“Lodra!”
Lelaki paruh baya memanggil Lodra. Dari penampakannya, Adhira tahu dia yang disebut-sebut Kuswan sebagai Teodro Refendra, pria pemilik 30 saham besar yang sering muncul di majalah-majalah bisnis itu. Beberapa kesempatan Adhira sering melihat batang hidungnya juga di poster bus. Tingginya semampai dengan bahu yang bidang itu tentu saja juga menghasilkan bibit sempurna bak pangeran-pangeran di depannya. Contoh nyatanya adalah Ingvar, dia berdiri samping pria itu seperti maskot yang selalu dibanggakan ke orang-orang. Adhira pernah meminjam akses ke Ruang Literal waktu di sekolah.
“Papa, ini Adhira.”
Teodro mengerling tak percaya.
Lodra menepuk bahu Adhira sambil berkata, “Limawan. Dia putra tunggal Arman Limawan, Pa. Salah satu anggota Aliansi yang sudah wafat dua belas tahun lalu.”
Ujung bibir Teodro sedikit tertarik ke kedua pipinya. Dia mengerling dan menatap Adhira begitu dalam. Mungkin masih mencoba mengingat-ingat sosok remaja lima
Ervan baru berjalan melintasi pintu ruang tempat yang dimasuki Adhira barusan.“Eh, Daffin, kamu dari mana?” tanya Adhira.Walau tidak akan pernah dijawab Ervan, Adhira tahu bagian paling ujung paviliun itu adalah toilet. Jadi orang seperti Ervan tidak mungkin hanya ke tempat itu menguntit Adhira.Kalung yang tergantung di leher Adhira sempat menarik perhatian Ervan, tapi secara sadar langsung diketahui Adhira. Dia segera menyembunyikannya ke balik baju.“Ngomong-ngomong, berapa kali kalian membuat acara seperti ini?” tanya Adhira sambil mengalungkan tangannya ke pundak Ervan. Walau dibalas dengan kernyitan tajam, Ervan tak menyingkirkan lengan Adhira darinya.“Rapat aliansi hanya diadakan setahun sekali. Namun bila ada keperluan mendesak, rapat bisa dibuka kembali.”“Apa semua anggotanya harus hadir?”“Hmm.” Ervan mengangguk.“Tapi kenapa Kuswan tidak ada ya?&rd
“Kotak kayu?” Adhira pura-pura bingung. Dia melirik ke arah Ervan yang hanya berdiri tanpa ekspresi. Tadinya Adhira berharap Ervan tak mempertanyakan tentang kalung yang terpasang di lehernya seusai keluar dari ruangan Semias. Tapi tampaknya Ervan tak berminat membongkar rahasianya.“Apa Pak Semias sempat mengatakan sesuatu tentang kedatanganmu?”“Dia… bilang dia harusnya bisa merawatku dengan lebih baik,” karang Adhira. Setidaknya itu yang juga berusaha diungkapkan oleh Semias padanya tadi. “Dia juga bilang kalau dia senang aku bisa bergabung di tempat ini bersama dengannya.”Seperti itu pulalah pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh orang-orang itu pada Adhira. Pertemuannya dengan Semias yang hanya beberapa menit bahkan bisa dijabarkan sampai hampir dua jam. Ervan masih di sampingnya saat kedua penyidik itu mengakhiri pertanyaan mereka.“Huff, kenapa mereka tidak bikin kuesioner saja ya? Rib
Adhira bangun saat mendengar perdebatan hebat suami istri Osman itu. Sementara untuk bisa mengambil sarapannya, Adhira harus masuk ke dalam rumah. Kiara duduk memangku dagunya dengan wajah muram. Pertengkaran kedua orang tuanya membuat anak itu hanya bisa pasrah dan menutup telinga.“Sudah kubilang dia anak pembawa sial. Kenapa kita masih harus mempertahankannya?” Willian terlihat sangat murka saat mengatakan hal tersebut.“Kita juga tidak bisa mendidiknya seperti keinginan kita. Kalau mereka mau memenjarakan dia itu lebih baik. Lihatlah sekarang seluruh berita menyinggung tentang anak tengil itu,” umpat Durga seraya melempar telur mata sapi ke atas piring.“Kau pikir aku bodoh menyerahkannya pada keluarga orang kaya itu. Dia pasti bakal menggunjing keluarga kita. Lagian itu semua cuma topeng belaka. Mereka tidak benar-benar mau membesarkan anak itu.”“Pa.. Ma… Kiara pergi sekolah dulu ya,” ucap Kiara
Plak! Pukulan keras menjalar di punggung Adhira, membuatnya langsung jatuh bertumpu pada kedua lututnya. Adhira bisa merasakan tongkat kasti baru saja mengentak ke tubuhnya. Mendapat perlakuan sedemikian menyakitkan, Adhira langsung bangkit dan menghantam pamannya balik. Dia merebut tongkas kasti dari tangan Willian untuk melakukan serangan balik. Dengan api membara, Adhira memukul pria itu bertubi-tubi. Pria paru baya itu tersungkur ke lantai tak berdaya melakukan perlawanan. Kacamatanya terlepas dan dia meringkuk di lantai melindungi diri dari pukulan yang dilecutkan Adhira. Durga langsung melerai keduanya, tapi segera didorong oleh Adhira. Kekesalan Adhira belum berakhir hingga darah mengucur dari rahang Willian. “Adhira! Hentikan! Jangan lakukan ini!” Durga yang biasanya selalu berkata dengan kasar sekarang hanya bisa memohon padanya. Erangan Willian membuat Adhira tak lagi melanjutkan pukulan tersebut. Dia melepaskan tongkat kas
Berita tentang kematian Tuan Besar Semias Defras dengan cepat sampai ke telinga orang-orang di sekolah. Perbincangan tentang siapa yang akan meneruskan kekayaan keluarga konglomerat itu menjadi topik hangat di kalangan pengusaha. Adhira melangkah menuju ke perpustakaan sekolah untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai penyelidikan kematian yang baru terjadi itu. Ervan seperti biasa sudah duduk dengan buku tebal terbuka di hadapannya. Beberapa perempuan berbisik-bisik di balik rak buku sambil sesekali mengintip ke arah Ervan. Jelas, Ervan tidak akan menghiraukan hal tadi. Dia manusia paling dingin yang cukup disegani oleh murid lain. Hanya dengan jelitan matanya, Ervan bisa membuat manusia di depannya ketar-ketir. “Daffin!” Adhira langsung mengambil tempat di samping Ervan. “Baca apaan? Serius sekali.” Ervan tak melepaskan pandangannya dari buku di depannya. “Eh, pinjam aksesmu, dong,” pinta Adhira memelas. “Aksesku hilang.” Ervan mengernyit
Kiara menghampiri Adhira dengan pakaian olahraga barunya. Wajahnya tertawa berseri-seri. “Bagaimana? Berhasil?” Adhira ikut gembira melihatnya begitu riang berlari ke arahnya. Kiara langsung memeluk Adhira dengan erat dan berkata,, “Kiara terpilih buat jadi pelari maraton tingkat nasional.” “Wah, boleh juga adikku ini!” Adhira mengelus-ngelus kepala Kiara dengan bangga. Begitu takut kegembiraan seperti ini terhapus oleh apa pun. Dia hendak menarik Kiara untuk pulang bersamanya, tapi tampaknya Kiara masih harus latihan lagi. “Iya dong. Akhirnya… tidak sia-sia tiap hari keliling lapangan sepuluh putaran.” “Jadi, kapan lombanya?” “Awal tahun ajaran baru. Mungkin sekitar dua bulan lebih lagi.” “Oke, deh, semangat ya! Jadi, ini masih mau latihan lagi?” “Iya. Mungkin agak sorean. Nanti Kak Adhi kabarkan ke Mama ya. Biar tidak ngomel-ngomel lagi.” “Sip!” Adhira melepas Kiara kembali ke lapangan. Dia beranjak me
“Lepaskan dia!”Sontak perempuan itu terperangah. Tapi dia tak segera menyerah. Anak perempuan tersebut menangis tertahan.“Hei, kamu itu siapa? Ini anak saya. Terserah saya mau apain anak saya!”“Anakmu? Mana ada ibu sepertimu? Memukul-mukul anaknya sendiri,” tukas Adhira membara.“Eh, kamu itu siapa sih? Tidak usah mengurusi saya.”Perempuan tadi segera menggendong balita perempuan tersebut dari bawah terminal. Seolah ujaran Adhira tak berarti, dia kembali menuntaskan misinya mengemis di jalanan.Adhira makin keki. Dia menyusul ibu tadi ke jalanan. Saat ibu tadi berhenti di sebuah mobil sedan putih, Adhira segera mengetuk jendela mobil itu. Tanpa disangka di dalamnya ada Pak Wisman. Yang duduk di bangku belakang tak lain adalah Ervan. Perselisihan antara perempuan dan Adhira belum sulut saat dia menadah tangannya di depan kaca.“Jangan dikasih!” Adhira langsung berkata lant
“Ada sekitar lima puluh nama yang ada direkomendasikan pihak sekolah.” Seorang laki-laki menyodorkan satu map yang berisikan nama serta prestasi dari orang-orang yang akan dijadikan tutor untuk Ervan.Haris Sadana yang merupakan pengusaha terkemuka di kota itu tampak tak tertarik melihat nama-nama tersebut. Matanya sibuk mengamati grafik penjualan di layar komputernya.“Minta Tamara hubungi saya,” ucapnya pada pelayan laki-laki itu.Telepon berdering beberapa menit kemudian. Haris segera menerimanya. “Ervan butuh tutor untuk pelajaran matematikanya.”“Ya, Profesor Alan udah minta saya untuk membuat daftar nama tutor.” Tamara menjawab dari ujung telepon sana.“Kamu menyuruhku membaca lima puluh nama. Sama saja menyuruhku mencari sendiri. Kamu kan gurunya, kamu saja yang menjadi tutor.”Suara tawa Bu Tamara terdengar dari telepon.“Kamu keberatan?”“Say