Air mata sudah menetes dan wajahnya yang semula pucat mulai diwarnai oleh titik-titik kemerahan.
“Dia hanya manusia biasa, yang bisa merasakan kegembiraan oleh kasih sayang dan kesedihan karena pengabaian, penindasan, dan pengucilan. Hira—dia sama sekali tidak menghasutku, tidak menjebakku, tidak mempermainkanku atau mengkhianatiku. Aku yang memilihnya….”
mencintainya lebih dulu.
“Dia… bisa tidak memilihku karena ini semua bukanlah kehendaknya. Bukan keinginannya untuk dijebak oleh tuduhan itu, dikirim ke penjara dan menjalani hidup sebagai narapidana. Bukan keinginannya untuk menjadi orang yang kalian katakan sangat hina itu. Namun dia tahu dia tak berhak meminta lebih karena dosa yang ditumpahkan padanya terlampau besar.”
Ervan masih menatap Kiara lirih.
“Kiara, kau lihat. Dia bisa mengorbankan harga dirinya agar kau tidak mendekam di penjara dan mengalami hal yang telah dia alami. Dan di
Ervan menghubungi Nahif setelah berhasil kabur dari tengah pertikaian dan ledakan kecil di kediaman Limawan. Kegemparan itu tak begitu ketara saat dia berada di luar. Ini dikarenakan lokasi rumah Limawan sedikit terisolir dari kepadatan kota.Nahif sudah berhasil menjebak para pesuruh yang diutus Haris saat mereka membawa Adhira keluar dari Lavandula.Ervan tahu kondisi Adhira tetap harus mendapat penanganan segera. Jadi dia meminta Nahif segera membawanya ke tempat dengan fasilitas kesehatan yang memadai secara sembunyi-sembunyi.Rumah sakit yang terletak di pinggir kota bisa menjadi tempat pemulihan yang ideal untuk sementara waktu. Setidaknya Ervan bisa merawat Adhira sampai tubuhnya pulih.Asap mengepul di koridor depan. Nahif duduk diam-diam mengisap rokoknya. Dia sudah berulang kali diusir para perawat karena merokok di kawasan rumah sakit, tapi tentu saja tidak akan diacuhkan mantan napi itu.“Di mana dia?”&ld
“Aku tidak menggantikanmu.”Setelah jeda, Adhira melanjutkan, “Malam itu… terlepas kamu yang mabuk atau aku yang mabuk, aku tetap akan mendapat penyakit ini.”Ervan menggeleng. Dia sadar Adhira sakit bukan karena dia melakukan perbuatan asusila. Dia tidak memerkosa atau menyakiti siapa pun, tidak membunuh para pembunuh orang tuanya. Adhira tidak membuktikannya karena dia tidak ingin menyakiti orang yang dia sayangi. Dia menerima hukuman itu dan berharap dengan menjalaninya, bisa mengurangi dosanya.Sejak awal Adhira menganggap mencintai Ervan adalah sebuah kesalahan dan dosa. Dia takut menjadi aib bagi Ervan. Takut mempermalukannya. Jadi biarkan orang-orang menganggapnya si homo yang mesum. Biar dia saja yang dipukul, mendapatkan penyakit mematikan ini, ditusuk ribuan jarum selama menjalani pengobatan, dan menanggung hinaan agar nama cemerlang Ervan tidak tercemar.Akar-akar cinta itu entah dari mana asalnya, tapi pondasinya
“Maafkan aku… Hira.”Ervan adalah orang yang keras kepala. Bahkan ketika meminta maaf, dia pun akan bersikap yang sama.“Daffin! Siapa yang menyuruhmu berlutut di sini? Bukannya lantai rumah sakit itu penuh dengan jamur dan mikroba. Dengkulmu bisa tercemar.”Ocehan Adhira tak lekas membuat Ervan menghentikan niatnya.“Kamu hari ini kenapa? Salah makan obat?”Adhira turun dari ranjangnya dan menarik tubuh Ervan dari lantai.Namun dia sendiri tahu kekuatannya sudah terisap habis sejak mereka menganiayanya di Lavandula kemarin.Alhasil, keduanya justru berlutut di lantai bersama.Dengan cepat Adhira merangkul Ervan, menepuk punggungnya untuk mengibaskan rasa bersalah yang membebani dirinya.“Sudahlah. Kita jangan bahas hal menyedihkan begini lagi. Walau aku pandai menghibur orang, aku tidak pernah berhasil membuatmu tertawa.”Tampaknya Ervan masih enggan bangkit.
Berminggu-minggu lamanya Adhira harus mendekam di rumah sakit itu, barulah Ervan mengizinkannya kembali ke apartemennya. Laila dan Odin datang khusus menyambut kepulangannya dengan memesan begitu banyak makanan kesukaan Adhira.“Wah, kamu akhirnya bisa pulang juga. Kukira kalian mau membangun rumah di RS,” singgung Laila.“Apartemenmu baru direnovasi?” tanya Adhira menatap sekeliling ruangan dengan dinding yang sudah dicat ulang serta perabot yang ditata ulang.“Huff… kamu belum tahu saja, kemarin waktu Flora menginap di sini, ada penyusup masuk. Flora hampir mau ditembak.”“Hah? Ada kejadian begitu?”Adhira sudah lupa akan telepon dari Flora waktu di berada di rumah sakit kemarin. Ervan juga tak menyinggung tentang itu setelahnya.Laila mengangguk.“Terus aku serang penyusup itu dari belakang pakai silet.”Adhira tercengang-cengang membayangkan gadis di depanny
“Kalung triquera itu… mereka sudah mengambilnya.”Reaksi Adhira di luar dugaan Ervan. Dia hanya menyengir, “Ya, aku sudah menebaknya.”Alis Ervan yang saling bertautan menggantung tinggi.“Yang mereka cari sudah hilang, jadi kalung itu sudah tak berguna.” Adhira menjawab enteng. “Tapi kamu tidak diapa-apakan sama mereka, kan?”Ervan tak bisa berterus terang kalau dia hampir dipukul karena berusaha membungkam. Dia pun menggeleng, kembali duduk di samping Adhira, menatapnya dengan serius, “Hira, kamu benar-benar mau menyerah?”“Kamu?”Ervan merunduk. “Kemarin dulu aku bertemu dengan Pak Harlan. Dia disiram air keras oleh Lodra. Kondisinya memburuk dan hidupnya bergantung pada mesin.”Adhira mendengar dengan saksama. Dia menarik napasnya, bimbang. Ada balik seluruh penderitaan yang telah dilaluinya, Adhira masih merasa para saksi dan korban itu tak
“Daffin, dia menyakitiku.”Mendengar ini, hatinya kembali teriris, jiwanya seperti disambar halilintar. Ervan mengutuk siapa pun yang tega membuat Hira-nya jadi seperti ini.“Hira….”Ervan membelai kepala Adhira dengan segenap kelembutan. Mengapa mereka harus melakukan ini padanya?Dalam hati, Ervan bersumpah akan membalaskan dendam ini untuk Adhira. Dia akan membuat orang itu menelan ribuan jarum dan memuntahkan sekolam darah. Dia akan mencabik-cabik isi perutnya dan melemparnya di danau piranha. Dia akan mematahkan jari-jarinya, mengiris wajahnya tipis-tipis agar dia meraung kesakitan sebelum mati kehabisan darah. Ervan akan memastikan orang itu merasakan neraka di dunia ini.Namun sekejam apa pun niatnya, dia tetap tak kuasa membalikkan kejadian yang sudah berlalu. Adhira sudah sakit, tubuhnya sudah dirusak, jiwanya sudah dihancurkan.Ervan hanya selimut usang yang tak berdaya melakukan apa pun sela
Setelah mengantar Laila kembali ke panti asuhan, Adhira mengajak Odin ikut bersamanya ke sebuah tempat. Mobil putih itu terus melaju keluar dari kawasan perkotaan, menembus wilayah pedesaan hingga ke area perbukitan.Rumah kecil menyelip di antara rimbunan pohon di puncak bukit, tersembunyi dari lingkungan warga. Mereka harus melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki.Dengan stamina Adhira yang menurun drastis beberapa bulan belakangan, butuh waktu lebih lama bagi mereka untuk bisa mencapai halaman rumah itu.Odin mengikuti langkah Adhira dan Ervan memasuki kawasan yang lebih lebat. Ada jalan setapak yang mengarah ke sebuah pintu di salah satu sisi rumah.“Kita mau ke mana?” tanya Odin.“Kalian tunggu di sini,” pinta Adhira.Ervan segera menghadang langkahnya.“Tenanglah, aku tidak akan kenapa-kenapa. Aku akan memberi tahu kalau memang kalian sudah bisa masuk ke dalam.”Meski dengan ra
“Ada orang yang melakukan ini pada mereka, pada orang tuamu, dan pada puluhan pekerja tambang itu.”“Siapa?”“Aliansi Lima Pilar!”Mivar terlihat enggan menatap wajah Adhira setelah mendengar nama itu disebutkan. Tawa lebar memenuhi wajahnya. Dia berkelit dengan menggeleng-gelengkan kepala.Atas reaksi ini, Adhira hanya bisa berucap, “Aku tidak mengerti bagaimana cara orang-orang itu meracuni pikiranmu. Tapi apakah kau tidak merasa tindakan ini membuat hidupmu sendiri berantakan?”Adhira bangkit dari kursinya karena sudah tak tahan dengan bau asap di ruangan pengap itu. Dia membuka pintu rumah dan udara segar mulai berembus masuk.Seolah baru mendapat serangan telak, Mivar mematung tanpa suara. Sekonyong-konyong, dia meraih lengan Adhira dan mencengkeramnya dengan erat. Adhira sadar memar di lengannya kembali memerah karena cengkeraman kuat itu.“Katakan padaku siapa
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A