Pagi sekali terdengar langkah kaki menapaki rumah sederhana kami, suara lantang terdengar nyaring dari dalam kamar. Siapa lagi kalau bukan ibu Marni. Entah sejak kapan beliau terus menerus datang ke rumah sehingga membuat tidak nyaman. Belum lahi cara pandangnya juga penampilan serba pres body membuat pikiran kemana-mana. Begitu di tegur malah marah bukan main. Apa boleh buat dari pada ribur lebih baik diam saja. "Rika....Darwin....di mana kalian?" Marni lantas mencari hingga seluruh ruangan. "Sepagi ini ibu sudah datang ke rumah, memang tidak ada kerjaan lain. Mamang ibu tidak masak untuk pak Dono?" Tanyaku pada ibu Marni. Setelah peringatan dari ibu komplek membuatku sedikit takut, jika benar sindiran mereka tertuju pada ibu tiriku dan suamiku, maka pasti aku akan sangat terluka. Sejak menginjakkan kaki di rumah kulihat kedua matanya seperti mencari seseorang. "Ibu tidak masak nanti beli di warteg saja. Oh iya, di mana Darwin sedari tadi tidak nampak batang hidungnya?" tanya b
Tiga hari kemudian."Darwin, tolong bantu ibu bawakan belanjaan ke depan ya soalnya ibu masih belum begitu kuat" Titah Marni. Sejak pagi sibuk mengatur barang jualan dan mempersiapkan segala sesuatunya."Rika sudah bilang kalau ibu belum begitu pulih, kenapa masih nekat jualan juga. Kalau ibu tidak punya uang katakan saja Rika akan kasih sama ibu. Jangan sampai ibu sakit seperti kemarin lagi, belum lagi ibu baru mendapat perlakuan buruk dari Elis, bagaimana kalau dia melakukan hal lebih parah dari ini....." Entah apa yang ibu tiriku cari. Uang setiap bulan selalu ku sisihkan untuknya, dan lagi Pak Dono juga menafkahi, lalu kenapa beliau ngotot ingin berjualan. Sebenarnya ada maksud tersembunyi apa yang tidak aku ketahui.Ibu Marni terlihat kesal padaku "Memang kamu pikir duit segitu cukup buat ibu? Asal kamu tau uang yang kamu beri nggak cukup buat ke salon. Suami ibu juga paling cuma kasih berapa itu pun kalau pas lagi rame kalau sepi ya nggak ada duit. Lagian kamu kenapa sih ibu mau
"Mas.....duduk dulu sebentar aku mau bicara."Mas Darwin baru saja masuk langsung terduduk di sampingku seraya merangkulku, seolah dia tak punyai salah sama sekali. Terkadang hati tak percaya atas pemikiranku dalam sesaat, akan tetapi setalah mata ini melihat secara langsung hati pun mulai gelisah. Berdosa kah aku jika mencurigai suamiku sendir atas semua tingkah laku mencurigakan suamiku dan juga ibu tiriku? apakah salah jika aku menaruh curiga pada mereka? Dan apakah semua yang ku pikirkan adalah benar ataukah semua hanya kecemasaan semata? Entahlah, hatiku sangat kalut sekali. Pada dasarnya rasa percaya ini telah tiada. Berulang kali ingin ku tanyakan tapi mulut serasa terkunci rapat. Jika tidak bertanya akan tersesat oleh pemikiranku sendiri."Kamu mau bicara tentang apa, sayang? Katakan saja suamimu siap mendengarnya...." Sembari melebarkan senyum. Seperti biasa mas Darwin masih memperlihatkan sikap manisnya padaku. membuat lisan seolah tak sampai berucap.Tiba-tiba saja tercium
Darwin mulai gelisah mengingat tidak mudah baginya untuk kembali memupuk rasa percaya dalam diri sang istri. Sesungguhnya kepercayaan itu sangatlah tipis setipis lembaran tisu, kapan saja bisa robek setelah badai menerpa. Sebagian besar orang menyepelekan senyum dalam sakit meski arti dalam senyuman teramat pahit. Satu hal yang paling mengerikan adalah ketika senyum dalam kepahitan, itu akan menghapus semua kebaikkanmu dalam hatinya.Menjaga kepercayaan tidak semudah ketika menghancurkan. Di saat semua telah hancur tidak akan ada lagi yang tersisa. Percayalah, sesuatu yang telah hilang tidak akan mungkin pernah kembali lagi walau sampai menangis darah sekali pun. Kesempatan kedua tidak di peruntukkan kepada setiap manusia, hanya beberapa orang saja yang berkesempatan mendapatkannya.Jadilah manusia pemberi kesempatan tapi jangan pernah mengemis kesempatan dari lawan main kita. Daun jatuh tetaplah daun, tapi ranting yang yang tumbang akan rapuh. Menjaga diri adalah harga terbaik dalam
Menoleh kesamping menatap punggung Marni yang sedari tadi meringkuk sembari menangis sesenggukan. Semakin lama suara isak tangis Marni membuat Ridho mulai geram. Setiap kali menyentuh wanita parubaya tersebut selalu ada tangis air mata, entah salahnya di mana yang jelas ia begitu kesal. Setiap gerakan tidak pernah seirama dengan gerak tubuh seolah tak dapat menikmati setiap sentuhan. "Apa kamu merasa keberatan melayaniku, Marni?" Tanya Ridho sedikit kesal.Tak ada jawaban dan isak tangis mulai mereda. Marni takut jikalau sampai kejadian beberapa bulan lalu kembali terjadi padanya. Menjadi momok paling mengerikan seumur hidup, bahkan tidak akan pernah terlupakan. Kebrutan Ridho beserta teman brandalannya itu ssngat menorehkan kengerikan sehingga truma berkepanjangan."Jawab aku jangan hanya diam saja? memang kurang apa sampai kamu tidak menikmatinya sama sekali?" Lagi lagi tak ada jawaban hanya isak tangis terdengar lirih.Mendengar nada bicara Ridho mulai meninggi, jelas Marni merasa
"Katakan apakah semua yang di katakan Ridho itu benar?" Menatap tajam mata sang istri dengan kedua tangan mengepal erat. Tabiat buruk Marni tidak selamanya tertutup rapat pasti akan ada celah bagi kebenaran mengungkap segalanya.Mencengkeram dagu Marni "Berani sekali kamu mempermainkan hubungan kita. Apa kamu sudah bosan hidup, ha?" Seketika Dono tidak dapat mengontrol amarah dalam hatinya, mengingat Marni tidak membantah bahwa dia dan Ridho telah berhubungan badan. Hanya pembelaan diri saja tentu tidak cukup membuat Dono kembali percaya.Marni terus berupaya meyakinkan Dono bahwa semua perkataan Ridho tidaklah benar. Segala alasan telah ia coba rangkai demi menutupi hubungan asmara terlarangnya itu. "Percaya padaku, mas. Semua hanya karangan Ridho semata demi terlepas dari kesalahannya. Sebenarnya dia yang telah membuatku sampai masuk rumah sakit beberapa bulan lalu. Dia bersama tiga teman brandalnya telah menodai diriku, mereka telah menyakiti harga diriku (Terisak). Sumpah demi Tuh
Beberapa saat kemudian. Aku berusaha membangunkan ibu Marni dengan susah payah, tetapi beliau tak kunjung sadarkan diri. Karena mas Ridwan sedang pergi entah kemana akhirnya kuputuskan mencari bantuan para tetangga "Pak, bu tolong bantu saya angkat ibu Marni ke dalam kamar. Beliau jatuh pingsan. Tolong saya pak, bu saya mohon." Dengan panik aku meminta tetangga samping rumah, namun mereka menolak sampai pintu rumah langsung mereka tutup rapat. "Mungkin kalau bukan si nenek lampir itu kita sudah pasti bantu mbak Rika, tapi kalau si nenek lampir itu kita nggak perduli. Biarkan saja dia bantu dirinya sendiri, toh selama ini dia tidak pernah bersikap baik terhadap tetangga. Dia kira hidup bisa sendiri? Sekarang baru tau rasa dia..." Ucap tetangga tadi kepada suaminya.Sang suami mengintai dari tirai jendela "Bapak juga kasihan sih buk lihat Neng Rika lari kesana kemari meminta bantuan, tapi mengingat perilaku si Marni bikin ubun-ubun serasa mendidih. Bapak ingat waktu dulu anak kita sakit
Beberapa hari kemudian. Hari demi hari terasa sesak memenuhi dada, setiap menitnya tak kuluangkan waktu untuk tidak mengawasi gerak gerik ibu Marni dengan suamiku. Rasa ini sangat memberatkanku, hati was-was membebani pikiran."Sampai kapan kewarasanku di uji coba oleh rendahnya kepercayaan? Rasa ingin kusudahi prasangka ini, akan tetapi hati tak mampu aku kuasai. Sungguh aku tak bisa menahan sakitnya lagi." Memeluk diri sendiri adalah pilihan akhir setelah bersedih. Yang bisa di lakukan wanita yatim piatu seepertiku tidak lain hanya menguatkan diri sendiri, tanpa ada sandaran bahu ternyaman. Seandainya saja kedua orang tuaku masih bersanding bersamaku, akan kupastikan lukaku telah terbagi dengan mereka."Tuhan, sampaikan pada mahluk-Mu yang telah Engkau ambil dariku, katakan pada mereka bahwa aku sangat merindu." Air mata perlahan membasahi pipi.Memang selama beberapa hari ini setelah ibu Marni kembali tinggal bersama kami, tidak sekali pun kulihat mas Darwin berbicara dengan belia