Luka tak akan benar-benar sembuh. Selalu saja menyisakan retak kecil yang mengakibatkan tekanan dan trauma
__________"Kamu bahagia?" Pertanyaan itu diangguki oleh Dera. Setelah hampir dua minggu tak bersua, perasaan rindunya kian membucah saat melihat kedatangan Reno.
"Selama aku pergi kamu ngapain aja?" Tangan kekar Reno mengalihkan kepala sang istri ke atas dadanya. Mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka.
"Pulang pergi kantor dan ke apartmen kak Betrand." Dera mengeratkan rangkulan. Seolah tak kenyang menghirup aroma maskulin yang bercampur dengan bau keringat di tubuh suaminya.
Reno terdiam. Pria itu sibuk menghirup wangi shampoo Dera yang membuatnya candu memainkan rambut sang istri. "Kamu ... udah siap hamil?" Pertanyaan itu ia ucapkan hati-hati. Rasa sepi kerap kali melanda jika menatap rumah mewah mereka. Ingin rasanya mendengar suara tangis dan tawa seorang mahluk kecil di dalamnya. Reno tak ingin munafik, menjadi seorang ayah adalah impian sebagian besar pria. Meski ia tak akan memaksa untuk memilikinya.
Dera menegang. Perasaan itu kembali menggerogotinya. "Aku ingin mandi." Wanita itu membangunkan tubuh, menyentak tangan Reno dengan paksa. Baru merasa bahagia kini moodnya sudah dirusak oleh sang suami.
Melilitkan selimut di sepanjang tubuh, Dera berjalan ke kamar mandi. Meninggalkan Reno yang menghela napas berat menatap pintu yang tertutup.
Dera bukanlah wanita yang dulu ia kenal, istrinya telah berubah menjadi sosok tegas dan kaku. Bahkan bagi beberapa orang yang baru bertemu, akan berpikir bahwa Dera terlahir di lingkungan yang keras. Sudah terlewat bertahun-tahun, tapi ia masih menyimpan luka itu dengan rapat. Membiarkan rasa sakit mendekapnya dengan erat.
Tak ingin terjadi ketegangan lagi diantara mereka, Reno menyusul ke kamar mandi. Menemukan sang istri yang terduduk di pinggiran buthup. Benar dugaannya, wanita itu menangis, namun tak mau menampakkannya di depan orang lain.
"Mau mandi bareng?" Sentuhan di pundaknya membuat Dera mengusap wajah. Warna rambutnya yang kini berubah agak pirang disisir lembut oleh Reno.
"Maafkan aku." Satu kecupan Reno daratkan di pundak sang istri. Tak mendapatkan respon apapun selain helaan singkat dari bibir Dera.
Membahas soal anak dan kehamilan selalu membuat Dera merasa terintimidasi. Dia masih ingat bagaimana rasa sakit ketika sang jabang bayi direnggut dari rahimnya. Masih tersisa sampai sekarang dan mungkin akan tetap ada selamanya, dan ia masih sangat ingat apa penyebabnya.
Dera berdiri. Menatap Reno dengan intens sembari berkata. "Menikahlah dengan wanita lain jika kamu ingin memiliki anak." Satu kalimat yang selalu membuat rahang Reno mengeras.
Tanpa aba-aba, Reno meraup wajah cantik itu, menempelkan bibirnya di atas bibir sang istri dan membawanya ke bawah shower yang menyala.
Dera mengerang, rasa panas dan dingin menyatu menyergap tubuh. Tatapannya melemah, mencengkram erat pundak di depannya.
Sekuat hati ia mencoba menjadi tangguh, mencoba berdiri dengan kedua kaki yang kerap kali gemetar bila mengingat hal itu. Tak mudah bagi dirinya melupakan begitu saja luka yang pernah amat menghancurkan hidupnya, dan kini ia diminta untuk mengingatnya lagi? Manusia mana yang tak akan emosi? Rasa sakit itu masih enggan untuk ia tinggalkan.
Hisapan di lehernya berpindah ke bagian dada. Kali ini Reno tak mengampuninya, pria itu sudah terlalu frustasi menghadapi sikap dingin dan keras kepala Dera. Sebagai suami ia mengerti luka yang diderita sang istri. Tapi bukan berarti mereka harus terperangkap sampai mati, oleh luka yang Reno pikir telah usai sejak hari itu. Hari ketika ia meminta 'dia' meninggalkannya.
Reno mendongak, menatap lekat wajah Dera dengan napas yang memburu. Tangan besarnya mengusap wajah sang istri. Menyatukan kening mereka. " Jangan pernah memintaku untuk pergi ke wanita lain, atau aku tak akan mengampunimu."
Dera menelan ludah, membasahi keronkongan yang terasa kering. Napasnya cukup tersengal menerima perlakuan sang suami. Selalu, selalu hangat dan nikmat. Membiusnya untuk melupakan sejenak rasa sakit yang tak pernah benar-benar pergi. Karena tak berselang lama, rasa itu akan kembali membayanginya.
****
"Aku cukup tahu diri, jadi jangan membicarakan hal itu atau memintanya." Wanita itu duduk di meja makan, membaca surat kabar ditemani secangkir kopi yang mengepulkan asap.
"Bisakah kita tidak membahasnya sekarang?" Reno mendudukan tubuh setelah menuang kopi ke cangkirnya sendiri.
"Kamu yang mulai membahasnya." Dera melipat koran dan meletakannya di atas meja. Lalu menghirup cairan kafein itu sekali teguk.
"Aku minta maaf." Reno meraih jemari Dera. Sesekali ia berpikir, jika wanita di hadapannya bukanlah seseorang yang dinikahinya 5 tahun lalu. Dera seolah menjadi orang lain setelah kejadian itu. Dingin, kaku, tegas dan tak terbantahkan. Semua sifat yang sama sekali dahulu tak dimilikinya.
Terdiam, keduanya tak ada yang buka suara. Dera telah berubah 180 atau entah 1800 derajat? Jika dulu ia tak akan diam mengoceh, tetapi sekarang sebuah keajaiban jika melihatnya mau mengeluarkan suara.
Reno takut, tentu saja. Ia takut jika trauma yang dialami sang istri sudah pada taraf mengancam hubungan mereka. Bukan ia tak suka Dera yang sekarang, hanya saja ... ia merasa berbeda. Kehangatan yang dulu selalu tercipta disetiap saat, kini hanya tercipta ketika mereka berada di atas ranjang. Selebihnya Dera adalah patung Yunani yang tak tersentuh.
"Akan ku antar." Reno ikut berdiri, sebelum menghela napas panjang karena sebuah penolakan.
"Aku ingin pergi sendiri, nikmati saja waktumu selagi masih bisa." Dera meraih kunci mobil di atas meja. Bergerak mengecup bibir sang suami kemudian tergesa ke luar rumah.
Reno tersenyum tipis. Ia menangkap nada sindiran dari kalimat sang istri. 'Selagi masih bisa' iya, karena ia akan kembali meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Terlalu banyak hal yang harus ia urus. Ia kadang berpikir, mungkinkah karena hal ini juga yang membuat istrinya semakin hari terlihat semakin sulit dijangkau? Tak ada quality time semenjak mereka sama-sama sibuk mengurusi perusahaan keluarga. Hanya akan ada ketika mereka benar-benar saling 'membutuhkan'.
****
Dera mendudukan tubuh di kursi dengan meletakkan tas di atas meja. Tangannya menerima lembaran dokumen yang diberikan satu persatu. Membaca sejenak kemudian membubuhkan tanda tangan.
"Lima belas menit lagi meeting akan dimulai dengan dewan direksi dari cabang yang di Gorontalo. Beliau sedang dalam perjalan kemari." Sang sekretaris membacakan jadwal Dera yang sudah tersusun rapi pada sebuah tab.
Dera mengangguk. "Atur semua jadwal saya hari ini. Saya tidak mau ada kesalahan." Memberikan dokumen terahir kepada sang sekertaris. Diangguki patuh oleh wanita muda itu.
"One cup black coffee less sugar." Permintaan Dera yang lebih terdengar seperti perintah. Kemudian meminta wanita di sampingnya keluar. Begitu pintu tertutup dari luar, ia menghempaskan kepala ke sandaran kursi.
Lelah, hal yang dia rasakan pagi ini. Tak hanya tubuh yang terasa remuk, tapi otak dan hatinya ikut serta. Perkataan Reno mengacaukan pikirannya sedari tadi. Ada apa dengan pria itu sampai memintanya untuk hamil kembali?
Dera meraba perut datarnya, menegang ketika mengingat bagaimana dua mahluk itu dipaksa keluar karena tak mampu bertahan. Netranya mengembun, ada barisan gerbong ingatan yang kini berjalan di pelupuk mata. Tentang masa itu, tentang luka, penghianatan, kehancuran serta rasa sakit yang tak tersembuhkan.
Bersambung ...
Kepercayaan kerap kali menjadi korban atas ketidak berdayaan seseorang yang memilih berbohong untuk menyelamatkan diri_______________"Tapi saya harus ketemu sama orangnya, Pak!"Dera mengernyit, menatap tajam pada si pembuat onar yang merusak pemandangan depan kantornya. Baru saja dia menginjakan kaki kembali setelah pergi selama seminggu ke Brazil, dia harus menyaksikan kejadian konyol yang membuat moodnya berantakan."Nggak bisa, Mas. Bu Dera sedang keluar negeri dan belum pulang," jelas satpam dengan napas tersengal karena kualahan. Sementara Dera, masih berdiri dengan bersedekap di tengah-tengah karyawan yang seakan kehilangan napas. Bertaruh antara tetap bekerja atau jadi tuna wisma."Bapak jangan bohongin saya, tadi saya lihat mobilnya." Pria berkaos merah putih itu masih ngotot dengan bingkisan
Daren bergerak pelan, membuka mata sembari membangunkan tubuh yang terasa remuk redam. Dia belum pernah merasakan sakit seperti ini meski kelelahan mengantar paket, ini bahkan tidak bisa dikategorikan rasa sakit, mungkin hancur? Seluruh tulangnya bahkan serasa mengilu."Bapak jangan terlalu banyak gerak, lukanya belum pulih."Daren mengerjap, memfokuskan pandangan pada seseorang yang kini berdiri anggun di hadapannya. Wanita dengan seragam putih yang sedang memegang alat kesehatan.Wanita itu mendekat, membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah bantal yang diletakkan di balik punggung. Daren memegang kepalanya yang terasa berdentum-dentum.Setelah menemukan titik nyaman, dia berusaha memindai sekitar. Melihat bagaimana keadaan ruangan tempatnya.Apa
Pagi sekali, Daren sudah bersiap dengan baju kerjanya. Kemeja biru langit, celana hitam dan dasi berwarna biru tua dengan aksen garis-garis putih. Berwibawa dan tampan tentu saja.Dera menghela napas, pria di hadapannya memang bukanlah pria sembarangan. Lihatlah wajah berahang tegas itu, badan tinggi tegap dengan dada yang terlihat bidang. Dera menggaruk pelipis, sedikit canggung dengan mahluk di depannya. Masih ingatkah adegan pelukan mereka dua malam lalu?"Bagaimana? Aku tidak membuatmu malu bukan?" Daren memasukan kedua tangan ke saku celana. Wajah klimisnya menampakan kesan dingin, yang entah kenapa Dera sukai.Dera berdehem, mengangguk singkat lalu beralih pada dua lembar roti gandum yang sedang diolesi coklat. Jangan tanya fokusnya sekarang, sudah buyar. Namun demi harga diri yang dijunjungtinggi, dia sekuat hati bersikap tak perduli.
Jarak menciptakan tembok besar bagi sebuah hubungan_________Rasanya ia ingin sekali menendang bokong pria itu. Datang tak diundang pulang tak diantar. Itulah Deren, si manusia bermuka bebal.Dera membanting tasnya, dia mengurut kedua alis. Sampai kapan dia akan menjalani kehidupan seperti ini dengan pria gila itu? Iya, dia harus mencarikan tempat tinggal untuk Daren.Dera masih merasakan remang semua bulu kuduknya ketika pria itu memeluknya dengan hangat dari belakang. Jika tidak mengingat waktu dan tempat, ia seharusnya berteriak hingga semua orang mendengarnya dan beramai-ramai menjadikan si gila itu asinan."Dia tidak punya sopan santun sama sekali!" geram Dera ingin menghajar wajah sok ganteng itu. Jantungnya masih berdetak abnormal saking takutnya hal itu terpergok
"Aku sedang tidak enak badan." Satu kalimat yang Dera lontarkan pada benda pipih yang ia letakkan di atas kitchen island. Di seberang sana suara Reno terdengar hawatir dan bertanya berbagai hal.Daren sudah mengambil duduk dengan wajah tersenyum canggung. Dia meraih selembar roti yang kemudian diolesi cokelat."Honey ... are you sure? Aku rasa kamu harus pergi ke rumah sakit."Daren hampir tersedak ketika mendengar suara seorang pria dari smartphone Dera yang di speaker.Cmon! Mereka baru saja berciuman beberapa menit lalu. Namun kini?Dera meraih ponselnya dengan santai, melangkah ke arah kulkas dengan menempelkan benda itu ke telinga. Dia belum menyadari perubahan espresi pria muda yang kini menatap tubuh sintalnya dengan rahang mengeras."Love you too." Dera memutuskan komunikasi dengan Reno dan segera berbalik ke kitchen island untuk menyelsaikan sarapannya. Namu
Bagaimana rasanya ditinggalkan? Menyenangkan?Pertanyaan yang sering Dera tanyakan kepada dirinya sendiri, alasan-alasan mengapa malamnya tidak pernah berjalan dengan tenang seperti manusia lainnya. Tidur yang tidak pernah nyenyak dan rasa kosong yang selalu memeluk dirinya. Kecuali malam itu, iya hanya malam itu setelah kejadian sialan yang merenggut kebahagiaanya. Kenapa hanya malam ketika bersama pria aneh itu ia benar-benar merasa lengkap dan hangat? Bahkan dia bisa merasakan jika tidurnya benar-benar nyenyak sampai bermimpi dengan indah."Apa tujuanmu membawaku kemari?" Dera melepas kaca mata hitamnya. Dia baru saja kembali dari sebuah coffeshop dan kini kembali terjebak di sebuah cafetaria yang berjubel pelanggan berpakaian kantor seperti dirinya."Hm..." Pria itu menunjukan sepo
Bagaimana rasanya ditinggalkan? Menyenangkan?Pertanyaan yang sering Dera tanyakan kepada dirinya sendiri, alasan-alasan mengapa malamnya tidak pernah berjalan dengan tenang seperti manusia lainnya. Tidur yang tidak pernah nyenyak dan rasa kosong yang selalu memeluk dirinya. Kecuali malam itu, iya hanya malam itu setelah kejadian sialan yang merenggut kebahagiaanya. Kenapa hanya malam ketika bersama pria aneh itu ia benar-benar merasa lengkap dan hangat? Bahkan dia bisa merasakan jika tidurnya benar-benar nyenyak sampai bermimpi dengan indah."Apa tujuanmu membawaku kemari?" Dera melepas kaca mata hitamnya. Dia baru saja kembali dari sebuah coffeshop dan kini kembali terjebak di sebuah cafetaria yang berjubel pelanggan berpakaian kantor seperti dirinya."Hm..." Pria itu menunjukan sepo
"Aku sedang tidak enak badan." Satu kalimat yang Dera lontarkan pada benda pipih yang ia letakkan di atas kitchen island. Di seberang sana suara Reno terdengar hawatir dan bertanya berbagai hal.Daren sudah mengambil duduk dengan wajah tersenyum canggung. Dia meraih selembar roti yang kemudian diolesi cokelat."Honey ... are you sure? Aku rasa kamu harus pergi ke rumah sakit."Daren hampir tersedak ketika mendengar suara seorang pria dari smartphone Dera yang di speaker.Cmon! Mereka baru saja berciuman beberapa menit lalu. Namun kini?Dera meraih ponselnya dengan santai, melangkah ke arah kulkas dengan menempelkan benda itu ke telinga. Dia belum menyadari perubahan espresi pria muda yang kini menatap tubuh sintalnya dengan rahang mengeras."Love you too." Dera memutuskan komunikasi dengan Reno dan segera berbalik ke kitchen island untuk menyelsaikan sarapannya. Namu
Jarak menciptakan tembok besar bagi sebuah hubungan_________Rasanya ia ingin sekali menendang bokong pria itu. Datang tak diundang pulang tak diantar. Itulah Deren, si manusia bermuka bebal.Dera membanting tasnya, dia mengurut kedua alis. Sampai kapan dia akan menjalani kehidupan seperti ini dengan pria gila itu? Iya, dia harus mencarikan tempat tinggal untuk Daren.Dera masih merasakan remang semua bulu kuduknya ketika pria itu memeluknya dengan hangat dari belakang. Jika tidak mengingat waktu dan tempat, ia seharusnya berteriak hingga semua orang mendengarnya dan beramai-ramai menjadikan si gila itu asinan."Dia tidak punya sopan santun sama sekali!" geram Dera ingin menghajar wajah sok ganteng itu. Jantungnya masih berdetak abnormal saking takutnya hal itu terpergok
Pagi sekali, Daren sudah bersiap dengan baju kerjanya. Kemeja biru langit, celana hitam dan dasi berwarna biru tua dengan aksen garis-garis putih. Berwibawa dan tampan tentu saja.Dera menghela napas, pria di hadapannya memang bukanlah pria sembarangan. Lihatlah wajah berahang tegas itu, badan tinggi tegap dengan dada yang terlihat bidang. Dera menggaruk pelipis, sedikit canggung dengan mahluk di depannya. Masih ingatkah adegan pelukan mereka dua malam lalu?"Bagaimana? Aku tidak membuatmu malu bukan?" Daren memasukan kedua tangan ke saku celana. Wajah klimisnya menampakan kesan dingin, yang entah kenapa Dera sukai.Dera berdehem, mengangguk singkat lalu beralih pada dua lembar roti gandum yang sedang diolesi coklat. Jangan tanya fokusnya sekarang, sudah buyar. Namun demi harga diri yang dijunjungtinggi, dia sekuat hati bersikap tak perduli.
Daren bergerak pelan, membuka mata sembari membangunkan tubuh yang terasa remuk redam. Dia belum pernah merasakan sakit seperti ini meski kelelahan mengantar paket, ini bahkan tidak bisa dikategorikan rasa sakit, mungkin hancur? Seluruh tulangnya bahkan serasa mengilu."Bapak jangan terlalu banyak gerak, lukanya belum pulih."Daren mengerjap, memfokuskan pandangan pada seseorang yang kini berdiri anggun di hadapannya. Wanita dengan seragam putih yang sedang memegang alat kesehatan.Wanita itu mendekat, membantunya untuk bersandar pada kepala ranjang dengan sebuah bantal yang diletakkan di balik punggung. Daren memegang kepalanya yang terasa berdentum-dentum.Setelah menemukan titik nyaman, dia berusaha memindai sekitar. Melihat bagaimana keadaan ruangan tempatnya.Apa
Kepercayaan kerap kali menjadi korban atas ketidak berdayaan seseorang yang memilih berbohong untuk menyelamatkan diri_______________"Tapi saya harus ketemu sama orangnya, Pak!"Dera mengernyit, menatap tajam pada si pembuat onar yang merusak pemandangan depan kantornya. Baru saja dia menginjakan kaki kembali setelah pergi selama seminggu ke Brazil, dia harus menyaksikan kejadian konyol yang membuat moodnya berantakan."Nggak bisa, Mas. Bu Dera sedang keluar negeri dan belum pulang," jelas satpam dengan napas tersengal karena kualahan. Sementara Dera, masih berdiri dengan bersedekap di tengah-tengah karyawan yang seakan kehilangan napas. Bertaruh antara tetap bekerja atau jadi tuna wisma."Bapak jangan bohongin saya, tadi saya lihat mobilnya." Pria berkaos merah putih itu masih ngotot dengan bingkisan
Luka tak akan benar-benar sembuh. Selalu saja menyisakan retak kecil yang mengakibatkan tekanan dan trauma__________Keduanya tersenyum. Saling menatap intens di atas bantal. Semburat pink menjalari wajah ayu dengan rambut tergerai berantakan. Setelah melewati hari yang begitu pelik dalam rumah tangga mereka kini keduanya bisa bernapas lega. Terlebih Dera yang kini berusaha untuk berhenti hawatir tentang keadaan suaminya. 'Dia' yang tak ingin disebut namanya ia harap tak lagi menjadi kerikil tajam di rumah tangga mereka."Kamu bahagia?" Pertanyaan itu diangguki oleh Dera. Setelah hampir dua minggu tak bersua, perasaan rindunya kian membucah saat melihat kedatangan Reno."Selama aku pergi kamu ngapain aja?" Tangan kekar Reno mengalihkan kepala sang istri ke atas dadanya. Mengeratkan selimut yang menutupi tubuh polos mereka.