Kuswan menggeletakkan jenazah Kiara di lantai, lalu melangkah ke pintu keluar. Namun ketika kakinya melangkah di depan pintu, dua penjaga langsung melemparnya ke tengah-tengah aula.
“Kalau kalian patuh pada ucapanku harusnya tak perlu ada adegan seperti ini,” ucap Lodra.
“Ervan, kamu kan tidak sempat minum teh beracun itu, kamu bisa menolong kami.” Gerwin masih enggan menandatangani berkas yang diserahkan Lodra padanya.
“Aku juga tidak minum teh yang beracun,” timpal Adhira.
Entah kenapa dia merasa gembira melihat para anggota aliansi itu sekarang memohon pada Ervan.
“Meminta bantuan pada buronan sepertimu?” Gerwin mendengus tak rela.
“Ya sudah, aku juga tak sudi membantu. Daffin, papah aku keluar dari sini. Biarkan orang-orang ini dengan harta yang berlimpah ruah ini saling tikam-menikam!”
Adhira mendekati tubuh Kiara dari lantai yang masih berada dalam dekapan Kuswan.
Sebelum Lodra menyingkap topeng di wajahnya, Kuswan selalu meragukan Adhira sebagai dalang atas kematian ayahnya. Namun setelah beberapa kesaksian yang ditampilkan, Kuswan mulai mencurigai Lodra. Dia hanya enggan percaya pada apa yang tak dilihatnya.“Aku tidak pernah membela diriku atas kematian Tante Durga, Bu Tamara, ataupun papamu, Kuswan,” ucap Adhira. “Aku mengunjungi makam mereka dan bersujud memohon pengampunan. Saat kamu menembakku, aku pun berharap ini bisa menggantikan kehilangan yang kamu rasakan. Tapi Ervan yang baik ini telah menyelamatkanku. Maaf, aku gagal mengabulkan keinginanmu.”Kuswan berdiri dalam diam. Hatinya bergetar, tapi dia belum mau mengakui permohonan tulus Adhira padanya.“Aku menyesal persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Tapi aku tetap bersyukur telah mengenalmu sebagai temanku.”Kali ini Kuswan tak bisa menolak untuk tidak menangis.Dia ingat pertama kali Adhira berbaris d
Adhira menciduk perkara yang bertahun-tahun menimpa dirinya tadi penuh amarah. Dia tak mau membiarkan dirinya membungkam dan menikmati tuduhan demi tuduhan itu lagi. “Lodra, kau benar-benar biadab!” Myra mengumpat kesal. “Apa yang membuatmu bisa setega itu pada Lyra?” Senyum sarkastik membeku di wajah Lodra. Para penonton yang berdiri mengelilingi Lodra kehabisan akal untuk menyerang. Racun yang diminum mulai bereaksi pada beberapa orang. Gerwin memegangi perutnya saat rasa perih mulai menjalar dari ulu hati. Haris yang merasakan napasnya kian pendek mencoba untuk duduk. “Jadi kalian percaya pada buronan ini?” Kini giliran Adhira yang tergelak, “Sampai kapan kau mau bersandiwara? Semua orang memang bisa mengira kalau aku si pembunuh berantai itu. Bahkan, bila ada kurap di wajahmu, kau bisa mengatakan itu karena aku telah mencemarimu. Tapi kau tetap tidak bisa lari dari dosa-dosamu, Lodra.” Adhira melirik pada Kiara yang sudah dipindahkan ke atas meja penyuguhan. Tubuhnya masih tam
Tak lama setelah Lodra meninggalkan pulau, Ervan keluar dari gedung resepsi. Mivar membantu menahan dua penjaga yang masih mengejarnya. Dia melangkah ke tepi laut mengejar keberadaan Adhira.“Hira!”“Dokter Ervan!” pekik Laila yang baru muncul dengan kapal kecil bermesin itu.“Laila?”Ervan tidak heran. Dia melihat Laila memang datang bersama Ali. “Cepat, turun!” Ervan berujar keras.Dia menyentak Ali untuk segera turun dari kapal. “Kiara dan para tamu ada di dalam. Aku harus menyelamatkannya.”“Hei, tapi bukankah….”“Pergilah, selamatkan yang lain! Aku tidak punya waktu menjelaskan padamu.”Dengan cepat Ali didorong dari kapal. Ervan terlalu panik hingga barang-barang itu langsung dibuangnya ke permukaan pasir. Kemudian, dia segera naik ke kapal bermotor tadi.“Dan kamu….” Ervan menoleh pada Laila, “Tunggu di kapal kecil yang di belakang pulau. Jangan coba-coba mengendarainya!”Ervan pun memutar setir kapal dan dengan cepat dia mengejar kapal lain yang sudah cukup jauh meninggalkan
Di kala para tamu sudah berbondong-bondong keluar saat mendengar tentang keberadaan bom, pria itu tetap tenang mengamati kondisi pengantin wanita yang masih belum sadar. Dia bekerja seperti tidak mendengar keributan yang masih terjadi di antara para tamu. Tidak ada yang peduli dengan pengantin wanita yang sudah mati itu di sini. “Kenapa masih di sini?” ujarnya saat melihat Kuswan masih mondar-mandir di sampingnya, “Aku memberimu suntikan agar kau bisa menyelamatkan Adhira.” “Ada bom di tempat ini. Dan kapal kami semua dicuri.” Dokter itu mengelus kepalanya jengkel, “Bom kepalamu! Cepat kau ke kapal yang tertambat di antara tanaman bakau itu! Yakinkan gadis kecil di sana agar dia mau meminjamkan kapalnya untukmu.” Kuswan bingung dengan jawaban pria itu. Tapi dia tak memiliki penyelaan yang berarti. Jadi dia segera melaksanakan apa yang dipintanya. Baik Adhira ataupun Kiara tidak ada yang boleh mati. Dia telah salah paham dengannya selama ini dan pelakunya harus bertanggung jawab at
“Daffin….”Ervan melompat ke kapal tersebut dan segera menendang tubuh Lodra dari Adhira. Dia melepas jasnya dan melingkupi tubuh ringkih ini dari udara laut. Lalu dengan lengan bajunya dia mengusap darah yang bercucuran di bibir dan hidung Adhira. Dia juga melirik miris ke arah bahu Adhira yang terdapat bekas gigitan itu.“Hira, aku datang. Aku bersamamu sekarang.”Adhira menatap ke arah Lodra yang masih menelungkup itu dengan pandangan seram. Ervan langsung menutup matanya dan mendekap Adhira dalam pelukannya. Sekujur tubuhnya masih gemetar hebat. Dia tak kuasa membuat dirinya tenang. Ketakutan dan bayang-bayang hitam masih bergelung di pikirannya.“Daffin, lepaskan ini….”Ervan melihat pergelangan tangan yang masih terborgol itu telah dilumuri darah. Dia memberontak dengan sangat keras hingga gelang besi itu menggesek sampai ke tulang tangannya.“Aku akan melepasnya. Aku akan membawamu pergi.”Kepanikan menjalari Adhira. Dia tak berhenti menarik tangannya dari borgol. Sementara Erv
Anggota aliansi beserta tamu undangan masih terkapar di selasar depan gedung resepsi. Haris baru saja memuntahkan isi perutnya untuk yang kesembilan kali. Tampaknya efek racun belum hilang dari mereka. Dia tersaruk-saruk menjauhi kerumunan.“Mau ke mana, Om Haris?”Seorang perempuan mendelik tajam kepada lelaki paruh baya yang masih meringis kesakitan itu. Salah satu tangannya memegang sebuah jarum suntik. Ujungnya yang tajam terarah seperti senjata mematikan.Tanpa sempat dicegah, perempuan yang memanggilnya tadi segera menyuntikkan cairan panas di pahanya.“Apa yang kau….”Haris ambruk sebelum sempat mengenali sosok yang menyerangnya tadi. Pandangannya gelap dan dia tak lagi tahu ke mana dirinya dibawa. Tapi dia tahu ini adalah mimpi buruk baru untuknya.Sejak insiden di pulau, orang-orang beranggapan Haris kabur ke suatu tempat untuk menghindari hukuman dan pengejaran. Kejahatannya sudah dikuliti hingga ke inti, jadi pria itu pasti tidak akan berani menunjukkan dirinya.“Kau mungki
“Bagaimana kamu tahu kalau racun yang dipakai untuk membunuhku lebih kuat?”Dengan ratapan sinis itu, Ervan menjawab, “Karena itu adalah siasat terakhirnya. Lodra tadinya memang bertaruh dengan Kiara. Jika Kiara setia padanya, maka kamu yang meneguk racunnya. Tapi dia tahu Kiara tidak akan mungkin mau memberikanmu racun itu. Jadi dia harus memastikan racun yang diminum Kiara akan merenggut nyawanya dalam seketika.”“Lalu bagaimana kalian bisa tahu racun apa yang seharusnya dipakai Lodra?”“Pak Harlan menuliskan rincian racun yang disusun kotak berlabel khusus sebelum dia memberikannya pada Lodra. Rencana ini sudah dirancangnya bertahun-tahun yang lalu. Aku menghubungi Kiara sebelum upacara penyuguhan berlangsung dan menukar racun yang asli dengan yang kudapatkan dari Ali.”“Kiara menggunakan racun dari Pak Harlan di bunga marigold itu.”Adhira tahu Kiara tidak pernah menyukai bunga itu karena itu merupakan simbol duka, kecemburuan, kesedihan, dan kekejaman. Tidak ada yang melekatkan b
Selama proses persidangan berlangsung, Adhira harus tinggal di rutan. Tentu Ervan memastikan Adhira tak mendapatkan perlakuan buruk di tempat tersebut. Dia bahkan memenuhi seluruh kebutuhan Adhira hingga yang paling kecil.Obat-obatan diantar olehnya setiap hari tanpa terputus. Makanan dibuatkan khusus oleh koki dari kediaman Sadana. Ervan mengunjunginya sepanjang waktu, baik sebagai teman atau sebagai dokter pribadi.Adhira sempat menolak kedatangan Ervan karena malas menghadapi gunjingan para napi dan petugas di rutan, tapi dia tahu itu hanya akan membuat Ervan makin gencar dan menyulut masalah baru.“Apakah mereka memberimu kudapan sore?”“Iya. Mereka mengantarnya tiga kali hari ini.”“Dan, apakah selimut yang diberikan cukup hangat? Aku akan menggantinya bila kamu merasa kurang tebal.”“Sudah hangat. Aku seperti raja yang terpenjara sekarang.”“Apa kamu memakai krim malam yang kuberikan?”“Krim apa?”“Krim….” Ervan tak bisa melanjutkan. Krim itu harus dioleskan di area agak pribad