Membuka pintu rumah nan begitu senyi. Dono langsung memabnting tubuh gemuknya ke atas kursi kayu. Hari begitu terik membuatnya kelelahan setelah beberapa hari bekerja di jalanan. Tidak hanya runah terasa sepi tapi hatinya pun juga sama. Sejak sang istri jauh darinya perasaan ada yang kurang. Sejenak Dono mendongak menatap langit-langit rumah."Sepi juga gak ada istri. Marni sedang apa ya sekarang, kok jadi kangen begini." Setelah banyak mikir akhirnya dia memutuskan mandi. "Pikiranku kacau kalau begini terus menetus, sepertinya lebih baik menjemput dia saja dari pada kesiksa rindu"Setelah beberapa jam kemudian, Dono memutuskan pergi ke menjemput sang istri. "Rika, Darwin, keluar kalian ada yang perlu aku bicarakan." Dari dalam terdengar suara teriakan seorang pria. Entah siapa pagi buta berteriak di depan rumah kami. Suara tak asing itu sepertinya kami mengenalnya, kalau tebakanku tidak meleset itu adalah pak Dono, suami baru ibu Marni. Jujur saja perilaku beliau sangat tudak sopan,
"Eh mbak Rika belanja sayuran juga?" Salah seorang wanita parubaya baru saja datang dan langsung menyapaku. Beliau tidak terlalu dekat denganku sebab aku jarang sekali keluar rumah, meski hanya beli sayur sekali pun. Tidak setiap hari aku belanja sayur keliling karena tidak punya waktu banyak untuk itu. Terkadang sepulang kerja mampir di mini market membeli bahan pokok dan sayur mayur, jadi aku jarang sekali beli sayur keliling. Bahkan mas Darwin juga tidak keberatan jika aku tidak masak. Dia tau bahwa setelah bekerja aku pasti lelah. Kerap kali mas Darwin membeli lauk dari luar sepulang kerja, setelah itu menanak nasi. Di rumah memang ada ibu Marni, tapi beliau kerap makan di luar. Katanya sih tidak mau repot masak, soalnya aku dan mas Darwin jarang makan siang di rumah. Maka dari itu hanya hari tertentu saja ketika hari libur tiba baru aku belanja sayur keliling. "Iya buk mumpung libur, tadi mas Darwin minta di buatkan sop ayam kampung jadi sekalian belanja buat masak sekarang sama
Pagi sekali terdengar langkah kaki menapaki rumah sederhana kami, suara lantang terdengar nyaring dari dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan ibu Marni. Entah sejak kapan beliau terus menerus datang ke rumah sehingga membuat tidak nyaman. Belum lahi cara pandangnya juga penampilan serba pres body membuat pikiran kemana-mana. Begitu di tegur malah marah bukan main. Apa boleh buat dari pada ribur lebih baik diam saja. "Rika....Darwin....di mana kalian?" Marni lantas mencari hingga seluruh ruangan. "Sepagi ini ibu sudah datang ke rumah, memang tidak ada kerjaan lain. Mamang ibu tidak masak untuk pak Dono?" Tanyaku pada ibu Marni. Setelah peringatan dari ibu komplek membuatku sedikit takut, jika benar sindiran mereka tertuju pada ibu tiriku dan suamiku, maka pasti aku akan sangat terluka. Sejak menginjakkan kaki di rumah kulihat kedua matanya seperti mencari seseorang. "Ibu tidak masak nanti beli di warteg saja. Oh iya, di mana Darwin sedari tadi tidak nampak batang hidungnya?" tanya b
Tiga hari kemudian."Darwin, tolong bantu ibu bawakan belanjaan ke depan ya soalnya ibu masih belum begitu kuat" Titah Marni. Sejak pagi sibuk mengatur barang jualan dan mempersiapkan segala sesuatunya."Rika sudah bilang kalau ibu belum begitu pulih, kenapa masih nekat jualan juga. Kalau ibu tidak punya uang katakan saja Rika akan kasih sama ibu. Jangan sampai ibu sakit seperti kemarin lagi, belum lagi ibu baru mendapat perlakuan buruk dari Elis, bagaimana kalau dia melakukan hal lebih parah dari ini....." Entah apa yang ibu tiriku cari. Uang setiap bulan selalu ku sisihkan untuknya, dan lagi Pak Dono juga menafkahi, lalu kenapa beliau ngotot ingin berjualan. Sebenarnya ada maksud tersembunyi apa yang tidak aku ketahui.Ibu Marni terlihat kesal padaku "Memang kamu pikir duit segitu cukup buat ibu? Asal kamu tau uang yang kamu beri nggak cukup buat ke salon. Suami ibu juga paling cuma kasih berapa itu pun kalau pas lagi rame kalau sepi ya nggak ada duit. Lagian kamu kenapa sih ibu mau
"Mas.....duduk dulu sebentar aku mau bicara."Mas Darwin baru saja masuk langsung terduduk di sampingku seraya merangkulku, seolah dia tak punyai salah sama sekali. Terkadang hati tak percaya atas pemikiranku dalam sesaat, akan tetapi setalah mata ini melihat secara langsung hati pun mulai gelisah. Berdosa kah aku jika mencurigai suamiku sendir atas semua tingkah laku mencurigakan suamiku dan juga ibu tiriku? apakah salah jika aku menaruh curiga pada mereka? Dan apakah semua yang ku pikirkan adalah benar ataukah semua hanya kecemasaan semata? Entahlah, hatiku sangat kalut sekali. Pada dasarnya rasa percaya ini telah tiada. Berulang kali ingin ku tanyakan tapi mulut serasa terkunci rapat. Jika tidak bertanya akan tersesat oleh pemikiranku sendiri."Kamu mau bicara tentang apa, sayang? Katakan saja suamimu siap mendengarnya...." Sembari melebarkan senyum. Seperti biasa mas Darwin masih memperlihatkan sikap manisnya padaku. membuat lisan seolah tak sampai berucap.Tiba-tiba saja tercium
Darwin mulai gelisah mengingat tidak mudah baginya untuk kembali memupuk rasa percaya dalam diri sang istri. Sesungguhnya kepercayaan itu sangatlah tipis setipis lembaran tisu, kapan saja bisa robek setelah badai menerpa. Sebagian besar orang menyepelekan senyum dalam sakit meski arti dalam senyuman teramat pahit. Satu hal yang paling mengerikan adalah ketika senyum dalam kepahitan, itu akan menghapus semua kebaikkanmu dalam hatinya.Menjaga kepercayaan tidak semudah ketika menghancurkan. Di saat semua telah hancur tidak akan ada lagi yang tersisa. Percayalah, sesuatu yang telah hilang tidak akan mungkin pernah kembali lagi walau sampai menangis darah sekali pun. Kesempatan kedua tidak di peruntukkan kepada setiap manusia, hanya beberapa orang saja yang berkesempatan mendapatkannya.Jadilah manusia pemberi kesempatan tapi jangan pernah mengemis kesempatan dari lawan main kita. Daun jatuh tetaplah daun, tapi ranting yang yang tumbang akan rapuh. Menjaga diri adalah harga terbaik dalam
Menoleh kesamping menatap punggung Marni yang sedari tadi meringkuk sembari menangis sesenggukan. Semakin lama suara isak tangis Marni membuat Ridho mulai geram. Setiap kali menyentuh wanita parubaya tersebut selalu ada tangis air mata, entah salahnya di mana yang jelas ia begitu kesal. Setiap gerakan tidak pernah seirama dengan gerak tubuh seolah tak dapat menikmati setiap sentuhan. "Apa kamu merasa keberatan melayaniku, Marni?" Tanya Ridho sedikit kesal.Tak ada jawaban dan isak tangis mulai mereda. Marni takut jikalau sampai kejadian beberapa bulan lalu kembali terjadi padanya. Menjadi momok paling mengerikan seumur hidup, bahkan tidak akan pernah terlupakan. Kebrutan Ridho beserta teman brandalannya itu ssngat menorehkan kengerikan sehingga truma berkepanjangan."Jawab aku jangan hanya diam saja? memang kurang apa sampai kamu tidak menikmatinya sama sekali?" Lagi lagi tak ada jawaban hanya isak tangis terdengar lirih.Mendengar nada bicara Ridho mulai meninggi, jelas Marni merasa
"Katakan apakah semua yang di katakan Ridho itu benar?" Menatap tajam mata sang istri dengan kedua tangan mengepal erat. Tabiat buruk Marni tidak selamanya tertutup rapat pasti akan ada celah bagi kebenaran mengungkap segalanya.Mencengkeram dagu Marni "Berani sekali kamu mempermainkan hubungan kita. Apa kamu sudah bosan hidup, ha?" Seketika Dono tidak dapat mengontrol amarah dalam hatinya, mengingat Marni tidak membantah bahwa dia dan Ridho telah berhubungan badan. Hanya pembelaan diri saja tentu tidak cukup membuat Dono kembali percaya.Marni terus berupaya meyakinkan Dono bahwa semua perkataan Ridho tidaklah benar. Segala alasan telah ia coba rangkai demi menutupi hubungan asmara terlarangnya itu. "Percaya padaku, mas. Semua hanya karangan Ridho semata demi terlepas dari kesalahannya. Sebenarnya dia yang telah membuatku sampai masuk rumah sakit beberapa bulan lalu. Dia bersama tiga teman brandalnya telah menodai diriku, mereka telah menyakiti harga diriku (Terisak). Sumpah demi Tuh