“Laila menghilang setahun lalu. Kami sudah mencarinya ke mana-mana. Sejak lahir Laila sudah ditinggalkan ibunya. Seorang teman membawanya ke tempat ini waktu umurnya masih dua bulan setengah.” Bunda Safira mulai bercerita. “Tak disangka ternyata Laila dibawa oleh komplotan gepeng itu buat jadi properti. Untung kalian bisa ketemu.”
Adhira duduk mendengar cerita tadi dengan saksama. Dia sendiri tidak tahu kalau sejak awal anak kecil itu memang sudah tak memiliki orang tua.
“Bagaimana dia bisa dibawa para pengamen itu?”
“Waktu itu sedang ada pesta penyambutan ketua yayasan, karena sibuk, Laila dititipin ke anak-anak yang sudah agak besar. Terus waktu acara sudah selesai baru sadar Laila menghilang,” lanjut Bunda Safira.
“Kami berusaha mencarinya ke semua tempat, tapi tak menemukannya. Karena ada audit dari dinas sosial, nama anak-anak yang menghilang harus dihapus dari daftar. Sekarang karena kalian sudah bawa dia kembali, Bunda rasa nanti kalian bisa ja
Adhira masuk lebih awal hari ini. Langkahnya bahkan dipercepat dengan Kiara yang sengaja memberinya ongkos bus.“Kak Adhira naik bus saja, Kiara mau lari ke sekolah,” ujar Kiara seraya menyerahkan kartu bus yang biasa selalu dipakainya itu.“Yakin? Tidak mau ditemani berlari?”Kiara menggeleng. “Waktu perlombaan tinggal sebulan lagi. Harus latihan tiap hari biar kakinya bisa kuat.”“Ya sudah, jangan lupa makan juga ya.”Adhira mengelus kepala Kiara dengan lembut seraya melepaskannya berjalan ke sekolah. Hari ini langit tampak lebih cerah dari biasanya. Bus yang ditumpanginya juga tampak lebih lengang. Adhira mengambil tempat di depan dan tiba di gerbang sekolah setengah jam lebih awal.Belum banyak murid yang hadir di kelas. Ingvar berpapasan dengan Adhira, tapi kemudian menghindar darinya.“Ingvar,” sela Adhira. “Kartu aksesmu.”Ingvar berhenti dan menerim
Setelah puas mengejek dan membuli Kuswan, Adhira pun menghampiri Ervan. Ekspresi usilnya selalu tercermin dari raut wajahnya. Namun hari ini Ervan tak terlihat ramah. Meski dia memang selalu dingin pada siapa pun, kali ini Ervan tampak berbeda. Dia menghindari Adhira bahkan saat Adhira duduk di sampingnya.Ervan beranjak dari Adhira saat jam istirahat agar tak perlu berpapasan dengannya lagi. Adhira tahu dia bisa menemukannya di Ruang Literal, tapi siang itu Ervan tidak ada di sana. Dia seperti hilang ditelan bumi.Bu Tamara melintas dengan membawa tumpukan buku tulis. Saat mereka berpapasan, Bu Tamara langsung meminta Adhira untuk ke ruang guru. Jam makan siang untuk keluarga Sadana akan dimulai tak berapa lama lagi. Jadi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdiskusi terlalu lama.“Adhira, kebetulan kita ketemu, saya hanya mau kasih tahu kalau kamu sudah tidak perlu jadi tutor lagi di tempat Ervan,” ucap Bu Tamara.Pemberitahuan tadi sejen
Waktu ujian pun tiba. Kelas terbagi menjadi dua jadwal. Tempat duduk diberi jarak dan diacak agar kesempatan menyontek bisa diminimalisir.Adhira mendarat di depan pintu kelas tepat ketika kertas ujian dibagikan ke mejanya.“Adhira, kamu terlambat lagi,” tegur Pak Heno yang kala itu menjadi pengawas ujian.“Kan belum mulai, Pak.” Adhira lagi-lagi membujuk guru yang berwajah sangar itu.Adhira langsung mengambil tempat di kursi paling depan. Tepat di belakangnya ada Ervan. Adhira menoleh seraya berkedip menyemangati. Ketegangan Ervan pada ujian kali ini membuatnya hanya membalas cengiran Adhira dengan tatapan dingin.Soal dibagikan dari depan ke belakang. Jemari Ervan bergetar kuat saat dia menerima soal ujian tersebut.“Waktu ujian, dimulai dari sekarang!”Jam berdenting menandakan satu jam pertama ujian mereka telah dimulai. Suasana hening seketika. Ervan menarik napasnya dalam-dalam tetap mencoba
Seminggu masa ujian berlalu dengan sangat lambat. Liburan sekolah dimulai, tapi bagi Adhira, hari yang berat juga akan dimulai. Keberangkatannya menuju kota di timur sana akan ditempuh dalam beberapa jam lagi. Bahkan hingga saat ini Adhira tidak tahu apakah Ervan juga akan ikut atau tidak.“Kak Adhi!” Kiara memanggilnya dari lubang jendela gudang.Pagi itu Kiara membawakan satu tas penuh berisi makanan dan cemilan. Wajahnya berseri-seri.“Kak, ini ada makanan dari Mama. Katanya buat di perjalanan,” ucap Kiara.Biasanya Adhira tidak akan langsung percaya dengan kebaikan seperti itu. Itu hanya cara agar Adhira beranggapan baik tentang Tante Durga. Namun, beberapa bulan belakangan, Durga agak lebih kalem. Dia mengerjakan seluruh pekerjaan rumahnya sendiri tanpa meminta bantuan Adhira. Dia bahkan sudah mempekerjakan pelayan rumah tangga untuk membersihkan rumah—yang biasanya dilakukan Adhira.Ketika pesanan kue berdatangan
Ketegangan menyeruak mengisi Ruang Gaharu yang berkonsep modern minimalis itu. Deretan kursi secara berkeliling memadati sisi belakang aula megah tersebut. Sekitar dua puluh sekolah dari seluruh Indonesia akan bertanding dalam Turnamen MIPA kali ini.Adhira sempat melihat ke rombongan dari SMA Frans Xaver yang merupakan sekolah swasta di ibu kota. Sejak awal tahap penyisihan, regu dari SMA itu cukup tangguh. Adhira kembali bertemu dengan seorang siswa SMA kelas sebelas yang pernah bertarung dengannya sebulan yang lalu.Siswa bertubuh mungil dan berkacamata itu sempat menoleh pada Adhira. Pergulatan pandang sempat tercipta di antara mereka. Adhira ingat akan kemahiran anak ini mengerjakan soal matematika bahkan hingga tingkat perguruan tinggi. Dia terlalu jenius, dan mengalahkannya di sesi final kali ini mungkin bukan perkara mudah.Bersama rombongan dari SMA Equator, Adhira memasuki ruang perlombaan.“Aku tidak bisa tidur semalam,” keluh Lodra
“Maaf, interupsi, Majelis Juri.”Seisi ruangan terpelongok. Bukan karena kesangsian pembimbing dari SMA FX itu akan soal yang ditanyakan, melainkan, kalaupun mereka menggugurkan jawaban Ervan tadi, murid mereka tetap tertinggal jauh. Selain ini adalah caranya untuk menunda kekalahan, pasti ada dendam tersendiri dari bapak pembimbing dari sekolah seberang pulau itu.“Soal yang diajukan sudah melalui seleksi dari para juri. Terkait ini materi yang bisa dipakai atau tidak, saya rasa selama para murid bisa menjawabnya, tentu kami beri nilai sesuai pencapaian mereka.”Pria berkacamata tadi masih enggan mengaku kalah. Dia kembali naik banding, “Saya rasa permasalahan kromosom seks yang dibahas juga masih menjadi topik kontroversial. Dengan berat saya memohon untuk tidak menjadikan pertanyaan ini sebagai bagian dari penilaian.”“Atas dasar apa Bapak mengatakan soal tadi bukan soal yang tepat untuk ditanyakan?”
Keraguan meliputi raut wajahnya. Dengan mengumpulkan sisa keberaniannya, anak itu pun menjawab, “Lima.”“Sepuluh bintang untuk SMA FX.”Sorak sorai penonton dari pihak lawan mengisi kegetiran ruangan berkubah kerucut itu. Erdos menjelit penuh tanya. Adhira tetap tersenyum padanya. Membuat anak itu tak habis pikir apa yang baru saja merasuki jiwa orang di sebelahnya hingga bisa membuat kesalahan sefatal ini.“Satu pertanyaan akan diajukan karena skor yang didapat berimbang,” ujar ibu panitia di samping para juri.Adhira menunggu hingga soal keluar. Dengan intensitas kesukaran yang sama, materi trigonometri yang umum dikerjakan murid dengan nilai standar di bangku kelas sepuluh itu disodorkan sebagai soal matematika tahap penentuan ini.“Setengah cos alfa plus satu,” jawaban Ali muncul dari permukaan. Keberaniannya sedikit tersulut setelah tadi berhasil mengalungi sepuluh bintang di pe
Ervan merasakan tubuhnya didesak oleh ribuan jarum. Walau kemampuan renangnya sangat baik, dia sulit mengendalikan arus air yang bergerak acak ini. Setiap gelombang yang memecah karang mengantarnya pada rasa pedih yang tak tertahankan. Berkali-kali batu karang itu menggores permukaan kulitnya. Dia tak memedulikan hal tadi sebab dari setiap mata yang terbelalak itu, Ervan hanya berharap bisa menemukan bagian tubuh Adhira.Adhira baru muncul dari permukaan beberapa detik setelah Ervan mengitari dasar tebing. Dia menyibak air asin di sampingnya dengan sekuat tenaga. Terus mencoba membuat dirinya tak terperosok masuk ke dalam air. Ervan berenang sekuat tenaga mendekatinya. Dia berhasil mencengkeram lengan Adhira, yang langsung mendapat hantaman keras dari Adhira.“Hira….” Suara Ervan tercekat oleh gelombang ombak yang menerpa wajahnya.Adhira kembali terlepas. Hingga ketika napasnya benar-benar sudah di ujung tanduk, Adhira menyerah. Dia tak lagi