Sebelum Lodra menyingkap topeng di wajahnya, Kuswan selalu meragukan Adhira sebagai dalang atas kematian ayahnya. Namun setelah beberapa kesaksian yang ditampilkan, Kuswan mulai mencurigai Lodra. Dia hanya enggan percaya pada apa yang tak dilihatnya.
“Aku tidak pernah membela diriku atas kematian Tante Durga, Bu Tamara, ataupun papamu, Kuswan,” ucap Adhira. “Aku mengunjungi makam mereka dan bersujud memohon pengampunan. Saat kamu menembakku, aku pun berharap ini bisa menggantikan kehilangan yang kamu rasakan. Tapi Ervan yang baik ini telah menyelamatkanku. Maaf, aku gagal mengabulkan keinginanmu.”
Kuswan berdiri dalam diam. Hatinya bergetar, tapi dia belum mau mengakui permohonan tulus Adhira padanya.
“Aku menyesal persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Tapi aku tetap bersyukur telah mengenalmu sebagai temanku.”
Kali ini Kuswan tak bisa menolak untuk tidak menangis.
Dia ingat pertama kali Adhira berbaris d
Adhira menciduk perkara yang bertahun-tahun menimpa dirinya tadi penuh amarah. Dia tak mau membiarkan dirinya membungkam dan menikmati tuduhan demi tuduhan itu lagi. “Lodra, kau benar-benar biadab!” Myra mengumpat kesal. “Apa yang membuatmu bisa setega itu pada Lyra?” Senyum sarkastik membeku di wajah Lodra. Para penonton yang berdiri mengelilingi Lodra kehabisan akal untuk menyerang. Racun yang diminum mulai bereaksi pada beberapa orang. Gerwin memegangi perutnya saat rasa perih mulai menjalar dari ulu hati. Haris yang merasakan napasnya kian pendek mencoba untuk duduk. “Jadi kalian percaya pada buronan ini?” Kini giliran Adhira yang tergelak, “Sampai kapan kau mau bersandiwara? Semua orang memang bisa mengira kalau aku si pembunuh berantai itu. Bahkan, bila ada kurap di wajahmu, kau bisa mengatakan itu karena aku telah mencemarimu. Tapi kau tetap tidak bisa lari dari dosa-dosamu, Lodra.” Adhira melirik pada Kiara yang sudah dipindahkan ke atas meja penyuguhan. Tubuhnya masih tam
Tak lama setelah Lodra meninggalkan pulau, Ervan keluar dari gedung resepsi. Mivar membantu menahan dua penjaga yang masih mengejarnya. Dia melangkah ke tepi laut mengejar keberadaan Adhira.“Hira!”“Dokter Ervan!” pekik Laila yang baru muncul dengan kapal kecil bermesin itu.“Laila?”Ervan tidak heran. Dia melihat Laila memang datang bersama Ali. “Cepat, turun!” Ervan berujar keras.Dia menyentak Ali untuk segera turun dari kapal. “Kiara dan para tamu ada di dalam. Aku harus menyelamatkannya.”“Hei, tapi bukankah….”“Pergilah, selamatkan yang lain! Aku tidak punya waktu menjelaskan padamu.”Dengan cepat Ali didorong dari kapal. Ervan terlalu panik hingga barang-barang itu langsung dibuangnya ke permukaan pasir. Kemudian, dia segera naik ke kapal bermotor tadi.“Dan kamu….” Ervan menoleh pada Laila, “Tunggu di kapal kecil yang di belakang pulau. Jangan coba-coba mengendarainya!”Ervan pun memutar setir kapal dan dengan cepat dia mengejar kapal lain yang sudah cukup jauh meninggalkan
Di kala para tamu sudah berbondong-bondong keluar saat mendengar tentang keberadaan bom, pria itu tetap tenang mengamati kondisi pengantin wanita yang masih belum sadar. Dia bekerja seperti tidak mendengar keributan yang masih terjadi di antara para tamu. Tidak ada yang peduli dengan pengantin wanita yang sudah mati itu di sini. “Kenapa masih di sini?” ujarnya saat melihat Kuswan masih mondar-mandir di sampingnya, “Aku memberimu suntikan agar kau bisa menyelamatkan Adhira.” “Ada bom di tempat ini. Dan kapal kami semua dicuri.” Dokter itu mengelus kepalanya jengkel, “Bom kepalamu! Cepat kau ke kapal yang tertambat di antara tanaman bakau itu! Yakinkan gadis kecil di sana agar dia mau meminjamkan kapalnya untukmu.” Kuswan bingung dengan jawaban pria itu. Tapi dia tak memiliki penyelaan yang berarti. Jadi dia segera melaksanakan apa yang dipintanya. Baik Adhira ataupun Kiara tidak ada yang boleh mati. Dia telah salah paham dengannya selama ini dan pelakunya harus bertanggung jawab at
“Daffin….”Ervan melompat ke kapal tersebut dan segera menendang tubuh Lodra dari Adhira. Dia melepas jasnya dan melingkupi tubuh ringkih ini dari udara laut. Lalu dengan lengan bajunya dia mengusap darah yang bercucuran di bibir dan hidung Adhira. Dia juga melirik miris ke arah bahu Adhira yang terdapat bekas gigitan itu.“Hira, aku datang. Aku bersamamu sekarang.”Adhira menatap ke arah Lodra yang masih menelungkup itu dengan pandangan seram. Ervan langsung menutup matanya dan mendekap Adhira dalam pelukannya. Sekujur tubuhnya masih gemetar hebat. Dia tak kuasa membuat dirinya tenang. Ketakutan dan bayang-bayang hitam masih bergelung di pikirannya.“Daffin, lepaskan ini….”Ervan melihat pergelangan tangan yang masih terborgol itu telah dilumuri darah. Dia memberontak dengan sangat keras hingga gelang besi itu menggesek sampai ke tulang tangannya.“Aku akan melepasnya. Aku akan membawamu pergi.”Kepanikan menjalari Adhira. Dia tak berhenti menarik tangannya dari borgol. Sementara Erv
Anggota aliansi beserta tamu undangan masih terkapar di selasar depan gedung resepsi. Haris baru saja memuntahkan isi perutnya untuk yang kesembilan kali. Tampaknya efek racun belum hilang dari mereka. Dia tersaruk-saruk menjauhi kerumunan.“Mau ke mana, Om Haris?”Seorang perempuan mendelik tajam kepada lelaki paruh baya yang masih meringis kesakitan itu. Salah satu tangannya memegang sebuah jarum suntik. Ujungnya yang tajam terarah seperti senjata mematikan.Tanpa sempat dicegah, perempuan yang memanggilnya tadi segera menyuntikkan cairan panas di pahanya.“Apa yang kau….”Haris ambruk sebelum sempat mengenali sosok yang menyerangnya tadi. Pandangannya gelap dan dia tak lagi tahu ke mana dirinya dibawa. Tapi dia tahu ini adalah mimpi buruk baru untuknya.Sejak insiden di pulau, orang-orang beranggapan Haris kabur ke suatu tempat untuk menghindari hukuman dan pengejaran. Kejahatannya sudah dikuliti hingga ke inti, jadi pria itu pasti tidak akan berani menunjukkan dirinya.“Kau mungki
“Bagaimana kamu tahu kalau racun yang dipakai untuk membunuhku lebih kuat?”Dengan ratapan sinis itu, Ervan menjawab, “Karena itu adalah siasat terakhirnya. Lodra tadinya memang bertaruh dengan Kiara. Jika Kiara setia padanya, maka kamu yang meneguk racunnya. Tapi dia tahu Kiara tidak akan mungkin mau memberikanmu racun itu. Jadi dia harus memastikan racun yang diminum Kiara akan merenggut nyawanya dalam seketika.”“Lalu bagaimana kalian bisa tahu racun apa yang seharusnya dipakai Lodra?”“Pak Harlan menuliskan rincian racun yang disusun kotak berlabel khusus sebelum dia memberikannya pada Lodra. Rencana ini sudah dirancangnya bertahun-tahun yang lalu. Aku menghubungi Kiara sebelum upacara penyuguhan berlangsung dan menukar racun yang asli dengan yang kudapatkan dari Ali.”“Kiara menggunakan racun dari Pak Harlan di bunga marigold itu.”Adhira tahu Kiara tidak pernah menyukai bunga itu karena itu merupakan simbol duka, kecemburuan, kesedihan, dan kekejaman. Tidak ada yang melekatkan b
Selama proses persidangan berlangsung, Adhira harus tinggal di rutan. Tentu Ervan memastikan Adhira tak mendapatkan perlakuan buruk di tempat tersebut. Dia bahkan memenuhi seluruh kebutuhan Adhira hingga yang paling kecil.Obat-obatan diantar olehnya setiap hari tanpa terputus. Makanan dibuatkan khusus oleh koki dari kediaman Sadana. Ervan mengunjunginya sepanjang waktu, baik sebagai teman atau sebagai dokter pribadi.Adhira sempat menolak kedatangan Ervan karena malas menghadapi gunjingan para napi dan petugas di rutan, tapi dia tahu itu hanya akan membuat Ervan makin gencar dan menyulut masalah baru.“Apakah mereka memberimu kudapan sore?”“Iya. Mereka mengantarnya tiga kali hari ini.”“Dan, apakah selimut yang diberikan cukup hangat? Aku akan menggantinya bila kamu merasa kurang tebal.”“Sudah hangat. Aku seperti raja yang terpenjara sekarang.”“Apa kamu memakai krim malam yang kuberikan?”“Krim apa?”“Krim….” Ervan tak bisa melanjutkan. Krim itu harus dioleskan di area agak pribad
“Saya ingin menyampaikan sesuatu, Majelis Hakim,” kata Adhira. Raula yang bertindak sebagai jaksa tercekat. Adhira tak seharusnya diizinkan berbicara di saat seperti ini, tapi Ucep dengan tampang serius itu justru malah mengangguk, “Apa yang ingin Saudara sampaikan?” Adhira bangkit dari kursinya. Dia membersihkan tenggorokannya dari dahak dan liur, lalu menarik napas panjang untuk berbicara, “Aku tahu semua hal yang telah kualami tidak akan pernah bisa digantikan dengan apa pun lagi saat ini. Hidupku direnggut oleh masa-masa kelam di penjara. Tidak sedikit siksaan batin dan fisik kualami sepanjang aku berada di sana. “Namun bila aku ditawarkan untuk bisa mengulangnya lagi, aku tetap akan berpacu pada roda yang sama. Bukan karena aku menikmati segala duka yang kujalani, tapi….” Adhira merundukkan kepala. Kemudian mengangkatnya perlahan sambil menoleh ke arah Ervan yang duduk di bangku pengunjung sidang. Ervan yang tak pernah melepaskan pandangannya dari Adhira hanya bisa mematung.
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A