Ervan merasakan tubuhnya didesak oleh ribuan jarum. Walau kemampuan renangnya sangat baik, dia sulit mengendalikan arus air yang bergerak acak ini. Setiap gelombang yang memecah karang mengantarnya pada rasa pedih yang tak tertahankan. Berkali-kali batu karang itu menggores permukaan kulitnya. Dia tak memedulikan hal tadi sebab dari setiap mata yang terbelalak itu, Ervan hanya berharap bisa menemukan bagian tubuh Adhira.
Adhira baru muncul dari permukaan beberapa detik setelah Ervan mengitari dasar tebing. Dia menyibak air asin di sampingnya dengan sekuat tenaga. Terus mencoba membuat dirinya tak terperosok masuk ke dalam air. Ervan berenang sekuat tenaga mendekatinya. Dia berhasil mencengkeram lengan Adhira, yang langsung mendapat hantaman keras dari Adhira.
“Hira….” Suara Ervan tercekat oleh gelombang ombak yang menerpa wajahnya.
Adhira kembali terlepas. Hingga ketika napasnya benar-benar sudah di ujung tanduk, Adhira menyerah. Dia tak lagi
Pagi datang saat air laut justru semakin dalam menembus rekahan batu. Adhira terbangun dan mendapati tubuhnya sudah dipindahkan ke bagian yang lebih kering. Ervan tengah sibuk menyingkirkan tanah dan batu dari dinding terowongan, berharap menemukan jalan keluar dari arah dalam. Sinar cahaya dari luar cukup untuk membuat Adhira sadar bahwa sebagian punggung dan kaki Ervan bersimbah darah. “Daffin… kamu terluka?” tanya Adhira. “Kenapa tidak kasih tahu?” Adhira yang panik langsung memeriksa tubuh Ervan. Dia melirik dengan saksama dan mendapati bercak kemerahan itu masih mengucur dari tumit kaki Ervan. Adhira merogoh apa pun yang ada di dalam kantong bajunya, tapi tak bisa menemukan apa-apa. Tas ranselnya ditinggal saat Lodra mendorongnya ke bibir tebing. Adhira terpaksa mengoyak lengan pakaiannya untuk membebat luka di kaki tersebut. Ervan sontak mundur saat Adhira hendak menyentuh tubuhnya. “Hei, kamu bisa kehabisan darah kalau begini terus.” Ad
Malam itu doa mereka tidak terkabul. Rintik hasil kondensasi embun dan uap menyatu berjatuhan membasahi seluruh permukaan bukit. Alhasil, pakaian yang baru saja kering harus kembali terbasuh oleh hujan.“Daffin… mengapa kita begitu sial hari ini?” gumam Adhira. Dia mendekat ke tempat Ervan untuk mencari perlindungan. Meski Ervan sendiri tak memiliki apa-apa untuk berteduh.“Lebih tepatnya kita sudah sial sejak kemarin,” timpal Ervan datar.“Kamu kok bisa setenang ini sih?” Adhira memayungi kepala mereka dengan kedua tangan. Dia melirik pada Ervan yang sudah basah kuyub tetap berada dalam posisi bersila.Adhira menghela napas. Petir menyambar dan badai menggempur perbukitan di sekeliling mereka. Adhira memperhatikan pepohonan sekitar dalam gelap, tak ada tanaman yang berdaun lebar. Api unggun yang dibuat Ervan dari sisa korek peninggalan para pendaki pun sudah tak lagi menyala.Adhira bangkit dari tempat du
“Bagaimana kamu bisa tahu dia akan putus sekolah?”“Saat aku ke toilet, aku melihat guru pria itu mengancamnya.” Adhira menjawab tenang.“Dan apa kamu menyesal sudah melihat kejadian itu?”Adhira terkekeh. “Aku lebih menyesal terjebak di antah berantah ini bersama manusia setengah es batu sepertimu.”Ervan menjelit ke arah Adhira yang masih bersandar di balik pohon. Seekor ular melata pelan dari balik dahan yang tengah ditiduri Adhira. Menyadari derikan halus tadi, Adhira langsung mematung. Bibirnya melengkung hingga ke dagu.“Da…ffin… selamatkan aku….” Adhira berucap tanpa bergerak.Ervan meraih sebatang ranting dari sekitar pohon. Dengan cekatan dia menepis ular yang berjarak tiga inchi dari kepala Adhira itu. Reptil berbisa itu melayang ke udara, membebaskan Adhira dari gigitan beracunnya.Adhira menghela napasnya lega. Dia sentak bangkit dari tempatny
Tahun ajaran baru dimulai. Berita tentang kematian Semias Defras perlahan-lahan surut. Tidak ada yang menyelidikinya lagi setelah pelaku pembunuhan membuat pengakuan itu. Meski terlihat kasus ini terjadi begitu gampang, polisi juga tidak bisa berbuat banyak. Setiap kejadian yang terjadi akan tenggelam setelah menemukan orang yang bisa dijadikan kambing hitam. Semua memiliki spekulasi, tapi pada akhirnya tidak berujung pada bukti yang sahih. Kematian itu terlihat sia-sia. Semias baru akan mengajukan kerja sama atas proyek senilai 300 miliar dari keluarga Refendra. Atas kejadian yang menimpanya, proyek besar tadi gagal.“Daffin,” desis Adhira yang kini duduk tepat di belakangnya, “nanti siang temani ke toko sepatu ya.”Ervan menoleh ke belakang dengan ekspresi seram. “Kenapa?”“Apa maksudnya kenapa? Ya tidak ada apa-apa,” jawab Adhira.“Kalau begitu, tidak mau.” Ervan menjawab singkat.Adhir
Upacara pagi itu mulai lebih awal dari biasanya. Hal ini membuat Adhira kembali harus berdiri di barisan murid bengal. Bukan karena dia terlambat. Hari itu ia lupa membawa dasi dan topi upacaranya. Dan peraturan di SMA Equator bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng.Patroli yang dilakukan Pak Heno selalu dapat memangsa buronan seperti Adhira. Si jenius matematika itu tak jemu-jemu melanggar peraturan yang sudah jelas terukir di setiap dinding gedung.Kiara ikut berbaris bersama mereka pada upacara kali ini karena sekarang dia sudah resmi menjadi anak SMA. Adiknya berdiri di depan seraya menyaksikan Adhira yang seperti narapidana yang tengah menunggu waktu eksekusi. Ada dua orang lagi di samping Adhira yang juga turun melakukan pelanggaran yang mirip.Murid bertubuh jangkung itu melirik sambil tersenyum polos pada Adhira.“Kamu kenapa bisa di sini….”Tanpa perlu dijawab Adhira langsung mengerti. Ternyata ada kesalahan yang leb
Setelah mengelilingi tiga mal dan puluhan deret toko, Kiara menemukan bando yang diinginkannya. Adhira hanya bisa menggerutu sepanjang perjalanan.“Sudah ketemu lum, Ki?”“Sudah nih! Bagus tidak?”Bando yang dipakai Kiara terlihat pas melingkari kening hingga pelipisnya.“Cari begini saja sampai harus keliling mall tiga jam.” Adhira belum berhenti mengoceh. Bahkan kain berserat mikro itu tidak ada bedanya dengan bando yang selama ini dipakai Kiara untuk berlari.“Biarin.” Kiara menyimpan benda tadi ke tasnya bagai menyimpan benda berharga. Sebetulnya bando itu pun sudah dilihatnya sejak pertama kali ke toko yang mereka masuki pertama kali. Tapi karena Kiara ingin melihat yang lain, alhasil tiga mal pun terlampaui. Baru akhirnya dia memilih bando yang pertama.Ini akan jadi pengalaman pertama dan terakhir Adhira menemani Kiara berbelanja, ikrarnya dalam hati.Hari menjelang
Awan hitam merundungi Adhira. Dia bahkan segan untuk pulang. Rumah itu bukan lagi rumahnya bahkan sejak pertengkaran sengit dengan Om Willian. Adhira tak lagi bisa menjumpai Kiara sejak kecelakaan tersebut. Paman dan bibinya melarang keras pertemuan mereka. Seakan kebencian mereka pada Adhira kembali tersulut.Mereka tidak mengusir Adhira dari rumah itu. Tidak pula berbicara pada Adhira. Ada dinding tak tampak yang memisahkan Adhira dengan keluarga Osman itu.Adhira menghilang dari sekolah selama tiga hari. Kuswan meneleponnya, tapi tak mendapat balasan. Dia mencarinya di rumah dan tak menemukan siapa-siapa. Berita kecelakaan baru sampai ke sekolah di hari keempat. Adhira masuk dengan penampakan kusut masai. Dia terlihat tidak makan dan tidur seminggu ini.Kuswan mendekatinya dengan gamang. Bahkan dia tak lagi bersuara saat menyerahkan tugas kelompok itu pada Adhira.“Kalau kamu tidak meneleponku waktu itu, mungkin dia tidak akan berakhir begini,&rd
Ervan melanjutkan ritual hukuman hingga matahari sudah kembali muncul dari balik awan. Kuswan berlarian dengan berbotol-botol minuman. Saat mendekati mereka, Adhira sudah tak lagi di tempatnya. Ervan berjalan tergopoh kembali ke kelasnya. Raut dinginnya tak luput sedikit pun dari wajahnya. Kuswan hanya memandangi Ervan heran.“Kalian bertengkar lagi?” tanya Kuswan. “Maafkan aku, harusnya aku tidak memintamu mengerjakan tugas Adhira.”Sepanjang sisa pelajaran, Ervan hanya diam sambil sesekali menatap ke bangku barisan belakang yang tak berpenghuni itu. Mungkin berharap Adhira segera kembali, meskipun temannya itu tidak akan muncul hingga akhir pelajaran.“Kamu dari mana?” bisik Kuswan.“Berak,” jawab Adhira asal. Dia membereskan buku yang masih berserakan di atas meja tanpa suara. Ada buku catatan pelajaran yang hari ini terangkum dalam buku tadi.“Aku sudah bantu catat materi hari ini. Kamu jang