Jarak menciptakan tembok besar bagi sebuah hubungan
_________Rasanya ia ingin sekali menendang bokong pria itu. Datang tak diundang pulang tak diantar. Itulah Deren, si manusia bermuka bebal.
Dera masih merasakan remang semua bulu kuduknya ketika pria itu memeluknya dengan hangat dari belakang. Jika tidak mengingat waktu dan tempat, ia seharusnya berteriak hingga semua orang mendengarnya dan beramai-ramai menjadikan si gila itu asinan.
"Dia tidak punya sopan santun sama sekali!" geram Dera ingin menghajar wajah sok ganteng itu. Jantungnya masih berdetak abnormal saking takutnya hal itu terpergok oleh pegawai atau sang sekretaris. Bagaimana dengan reputasinya? dan yang paling penting adalah rumah tangganya, Reno? Bagaimana dengan suaminya itu?
"Dasar pria gila!" Bersamaan dengan lengkingan suara Dera, suara tawapun meledak seiring dengan pintu yang terbuka.
Dera mengepalkan tangan. "Kamu!"
"Iya aku ..., " kata Deren dengan nada mengejek. "Kenapa? Mau meluk lagi?" Pria itu memasang wajah sok polos dan mendekat.
"Stop!" Dera memberikan peringatan.
"Jalan!" Deren tak memperdulikan tatapan tajam yang diberikan padanya. Bahkan pria itu semakin mempercepat langkah dan melebarkan tangan. Sungguh dia ingin kencing saat ini melihat espresi Dera yang pucat pasi di depannya.
Dua langkah dan Dera terperangkap pada dinding. Netranya bergerak siaga menatap ke sekeliling. Sementara Daren sudah memerangkapnya dengan kedua tangan besar pria itu.
"Mau ke mana?" tanya Daren menaikan satu alis nakal. "Ternyata wanita iblis seperti kamu bisa takut juga." Pria itu menahan tawa dengan menatap lekat dua netra hazel yang bergerak gelisah menatapnya.
"Jangan macam-macam!" ancam Dera dengan telunjuk mengacung. Sumpah! Bahkan kini telapak tangannya sudah mendingin. Entah setan apa yang merasukinya dulu sehingga mau menampung pria gila ini di rumahnya.
"Kalau aku mau macam-macam memang kenapa?" Daren mendekatkan wajah, dan kini mereka hanya berjarak satu centi saja. "Bukankah di sini tidak ada orang selain kita berdua?" Tanganya bergerak nakal menyentuh bahu Dera dengan seringaian membuat Dera muak.
"Don't touch me!" Dera menjerit dengan wajah pucat. Seumur-umur dia tidak pernah merasakan debaran takut seperti ini. Dia merasa akan kehilangan nyawa sebentar lagi.
Sementara Daren? Pria itu sedang berusaha menahan tawa dengan wajah memerah. "But i wanna fuck you," bisiknya dengan bibir menyentuh lembut ujung telinga Dera.
"Plies .... " Dera bergetar dengan mata berkaca-kaca. Bukan, bukan takut kepada Daren. Namun ia lebih takut kepada rasa trauma yang tiba-tiba menyambanginya. Kelebatan wajah wanita itu yang menyentuh Reno membuatnya setengah gila. Tidak ... dia tidak ingin melakukan hal yang sama.
"Plies .... " ucapnya lagi dengan satu isakan lolos dari bibirnya, dan membuat Daren justru merasa bersalah.
"Hey .... " Daren menjauhkan wajahnya. "Aku hanya bercanda," jelasnya menyentuh pundak Dera. Namun bukannya diam, wanita itu semakin tersuguk-suguk dengan bahu berguncang.
"Aku tidak serius," ujarnya lagi penuh kebingungan. Niatnya menakuti wanita itu tapi kini dia yang dibuat takut.
"Aku tidak bisa. Aku tidak bisa. " Dera mengulangi kata-kata itu dengan tangis yang semakin deras.
"Aku tidak melakukan apa-apa." Daren meraih tubuh Dera ke dalam pelukannya. Ia ingat pelukan mampu menenangkan sesorang. "Tenanglah, tak akan ada yang terjadi." Ia mengusap lembut kepala wanita itu. Dia benar-benar merasa bersalah kini.
Dera menenggelamkan wajah di dada bidang Daren. Tangannya mengerat di pinggang lelaki itu. Dia tidak ingin membuka mata, atau bayangan penghianatan itu kembali memenuhi pandangannya.
Malam ini, Daren menemukan satu sisi lain dari wanita iblis yang dikenalnya selama beberapa hari terakhir. Dera adalah wanita yang rapuh dan lemah. Benar kata sang ibu, sekuat apapun wanita dia tetap butuh bahu untuk bersandar. Dera alexandra mungkin terlihat kuat bahkan bengis, namun sebenarnya dia lemah dan butuh sandaran.
"Jangan tinggalkan aku," ujar Dera disela tangisannya.
*****
Dengkuran halus di sampingnya membuat Dera membuka mata. Wajah itu? Iya, dia masih ingat apa yang terjadi semalam. Dan masih ingat pula ketika dia meminta pria itu menemaninya.
Dera menatap wajah Daren dengan seksama. Pria itu terlihat manis ketika sedang tertidur, seperti bayi besar yang mencari perlindungan induknya. Rambut tebalnya berantakan, dengan sebelah tangan yang memeluk tubuh ramping Dera dengan posesif. Entah apa yang merasuki mereka berdua sehingga meutuskan untuk tidur bersama, yang Dera ingat dia tak ingin tidur sendiri tadi malam.
"Jangan menatapku begitu." Daren membuka mata dengan senyum yang entah kenapa membuat Dera berdebar aneh. "Apa kamu sudah baikan?" tangannya menyentuh leher dan dahi Dera dengan panik. "Semalam badanmu panas," ujarnya menatap dengan hawatir.
"Itu sudah biasa," ujar Dera menundukan wajah. Iya, tubuhnya akan menggigil bila mengingat apa yang Reno lakukan padanya beberapa waktu lalu. Luka itu belum benar-benar sembuh.
"Aku minta maaf." Daren mengusap kepala Dera lembut. " aku tidak bermaksud membuatmu takut," jelasnya menyelipkan rambut Dera ke belakang telinga.
Dera mengangguk pelan. "Aku tahu, kamu hanya mencoba mengerjaiku dan itu berhasil bung!" Satu tinju didaratkan di dada Daren, dan membuat keduanya tertawa.
"Terimakasih karena mau menemaniku." Giliran Dera yang mengunkapkan isi benaknya. "Jika tidak ada kamu entah bagaimana aku semalam?" Lagi, Daren menemukan luka di sorot mata hazel itu.
"Apa kau ingin bercerita?" tawar Daren kini membelai lembut wajah campuran di depannya. Tuhan, dia baru pertama kali sedekat ini dengan Dera. Dan baru tahu jika wanita itu memiliki tatapan yang begitu memukau. Menggerakan sesuatu di sudut hatinya.
"Itu cerita yang panjang. Kamu akan bosan." Dera tersenyum miris. Butuh bertahun-tahun untuknya bisa menerima semua itu. Cerita itu melingkupi separuh dari kehidupannya, dan butuh waktu lama untuk bercerita.
"Aku akan selalu ada jika kamu mau. Aku pendengar yang handal dan aku suka cerita," seru Daren menampakkan senyum cerianya. Percayakah kalian, jika kini mereka seperti sepasang kekasih yang mencoba untuk saling mengenal.
Dera tersenyum. Netranya menatap lamat wajah yang begitu menyebalkan kemarin baginya. Namun kini begitu menenangkan dan membuatnya ... berdebar?
Satu detik, dua detik, bibir tipis itu menempel di atas bibir tebal milik Daren. Iya, Dera mencium pria itu. Bukan tidak sengaja, tapi ciuman terimakasih yang benar-benar lembut dan manis.
Sial! Daren mengumpat.
Ini pertama kalinya dia merasakan bibir seorang wanita, dan kenapa rasanya? Memabukkan? Dia menyukainya?
Daren menekan tengkuk Dera semakin dalam, pria itu bergerak penuh tuntutan, meski pada akhirnya Dera yang kembali mendominasi, menuntunya dengan pelan dan lembut. Membawanya menikmati decapan rasa cery yang tercipta karena liptin yang digunakan oleh Dera.
Daren melenguh. Dia kualahan, dan rasanya kesusahan bernafas. Namun meskipun begitu, lidahnya seakan mencari akses untuk menerobos bibir Dera yang masih setia menyecapi manis bibirnya. Wanita itu belum ingin terlalu jauh. Masih ingin saling menikmati dalam tahap awal yang ringan.
Dera menarik diri. Menciptakan geraman dari Daren. Pria itu menyatukan kening mereka, saling berhembus napas yang tersengal karena pagutan yang begitu panjang.
"Thank you."Dera mengusap bibir basah Daren dengan sensual. Kemudian bangun dan pergi meninggalkan Daren yang terpaku menatapnya.
Bersambung ....
"Aku sedang tidak enak badan." Satu kalimat yang Dera lontarkan pada benda pipih yang ia letakkan di atas kitchen island. Di seberang sana suara Reno terdengar hawatir dan bertanya berbagai hal.Daren sudah mengambil duduk dengan wajah tersenyum canggung. Dia meraih selembar roti yang kemudian diolesi cokelat."Honey ... are you sure? Aku rasa kamu harus pergi ke rumah sakit."Daren hampir tersedak ketika mendengar suara seorang pria dari smartphone Dera yang di speaker.Cmon! Mereka baru saja berciuman beberapa menit lalu. Namun kini?Dera meraih ponselnya dengan santai, melangkah ke arah kulkas dengan menempelkan benda itu ke telinga. Dia belum menyadari perubahan espresi pria muda yang kini menatap tubuh sintalnya dengan rahang mengeras."Love you too." Dera memutuskan komunikasi dengan Reno dan segera berbalik ke kitchen island untuk menyelsaikan sarapannya. Namu
Bagaimana rasanya ditinggalkan? Menyenangkan?Pertanyaan yang sering Dera tanyakan kepada dirinya sendiri, alasan-alasan mengapa malamnya tidak pernah berjalan dengan tenang seperti manusia lainnya. Tidur yang tidak pernah nyenyak dan rasa kosong yang selalu memeluk dirinya. Kecuali malam itu, iya hanya malam itu setelah kejadian sialan yang merenggut kebahagiaanya. Kenapa hanya malam ketika bersama pria aneh itu ia benar-benar merasa lengkap dan hangat? Bahkan dia bisa merasakan jika tidurnya benar-benar nyenyak sampai bermimpi dengan indah."Apa tujuanmu membawaku kemari?" Dera melepas kaca mata hitamnya. Dia baru saja kembali dari sebuah coffeshop dan kini kembali terjebak di sebuah cafetaria yang berjubel pelanggan berpakaian kantor seperti dirinya."Hm..." Pria itu menunjukan sepo
Luka tak akan benar-benar sembuh. Selalu saja menyisakan retak kecil yang mengakibatkan tekanan dan trauma__________Keduanya tersenyum. Saling menatap intens di atas bantal. Semburat pink menjalari wajah ayu dengan rambut tergerai berantakan. Setelah melewati hari yang begitu pelik dalam rumah tangga mereka kini keduanya bisa bernapas lega. Terlebih Dera yang kini berusaha untuk berhenti hawatir tentang keadaan suaminya. 'Dia' yang tak ingin disebut namanya ia harap tak lagi menjadi kerikil tajam di rumah tangga mereka."Kamu bahagia?" Pertanyaan itu diangguki oleh Dera. Setelah hampir dua minggu tak bersua, perasaan rindunya kian membucah saat melihat kedatangan Reno."Selama aku pergi kamu ngapain aja?" Tangan kekar Reno mengalihkan kepala sang istri ke atas dadanya. Mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka.
Kepercayaan kerap kali menjadi korban atas ketidak berdayaan seseorang yang memilih berbohong untuk menyelamatkan diri_______________"Tapi saya harus ketemu sama orangnya, Pak!"Dera mengernyit, menatap tajam pada si pembuat onar yang merusak pemandangan depan kantornya. Baru saja dia menginjakan kaki kembali setelah pergi selama seminggu ke Brazil, dia harus menyaksikan kejadian konyol yang membuat moodnya berantakan."Nggak bisa, Mas. Bu Dera sedang keluar negeri dan belum pulang," jelas satpam dengan napas tersengal karena kualahan. Sementara Dera, masih berdiri dengan bersedekap di tengah-tengah karyawan yang seakan kehilangan napas. Bertaruh antara tetap bekerja atau jadi tuna wisma."Bapak jangan bohongin saya, tadi saya lihat mobilnya." Pria berkaos merah putih itu masih ngotot dengan bingkisan
Daren bergerak pelan, membuka mata sembari membangunkan tubuh yang terasa remuk redam. Dia belum pernah merasakan sakit seperti ini meski kelelahan mengantar paket, ini bahkan tidak bisa dikategorikan rasa sakit, mungkin hancur? Seluruh tulangnya bahkan serasa mengilu."Bapak jangan terlalu banyak gerak, lukanya belum pulih."Daren mengerjap, memfokuskan pandangan pada seseorang yang kini berdiri anggun di hadapannya. Wanita dengan seragam putih yang sedang memegang alat kesehatan.Wanita itu mendekat, membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah bantal yang diletakkan di balik punggung. Daren memegang kepalanya yang terasa berdentum-dentum.Setelah menemukan titik nyaman, dia berusaha memindai sekitar. Melihat bagaimana keadaan ruangan tempatnya.Apa
Pagi sekali, Daren sudah bersiap dengan baju kerjanya. Kemeja biru langit, celana hitam dan dasi berwarna biru tua dengan aksen garis-garis putih. Berwibawa dan tampan tentu saja.Dera menghela napas, pria di hadapannya memang bukanlah pria sembarangan. Lihatlah wajah berahang tegas itu, badan tinggi tegap dengan dada yang terlihat bidang. Dera menggaruk pelipis, sedikit canggung dengan mahluk di depannya. Masih ingatkah adegan pelukan mereka dua malam lalu?"Bagaimana? Aku tidak membuatmu malu bukan?" Daren memasukan kedua tangan ke saku celana. Wajah klimisnya menampakan kesan dingin, yang entah kenapa Dera sukai.Dera berdehem, mengangguk singkat lalu beralih pada dua lembar roti gandum yang sedang diolesi coklat. Jangan tanya fokusnya sekarang, sudah buyar. Namun demi harga diri yang dijunjungtinggi, dia sekuat hati bersikap tak perduli.
Bagaimana rasanya ditinggalkan? Menyenangkan?Pertanyaan yang sering Dera tanyakan kepada dirinya sendiri, alasan-alasan mengapa malamnya tidak pernah berjalan dengan tenang seperti manusia lainnya. Tidur yang tidak pernah nyenyak dan rasa kosong yang selalu memeluk dirinya. Kecuali malam itu, iya hanya malam itu setelah kejadian sialan yang merenggut kebahagiaanya. Kenapa hanya malam ketika bersama pria aneh itu ia benar-benar merasa lengkap dan hangat? Bahkan dia bisa merasakan jika tidurnya benar-benar nyenyak sampai bermimpi dengan indah."Apa tujuanmu membawaku kemari?" Dera melepas kaca mata hitamnya. Dia baru saja kembali dari sebuah coffeshop dan kini kembali terjebak di sebuah cafetaria yang berjubel pelanggan berpakaian kantor seperti dirinya."Hm..." Pria itu menunjukan sepo
"Aku sedang tidak enak badan." Satu kalimat yang Dera lontarkan pada benda pipih yang ia letakkan di atas kitchen island. Di seberang sana suara Reno terdengar hawatir dan bertanya berbagai hal.Daren sudah mengambil duduk dengan wajah tersenyum canggung. Dia meraih selembar roti yang kemudian diolesi cokelat."Honey ... are you sure? Aku rasa kamu harus pergi ke rumah sakit."Daren hampir tersedak ketika mendengar suara seorang pria dari smartphone Dera yang di speaker.Cmon! Mereka baru saja berciuman beberapa menit lalu. Namun kini?Dera meraih ponselnya dengan santai, melangkah ke arah kulkas dengan menempelkan benda itu ke telinga. Dia belum menyadari perubahan espresi pria muda yang kini menatap tubuh sintalnya dengan rahang mengeras."Love you too." Dera memutuskan komunikasi dengan Reno dan segera berbalik ke kitchen island untuk menyelsaikan sarapannya. Namu
Jarak menciptakan tembok besar bagi sebuah hubungan_________Rasanya ia ingin sekali menendang bokong pria itu. Datang tak diundang pulang tak diantar. Itulah Deren, si manusia bermuka bebal.Dera membanting tasnya, dia mengurut kedua alis. Sampai kapan dia akan menjalani kehidupan seperti ini dengan pria gila itu? Iya, dia harus mencarikan tempat tinggal untuk Daren.Dera masih merasakan remang semua bulu kuduknya ketika pria itu memeluknya dengan hangat dari belakang. Jika tidak mengingat waktu dan tempat, ia seharusnya berteriak hingga semua orang mendengarnya dan beramai-ramai menjadikan si gila itu asinan."Dia tidak punya sopan santun sama sekali!" geram Dera ingin menghajar wajah sok ganteng itu. Jantungnya masih berdetak abnormal saking takutnya hal itu terpergok
Pagi sekali, Daren sudah bersiap dengan baju kerjanya. Kemeja biru langit, celana hitam dan dasi berwarna biru tua dengan aksen garis-garis putih. Berwibawa dan tampan tentu saja.Dera menghela napas, pria di hadapannya memang bukanlah pria sembarangan. Lihatlah wajah berahang tegas itu, badan tinggi tegap dengan dada yang terlihat bidang. Dera menggaruk pelipis, sedikit canggung dengan mahluk di depannya. Masih ingatkah adegan pelukan mereka dua malam lalu?"Bagaimana? Aku tidak membuatmu malu bukan?" Daren memasukan kedua tangan ke saku celana. Wajah klimisnya menampakan kesan dingin, yang entah kenapa Dera sukai.Dera berdehem, mengangguk singkat lalu beralih pada dua lembar roti gandum yang sedang diolesi coklat. Jangan tanya fokusnya sekarang, sudah buyar. Namun demi harga diri yang dijunjungtinggi, dia sekuat hati bersikap tak perduli.
Daren bergerak pelan, membuka mata sembari membangunkan tubuh yang terasa remuk redam. Dia belum pernah merasakan sakit seperti ini meski kelelahan mengantar paket, ini bahkan tidak bisa dikategorikan rasa sakit, mungkin hancur? Seluruh tulangnya bahkan serasa mengilu."Bapak jangan terlalu banyak gerak, lukanya belum pulih."Daren mengerjap, memfokuskan pandangan pada seseorang yang kini berdiri anggun di hadapannya. Wanita dengan seragam putih yang sedang memegang alat kesehatan.Wanita itu mendekat, membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah bantal yang diletakkan di balik punggung. Daren memegang kepalanya yang terasa berdentum-dentum.Setelah menemukan titik nyaman, dia berusaha memindai sekitar. Melihat bagaimana keadaan ruangan tempatnya.Apa
Kepercayaan kerap kali menjadi korban atas ketidak berdayaan seseorang yang memilih berbohong untuk menyelamatkan diri_______________"Tapi saya harus ketemu sama orangnya, Pak!"Dera mengernyit, menatap tajam pada si pembuat onar yang merusak pemandangan depan kantornya. Baru saja dia menginjakan kaki kembali setelah pergi selama seminggu ke Brazil, dia harus menyaksikan kejadian konyol yang membuat moodnya berantakan."Nggak bisa, Mas. Bu Dera sedang keluar negeri dan belum pulang," jelas satpam dengan napas tersengal karena kualahan. Sementara Dera, masih berdiri dengan bersedekap di tengah-tengah karyawan yang seakan kehilangan napas. Bertaruh antara tetap bekerja atau jadi tuna wisma."Bapak jangan bohongin saya, tadi saya lihat mobilnya." Pria berkaos merah putih itu masih ngotot dengan bingkisan
Luka tak akan benar-benar sembuh. Selalu saja menyisakan retak kecil yang mengakibatkan tekanan dan trauma__________Keduanya tersenyum. Saling menatap intens di atas bantal. Semburat pink menjalari wajah ayu dengan rambut tergerai berantakan. Setelah melewati hari yang begitu pelik dalam rumah tangga mereka kini keduanya bisa bernapas lega. Terlebih Dera yang kini berusaha untuk berhenti hawatir tentang keadaan suaminya. 'Dia' yang tak ingin disebut namanya ia harap tak lagi menjadi kerikil tajam di rumah tangga mereka."Kamu bahagia?" Pertanyaan itu diangguki oleh Dera. Setelah hampir dua minggu tak bersua, perasaan rindunya kian membucah saat melihat kedatangan Reno."Selama aku pergi kamu ngapain aja?" Tangan kekar Reno mengalihkan kepala sang istri ke atas dadanya. Mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka.