Bagi pengusaha besar seperti Lodra Refendra, mengadakan pesta pernikahan di pulau pribadi yang eksotis ini bukanlah permasalahan yang sulit. Letaknya sekitar delapan puluh kilometer ke arah utara dari pesisir.
Burung camar, pasir putih, laut biru, batu dan karang semua bersatu padu membentuk keindahan tanpa cela. Tempat itu adalah elemen mimpi dari setiap pasangan yang tengah memadu cinta.
Gedung kaca di tengah-tengah halaman berumput itu menjulang apik, mengundang mata setiap pengunjung agar segera menapakkan kakinya di sana. Ada pondok-pondok penginapan di sepanjang pantai. Semua sudah disewa oleh Lodra untuk hari istimewanya ini.
Siang itu masih terlalu awal. Belum ada pengunjung yang datang ke sana.
Lodra duduk tenang di atas bangku rias menunggui waktu yang tepat untuk berbincang dengan Kiara. Setelah menunggu cukup lama, dia pun beranjak menuju ruang yang berada di bagian belakang aula resepsi.
“Lodra?”
Kiara sudah memakai
Adhira menoleh. Bibirnya bergetar. Dia memicing tajam meredam kengerian. Wajah Lodra menyeret fragmen masa lalu ke ingatannya. Saat Adhira memalingkan wajahnya ke arah laut, Lodra langsung mencengkeram dagunya dengan erat. “Lepaskan dia!” “Kamu ada di bawah kuasaku, Adhira. Pantaskah memerintahku seperti ini?” Adhira menyergah tangan Lodra dan mundur ke penyangga teras. Dia melirik ke jurang yang berupa batu karang itu. “Lepaskan adikku!” “Aku dan Kiara akan menikah. Kenapa kau yang marah?” “Aku tidak akan membiarkannya menikahi bajingan sepertimu.” “Kami sama-sama setuju dengan pernikahan ini. Tidak ada pemaksaan. Kudengar dia juga sudah tidak mengakuimu sebagai kakaknya.” “Dia tidak mencintaimu.” “Dan menurutmu kau mencintaiku?” “Kau tidak pantas dicintai.” Api amarah membara di balik bola mata Lodra. Dia mencengkeram kedua tangan Adhira dengan erat dan mendorongnya hingga ke dinding penyangga. Di saat yang bersamaan, Adhira merasa dirinya pusing dan lemah. Ketakutan men
Lodra menuang teko yang berisi teh yang sama seperti yang sudah diminum yang lain ke dua cangkir yang baru. Dia memberikan satu pada Kiara.“Mari kita saling bersulang, Sayang,” ucap Lodra.Walau Kiara mengikuti arahan Lodra, kedua matanya tak berhenti menatap Adhira. Lodra menyilangkan lengannya ke lengan Kiara dan isi cangkir pun mengalir ke mulutnya. Tindakan mereka segera mendapat tepukan meriah dari para tamu.Mereka menunggu beberapa waktu sebelum Lodra menuang kembali cangkirnya dengan teh tadi.Haris bangkit dari kursinya dan memberi aba-aba pada anggota aliansi yang hadir, “Untuk pernikahan yang abadi. Mari kita bersulang untuk pasangan pengantin hari ini!”Anggota aliansi yang mendapat kehormatan untuk minum itu pun meneguk isi cangkir mereka masing-masing, diikuti Adhira yang sempat mendapat lirikan pasrah dari Ervan.Kiara berdiri dengan kepala tetap merunduk. Meski wajahnya sudah dipoles sed
Suara Kuswan membahana mengisi setiap sudut ruangan yang ada di ruangan pesta. “Kiara!”Para tamu tercekat akan kejadian tadi. Haris dan Gerwin terperangah melihat sang pengantin wanita kini sudah tak lagi bernyawa di pangkuan Kuswan.Adhira berbalik dan menghampiri Kiara tanpa berkata-kata. Hanya ada jarak beberapa detik dari terakhir kali mereka minum sampai Kiara sudah meregang nyawanya di lantai.Hal yang mengejutkan lagi adalah, Lodra hanya berdiri di depannya tak memberi respons apa pun, tidak panik, tidak juga berusaha mencari bantuan. Dia seperti sudah memprediksi kemungkinan tersebut.Saat Adhira hendak meraih Kiara, Kuswan langsung menyergah tubuhnya, “Jangan sentuh dia!”Adhira terempas ke lantai tanpa kekuatan. Tangisnya tertahan, tapi perasaan sesal membelenggu hatinya sekarang. Dia menoleh ke arah Ervan yang mematung tanpa ekspresi.“Kau apakan dia, Adhira?” tandas Kuswan dengan nada tinggi.
“Bangsat kau, Lodra!” maki Gerwin dengan sejuta kemurkaan.Dia hendak melakukan penyerangan pada Lodra, tapi segera dicekal oleh dua penjaga. Walau Adhira akhirnya bisa melepaskan dirinya, ada banyak penjaga yang memagari dirinya dengan Ervan.“Perlu kuberi tahu padamu, kalau Defras sudah sirna sejak kematian Semias. Taktikmu terbaca jelas dan aku tidak butuh menebak kalau kau bahkan tidak bisa memimpin perusahaan kecilmu ini. Kau menjual nama Hadaya Group untuk kepentingan pembangunan Riverside Blossom, lalu merusaknya dengan cara murahan. Kau dan sekelompok putrimu itu hanya seonggok sampah yang menambah daftar panjang aliansi saja.”“Kau….”Bola mata sehitam jelaga hampir keluar dari rongganya.“Kau dan perusahaanmu ini harus mengganti rugi kehilangan ini, Gerwin.”“Kau anak haram sialan!”Umpatan tadi membuat Lodra tertawa kian lebar. Dia mendekati Gerwin dan menar
“Keluarga Defras masih akan baik-baik saja selama kau bisa menutup mulut.” Semias merasa terancam. Dia tahu bahwa dia hanya anak bawang di aliansi ini. Sebagian besar kekayaan keluarga Defras adalah asupan dari Refendra dan Sadana. Tanpa kedua orang itu, Semias hanya pria biasa yang tak memiliki nama. Bertolak dari nuraninya, Semias pun mengantar Adhira pada keluarga Osman. Dia berharap Adhira bisa menjalani hidupnya tanpa perlu mengetahui semua ini. Kalung triquetra yang masih tergantung di leher Adhira disimpan oleh Semias untuk membersihkan kenangan yang tersisa. Semias juga menyimpan gantungan kunci yang masih berada di saku celana Tanusal. Benda itu pernah dia berikan untuk Tanusal sebagai buah tangan dan Tanusal mengaitkkannya ke kunci rumah. Dia juga menjemput Genever yang masih terkatung-katung di pinggir jalan kembali ke rumahnya. Akan tetapi Semias tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Iren. Dia hanya mengatakan Tanusal mati tertembak dan penembaknya sedang dal
Kuswan menggeletakkan jenazah Kiara di lantai, lalu melangkah ke pintu keluar. Namun ketika kakinya melangkah di depan pintu, dua penjaga langsung melemparnya ke tengah-tengah aula.“Kalau kalian patuh pada ucapanku harusnya tak perlu ada adegan seperti ini,” ucap Lodra.“Ervan, kamu kan tidak sempat minum teh beracun itu, kamu bisa menolong kami.” Gerwin masih enggan menandatangani berkas yang diserahkan Lodra padanya.“Aku juga tidak minum teh yang beracun,” timpal Adhira.Entah kenapa dia merasa gembira melihat para anggota aliansi itu sekarang memohon pada Ervan.“Meminta bantuan pada buronan sepertimu?” Gerwin mendengus tak rela.“Ya sudah, aku juga tak sudi membantu. Daffin, papah aku keluar dari sini. Biarkan orang-orang ini dengan harta yang berlimpah ruah ini saling tikam-menikam!”Adhira mendekati tubuh Kiara dari lantai yang masih berada dalam dekapan Kuswan.
Sebelum Lodra menyingkap topeng di wajahnya, Kuswan selalu meragukan Adhira sebagai dalang atas kematian ayahnya. Namun setelah beberapa kesaksian yang ditampilkan, Kuswan mulai mencurigai Lodra. Dia hanya enggan percaya pada apa yang tak dilihatnya.“Aku tidak pernah membela diriku atas kematian Tante Durga, Bu Tamara, ataupun papamu, Kuswan,” ucap Adhira. “Aku mengunjungi makam mereka dan bersujud memohon pengampunan. Saat kamu menembakku, aku pun berharap ini bisa menggantikan kehilangan yang kamu rasakan. Tapi Ervan yang baik ini telah menyelamatkanku. Maaf, aku gagal mengabulkan keinginanmu.”Kuswan berdiri dalam diam. Hatinya bergetar, tapi dia belum mau mengakui permohonan tulus Adhira padanya.“Aku menyesal persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Tapi aku tetap bersyukur telah mengenalmu sebagai temanku.”Kali ini Kuswan tak bisa menolak untuk tidak menangis.Dia ingat pertama kali Adhira berbaris d
Adhira menciduk perkara yang bertahun-tahun menimpa dirinya tadi penuh amarah. Dia tak mau membiarkan dirinya membungkam dan menikmati tuduhan demi tuduhan itu lagi. “Lodra, kau benar-benar biadab!” Myra mengumpat kesal. “Apa yang membuatmu bisa setega itu pada Lyra?” Senyum sarkastik membeku di wajah Lodra. Para penonton yang berdiri mengelilingi Lodra kehabisan akal untuk menyerang. Racun yang diminum mulai bereaksi pada beberapa orang. Gerwin memegangi perutnya saat rasa perih mulai menjalar dari ulu hati. Haris yang merasakan napasnya kian pendek mencoba untuk duduk. “Jadi kalian percaya pada buronan ini?” Kini giliran Adhira yang tergelak, “Sampai kapan kau mau bersandiwara? Semua orang memang bisa mengira kalau aku si pembunuh berantai itu. Bahkan, bila ada kurap di wajahmu, kau bisa mengatakan itu karena aku telah mencemarimu. Tapi kau tetap tidak bisa lari dari dosa-dosamu, Lodra.” Adhira melirik pada Kiara yang sudah dipindahkan ke atas meja penyuguhan. Tubuhnya masih tam