“Daffin!”
Suara khas itu bergema dari arah luar. Walau Ervan tak pernah bersikap terlalu ekspresif, tapi kali ini keterkejutannya tak lagi bisa tertutupi. Dia memandang Adhira tak percaya.
“Kenapa? Terkejut ya?” ujar Adhira. Dia melangkah masuk ke rumah beraroma lavender itu tanpa dipersilakan.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ervan.
“Apa lagi? Menjadi guru lesmu tentu aja.”
Ervan antara meremehkan bercampur resah. Mereka sama-sama tahu kalau Adhira hanya memiliki kelebihan di bidang matematika dan Ervan tentu saja sangat lemah di mata pelajaran itu.
“Kamu sepertinya masih belum bisa terima ya?” timpal Adhira. “Aku juga sebetulnya tak punya pilihan. Kamu tahu betapa sulitnya soal ujian yang dikasih Bu Tamara waktu proses perekrutan? Dia benar-benar tidak berperikemanusiaan.”
Adhira menjelajahi bagian dapur dan meraup makanan sendiri.
“Tapi tak a
Ketidakdisiplinan Adhira tampaknya tak pernah bisa terbendung oleh sejuta peraturan yang dibuat sekolahnya itu. Hari ini Adhira kembali masuk terlambat. Karena tahu akan dihukum, sebuah ukulele hitam telah diselempangkan ke bahunya. Dia siap bernyanyi jika memang diminta bernyanyi. Bahkan Adhira juga melapisi wajahnya dengan tabir surya, jaga-jaga kalau diminta untuk berdiri di bawah tiang bendera.“Adhira! Kamu ini belum jera juga ternyata,” oceh Bu Kara yang tengah membagikan balok sabun ke masing-masing murid. “Tiap kali pelajaran saya kamu selalu terlambat.”Adhira juga tidak pernah memprediksi kalau dirinya akan selalu terlambat di pelajaran guru kesenian itu. Bu Kara menghela napasnya pasrah. Dia sudah melihat Adhira masuk dengan alat musik kecil itu.“Jadi, kamu mau nyanyi lagi?”Adhira mengangguk. Teman-teman yang lain langsung bersorak. Meski setiap kali selalu kesal dengan suara sumbang Adhira, mereka senang a
Satu bulan berselang sejak hari itu. Semakin dekat dengan hari ujian, semakin banyak juga tugas dan materi yang harus mereka kerjakan. Bu Tamara masuk ke kelas dengan membawa hasil tugas matematika mereka. Dia merekah puas saat melihat nilai di buku tugas Ervan. Adhira hanya tersenyum diam-diam dari belakang. Usahanya membuat nilai Ervan meningkat tidak sia-sia.“Waktu ujian akan tiba sebentar lagi. Kalian harus lebih giat dalam minggu-minggu ini. Jangan sampai ada yang gagal di pelajaran ini.”Bu Tamara kemudian memberikan materi lanjutan. Dia mendekati Adhira dan menyerahkan buku kelima yang berisi materi kalkulus. Seperti biasa Adhira hanya akan menghabiskan waktunya mengerjakan deretan soal itu. Janji Bu Tamara di akhir tahun adalah mengikutsertakan dirinya dalam perlombaan tingkat nasional itu dan sejauh ini Adhira berhasil menggenggam semua prestasinya di bidang pelajaran tadi.Namun hati kecil Adhira sedikit cemas. Jika memang Ervan sudah bisa
“Daffin! Hari ini kita belajar di luar,” ujar Adhira saat mereka keluar dari gerbang sekolah.Kerutan di kening Ervan terangkat.“Iya, aku sudah minta izin dengan Bu Tamara. Katanya kita bisa belajar di tempat lain. Kata Kuswan, kafe baru yang buka dekat sini lumayan cozy. Kita ke sana yuk,” ajak Adhira.Ervan masih separuh percaya akan ajakan muluk tadi.“Sudah, ayok, ikut saja. Tidak jauh kok.” Adhira langsung menarik tangan Ervan menuju ke jalan yang ada di samping sekolah.Mereka melalui jalan yang berbeda dari jalan pulang. Sesampai di perempatan, mereka berdua menaiki bus dan berjalan menyusuri salah satu kafe baru yang disebutkan Kuswan itu.“Kamu pasti tidak pernah naik bus kan?”Tentu saja Keluarga Sadana tidak pernah membiarkan Ervan berada dalam situasi seperti ini. Bahkan Ervan tidak bisa berdiri dengan mantap ketika bus yang mereka tumpangi melaju secara tiba-tiba.
“Ssst, apa kamu pernah menculik orang?”Ervan tercengang tanpa suara. Dia mengernyit ke arah balita tadi penuh tanya. Terlihat anak perempuan tadi balas memandangnya dengan ekspresi ngeri. Terlebih setelah mendapati sikap Ervan yang sangat dingin dan tak bersahabat itu.“Jangan tegang begitu.”Bisa-bisanya Adhira tertawa terhadap masalah serius ini. Ervan menoleh ke terminal tempat anak perempuan tadi ditemukan. Tak lama kemudian pelayan perempuan datang membawa pesanan mereka.“Kamu mau es krim?” tanya Adhira pada anak kecil tersebut.Dengan pelan anak tadi mengangguk.“Aku minta es krim cokelatnya satu,” ujar Adhira.“Mengapa kamu bawa dia kemari?” tanya Ervan seraya menyedot minumannya.“Kamu sudah lihat kan bagaimana kemarin pengemis perempuan itu memukulinya. Aku yakin anak ini bukan anaknya. Mereka hanya menjadikan anak ini perangkat untuk mendapatkan uang,
“Laila menghilang setahun lalu. Kami sudah mencarinya ke mana-mana. Sejak lahir Laila sudah ditinggalkan ibunya. Seorang teman membawanya ke tempat ini waktu umurnya masih dua bulan setengah.” Bunda Safira mulai bercerita. “Tak disangka ternyata Laila dibawa oleh komplotan gepeng itu buat jadi properti. Untung kalian bisa ketemu.” Adhira duduk mendengar cerita tadi dengan saksama. Dia sendiri tidak tahu kalau sejak awal anak kecil itu memang sudah tak memiliki orang tua. “Bagaimana dia bisa dibawa para pengamen itu?” “Waktu itu sedang ada pesta penyambutan ketua yayasan, karena sibuk, Laila dititipin ke anak-anak yang sudah agak besar. Terus waktu acara sudah selesai baru sadar Laila menghilang,” lanjut Bunda Safira. “Kami berusaha mencarinya ke semua tempat, tapi tak menemukannya. Karena ada audit dari dinas sosial, nama anak-anak yang menghilang harus dihapus dari daftar. Sekarang karena kalian sudah bawa dia kembali, Bunda rasa nanti kalian bisa ja
Adhira masuk lebih awal hari ini. Langkahnya bahkan dipercepat dengan Kiara yang sengaja memberinya ongkos bus.“Kak Adhira naik bus saja, Kiara mau lari ke sekolah,” ujar Kiara seraya menyerahkan kartu bus yang biasa selalu dipakainya itu.“Yakin? Tidak mau ditemani berlari?”Kiara menggeleng. “Waktu perlombaan tinggal sebulan lagi. Harus latihan tiap hari biar kakinya bisa kuat.”“Ya sudah, jangan lupa makan juga ya.”Adhira mengelus kepala Kiara dengan lembut seraya melepaskannya berjalan ke sekolah. Hari ini langit tampak lebih cerah dari biasanya. Bus yang ditumpanginya juga tampak lebih lengang. Adhira mengambil tempat di depan dan tiba di gerbang sekolah setengah jam lebih awal.Belum banyak murid yang hadir di kelas. Ingvar berpapasan dengan Adhira, tapi kemudian menghindar darinya.“Ingvar,” sela Adhira. “Kartu aksesmu.”Ingvar berhenti dan menerim
Setelah puas mengejek dan membuli Kuswan, Adhira pun menghampiri Ervan. Ekspresi usilnya selalu tercermin dari raut wajahnya. Namun hari ini Ervan tak terlihat ramah. Meski dia memang selalu dingin pada siapa pun, kali ini Ervan tampak berbeda. Dia menghindari Adhira bahkan saat Adhira duduk di sampingnya.Ervan beranjak dari Adhira saat jam istirahat agar tak perlu berpapasan dengannya lagi. Adhira tahu dia bisa menemukannya di Ruang Literal, tapi siang itu Ervan tidak ada di sana. Dia seperti hilang ditelan bumi.Bu Tamara melintas dengan membawa tumpukan buku tulis. Saat mereka berpapasan, Bu Tamara langsung meminta Adhira untuk ke ruang guru. Jam makan siang untuk keluarga Sadana akan dimulai tak berapa lama lagi. Jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdiskusi terlalu lama.“Adhira, kebetulan kita ketemu, saya hanya mau kasih tahu kalau kamu sudah tidak perlu jadi tutor lagi di tempat Ervan,” ucap Bu Tamara.Pemberitahuan tadi sejen
Waktu ujian pun tiba. Kelas terbagi menjadi dua jadwal. Tempat duduk diberi jarak dan diacak agar kesempatan menyontek bisa diminimalisir.Adhira mendarat di depan pintu kelas tepat ketika kertas ujian dibagikan ke mejanya.“Adhira, kamu terlambat lagi,” tegur Pak Heno yang kala itu menjadi pengawas ujian.“Kan belum mulai, Pak.” Adhira lagi-lagi membujuk guru yang berwajah sangar itu.Adhira langsung mengambil tempat di kursi paling depan. Tepat di belakangnya ada Ervan. Adhira menoleh seraya berkedip menyemangati. Ketegangan Ervan pada ujian kali ini membuatnya hanya membalas cengiran Adhira dengan tatapan dingin.Soal dibagikan dari depan ke belakang. Jemari Ervan bergetar kuat saat dia menerima soal ujian tersebut.“Waktu ujian, dimulai dari sekarang!”Jam berdenting menandakan satu jam pertama ujian mereka telah dimulai. Suasana hening seketika. Ervan menarik napasnya dalam-dalam tetap mencoba
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A