Ketidakdisiplinan Adhira tampaknya tak pernah bisa terbendung oleh sejuta peraturan yang dibuat sekolahnya itu. Hari ini Adhira kembali masuk terlambat. Karena tahu akan dihukum, sebuah ukulele hitam telah diselempangkan ke bahunya. Dia siap bernyanyi jika memang diminta bernyanyi. Bahkan Adhira juga melapisi wajahnya dengan tabir surya, jaga-jaga kalau diminta untuk berdiri di bawah tiang bendera.
“Adhira! Kamu ini belum jera juga ternyata,” oceh Bu Kara yang tengah membagikan balok sabun ke masing-masing murid. “Tiap kali pelajaran saya kamu selalu terlambat.”
Adhira juga tidak pernah memprediksi kalau dirinya akan selalu terlambat di pelajaran guru kesenian itu. Bu Kara menghela napasnya pasrah. Dia sudah melihat Adhira masuk dengan alat musik kecil itu.
“Jadi, kamu mau nyanyi lagi?”
Adhira mengangguk. Teman-teman yang lain langsung bersorak. Meski setiap kali selalu kesal dengan suara sumbang Adhira, mereka senang a
Satu bulan berselang sejak hari itu. Semakin dekat dengan hari ujian, semakin banyak juga tugas dan materi yang harus mereka kerjakan. Bu Tamara masuk ke kelas dengan membawa hasil tugas matematika mereka. Dia merekah puas saat melihat nilai di buku tugas Ervan. Adhira hanya tersenyum diam-diam dari belakang. Usahanya membuat nilai Ervan meningkat tidak sia-sia.“Waktu ujian akan tiba sebentar lagi. Kalian harus lebih giat dalam minggu-minggu ini. Jangan sampai ada yang gagal di pelajaran ini.”Bu Tamara kemudian memberikan materi lanjutan. Dia mendekati Adhira dan menyerahkan buku kelima yang berisi materi kalkulus. Seperti biasa Adhira hanya akan menghabiskan waktunya mengerjakan deretan soal itu. Janji Bu Tamara di akhir tahun adalah mengikutsertakan dirinya dalam perlombaan tingkat nasional itu dan sejauh ini Adhira berhasil menggenggam semua prestasinya di bidang pelajaran tadi.Namun hati kecil Adhira sedikit cemas. Jika memang Ervan sudah bisa
“Daffin! Hari ini kita belajar di luar,” ujar Adhira saat mereka keluar dari gerbang sekolah.Kerutan di kening Ervan terangkat.“Iya, aku sudah minta izin dengan Bu Tamara. Katanya kita bisa belajar di tempat lain. Kata Kuswan, kafe baru yang buka dekat sini lumayan cozy. Kita ke sana yuk,” ajak Adhira.Ervan masih separuh percaya akan ajakan muluk tadi.“Sudah, ayok, ikut saja. Tidak jauh kok.” Adhira langsung menarik tangan Ervan menuju ke jalan yang ada di samping sekolah.Mereka melalui jalan yang berbeda dari jalan pulang. Sesampai di perempatan, mereka berdua menaiki bus dan berjalan menyusuri salah satu kafe baru yang disebutkan Kuswan itu.“Kamu pasti tidak pernah naik bus kan?”Tentu saja Keluarga Sadana tidak pernah membiarkan Ervan berada dalam situasi seperti ini. Bahkan Ervan tidak bisa berdiri dengan mantap ketika bus yang mereka tumpangi melaju secara tiba-tiba.
“Ssst, apa kamu pernah menculik orang?”Ervan tercengang tanpa suara. Dia mengernyit ke arah balita tadi penuh tanya. Terlihat anak perempuan tadi balas memandangnya dengan ekspresi ngeri. Terlebih setelah mendapati sikap Ervan yang sangat dingin dan tak bersahabat itu.“Jangan tegang begitu.”Bisa-bisanya Adhira tertawa terhadap masalah serius ini. Ervan menoleh ke terminal tempat anak perempuan tadi ditemukan. Tak lama kemudian pelayan perempuan datang membawa pesanan mereka.“Kamu mau es krim?” tanya Adhira pada anak kecil tersebut.Dengan pelan anak tadi mengangguk.“Aku minta es krim cokelatnya satu,” ujar Adhira.“Mengapa kamu bawa dia kemari?” tanya Ervan seraya menyedot minumannya.“Kamu sudah lihat kan bagaimana kemarin pengemis perempuan itu memukulinya. Aku yakin anak ini bukan anaknya. Mereka hanya menjadikan anak ini perangkat untuk mendapatkan uang,
“Laila menghilang setahun lalu. Kami sudah mencarinya ke mana-mana. Sejak lahir Laila sudah ditinggalkan ibunya. Seorang teman membawanya ke tempat ini waktu umurnya masih dua bulan setengah.” Bunda Safira mulai bercerita. “Tak disangka ternyata Laila dibawa oleh komplotan gepeng itu buat jadi properti. Untung kalian bisa ketemu.” Adhira duduk mendengar cerita tadi dengan saksama. Dia sendiri tidak tahu kalau sejak awal anak kecil itu memang sudah tak memiliki orang tua. “Bagaimana dia bisa dibawa para pengamen itu?” “Waktu itu sedang ada pesta penyambutan ketua yayasan, karena sibuk, Laila dititipin ke anak-anak yang sudah agak besar. Terus waktu acara sudah selesai baru sadar Laila menghilang,” lanjut Bunda Safira. “Kami berusaha mencarinya ke semua tempat, tapi tak menemukannya. Karena ada audit dari dinas sosial, nama anak-anak yang menghilang harus dihapus dari daftar. Sekarang karena kalian sudah bawa dia kembali, Bunda rasa nanti kalian bisa ja
Adhira masuk lebih awal hari ini. Langkahnya bahkan dipercepat dengan Kiara yang sengaja memberinya ongkos bus.“Kak Adhira naik bus saja, Kiara mau lari ke sekolah,” ujar Kiara seraya menyerahkan kartu bus yang biasa selalu dipakainya itu.“Yakin? Tidak mau ditemani berlari?”Kiara menggeleng. “Waktu perlombaan tinggal sebulan lagi. Harus latihan tiap hari biar kakinya bisa kuat.”“Ya sudah, jangan lupa makan juga ya.”Adhira mengelus kepala Kiara dengan lembut seraya melepaskannya berjalan ke sekolah. Hari ini langit tampak lebih cerah dari biasanya. Bus yang ditumpanginya juga tampak lebih lengang. Adhira mengambil tempat di depan dan tiba di gerbang sekolah setengah jam lebih awal.Belum banyak murid yang hadir di kelas. Ingvar berpapasan dengan Adhira, tapi kemudian menghindar darinya.“Ingvar,” sela Adhira. “Kartu aksesmu.”Ingvar berhenti dan menerim
Setelah puas mengejek dan membuli Kuswan, Adhira pun menghampiri Ervan. Ekspresi usilnya selalu tercermin dari raut wajahnya. Namun hari ini Ervan tak terlihat ramah. Meski dia memang selalu dingin pada siapa pun, kali ini Ervan tampak berbeda. Dia menghindari Adhira bahkan saat Adhira duduk di sampingnya.Ervan beranjak dari Adhira saat jam istirahat agar tak perlu berpapasan dengannya lagi. Adhira tahu dia bisa menemukannya di Ruang Literal, tapi siang itu Ervan tidak ada di sana. Dia seperti hilang ditelan bumi.Bu Tamara melintas dengan membawa tumpukan buku tulis. Saat mereka berpapasan, Bu Tamara langsung meminta Adhira untuk ke ruang guru. Jam makan siang untuk keluarga Sadana akan dimulai tak berapa lama lagi. Jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdiskusi terlalu lama.“Adhira, kebetulan kita ketemu, saya hanya mau kasih tahu kalau kamu sudah tidak perlu jadi tutor lagi di tempat Ervan,” ucap Bu Tamara.Pemberitahuan tadi sejen
Waktu ujian pun tiba. Kelas terbagi menjadi dua jadwal. Tempat duduk diberi jarak dan diacak agar kesempatan menyontek bisa diminimalisir.Adhira mendarat di depan pintu kelas tepat ketika kertas ujian dibagikan ke mejanya.“Adhira, kamu terlambat lagi,” tegur Pak Heno yang kala itu menjadi pengawas ujian.“Kan belum mulai, Pak.” Adhira lagi-lagi membujuk guru yang berwajah sangar itu.Adhira langsung mengambil tempat di kursi paling depan. Tepat di belakangnya ada Ervan. Adhira menoleh seraya berkedip menyemangati. Ketegangan Ervan pada ujian kali ini membuatnya hanya membalas cengiran Adhira dengan tatapan dingin.Soal dibagikan dari depan ke belakang. Jemari Ervan bergetar kuat saat dia menerima soal ujian tersebut.“Waktu ujian, dimulai dari sekarang!”Jam berdenting menandakan satu jam pertama ujian mereka telah dimulai. Suasana hening seketika. Ervan menarik napasnya dalam-dalam tetap mencoba
Seminggu masa ujian berlalu dengan sangat lambat. Liburan sekolah dimulai, tapi bagi Adhira, hari yang berat juga akan dimulai. Keberangkatannya menuju kota di timur sana akan ditempuh dalam beberapa jam lagi. Bahkan hingga saat ini Adhira tidak tahu apakah Ervan juga akan ikut atau tidak.“Kak Adhi!” Kiara memanggilnya dari lubang jendela gudang.Pagi itu Kiara membawakan satu tas penuh berisi makanan dan cemilan. Wajahnya berseri-seri.“Kak, ini ada makanan dari Mama. Katanya buat di perjalanan,” ucap Kiara.Biasanya Adhira tidak akan langsung percaya dengan kebaikan seperti itu. Itu hanya cara agar Adhira beranggapan baik tentang Tante Durga. Namun, beberapa bulan belakangan, Durga agak lebih kalem. Dia mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya sendiri tanpa meminta bantuan Adhira. Dia bahkan sudah mempekerjakan pelayan rumah tangga untuk membersihkan rumah—yang biasanya dilakukan Adhira.Ketika pesanan kue berdatangan