Ervan tak lagi dapat mencari keberadaan Adhira setelah Alan Sadana dan Tamara meninggal. Haris mengurungnya dan menempatkan penjaga di setiap sudut rumah.
Waktu Renal menemuinya di sana beberapa bulan kemudian, Ervan tengah terbaring di kamar dengan kedua tangan yang penuh dengan luka pukulan.
“Om, Renal?”
Ervan terbangun dari mimpi buruknya. Kepalanya berdenyut kencang, nyeri menjalari tulang belulangnya.
“Di mana Hira?”
“Kamu tidak usah mencarinya lagi, Ervan.”
Renal menyodorkan setumpuk koran di samping Ervan.
“Tidak mungkin. Dia tidak bersalah.”
“Dia yang memasang bom di kediaman Refendra. Walau tidak ada korban jiwa, banyak keluarga aliansi yang terluka akibat kejadian itu. Dia juga menembak Teodro, Ervan!”
“Itu yang kalian dengar.”
“Lantas siapa lagi kalau bukan Adhira? Dia sudah mengincar aliansi sejak lama.”
Ervan me
Adhira meratapi lantai rumah sakit sambil mendengarkan kisah pilu yang telah dijalani Ervan untuk sampai menemukan dirinya lagi.Selama ini Ervan tak pernah menjawab tentang luka yang terbentuk di tangannya. Dia hanya menebak kalau itu adalah hukuman atas pelanggaran peraturan ketat keluarga Sadana. Dia tak menyangka Ervan mendapati itu sebagai upaya pemberontakan atas dirinya.Apa yang dia rasakan saat dia mendengar tentang kematiannya? Seberapa menderita dirinya menanggung kehilangan ini?“Yang kamu ketahui tentang Ervan, pastilah tentang sosoknya yang dingin, pemberang, dan keras.”Adhira menggeleng. Air matanya mulai bergulir ke pipinya. Ada panah runcing yang ditusuk ke jantungnya, diputar dan dicabut kembali.Renal kembali bertanya. “Kamu pasti juga tidak tahu isi botol obat yang selalu diminumnya, kan?”“Botol?”Saat di apartemennya Adhira melihat deretan botol tak berlabel. Jenis yang juga m
"Apakah Ervan tahu hal ini?”Renal menggeleng ragu, “Aku pernah bertanya padanya, dan dia bilang dia hanya ingat ada seorang laki-laki yang pernah menolongnya dari terkaman macan saat berada di hutan. Hanya sepenggal ingatan itu yang membuatnya yakin dia pernah memiliki seorang ayah yang lain dari Haris.”Terbongkar sudah alasan atas larangan Haris tentang pergi ke hutan dan memberi makan hewan buas itu. Semua ini dapat membuat Ervan kembali mengungkit tentang orang yang ingin dikubur dalam-dalam oleh keluarga besar Sadana.“Dua tahun setelah ledakan, kakakku meninggal dunia karena penyakit kanker. Anak yang masih begitu kecil tidak akan pernah mengerti arti perpisahan seperti ini. Namun Ervan tahu dia telah kehilangan dua orang yang paling menyayanginya di dunia ini. Pukulan bertubi itu juga tidak berhenti menorehkan masa lalu yang kelam untuknya. Haris dan ayahku disebut sebagai orang dengan karakter yang keras. Dia mendidiknya dengan c
Seorang pria dengan pakaian khas rumah sakit berwarna biru muncul dari balik pintu. Adhira tak begitu ingat dengan orang tersebut. Dia hanya ingat waktu Ali bercerita orang yang membedahnya tak lain adalah musuh dalam turnamen biologi yang melawan Ervan di final. Entah niat bulus apa yang membuatnya mau melakukan pembedahan pada Adhira. Mengapa Ervan tidak menentang hal itu?Dia melangkah masuk bersama seorang perawat.“Pak Gauhar, dokter Elyas yang kemarin mengoperasi Anda hendak melakukan evaluasi,” ucap perawat perempuan tersebut.Adhira membuka matanya dengan berat. Entah cairan apa yang dimasukkan Ali hingga sejak selesai dari kamar operasi hingga hari ini dia belum juga memiliki cukup energi untuk bangkit dari kasur. Adhira mengintip dari pelupuk matanya.Elyas yang berseragam biru itu segera membuka pakaian Adhira.“Apa yang….?” Adhira melonjak kaget.Elyas tersenyum sinis. “Kau pikir aku suk
“Hal apa?”“Yang kudengar dari orang-orang, Elyas sempat melontarkan keengganannya menyentuh penyuka sesama jenis. Benar-benar homofobia fase terminal yang tidak ada obatnya!” pungkas Ali.“Lantas, apakah Ervan tahu bahwa orang yang mengoperasiku adalah musuh bebuyutannya?”Ali mengangguk.“Dia tak keberatan?”“Nyawamu di ujung tanduk, Adhira. Kalau bukan dia yang berbaik hati mengangkatmu dari sergapan maut, aku yakin kamu sudah jadi arwah gentayangan sekarang.”Kemuraman kembali tercetus di wajah Adhira. Adhira percaya kalau Ervan pasti sangat merendahkan dirinya hingga mau meminta bantuan pada Elyas yang sudah menghinanya ini. Mungkin bila harus kembali dicaci maki dan dipermalukan oleh orang seperti Elyas, Ervan bisa melakukan hal itu tanpa keraguan.Entah mengapa Adhira merasa ucapan Renal kemarin sepenuhnya benar. Pada tahap ini tidak ada yang bisa menghentikan upaya Er
Laila masuk dari arah belakang rumah sakit setelah merengek pada Ervan agar diperbolehkan datang menemui Adhira yang kini masih terbaring di rumah sakit.“Ckckck… kamu berhasil Om Gauhar. Kamu berhasil bikin Dokter Ervan siang malam tidak pulang karena menjagamu di sini,” ujar Laila sambil meletakkan tumpukan kotak makanan di ranjang Adhira.“Hei, aku sedang sakit. Apa tak bisa lembut sedikit ngomongnya?”Adhira mencoba mengangkat barang itu dari tempat tidurnya. Bahkan untuk membungkuk dia masih kesulitan.“Habis, bikin repot sih. Tapi, kok bisa ditembak sih? Seram sekali.” tanya Laila.Adhira menghela napasnya malas. “Itu makanya, kamu jangan dekat-dekat sama keluarga aliansi itu.”“Dokter Ervan tidak pernah mengizinkanku bertanya-tanya tentang aliansi. Sebenarnya aliansi itu apa sih?”“Ehmm… kamu benar. Mereka itu mengerikan. Aku yang begini kuat aja bi
Brukk!Suara bantingan keras terdengar dari dalam. Flora menjerit sekuat pita suaranya bisa bergetar.Tak lama kemudian, tembakan menggelegar. Laila bergegas masuk. Dia meraih silet yang ada di tas sekolahnya. Terlihat pria itu hendak mengacungkan ujung pistolnya ke kepala Flora yang tak sadarkan diri di sudut dapur.Laila berancang-ancang dan membuat lompatan besar ke arah tubuh laki-laki tersebut. Tangannya yang memegang silet diarahkan tepat mengenai lehernya. Suara tembakan kedua kembali terdengar. Laila segera menarik rambut lelaki itu dan kembali memberikan penyerangan.Rasa sakit membuatnya menyentak tubuh Laila ke lantai. Kekuatan mereka tak seimbang. Laila terlalu pendek dan lemah melawan pria kekar itu. Silet tadi berhasil diambil dari genggamannya. Saat tusukan balasan hendak dilayangkan, sepatu kulit memelesat ke pergelangan tangannya. Membuat silet yang berhasil direbut dari Laila terlepas.“Dokter Ervan!” Laila be
Ervan melangkah kembali ke kamar perawatan Adhira segera setelah memastikan Flora dalam keadaan aman. Saat akan melewati lorong rumah sakit, Ervan melintasi sesosok pasien laki-laki paruh baya yang tengah didorong para perawat dari IGD.Lapisan kassa yang menutupi sebagian wajah pria itu menarik perhatian Ervan. Mereka bersamaan masuk ke dalam lift yang mengantarnya ke ruang rawat intensif. Ervan sempat melirik berkas tersebut dan mendapati kalau Harlan dilarikan ke rumah sakit karena wajahnya tersiram air keras.“Pak Harlan?”Hanya dari pakaian batik yang selalu dipakai gurunya itu yang membuat Ervan bisa ingat dengan guru kimia itu.Bapak itu menoleh mencari asal suara, walau dengan kelopak mata yang terbalut perban. Penglihatannya telah hilang dalam waktu yang tak dapat ditentukan.Harlan masih terbaring, tapi tangannya menggapai-gapai ke udara.Pria itu bertanya parau, “Siapa… itu?”Tampaknya cairan
Ervan berlari kencang melintasi lorong rumah sakit yang dingin. Dia melangkah menuju ke kamar perawatan yang berada di ruang rawat yang agak tersembunyi dari ruang yang lain. Selain tempat tidur yang masih berantakan beserta secawan sup yang belum sempat dimakan Adhira, sosok itu lenyap.“Siapa yang bertugas jaga hari ini?”Tidak ada yang berani mengacungkan tangan. Ervan pun tak berdaya bertanya.Seorang pria berseragam biru melangkah mendekati Ervan dengan selang kateter di tangannya—bukan selang bekas tentu saja.“Elyas?” Biji mata Ervan tegak lurus menghajar wajah musuh bebuyutan di depannya. “Kamu yang membiarkannya keluar.”“Aku tahu kamu seorang idealis yang tak pernah menyimpulkan sesuatu tanpa bukti. Tapi tampaknya kebencianmu padaku sudah membiaskan penilaian itu.” Elyas menghela napasnya pasrah.Urat lehernya menggembung dan kedua tangannya tercekal erat. “Di mana Adhira?
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A