“Lepaskan dia!”
Sontak perempuan itu terperangah. Tapi dia tak segera menyerah. Anak perempuan tersebut menangis tertahan.
“Hei, kamu itu siapa? Ini anak saya. Terserah saya mau apain anak saya!”
“Anakmu? Mana ada ibu sepertimu? Memukul-mukul anaknya sendiri,” tukas Adhira membara.
“Eh, kamu itu siapa sih? Tidak usah mengurusi saya.”
Perempuan tadi segera menggendong balita perempuan tersebut dari bawah terminal. Seolah ujaran Adhira tak berarti, dia kembali menuntaskan misinya mengemis di jalanan.
Adhira makin keki. Dia menyusul ibu tadi ke jalanan. Saat ibu tadi berhenti di sebuah mobil sedan putih, Adhira segera mengetuk jendela mobil itu. Tanpa disangka di dalamnya ada Pak Wisman. Yang duduk di bangku belakang tak lain adalah Ervan. Perselisihan antara perempuan dan Adhira belum sulut saat dia menadah tangannya di depan kaca.
“Jangan dikasih!” Adhira langsung berkata lant
“Ada sekitar lima puluh nama yang ada direkomendasikan pihak sekolah.” Seorang laki-laki menyodorkan satu map yang berisikan nama serta prestasi dari orang-orang yang akan dijadikan tutor untuk Ervan.Haris Sadana yang merupakan pengusaha terkemuka di kota itu tampak tak tertarik melihat nama-nama tersebut. Matanya sibuk mengamati grafik penjualan di layar komputernya.“Minta Tamara hubungi saya,” ucapnya pada pelayan laki-laki itu.Telepon berdering beberapa menit kemudian. Haris segera menerimanya. “Ervan butuh tutor untuk pelajaran matematikanya.”“Ya, Profesor Alan udah minta saya untuk membuat daftar nama tutor.” Tamara menjawab dari ujung telepon sana.“Kamu menyuruhku membaca lima puluh nama. Sama saja menyuruhku mencari sendiri. Kamu kan gurunya, kamu saja yang menjadi tutor.”Suara tawa Bu Tamara terdengar dari telepon.“Kamu keberatan?”“Say
“Daffin!”Suara khas itu bergema dari arah luar. Walau Ervan tak pernah bersikap terlalu ekspresif, tapi kali ini keterkejutannya tak lagi bisa tertutupi. Dia memandang Adhira tak percaya.“Kenapa? Terkejut ya?” ujar Adhira. Dia melangkah masuk ke rumah beraroma lavender itu tanpa dipersilakan.“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ervan.“Apa lagi? Menjadi guru lesmu tentu aja.”Ervan antara meremehkan bercampur resah. Mereka sama-sama tahu kalau Adhira hanya memiliki kelebihan di bidang matematika dan Ervan tentu saja sangat lemah di mata pelajaran itu.“Kamu sepertinya masih belum bisa terima ya?” timpal Adhira. “Aku juga sebetulnya tak punya pilihan. Kamu tahu betapa sulitnya soal ujian yang dikasih Bu Tamara waktu proses perekrutan? Dia benar-benar tidak berperikemanusiaan.”Adhira menjelajahi bagian dapur dan meraup makanan sendiri.“Tapi tak a
Ketidakdisiplinan Adhira tampaknya tak pernah bisa terbendung oleh sejuta peraturan yang dibuat sekolahnya itu. Hari ini Adhira kembali masuk terlambat. Karena tahu akan dihukum, sebuah ukulele hitam telah diselempangkan ke bahunya. Dia siap bernyanyi jika memang diminta bernyanyi. Bahkan Adhira juga melapisi wajahnya dengan tabir surya, jaga-jaga kalau diminta untuk berdiri di bawah tiang bendera.“Adhira! Kamu ini belum jera juga ternyata,” oceh Bu Kara yang tengah membagikan balok sabun ke masing-masing murid. “Tiap kali pelajaran saya kamu selalu terlambat.”Adhira juga tidak pernah memprediksi kalau dirinya akan selalu terlambat di pelajaran guru kesenian itu. Bu Kara menghela napasnya pasrah. Dia sudah melihat Adhira masuk dengan alat musik kecil itu.“Jadi, kamu mau nyanyi lagi?”Adhira mengangguk. Teman-teman yang lain langsung bersorak. Meski setiap kali selalu kesal dengan suara sumbang Adhira, mereka senang a
Satu bulan berselang sejak hari itu. Semakin dekat dengan hari ujian, semakin banyak juga tugas dan materi yang harus mereka kerjakan. Bu Tamara masuk ke kelas dengan membawa hasil tugas matematika mereka. Dia merekah puas saat melihat nilai di buku tugas Ervan. Adhira hanya tersenyum diam-diam dari belakang. Usahanya membuat nilai Ervan meningkat tidak sia-sia.“Waktu ujian akan tiba sebentar lagi. Kalian harus lebih giat dalam minggu-minggu ini. Jangan sampai ada yang gagal di pelajaran ini.”Bu Tamara kemudian memberikan materi lanjutan. Dia mendekati Adhira dan menyerahkan buku kelima yang berisi materi kalkulus. Seperti biasa Adhira hanya akan menghabiskan waktunya mengerjakan deretan soal itu. Janji Bu Tamara di akhir tahun adalah mengikutsertakan dirinya dalam perlombaan tingkat nasional itu dan sejauh ini Adhira berhasil menggenggam semua prestasinya di bidang pelajaran tadi.Namun hati kecil Adhira sedikit cemas. Jika memang Ervan sudah bisa
“Daffin! Hari ini kita belajar di luar,” ujar Adhira saat mereka keluar dari gerbang sekolah.Kerutan di kening Ervan terangkat.“Iya, aku sudah minta izin dengan Bu Tamara. Katanya kita bisa belajar di tempat lain. Kata Kuswan, kafe baru yang buka dekat sini lumayan cozy. Kita ke sana yuk,” ajak Adhira.Ervan masih separuh percaya akan ajakan muluk tadi.“Sudah, ayok, ikut saja. Tidak jauh kok.” Adhira langsung menarik tangan Ervan menuju ke jalan yang ada di samping sekolah.Mereka melalui jalan yang berbeda dari jalan pulang. Sesampai di perempatan, mereka berdua menaiki bus dan berjalan menyusuri salah satu kafe baru yang disebutkan Kuswan itu.“Kamu pasti tidak pernah naik bus kan?”Tentu saja Keluarga Sadana tidak pernah membiarkan Ervan berada dalam situasi seperti ini. Bahkan Ervan tidak bisa berdiri dengan mantap ketika bus yang mereka tumpangi melaju secara tiba-tiba.
“Ssst, apa kamu pernah menculik orang?”Ervan tercengang tanpa suara. Dia mengernyit ke arah balita tadi penuh tanya. Terlihat anak perempuan tadi balas memandangnya dengan ekspresi ngeri. Terlebih setelah mendapati sikap Ervan yang sangat dingin dan tak bersahabat itu.“Jangan tegang begitu.”Bisa-bisanya Adhira tertawa terhadap masalah serius ini. Ervan menoleh ke terminal tempat anak perempuan tadi ditemukan. Tak lama kemudian pelayan perempuan datang membawa pesanan mereka.“Kamu mau es krim?” tanya Adhira pada anak kecil tersebut.Dengan pelan anak tadi mengangguk.“Aku minta es krim cokelatnya satu,” ujar Adhira.“Mengapa kamu bawa dia kemari?” tanya Ervan seraya menyedot minumannya.“Kamu sudah lihat kan bagaimana kemarin pengemis perempuan itu memukulinya. Aku yakin anak ini bukan anaknya. Mereka hanya menjadikan anak ini perangkat untuk mendapatkan uang,
“Laila menghilang setahun lalu. Kami sudah mencarinya ke mana-mana. Sejak lahir Laila sudah ditinggalkan ibunya. Seorang teman membawanya ke tempat ini waktu umurnya masih dua bulan setengah.” Bunda Safira mulai bercerita. “Tak disangka ternyata Laila dibawa oleh komplotan gepeng itu buat jadi properti. Untung kalian bisa ketemu.” Adhira duduk mendengar cerita tadi dengan saksama. Dia sendiri tidak tahu kalau sejak awal anak kecil itu memang sudah tak memiliki orang tua. “Bagaimana dia bisa dibawa para pengamen itu?” “Waktu itu sedang ada pesta penyambutan ketua yayasan, karena sibuk, Laila dititipin ke anak-anak yang sudah agak besar. Terus waktu acara sudah selesai baru sadar Laila menghilang,” lanjut Bunda Safira. “Kami berusaha mencarinya ke semua tempat, tapi tak menemukannya. Karena ada audit dari dinas sosial, nama anak-anak yang menghilang harus dihapus dari daftar. Sekarang karena kalian sudah bawa dia kembali, Bunda rasa nanti kalian bisa ja
Adhira masuk lebih awal hari ini. Langkahnya bahkan dipercepat dengan Kiara yang sengaja memberinya ongkos bus.“Kak Adhira naik bus saja, Kiara mau lari ke sekolah,” ujar Kiara seraya menyerahkan kartu bus yang biasa selalu dipakainya itu.“Yakin? Tidak mau ditemani berlari?”Kiara menggeleng. “Waktu perlombaan tinggal sebulan lagi. Harus latihan tiap hari biar kakinya bisa kuat.”“Ya sudah, jangan lupa makan juga ya.”Adhira mengelus kepala Kiara dengan lembut seraya melepaskannya berjalan ke sekolah. Hari ini langit tampak lebih cerah dari biasanya. Bus yang ditumpanginya juga tampak lebih lengang. Adhira mengambil tempat di depan dan tiba di gerbang sekolah setengah jam lebih awal.Belum banyak murid yang hadir di kelas. Ingvar berpapasan dengan Adhira, tapi kemudian menghindar darinya.“Ingvar,” sela Adhira. “Kartu aksesmu.”Ingvar berhenti dan menerim