Ervan melangkah kembali ke kamar perawatan Adhira segera setelah memastikan Flora dalam keadaan aman. Saat akan melewati lorong rumah sakit, Ervan melintasi sesosok pasien laki-laki paruh baya yang tengah didorong para perawat dari IGD.
Lapisan kassa yang menutupi sebagian wajah pria itu menarik perhatian Ervan. Mereka bersamaan masuk ke dalam lift yang mengantarnya ke ruang rawat intensif. Ervan sempat melirik berkas tersebut dan mendapati kalau Harlan dilarikan ke rumah sakit karena wajahnya tersiram air keras.
“Pak Harlan?”
Hanya dari pakaian batik yang selalu dipakai gurunya itu yang membuat Ervan bisa ingat dengan guru kimia itu.
Bapak itu menoleh mencari asal suara, walau dengan kelopak mata yang terbalut perban. Penglihatannya telah hilang dalam waktu yang tak dapat ditentukan.
Harlan masih terbaring, tapi tangannya menggapai-gapai ke udara.
Pria itu bertanya parau, “Siapa… itu?”
Tampaknya cairan
Ervan berlari kencang melintasi lorong rumah sakit yang dingin. Dia melangkah menuju ke kamar perawatan yang berada di ruang rawat yang agak tersembunyi dari ruang yang lain. Selain tempat tidur yang masih berantakan beserta secawan sup yang belum sempat dimakan Adhira, sosok itu lenyap.“Siapa yang bertugas jaga hari ini?”Tidak ada yang berani mengacungkan tangan. Ervan pun tak berdaya bertanya.Seorang pria berseragam biru melangkah mendekati Ervan dengan selang kateter di tangannya—bukan selang bekas tentu saja.“Elyas?” Biji mata Ervan tegak lurus menghajar wajah musuh bebuyutan di depannya. “Kamu yang membiarkannya keluar.”“Aku tahu kamu seorang idealis yang tak pernah menyimpulkan sesuatu tanpa bukti. Tapi tampaknya kebencianmu padaku sudah membiaskan penilaian itu.” Elyas menghela napasnya pasrah.Urat lehernya menggembung dan kedua tangannya tercekal erat. “Di mana Adhira?
“Serahkan dia padaku!”“Atau apa?”Haris menantang. “Perjanjian kita belum kau penuhi Ervan. Bukankah sudah kukatakan, kau patuhi perintahku dan aku akan menuruti kemauanmu juga. Mengapa kau bersikeras menolongnya?”Kuswan ikut menimpali, “Adhira berhasil menakhlukkanmu. Kudengar dia memiliki gangguan orientasi seksual. Apakah dia melakukan itu padamu?”Mata Haris membulat dan hampir keluar dari rongganya.“Seharusnya aku tidak membiarkanmu berteman dengannya. Bahkan Tamara saja menjadi mata-mata demi membantu anak sialan itu. Aku benar-benar terpedaya selama ini.”Pisau berdesing saling beradu di balik kulit dada, melahirkan percikan api yang terjebak dalam kerangka rusuknya. Ervan memiliki seribu macam alasan untuk menyangkal, tapi dia tahu setiap kata yang diucapkan hanya akan menunda pertemuannya dengan Adhira. Jadi dia menelan lidahnya sendiri dan mulai melakukan penca
“Hentikan ini! Jangan siksa dia lagi!”Segera setelah Haris memberi aba-aba pada dua penjaga, Ervan bergegas menyongsong laki-laki yang tergeletak melawan maut itu. Dia membuka salah satu mata Adhira dengan jemarinya untuk melakukan pemeriksaan singkat.Meski baru dibasuh dengan air sedingin es, kulit tubuh yang melapisi tulang belulang Adhira panas membara. Ervan tak sempat memeriksa lebih lanjut. Kain tipis yang menyelimuti tubuhnya meninggalkan jejak lingkaran hitam di banyak titik. Bau hangus tercium ketika ujung stungun menempel di permukaan kulitnya.“Hira?” Ervan merengkuh tubuh remuk itu ke dadanya.“Dia tidak akan mati secepat itu,” imbuh Lodra tenang.Dia pernah menyiksa Adhira lebih dari ini. Walau agak mengasihani orang itu, Lodra tahu Adhira akan selamat. Dia dirawat dengan ‘baik’ olehnya.Ervan hendak mengangkatnya dari lantai ketika Haris mencegatnya lagi.“
Rumah bertingkat tiga dengan kubah di tengah bangunan itu masih berdiri seperti sedia kala. Ervan yang duduk diperantarai Haris dan Gerwin hanya diam meratapi kemelut yang belum berpindah dari muara kesedihan.Sesekali Haris menceramahinya dengan berbagai petuah yang bagi Ervan hanya bentuk kekesalannya pada sikap Ervan. Sementara Gerwin sejak awal hanya menonton dengan bosan. Tidak niat yang lebih menarik bagi dirinya selain menyaksikan langsung berlian merah yang katanya masih disimpan keluarga Limawan itu.Waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Kuswan yang duduk di bangku depan memandang arah jalan yang remang, sesekali dia menguap lebar.Kiara yang duduk di barisan paling belakang bersama Lodra tak berhenti memandang layar ponselnya.Haris berkata pada Ervan, “Tenanglah, setelah dia sampai, aku akan mengirim foto Adhira padamu. Dia akan di kembalikan ke tempat tidurnya yang nyaman tanpa kurang satu apa pun.”Ervan digiring masuk ke hala
Ervan masih dikelilingi oleh tatapan geram Haris, Gerwin, dan Kuswan. Yang segera dia balas dengan tawa miris. Inilah orang-orang yang menyatakan diri mereka adalah keluarga. Saling menghancurkan di balik kedok aliansi.“Kalian mau aku mengatakan apa?” tanya Ervan balik.“Adhira pasti sudah menyembunyikan berlian itu. Kamu pasti tahu sesuatu?”Kepala Ervan tergeleng pelan. “Aku tidak tahu. Bagaimana aku bisa tahu?”“Dia memberikanmu kalung itu. Hanya itu yang bisa membuka harta karun ini.”“Bukankah kalian sudah merebut itu dariku?”Haris mendekati Ervan dan kembali bertanya, “Katakan, di mana kau menyimpan berlian itu?”“Orang yang mengetahui berlian itu hampir kalian bunuh,” jawab Ervan tenang. Walau tenang, badai amarah bergemuruh kencang dalam dirinya.Sudut mata Ervan melirik ke arloji yang masih dikenakannya. Berdasarkan rencana tadi, Adhi
Air mata sudah menetes dan wajahnya yang semula pucat mulai diwarnai oleh titik-titik kemerahan.“Dia hanya manusia biasa, yang bisa merasakan kegembiraan oleh kasih sayang dan kesedihan karena pengabaian, penindasan, dan pengucilan. Hira—dia sama sekali tidak menghasutku, tidak menjebakku, tidak mempermainkanku atau mengkhianatiku. Aku yang memilihnya….”mencintainya lebih dulu.“Dia… bisa tidak memilihku karena ini semua bukanlah kehendaknya. Bukan keinginannya untuk dijebak oleh tuduhan itu, dikirim ke penjara dan menjalani hidup sebagai narapidana. Bukan keinginannya untuk menjadi orang yang kalian katakan sangat hina itu. Namun dia tahu dia tak berhak meminta lebih karena dosa yang ditumpahkan padanya terlampau besar.”Ervan masih menatap Kiara lirih.“Kiara, kau lihat. Dia bisa mengorbankan harga dirinya agar kau tidak mendekam di penjara dan mengalami hal yang telah dia alami. Dan di
Ervan menghubungi Nahif setelah berhasil kabur dari tengah pertikaian dan ledakan kecil di kediaman Limawan. Kegemparan itu tak begitu ketara saat dia berada di luar. Ini dikarenakan lokasi rumah Limawan sedikit terisolir dari kepadatan kota.Nahif sudah berhasil menjebak para pesuruh yang diutus Haris saat mereka membawa Adhira keluar dari Lavandula.Ervan tahu kondisi Adhira tetap harus mendapat penanganan segera. Jadi dia meminta Nahif segera membawanya ke tempat dengan fasilitas kesehatan yang memadai secara sembunyi-sembunyi.Rumah sakit yang terletak di pinggir kota bisa menjadi tempat pemulihan yang ideal untuk sementara waktu. Setidaknya Ervan bisa merawat Adhira sampai tubuhnya pulih.Asap mengepul di koridor depan. Nahif duduk diam-diam mengisap rokoknya. Dia sudah berulang kali diusir para perawat karena merokok di kawasan rumah sakit, tapi tentu saja tidak akan diacuhkan mantan napi itu.“Di mana dia?”&ld
“Aku tidak menggantikanmu.”Setelah jeda, Adhira melanjutkan, “Malam itu… terlepas kamu yang mabuk atau aku yang mabuk, aku tetap akan mendapat penyakit ini.”Ervan menggeleng. Dia sadar Adhira sakit bukan karena dia melakukan perbuatan asusila. Dia tidak memerkosa atau menyakiti siapa pun, tidak membunuh para pembunuh orang tuanya. Adhira tidak membuktikannya karena dia tidak ingin menyakiti orang yang dia sayangi. Dia menerima hukuman itu dan berharap dengan menjalaninya, bisa mengurangi dosanya.Sejak awal Adhira menganggap mencintai Ervan adalah sebuah kesalahan dan dosa. Dia takut menjadi aib bagi Ervan. Takut mempermalukannya. Jadi biarkan orang-orang menganggapnya si homo yang mesum. Biar dia saja yang dipukul, mendapatkan penyakit mematikan ini, ditusuk ribuan jarum selama menjalani pengobatan, dan menanggung hinaan agar nama cemerlang Ervan tidak tercemar.Akar-akar cinta itu entah dari mana asalnya, tapi pondasinya