"Mas.....duduk dulu sebentar aku mau bicara."Mas Darwin baru saja masuk langsung terduduk di sampingku seraya merangkulku, seolah dia tak punyai salah sama sekali. Terkadang hati tak percaya atas pemikiranku dalam sesaat, akan tetapi setalah mata ini melihat secara langsung hati pun mulai gelisah. Berdosa kah aku jika mencurigai suamiku sendir atas semua tingkah laku mencurigakan suamiku dan juga ibu tiriku? apakah salah jika aku menaruh curiga pada mereka? Dan apakah semua yang ku pikirkan adalah benar ataukah semua hanya kecemasaan semata? Entahlah, hatiku sangat kalut sekali. Pada dasarnya rasa percaya ini telah tiada. Berulang kali ingin ku tanyakan tapi mulut serasa terkunci rapat. Jika tidak bertanya akan tersesat oleh pemikiranku sendiri."Kamu mau bicara tentang apa, sayang? Katakan saja suamimu siap mendengarnya...." Sembari melebarkan senyum. Seperti biasa mas Darwin masih memperlihatkan sikap manisnya padaku. membuat lisan seolah tak sampai berucap.Tiba-tiba saja tercium
Darwin mulai gelisah mengingat tidak mudah baginya untuk kembali memupuk rasa percaya dalam diri sang istri. Sesungguhnya kepercayaan itu sangatlah tipis setipis lembaran tisu, kapan saja bisa robek setelah badai menerpa. Sebagian besar orang menyepelekan senyum dalam sakit meski arti dalam senyuman teramat pahit. Satu hal yang paling mengerikan adalah ketika senyum dalam kepahitan, itu akan menghapus semua kebaikkanmu dalam hatinya.Menjaga kepercayaan tidak semudah ketika menghancurkan. Di saat semua telah hancur tidak akan ada lagi yang tersisa. Percayalah, sesuatu yang telah hilang tidak akan mungkin pernah kembali lagi walau sampai menangis darah sekali pun. Kesempatan kedua tidak di peruntukkan kepada setiap manusia, hanya beberapa orang saja yang berkesempatan mendapatkannya.Jadilah manusia pemberi kesempatan tapi jangan pernah mengemis kesempatan dari lawan main kita. Daun jatuh tetaplah daun, tapi ranting yang yang tumbang akan rapuh. Menjaga diri adalah harga terbaik dalam
Menoleh kesamping menatap punggung Marni yang sedari tadi meringkuk sembari menangis sesenggukan. Semakin lama suara isak tangis Marni membuat Ridho mulai geram. Setiap kali menyentuh wanita parubaya tersebut selalu ada tangis air mata, entah salahnya di mana yang jelas ia begitu kesal. Setiap gerakan tidak pernah seirama dengan gerak tubuh seolah tak dapat menikmati setiap sentuhan. "Apa kamu merasa keberatan melayaniku, Marni?" Tanya Ridho sedikit kesal.Tak ada jawaban dan isak tangis mulai mereda. Marni takut jikalau sampai kejadian beberapa bulan lalu kembali terjadi padanya. Menjadi momok paling mengerikan seumur hidup, bahkan tidak akan pernah terlupakan. Kebrutan Ridho beserta teman brandalannya itu ssngat menorehkan kengerikan sehingga truma berkepanjangan."Jawab aku jangan hanya diam saja? memang kurang apa sampai kamu tidak menikmatinya sama sekali?" Lagi lagi tak ada jawaban hanya isak tangis terdengar lirih.Mendengar nada bicara Ridho mulai meninggi, jelas Marni merasa
"Katakan apakah semua yang di katakan Ridho itu benar?" Menatap tajam mata sang istri dengan kedua tangan mengepal erat. Tabiat buruk Marni tidak selamanya tertutup rapat pasti akan ada celah bagi kebenaran mengungkap segalanya.Mencengkeram dagu Marni "Berani sekali kamu mempermainkan hubungan kita. Apa kamu sudah bosan hidup, ha?" Seketika Dono tidak dapat mengontrol amarah dalam hatinya, mengingat Marni tidak membantah bahwa dia dan Ridho telah berhubungan badan. Hanya pembelaan diri saja tentu tidak cukup membuat Dono kembali percaya.Marni terus berupaya meyakinkan Dono bahwa semua perkataan Ridho tidaklah benar. Segala alasan telah ia coba rangkai demi menutupi hubungan asmara terlarangnya itu. "Percaya padaku, mas. Semua hanya karangan Ridho semata demi terlepas dari kesalahannya. Sebenarnya dia yang telah membuatku sampai masuk rumah sakit beberapa bulan lalu. Dia bersama tiga teman brandalnya telah menodai diriku, mereka telah menyakiti harga diriku (Terisak). Sumpah demi Tuh
Beberapa saat kemudian. Aku berusaha membangunkan ibu Marni dengan susah payah, tetapi beliau tak kunjung sadarkan diri. Karena mas Ridwan sedang pergi entah kemana akhirnya kuputuskan mencari bantuan para tetangga "Pak, bu tolong bantu saya angkat ibu Marni ke dalam kamar. Beliau jatuh pingsan. Tolong saya pak, bu saya mohon." Dengan panik aku meminta tetangga samping rumah, namun mereka menolak sampai pintu rumah langsung mereka tutup rapat. "Mungkin kalau bukan si nenek lampir itu kita sudah pasti bantu mbak Rika, tapi kalau si nenek lampir itu kita nggak perduli. Biarkan saja dia bantu dirinya sendiri, toh selama ini dia tidak pernah bersikap baik terhadap tetangga. Dia kira hidup bisa sendiri? Sekarang baru tau rasa dia..." Ucap tetangga tadi kepada suaminya.Sang suami mengintai dari tirai jendela "Bapak juga kasihan sih buk lihat Neng Rika lari kesana kemari meminta bantuan, tapi mengingat perilaku si Marni bikin ubun-ubun serasa mendidih. Bapak ingat waktu dulu anak kita sakit
Beberapa hari kemudian. Hari demi hari terasa sesak memenuhi dada, setiap menitnya tak kuluangkan waktu untuk tidak mengawasi gerak gerik ibu Marni dengan suamiku. Rasa ini sangat memberatkanku, hati was-was membebani pikiran."Sampai kapan kewarasanku di uji coba oleh rendahnya kepercayaan? Rasa ingin kusudahi prasangka ini, akan tetapi hati tak mampu aku kuasai. Sungguh aku tak bisa menahan sakitnya lagi." Memeluk diri sendiri adalah pilihan akhir setelah bersedih. Yang bisa di lakukan wanita yatim piatu seepertiku tidak lain hanya menguatkan diri sendiri, tanpa ada sandaran bahu ternyaman. Seandainya saja kedua orang tuaku masih bersanding bersamaku, akan kupastikan lukaku telah terbagi dengan mereka."Tuhan, sampaikan pada mahluk-Mu yang telah Engkau ambil dariku, katakan pada mereka bahwa aku sangat merindu." Air mata perlahan membasahi pipi.Memang selama beberapa hari ini setelah ibu Marni kembali tinggal bersama kami, tidak sekali pun kulihat mas Darwin berbicara dengan belia
Kabar kembalinya ibu Marni langsung mencuat sampai ke seluruh komplek. Semakin hari para warga banyak memberiku nasehat agar tidak kembali menerima beliau tinggal di rumah kami. Bukan tanpa sebab, mereka banyak mempertimbangkan tentang hubungan gelap mas Darwin dengan ibu tiruku tersebut. Namun, semakin keras para tetangga memperingatiku maka semakin besar pula rasa gelisahku. Andaikan isu itu tidak pernah ada mungkin kehidupan kami tidak akan seperti sekarang. Sebelum adanya isu perselingkuhan itu kami bertiga hidup bahagia, tanpa ada rasa curiga atau pun cas sama sekali. Setelah semua terjadi barulah keharmonisan dalam keluarga kecil kami mulai terusik. Aku sangat tidak nyaman. Ingin sekali kubungkam mulut-mulut pedas tetanggaku itu, akan tetapi di sisi lain hatiku mulai goyah kembali. Segelintir orang mengatakan padaku bahwa beberapa kali kerap melihat ibu tiriku keluar masuk rumah kami ketika aku sedang tidak di rumah. Semua orang seolah telah mengetahui dengan mata telanjang tent
"Sial....rumah tangga gue jadi hancur semua karena ulah si Marni. Sumpah gue nyesel udah cerai sama Sari padahal dia wanita baik-baik. Dia tidak pernah mengeluh meski dalam kesulitan sekali pun. Akankah dia mau menerima gue kembali? Ah....pasti dia sangat membenciku sekarang." Setelah semua berakhir baru ia sadari bahwa cinta tidak cukup di pupuk dengan rasa saling suka, melainkan juga harus memilih hati mana yang tepat menerima segala kekurangan. Cinta tidak hanya mencari kesempurnaan melainkan menyempurnakan pasangan masing-masing.Sudah hampir setengah jam Dono mondar mandir di halaman rumah mantan istrinya, dengan sesekali melihat ke dalam rumah. Pintu rumah terbuka tapi tidak menunjukkan ada tanda orang di dalam. Biasanya ada suara tangis riuh anak kecil kini senyap seperti tidak berpenghuni. Terkadang kaki ingin melangkah masuk tapi malu dengan semua yang terjadi. Semua kesalahan telah ia tanam kepada keluarganya hanya demi seorang perusak. Pada akhirnya yang rusak bukan orang l
Bagaimana cara menjelaskan semua pada putraku, sungguh tidak bisa melihat harapannya hancur begitu saja. Mata yang tadi di penuhi kebahagiaan seketika sirna penuh air mata. Kaki mulai melemas menitikkan air mata sembari ku raih pusara mas Darwin "Bagaimana caraku menjelaskan semua pada Aska, mas? Andai bisa ku putar waktu aku tidak ingin kau pergi dengan cara seperti ini. Sekarang Aku harus bagaimana? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan orang lain saja yang mendonorkan jantung untuk Aska, kenap harus kamu, kenapa? Setelah semua kejadian ini bagaimana caraku menghindari tatapan putraku sendiri, mungkin setelah ini dia akan sangat membenciku. Hati ku sakit melihatnya hancur. Aku takut, mas. Bagaimana jika dia membenci ku setelah ini? Sungguh aku tidak sanggup di benci olehnya," Wajah tertunduk lesu tidak tau harus berbuat apa. Semua memang salah ku, seharunya tidak pernah memberi jarak pada mereka supaya semua tidak seperti sekarang."Kebaikan mu akan selalu ku ingat dalam seumur hidup, tap
Dua hari kemudian.Sesuai janji ku pada Aska, tepatnya selasa pagi kami mengajaknya bertemu dengan Mas Darwin. Meski seluruh dunia mengetahui bahwa orang mati tidak bisa bangkit kembali ke dunia manusia. Aku menyadari bahwa harapan besar mereka bertemu sangatlah mustahil. Setiap saat hati terasa gelisah takut putraku kecewa atas kenyataan pahit ini, semua memang bukan mau ku, semua atas keputusan mas Darwin sendiri, sejauh kebencianku terhadapnya sedikit pun tidak pernah menganggapnya benar, sehingga pada saat dia memberikan jantungnya pada putra kandungnya sendiri, di situlah baru aku menyadari bahwa seburuk apa pun seorang mantan suami dia tetap ayah terbaik bagi anak-anak. Sejauh apa pun sakit hati membawa kita, hubungan yang sudah terjalin tidak akan pernah terhapus oleh banyaknya dosa. Masa lalu tetap meninggalkan kenangan walau tidak untuk di perjuangkan. Wahai mantan jadilah masa lalu terbaik jangan kotori masa lalu seseorang dengan penuh kebencian. Merasa jatuh cinta dan menci
Satu minggu kemudian kondisi Aska perlahan mulai membaik. Hari ini Dokter memberi kabar gembira bahwa putra kami sudah di perbolehkan pulang. Dengan kondisi Aska sekarang tentunya ia banyak di batasi oleh dokter, sebelum benar-benar sembuh ia tidak boleh keluar rumah bahkan sekedar sekolah pun belum di ijinkan. Sebagai seorang ibu jelas hati sangat bahagia sekaligus cemas, bagaimana jika Aska bosan ingin bertemu teman-temannya? tidak mungkin dia terus di rumah sepanjang hari di tambah lagi kami juga banyak kerjaan pasti dia sangat kesepian."Jangan lupa di minum obatnya, kamu tidak boleh terlalu beraktifitas dulu. Sementara waktu kamu duduk di kursi roda dulu, baru setelah selesai kamu bisa kembali bersekolah." Jelas Dokter.Mengulurkan tangan "Kami sangat berterima kasih atas segalanya, Dok. Kalau begitu kami pamit pulang"Usai menebus obat kami pun pulang. Sepanjang jalan pukang entah kenap Aska terus diam tanpa kata. Mungkinkah dia memikirkan sesuatu? Coba ku tanyakan pelan padanya
"Sayang coba lihat itu....." Mas Candra menunjuk sebrang jalan di mana seorang wanita berlari tertatih tanpa busana. Rambut terurai lusuh membuatku sulit mengenalinya, namun setelah mengamati seksama ternyata wanita itu adalah ibu Marni. Tidak jauh dari tempat beliau terlihat dua pria mengejarnya. Pria itu nampak begitu sangar berpenampilan preman dan bertubuh tinggi besar."Mas, itu ibu Marni....." Tanpa ragu kami pun menepi berusaha mengejar beliau sebisa dan sekuat kami. Sempai pada akhirnya bu Marni terjatuh, kedua pria berpenampilan preman tadi berusaha memaksa Bu Marni.Melihat beliau meronta dengan kondisi seperti itu tentu kedua pria itu bukan orang baik "Tolong......maling....." Mencari cara untuk meminta bantuan warga dan orang sekitar dengan berteriak maling. Benar saja beberapa orang berbondong ke arah kami lalu mengejar kedua pria tersebut. Awalnya mereka hendak membawa Ibu Marni, namun karena langkah kaki beliau tertatih membuat mereka memutuskan meninggalkan begitu saja
"Tidak, jangan, pergi kalian...Tolong..." Marni berteriak kencang ketika ada beberapa preman mengejarnya. Ketika duduk di tepi jalan tiba-tiba tiga orang berpakaian preman menghampiri lalu menyeretnya ke dalam mobil. Sembari meronta Marni terus berharap ada salah satu orang baik bisa menolongnya, namun siapa sangka tidak ada satu pun orang perduli. Mungkin bisa di katakan hukum karma masih berlaku padanya. Salah seorang pria berkulit hitam mata besar langsung membungkam mulutnya sampai tak bersuara. Sesekali terdengar suara dering ponsel dari salah satu preman."Kita sudah berhasil, bos." ucapnya sembari tersenyum girang ke arah Marni.Sejak memutuskan pergi dari Darwin, kini kehidupan Marni semakin sulit. Setiap hari berjalan lontang-lantung tanpa tujuan, semua tempat telah ia datangi demi mencari kerja atau sekedar numpang berteduh, namun hampir semua orang menolak, siapa yang mau menerima orang dengan penampilan compang-camping dan rambut kusut seperti tidak pernah di sisir. Banyak
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k
Brug....."Aska...." Menjerit sekencang mungkin. Dunia seakan berhenti berputar. Gelap terasa menutup hati. Tidak sekali pun terpikir akan terjadi musibah besar pada putraku."Tidak....." Air mata terurai lepas. Jerit tangis mulai mengalihkan banyak pasang mata.Betapa hancur hati ini melihat pemandangan mengerikan baru menimpa putraku. Ketika ia hendak menyebrang dari arah berlawanan ada truk kontainer melintas kencang, sampai akhirnya menghantam putraku. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Mata ini menyaksikan darah bercucuran sampai tubuh serasa lemas tak bertenaga. Kaki sulit di gerakkan. Tatapanku terus tertuju pada Aska yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Tuhan....Aska." Di susul teriakan mas Candra.Air mataku pecah ketika kerumunan orang menutupi pandangan. Mas Candra lantas menghampiriku. Memelukku lalu membawaku ke sebrang jalan."Mas anak kita, mas. Dia...." Mulut bergetar hebat sampai tak sanggup lagi berkata-kata.Tatapan mas Candra tidak seperti biasa
Beberapa hari kemudian.Bertepatan hari libur kami sekeluarga menyempatkan waktu jogging, demi kesehatan bersama. Mentari mulai menyapu wajah. Sesekali menyeka keringat "Rasanya matahari pagi begitu terik seperti membakar kulit..." Ucapku sembari terus berlari kecil.Cuaca pagi begitu cerah. Langit membiru di sertai gumpalan awan putih. Suara bising kendaraan sedikit menggangu pendengaran, wajar saja hari libur banyak orang keluar rumah sekedar cari makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya.Mas Candra menolehku "Baru berapa putran sudah mengeluh. Kasihan matahari jadi takut sama keluhanmu...." Celetuknya semakin mempercepat laju kaki."Ih kok malah ngejek sih, awas kamu mas...." Kami bermain kejar kucing tikus seperti masa kanak-kanak.Tanpa sengaja aku melihat Aska tengah duduk dengan seseorang. Topi bulat warna coklat kusam menghalangi wajah pria di samping putraku itu. Kebetulan hari minggu kami sekeluarga selalu meluangkan waktu berolahraga. Tadinya Aska ikut jogging tapi entah ken
Tengah hari terlihat Darwin berdiri sembari melihat sebrang jalan. Jam sekolah segera berakhir, ia terus menunggu meski terik membakar kulit. Berulang kali menyeka keringat dengan pandangan terfokus pada sekolah tersebut. Ia tidak berniat berdagang di area sekolah hanya sekedar menunggu seseorang. Melihat jalanan semakin ramai kendaraan berlalu-lalang ia memilih duduk sejenak. Matahari siang sangat panas sekali, keringat bercucuran membasahi wajah. Berulang kaki mengibas topi bututnya untuk mendapat angin.Dari jauh salah seorang pedangan melihatnya. "Itu bukannya tukang jagung serut itu bro...." Bertanya pada salah seorang pedangan juga."Iya. Mau apa dia kemari, kepala sekolah tidak mengijinkan dia berjualan di sini masih mau nekat juga tuh orang...." Sambung salah seorang.Kebetukan pak satpam sedang jajan cilok lalu melihat ke tepi jalan "Sebenarnya dia sudah bisa berjualan di sini bersama kalian, tapi dia menolak. Dua minggu lalu dia menolong salah satu murid di sini, mungkin kal