pandangan agar tidak melihat pesan Rumi atau perempuan lain.
Malam itu, aku menelpon Mamaku untuk menyampaikan segala keluh kesah. Bahkan terlintas dari bibirku ingin minta cerai yang segera di larang oleh Mama. Justru Mama bertanya padaku, apakah aku punya alasan kuat untuk bercerai dari Mas Adi selain masalah poligami? Sebagai suami dan seorang Ayah, Mas Adi sudah melakukan yang terbaik untukku dan Nasya. Memang tidak ada kesalahan lain Mas Adi yang membuatku bisa menggugat cerai dirinya. Karena itulah aku tidak bisa menggugat cerai Mas Adi.
Pagi harinya aku mengatakan jika aku setuju Mas Adi menikah lagi. Tapi, ada orang lain yang tidak setuju yaitu Ibu kandung Mas Adi dan Umi yang merupakan Ibu tiri Mas Adi. Atau istri kedua Abah. Pagi itu kedua wanita paruh baya itu ikut bergabung di meja makan setelah Nasya masuk ke dalam kamar untuk berganti baju.
"Poligami itu bukan hal yang mudah Di. Kamu tidak bisa langsung mencontoh poligami yang di lakukan Abah pada Ibumu dan Umi. Kamu tahu sendiri Abah dan Umi menikah karena tepaksa."
"Aku tahu Umi. Lagipula Nada juga sudah memberikan ijin padaku. Dengan kerpibadian Nada, aku yakin jika Nada dan Rumi bisa menjadi madu yang kompak seperti Ibu dan Umi." Kekehnya kala itu.
Tanpa mau tahu jika situasi keluarga kami dan keluarga Abah jelas berbeda. Ibu mengijinkan Abah menikah dengan Umi karena amanat dari mendiang suami Umi agar Abah yang meneruskan asrama beserta yayasan sekolah milik keluarga Umi. Apalagi saat itu Umi juga sudah punya satu anak perempuan dengan mendiang suaminya. Kakak tiri Mas Adi.
Pernikahan Mas Adi dengan Rumi di adakan enam bulan kemudian. Dengan pesta pernikahan yang sama seperti dulu saat aku menikah dengan Mas Adi. Meskipun semua saudara Mas Adi juga tidak setuju dengan keputusan ini, tapi hal itu tidak membuat Mas Adi mundur.
Aku tidak mau menemani hingga resepsi selesai. Begitu juga dengan Umi dan semua saudara Mas Adi. Jadilah hanya Abah dan Ibu yang menyalami para tamu. Setelah menikah lagi dengan Rumi. Mas Adi mengijinkan aku bekerja dari rumah. Tentu saja sebagai bayaran karena aku mengijinkannya menikah lagi.
Pekerjaan yang aku lakukan juga membuatku tidak perlu keluar dari rumah. Aku bekerja sebagai pemilik toko online. Aku mengambil stok dagangan dari pabrik garmen milik orang tuaku lalu menjualnya secara online. Awalnya sangat sulit tapi berkat bantuan teman-teman dan semua saudari iparku, usaha toko online itu berjalan pesat. Semua ini aku lakukan agar aku bisa punya lebih banyak waktu dengan Nasya.
Awalnya hubunganku dan Rumi tampak baik-baik saja. Aku juga berusaha menjadi kakak madu yang baik untuk Rumi. Seperti yang di lakukan Ibu terhadap Umi dulu. Lalu, sifat asli Rumi muncul setelah usia pernikahan Mas Adi dan Rumi mencapai tiga bulan. Sifat Rumi berubah seratus delapan puluh derajat, Karena tidak ingin mengadukan hal ini pada Mas Adi, aku lebih memilih menjauh dari Rumi.
Hubunganku dan Rumi menjadi kaku serta canggung. Aku juga tidak segan untuk menunjukkan sikap jika aku semakin menjauhi Rumi. Di tambah dengan kelahiran Rahman yang membuat Mas Adi sangat senang. Karena sejak dulu Mas Adi memang ingin punya anak perempuan dan anak laki-laki. Hanya saja aku memang belum hamil lagi sehingga belum bisa memenuhi keinginannya.
Sejak Rahman lahir, Rumi jadi lebih manja pada Mas Adi. Saat Mas Adi berada di rumahku, dia sering menelpon atau melakukan video call. Bahkan memaksa Mas Adi untuk datang ke rumahnya. Aku mengijinkan karena Rumi baru menjadi Ibu. Selain itu, aku juga ingin melihat sejauh mana Mas Adi bisa bersikap adil di antara aku dan Rumi. Jika dia mulai condong pada Rumi, apakah Mas Adi bisa berubah lebih adil seperti Abah?
Mas Adi memenuhi semua permintaan Rumi dan Rahman. Karena kata Mas Adi, Rumi tidak punya uang karena ia hanya Ibu Rumah Tangga. Sedangkan jika aku yang meminta, Mas Adi akan menghitung sisa uang lebih dulu. Bahkan kadang sudah habis sehingga aku terpaksa menggunakan uang tabungan yang berasal dari gajiku selama bekerja.
Karena terlalu memikirkan banyak hal, tidak terasa adzan subuh sudah berkumandang. Aku menatap Nasya sejenak yang sudah kembali tertidur. Lalu, aku pergi ke kamar mandi untuk mengambul wudhu dan menunaikan sholat subuh di dalam kamar rawat Nasya.
***
Tiga puluh menit setelah aku menunaikan sholat subuh, pintu ruang rawat Nasya tiba-tiba terbuka. Aku tidak menolehkan kepala karena mengira jika orang yang membuka pintu adalah Mas Adi. Bagaimanapun juga aku masih marah padanya. Namun, saat suara langkah kakinya terdengar berbeda baru aku mendongakan kepala.
Di depanku sudah berdiri adik maduku dengan wajah angkuhnya. "Jangan jadikan Nasya sebagai alasan untuk menahan Mas Adi menemuiku mbak. Rahman juga berhak dapat kasih sayang dari Ayahnya."
"Apakah kamu tidak salah mengatakan hal itu padaku?" Tanyaku dengan suara datar. Rumi memang hanya menunjukkan sifat aslinya di hadapanku. Namun, jika sudah di depan Mas Adi dia akan berubah menjadi adik madu yang baik. Hebat sekali aktingnya sehingga bisa membuat Mas Adi tidak sadar dengan sifat asli Rumi selama tiga tahun ini. "Tentu saja tidak. Gara-gara kamu, Mas Adi jadi pergi dari rumah sejak tadi malam. Padahal apa salahnya kamu mengijinkan Mas Adi untuk bermalam di rumahku? Aku ini juga istrinya mbak. Mas Adi juga sudah menemani Nasya sejak tadi malam. Maka pagi ini aku minta waktunya untuk Rahman. Tapi, Mas Adi menolak permintaanku. Itu pasti karena ulah kamu." Aku sengaja tertawa untuk mengejek Rumi. Aneh sekali adik maduku ini. Padahal dia sering merebut waktu Mas Adi dariku dan Nasya. Tapi, sekarang Rumi justru merasa paling di sakiti. Padahal waktu Mas Adi datang ke rumahnya kemarin adalah jatahku bersama Mas Adi. "Aku sama sekali tidak meminta Mas Adi untuk melakukan
Tepat setelah telpon di tutup, aku memilih keluar dari kamar mandi. Kakiku melangkah menuju sofa ruang tunggu lalu mengambil bubur yang tadi di belikan oleh Mas Adi. Aku memakan bubur itu dengan lahap. Sesekali aku akan melihat Nasya yang masih tidur. Hingga aku bisa menangkap lirikan Mas Adi padaku. Untunglah dia tidak mendekat karena masih sibuk dengan hpnya. Entah Mas Adi sedang berbalas pesan dengan siapa. Yang jelas bukan Rumi. "Ibu." Beberapa menit kemudian Nasya sudah bangun. Mas Adi dengan sigap mengambilkan segelas air putih untuk Nasya. "Nasya sama Ayah dulu ya. Biar Ibu bisa makan. Ayo minum dulu nak." Nasya sama sekali tidak menanggapi ucapan Mas Adi. Yang ada hanya tatapan sedih bercampur dengan marah di kedua bola matanya. "Nggak mau." Jawab Nasya ketus. Membuatku merasa sedih. Semarah apapun aku pada Mas Adi, tetap saja aku tidak mau membuat Nasya jadi membenci Ayahnya sendiri. Setidaknya Nasya bisa memberikan maaf lalu berdamai dengan Mas Adi. Tidak seperti aku yang
“Ucapkan salam dulu besan. Jangan langsung masuk seperti itu.” Tegur Umi dengan raut wajah tidak suka. Raut wajah Bu Saroh, Mama Rumi, langsung berubah saat melihat jika Umi yang sudah menegurnya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. “Ehm. Assalamualaikum.” Sapa Bu Saroh lalu duduk di samping Ibu setelah menyalami kami semua. Kecuali Abah, Papa dan Mas Adi. “Waalaikumsalam.” Jawab kami semua serempak. “Saya cuma merasa kesal dengan perkataan Nada, Bu Anisa. Kalau mau cerai dari Adi tidak perlu bawa-bawa anak saya.” Kata Bu Saroh dengan nada lembut pada Umi. Namun, lirikan matanya tertuju tajam padaku. “Siapa juga yang bawa-bawa Rumi. Papa dan Mamanya Nada sedang menanyakan alasan kenapa Nada memilih untuk cerai. Kenapa tidak bisa menjalin hubungan harmonis dengan Rumi. Seperti saya dan Mbak Asih. Terus di jawab sama Nada sikap Rumi dan sikap saya itu bagai langit dan bumi. Memang betul seperti itu kan?” Raut wajah Bu Saroh langsung berubah menjadi kesal mendengar jawaban Umi. Sej
Raut wajah Mas Adi yang awalnya datar langsung berubah panik. Pandangannya terus tertuju kesana dan kemari karena tidak fokus. Duduknya menjadi gelisah. Tapi, dia tidak kunjung pergi dari ruang rawat Dinda. Karena baik Abah, Ibu dan Umi juga masih duduk di tempat mereka. Pasti Mas Adi merasa tidak nyaman. Apalagi dengan keberadaan Papa dan Mama yang masih ada disini. “Kenapa kamu tidak segera pergi mas? Nanti Rumi akan menuduhku menahanmu disini agar tidak bisa menemani Rahman yang sedang sakit. Sama seperti sebelumnya. Padahal aku tidak pernah melakukan hal itu.” Ujarku menyindirnya sesuai dengan perkataan Rumi yang selalu adik maduku itu ucapkan padaku. “Nada benar Di. Kamu pergi sekarang saja. Asal jangan lupa datang ke kamar ini lagi sebelum Nasya operasi.” Kata Ibu mendukungku. “Tapi, pembicaraan kita belum selesai Bu.” Pandangan Mas Adi kini sudah beralih padaku. Aku membuang wajah agar tidak menatapnya. “Aku akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga kita dek.
Karena teriakan Rumi barusan, semua orang yang ada di taman rumah sakit ini sudah sibuk merekam kami. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tentang pelakor yang bisa jadi tertuju padaku. Bukan pada Rumi. Belum sempat Mas Adi menjawab pertanyaan Rumi, dia sudah menarik tangan Mas Adi untuk pergi dari sini sambil terus bicara yang tentu saja berhasil menyudutkanku. Tatapan semua orang menatap tajam ke arahku. Seolah aku yang sudah bersalah disini. “Rahman masih sakit di rumah. Tapi, kamu malah pergi ke rumah sakit untuk menemui Mbak Nada.” Karena perkataan Rumi itu sudah banyak orang yang dengan sengaja mengatakan jika aku adalah pelakor syariah. “Hentikan kalian semua.” Teriakku dengan volume terkendali. Mas Rahman juga sudah berhasil melepaskan pegangan tangan Rumi di tangannya. “Aku bukan pelakor. Justru aku adalah istri pertama pria itu dan dia adalah istri kedua.” Sontak saja kamera segera beralih pada wajah sosok Rumi dan Mas Rahman yang sudah berjarak cukup jauh dariku. K
Degup jantungku seketika berdebar dua kali lipat. Apa ini? Mas Adi punya rahasia yang di sembunyikan dariku? Apa ini alasan Mas Adi selalu menuruti semua perkataan Rumi. Karena dia tidak ingin aku mengetahui hal ini. Diam-diam aku meletakan kembali hp itu ke atas meja. Untungnya Mama tidak melihat saat aku memegang hp Mas Adi. Nanti akan aku tanyakan hal ini padanya. Setelah selesai sarapan, aku menyuruh Mas Adi untuk memakan sarapan bagiannya. “Biar aku yang jaga Nasya.” Kataku setelah berdiri di samping kursinya. “Iya.” Mas Adi beranjak dari kursi lalu duduk di sofa. Aku duduk di kursi yang di tinggalkan Mas Adi. Tanganku mengusap dahi Nasya yang sudah tidak panas. “Kamu sudah siap untuk operasi nanti sayang?” Nasya menggelengkan kepalanya. “Aku takut Bu.” Ku genggam tangan kecil Nasya untuk menyalurkan kekuatan. Wajar saja jika Nasya merasa takut. Walaupun operasi yang akan di jalani nanti tergolong ringan. Tapi, hal itu tetap menakutkan untuk anak seusia Nasya. “Jangan takut
“Saat itu aku menceritakan tentang hasil usg pada teman-teman guruku saat berkunjung ke toko untuk membeli pakaian baru. Karena saat itu kami akan pergi menemani para siswa berwisata. Aku tidak menyangka jika Rumi mendengarnya lalu meminta aku menceritakan tentang keinginanku untuk mempunyai anak laki-laki lebih dulu. Aku seperti tidak sadar sudah menjawab semua pertanyaan Rumi saat itu Nad.” Tubuhku seketika terasa limbung. Aku memegang ujung meja agar tetap bisa duduk dengan tegak. Semua dugaan itu akhirnya di benarkan secara langsung oleh Mas Adi. Begitu juga dengan semua ucapan Rumi yang mengatakan jika dia bangga bisa memberikan anak laki-laki seperti yang di harapkan oleh Mas Adi. Karena itulah suka cita Mas Adi saat menyambut kelahiran Nasya dan Rahman sangat berbeda. Bukan berarti Mas Adi tidak sayang pada Nasya. Hanya saja saat Nasya lahir, Mas Adi langsung membawa kami pulang ke rumah. Tidak ada acara apapun untuk menyambut kelahiran putri kami. Berbeda dengan saat Rahman
Aku sengaja memegang hp itu dengan keadaan masih membuka aplikasi pesan wa. Karena Mas Adi sudah berjanji untuk bersikap adil padaku dan Rumi, aku ingin tahu bagaimana reaksinya saat membaca pesan ini. Beberapa menit kemudian Mas Adi sudah kembali ke dalam kamar. Tanganku mengulurkan hp padanya. “Ada pesan masuk mas.” Kataku pendek. Tidak ingin di ketahui oleh Nasya yang tengah asyik menonton TV. Hatiku sudah bersiap jika Mas Adi langsung pamit untuk pulang ke rumah Rumi. Namun, sikap Mas Adi ternyata di luar dugaanku. Dia duduk di sofa sambil mengotak-atik hpnya. Lalu, Mas Adi menelpon seseorang untuk pergi ke rumah Rumi saat ini juga. Mas Adi bicara jujur jika Rumi mengirimkan pesan ancaman akan minum racun bersama dengan Rahman. Sama sekali tidak ada raut wajah khawatir yang tergambar di wajah suamiku itu. Padahal biasanya dia akan langsung pergi ke rumah istri keduanya dengan alasan yang sepele. Pandanganku kembali teralih pada Nasya. Kuusap rambutnya pelan hingga Nasya menoleh
Saat Adi pulang ke rumah, sudah ada Rahman yang datang bersama Bude Sri dan Bu Anisa. Nada menjelaskan jika Rahman sudah tahu semuanya. Rahman menangis dalam pelukan Nada. Mereka tidak menanyakan apapun hingga Rahman akhirnya berhenti menangis."Jangan takut lagi sayang. Mulai sekarang Rahman akan tinggal di rumah ini dengan Ayah, Ibu, Kak Nasya dan Karina. Sejak dulu sampai sekarang, Rahman adalah anak Ibu dan Ayah. " Ucap Nada lembut yang membuat semua orang terharu.Adi sendiri merasa sangat bersyukur bisa kembali bersama Nada yang menerima Rahman dan Karina dengan lapang hati. Juga menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Hari itu, Adi kembali di sibukan untuk menata kamar tamu yang akan di ubah menjadi kamar Rahman. Sedangkan Nada sibuk memasak makan siang di dapur bersama Bude Sri.Mereka memutuskan untuk merawat Rahman bersama serta memberi tahu identitas Rahman dan Karina yang sebenarnya adalah saudara sepersusuan. Berita ini di sampaikan juga pada seluruh keluarga mereka yan
“Tidak mungkin. Anak saya tidak pernah menjebak Adi. Itu semua adalah fitnah.” Bu Anita berdiri di hadapan Galang untuk menghalangi kedua polisi itu yang hendak menangkap sang putra. Alana hanya berdiri dengan tubuh kaku menatap kakaknya dan sekumpulan polisi itu bergantian. “Maaf Bu. Jangan halangi penyelidikan kami. Selain Pak Galang, kami juga harus membawa Bu Rumi sebagai orang yang telah membeli obat-obatan itu. Kami sudah punya bukti yang valid untuk menahan anak dan menantu Ibu.” Kata salah satu polisi yang kepalanya botak dengan wajah datar menatap ke arah mereka. Galang masih terdiam di tempatnya tidak percaya. Jika jebakan yang sudah ia buat dengan matang dapat di ketahui oleh Adi. Dadanya terus berdebar kencang memikirkan semua keanehan yang terjadi selama ini. Adi yang selalu bisa berkelit dari semua jebakannnya. 'Apakah Adi sudah juga mengintaiku dengan menyuruh orang lain? Atau dia memasang kamera CCTV di rumah ini?' Tanya Galang dalam hatinya. Wajah pria itu masih tam
Tanpa sadar Galang membanting hpnya ke atas meja. Sehingga membuat perhatian para guru yang masih ada di ruangan yang sama dengannya jadi teralih pada Galang. Menyadari jika ia sudah membuat dirinya sebagai pusat perhatian, pria itu hanya bisa minta maaf karena sudah membuar keributan"Ada apa Pak Galang?” Tanya salah satu rekan guru senior yang jauh lebih tua darinya. Galang menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kikuk. Menyesal karena sudah kelepasan marah di depan rekan guru yang lain.“Maaf Pak. Tadi ada nomor pinjol yang neror saya karena teman saya berhutang padanya.” Guru itu menganggukan kepalanya mengerti lalu kembali sibuk dengan kertas di tangan. Begitu juga dengan guru-guru lain yang tidak lagi memperhatikan GalangUjian akhir semester seperti ini membuat Galang dan beberapa guru memutuskan untuk bertahan di sekolah sampai sore guna membuat soal ulangan. Sebagian guru lain yang mata pelajarannya sudah di ujikan juga memilih untuk bertahan di sekolah untuk memeriksa lemba
“Selamat ya Bu. Anda di nyatakan positif hamil.” Kata Dokter wanita setelah memeriksa hasil usg di rahim Rumi. Tampak bulatan kecil yang ada di layar. Wanita itu membalas senyum Dokter agar tidak curiga. Padahal hatinya biasa saja saat melihat sudah ada benih dari Galang yang bersemayam dalam rahimnya. “Alhamdulillah. Terima kasih banyak Dok.” “Alhamdulillah dek. Akhirnya kamu hamil juga.” Ujar Galang yang juga bisa berakting dengan sempurna. Walaupun sebagian isi hatinya memang sangat tulus saat menyambut benih yang ada di rahim Rumi. Membuat keraguan di hati Galang tiba-tiba saja semakin kuat. Berbanding terbalik dengan perasaan Rumi. ‘Apakah aku masih harus mengejar Nada jika Rumi memang hamil anakku?’ Batin Galang galau saat ia dan Rumi sudah duduk kembali di hadapan Dokter. Pasangan suami istri itu lalu pulang ke rumah. Galang melangkah lebih dulu hingga masuk ke dalam ruang tengah. Disana sudah menunggu Alana yang tengah menonton TV bersama dengan Bu Anita. Raut wajah Galang
“Apa? Jadi Galang memang benar di pelet sama si Rumi itu? Keterlaluan sekali. Sudah Mama duga kenapa sikap Galang jadi berubah aneh seperti itu setelah menikah dengan Rumi.” Teriak Bu Anita dari sebrang sambungan telpon yang membuat telinga Alana terasa pekak sekali. Sampai perempuan itu mengorek telinganya yang berdenging karena tadi ia menempelkan hp di telinga. Seharusnya ia sudah menggunakan mode loudspeaker sejak tadi. “Iya Ma. Sesuai dengan informasi dari nomor asing itu, aku bisa menemukan dimana Rumi menyimpan kertas dan bubuk aneh ini. Untung saja Bude Sri bisa menulis huruf arab jawa sehingga aku menyuruhnya untuk menyalin tulisan itu. semirip mungkin. Kata Bude Sri dia sedikit mengubah huruf arab dari nama Mas Galang. Padahal aku sama sekali tidak sadar saat membacanya tadi.” Terang Alana mengingat penjelasan wanita paruh baya itu setelah menyapu halaman depan. “Kalau di ubah dan Rumi tahu bagaimana?” Tanya Bu Anita cemas. Dalam hatinya ia berpikir jika rencana Alana bisa
Pesawat yang di tumpangi Alana sudah mendarat di bandara. Ia turun dari pesawat lalu langsung naik ke dalam taksi yang menunggu di dalam bandara dengan membawa dua koper besar. Karena Alana memang berniat untuk tinggal di rumah Galang selama satu minggu. Selain untuk memastikan kebenaran jika Galang memang sudah di pelet oleh Rumi, ada pekerjaan di yayasan yang ingin Alana bicarakan secara langsung dengan kakaknya itu. Ia menyebutkan tujuan alamatnya pada sopir taksi yang sudah melajukan mobilnya keluar dari bandara lalu menuju rumah Galang. Tangannya mengambil hp dari dalam tas untuk membuka pesan dari Bu Anita. Jari Alana dengan cepat mengetikan pesan balasan untuk sang Mama yang terkirim satu setengah jam yang lalu. Itu berarti saat Alana masih berada di dalam pesawat. [Aku sudah turun dari pesawat dan sekarang sedang di dalam taksi menuju rumah Mas Galang, Ma. Tenang saja. Aku akan langsung mengambil kertas itu dari kabinet dapur. Aku akan tetap menjalankan rencanaku agar Rumi t
Dua minggu sejak acara reuni sudah berlalu. Tidak ada hal yang mencurigakan dari pantauan kamera CCTV dan alat perekam di rumah Galang. Arman juga mengatakan bahwa ia masih memantau semua rekaman itu bersama anak buahnya. Membuat hati Nada menjadi sedikit lebih tenang. Pikirannya selalu teralihkan karena niat jahat Galang dan Rumi. Sehingga Nada sering kali melamun. Fokusnya kini sedang menyusun laporan keuangan akhir bulan untuk kemudian di gabungkan dengan toko Dinada. Ia tidak boleh memikirkan hal itu lagi. Hari senin baru saja di mulai. Namun, waktu terasa sangat cepat berlalu karena semburat jingga yang terlihat dari balik jendela sudah akan turun ke peraduannya. Sudah ada lima pegawai yang sibuk mengepak semua pesanan hijab dan mukena di toko online milik Nada. Bude Sri hanya bisa membantu jika pekerjaan di rumah orang tua Nada sudah selesai. Hanum dan Shanum juga sudah mulai fokus untuk belajar karena sebentar lagi akan menjalani ujian akhir sekolah. Jadi, Nada sudah merekrut
"Gimana caranya kita menjebak Mas Adi sebagai pemakai jika ia tidak memakai obat itu?" Tanya Rumi bingung dengan rencana baru sang suami. Ia sama sekali tidak paham dengan obat-obatan terlarang. Rumi membeli obat itu juga karena perintah Galang. "Mudah saja. Kita bisa mengancam Adi akan melaporkannya dengan dua tuduhan yaitu kemungkinan sebagai pemakai dan sebagai pengedar narkoba. Tapi, bukan itu poin utamanya Rum. Hal itu bertujuan untuk membuat Nada tidak percaya lagi pada Adi. Aku juga tidak ingin melaporkannya ke polisi. Itu hanya sebagai ancaman saja." Rumi menganggukan kepalanya mengerti. "Setelah itu, aku masih harus meminta bantuanmu untuk mendapatkan Nada. Untuk urusan Adi aku serahkan padamu. Lakukan apa saja sesukamu untuk mendapatkan Adi lagi." 'Tidak perlu. Yang penting aku bisa mengabulkan keinginan terbesarmu. Aku sudah tidak mau berurusan dengan dukun itu. Untuk membantumu aku akan cari dukun lain yang metodenya lebih simple Mas.' Batin Rumi dalam hatinya. “Terus
Kelopak mata Galang perlahan terbuka. Kepalanya terasa sangat pusing hingga ia tidak bisa bangun untuk sebentar. Saat melihat langit-langit atap kamarnya yang familiar, pria itu kembali memejamkan kedua matanya. Untuk sesaat Galang seperti sudah melupakan kejadian tadi malam. Pria itu justru kembali melanjutkan tidur dengan badan yang terasa cukup dingin. Padahal ia sudah pakai selimut yang menutupi seluruh badannya. Tubuhnya miring ke kanan. Kelopak matanya mengerjap menatap wajah Rumi yang masih terlelap. Dengan bahu yang polos tanpa tertutup pakaian.Seketika kesadaran itu menghantam Galang. Seharusnya Rumi tidak sedang tidur di kamar ini bersama dengannya. Tapi, istrinya itu harus tidur dengan Adi di kamar hotel yang sudah ia sewa.Seperti yang sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Hati Galang menjerit marah karena rencana mereka sudah gagal sejak tadi malam. “Ya ampun sial banget.” Pekik pria itu meluapkan emosinya hingga tiba-tiba terbangun. Selimut yang tadi menutup tubuh po