Lodra menuang teko yang berisi teh yang sama seperti yang sudah diminum yang lain ke dua cangkir yang baru. Dia memberikan satu pada Kiara.“Mari kita saling bersulang, Sayang,” ucap Lodra.Walau Kiara mengikuti arahan Lodra, kedua matanya tak berhenti menatap Adhira. Lodra menyilangkan lengannya ke lengan Kiara dan isi cangkir pun mengalir ke mulutnya. Tindakan mereka segera mendapat tepukan meriah dari para tamu.Mereka menunggu beberapa waktu sebelum Lodra menuang kembali cangkirnya dengan teh tadi.Haris bangkit dari kursinya dan memberi aba-aba pada anggota aliansi yang hadir, “Untuk pernikahan yang abadi. Mari kita bersulang untuk pasangan pengantin hari ini!”Anggota aliansi yang mendapat kehormatan untuk minum itu pun meneguk isi cangkir mereka masing-masing, diikuti Adhira yang sempat mendapat lirikan pasrah dari Ervan.Kiara berdiri dengan kepala tetap merunduk. Meski wajahnya sudah dipoles sed
Suara Kuswan membahana mengisi setiap sudut ruangan yang ada di ruangan pesta. “Kiara!”Para tamu tercekat akan kejadian tadi. Haris dan Gerwin terperangah melihat sang pengantin wanita kini sudah tak lagi bernyawa di pangkuan Kuswan.Adhira berbalik dan menghampiri Kiara tanpa berkata-kata. Hanya ada jarak beberapa detik dari terakhir kali mereka minum sampai Kiara sudah meregang nyawanya di lantai.Hal yang mengejutkan lagi adalah, Lodra hanya berdiri di depannya tak memberi respons apa pun, tidak panik, tidak juga berusaha mencari bantuan. Dia seperti sudah memprediksi kemungkinan tersebut.Saat Adhira hendak meraih Kiara, Kuswan langsung menyergah tubuhnya, “Jangan sentuh dia!”Adhira terempas ke lantai tanpa kekuatan. Tangisnya tertahan, tapi perasaan sesal membelenggu hatinya sekarang. Dia menoleh ke arah Ervan yang mematung tanpa ekspresi.“Kau apakan dia, Adhira?” tandas Kuswan dengan nada tinggi.
“Bangsat kau, Lodra!” maki Gerwin dengan sejuta kemurkaan.Dia hendak melakukan penyerangan pada Lodra, tapi segera dicekal oleh dua penjaga. Walau Adhira akhirnya bisa melepaskan dirinya, ada banyak penjaga yang memagari dirinya dengan Ervan.“Perlu kuberi tahu padamu, kalau Defras sudah sirna sejak kematian Semias. Taktikmu terbaca jelas dan aku tidak butuh menebak kalau kau bahkan tidak bisa memimpin perusahaan kecilmu ini. Kau menjual nama Hadaya Group untuk kepentingan pembangunan Riverside Blossom, lalu merusaknya dengan cara murahan. Kau dan sekelompok putrimu itu hanya seonggok sampah yang menambah daftar panjang aliansi saja.”“Kau….”Bola mata sehitam jelaga hampir keluar dari rongganya.“Kau dan perusahaanmu ini harus mengganti rugi kehilangan ini, Gerwin.”“Kau anak haram sialan!”Umpatan tadi membuat Lodra tertawa kian lebar. Dia mendekati Gerwin dan menar
“Keluarga Defras masih akan baik-baik saja selama kau bisa menutup mulut.” Semias merasa terancam. Dia tahu bahwa dia hanya anak bawang di aliansi ini. Sebagian besar kekayaan keluarga Defras adalah asupan dari Refendra dan Sadana. Tanpa kedua orang itu, Semias hanya pria biasa yang tak memiliki nama. Bertolak dari nuraninya, Semias pun mengantar Adhira pada keluarga Osman. Dia berharap Adhira bisa menjalani hidupnya tanpa perlu mengetahui semua ini. Kalung triquetra yang masih tergantung di leher Adhira disimpan oleh Semias untuk membersihkan kenangan yang tersisa. Semias juga menyimpan gantungan kunci yang masih berada di saku celana Tanusal. Benda itu pernah dia berikan untuk Tanusal sebagai buah tangan dan Tanusal mengaitkkannya ke kunci rumah. Dia juga menjemput Genever yang masih terkatung-katung di pinggir jalan kembali ke rumahnya. Akan tetapi Semias tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Iren. Dia hanya mengatakan Tanusal mati tertembak dan penembaknya sedang dal
Kuswan menggeletakkan jenazah Kiara di lantai, lalu melangkah ke pintu keluar. Namun ketika kakinya melangkah di depan pintu, dua penjaga langsung melemparnya ke tengah-tengah aula.“Kalau kalian patuh pada ucapanku harusnya tak perlu ada adegan seperti ini,” ucap Lodra.“Ervan, kamu kan tidak sempat minum teh beracun itu, kamu bisa menolong kami.” Gerwin masih enggan menandatangani berkas yang diserahkan Lodra padanya.“Aku juga tidak minum teh yang beracun,” timpal Adhira.Entah kenapa dia merasa gembira melihat para anggota aliansi itu sekarang memohon pada Ervan.“Meminta bantuan pada buronan sepertimu?” Gerwin mendengus tak rela.“Ya sudah, aku juga tak sudi membantu. Daffin, papah aku keluar dari sini. Biarkan orang-orang ini dengan harta yang berlimpah ruah ini saling tikam-menikam!”Adhira mendekati tubuh Kiara dari lantai yang masih berada dalam dekapan Kuswan.
Sebelum Lodra menyingkap topeng di wajahnya, Kuswan selalu meragukan Adhira sebagai dalang atas kematian ayahnya. Namun setelah beberapa kesaksian yang ditampilkan, Kuswan mulai mencurigai Lodra. Dia hanya enggan percaya pada apa yang tak dilihatnya.“Aku tidak pernah membela diriku atas kematian Tante Durga, Bu Tamara, ataupun papamu, Kuswan,” ucap Adhira. “Aku mengunjungi makam mereka dan bersujud memohon pengampunan. Saat kamu menembakku, aku pun berharap ini bisa menggantikan kehilangan yang kamu rasakan. Tapi Ervan yang baik ini telah menyelamatkanku. Maaf, aku gagal mengabulkan keinginanmu.”Kuswan berdiri dalam diam. Hatinya bergetar, tapi dia belum mau mengakui permohonan tulus Adhira padanya.“Aku menyesal persahabatan kita harus berakhir seperti ini. Tapi aku tetap bersyukur telah mengenalmu sebagai temanku.”Kali ini Kuswan tak bisa menolak untuk tidak menangis.Dia ingat pertama kali Adhira berbaris d
Adhira menciduk perkara yang bertahun-tahun menimpa dirinya tadi penuh amarah. Dia tak mau membiarkan dirinya membungkam dan menikmati tuduhan demi tuduhan itu lagi. “Lodra, kau benar-benar biadab!” Myra mengumpat kesal. “Apa yang membuatmu bisa setega itu pada Lyra?” Senyum sarkastik membeku di wajah Lodra. Para penonton yang berdiri mengelilingi Lodra kehabisan akal untuk menyerang. Racun yang diminum mulai bereaksi pada beberapa orang. Gerwin memegangi perutnya saat rasa perih mulai menjalar dari ulu hati. Haris yang merasakan napasnya kian pendek mencoba untuk duduk. “Jadi kalian percaya pada buronan ini?” Kini giliran Adhira yang tergelak, “Sampai kapan kau mau bersandiwara? Semua orang memang bisa mengira kalau aku si pembunuh berantai itu. Bahkan, bila ada kurap di wajahmu, kau bisa mengatakan itu karena aku telah mencemarimu. Tapi kau tetap tidak bisa lari dari dosa-dosamu, Lodra.” Adhira melirik pada Kiara yang sudah dipindahkan ke atas meja penyuguhan. Tubuhnya masih tam
Tak lama setelah Lodra meninggalkan pulau, Ervan keluar dari gedung resepsi. Mivar membantu menahan dua penjaga yang masih mengejarnya. Dia melangkah ke tepi laut mengejar keberadaan Adhira.“Hira!”“Dokter Ervan!” pekik Laila yang baru muncul dengan kapal kecil bermesin itu.“Laila?”Ervan tidak heran. Dia melihat Laila memang datang bersama Ali. “Cepat, turun!” Ervan berujar keras.Dia menyentak Ali untuk segera turun dari kapal. “Kiara dan para tamu ada di dalam. Aku harus menyelamatkannya.”“Hei, tapi bukankah….”“Pergilah, selamatkan yang lain! Aku tidak punya waktu menjelaskan padamu.”Dengan cepat Ali didorong dari kapal. Ervan terlalu panik hingga barang-barang itu langsung dibuangnya ke permukaan pasir. Kemudian, dia segera naik ke kapal bermotor tadi.“Dan kamu….” Ervan menoleh pada Laila, “Tunggu di kapal kecil yang di belakang pulau. Jangan coba-coba mengendarainya!”Ervan pun memutar setir kapal dan dengan cepat dia mengejar kapal lain yang sudah cukup jauh meninggalkan
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A