Berminggu-minggu lamanya Adhira harus mendekam di rumah sakit itu, barulah Ervan mengizinkannya kembali ke apartemennya. Laila dan Odin datang khusus menyambut kepulangannya dengan memesan begitu banyak makanan kesukaan Adhira.
“Wah, kamu akhirnya bisa pulang juga. Kukira kalian mau membangun rumah di RS,” singgung Laila.
“Apartemenmu baru direnovasi?” tanya Adhira menatap sekeliling ruangan dengan dinding yang sudah dicat ulang serta perabot yang ditata ulang.
“Huff… kamu belum tahu saja, kemarin waktu Flora menginap di sini, ada penyusup masuk. Flora hampir mau ditembak.”
“Hah? Ada kejadian begitu?”
Adhira sudah lupa akan telepon dari Flora waktu di berada di rumah sakit kemarin. Ervan juga tak menyinggung tentang itu setelahnya.
Laila mengangguk.
“Terus aku serang penyusup itu dari belakang pakai silet.”
Adhira tercengang-cengang membayangkan gadis di depanny
“Kalung triquera itu… mereka sudah mengambilnya.”Reaksi Adhira di luar dugaan Ervan. Dia hanya menyengir, “Ya, aku sudah menebaknya.”Alis Ervan yang saling bertautan menggantung tinggi.“Yang mereka cari sudah hilang, jadi kalung itu sudah tak berguna.” Adhira menjawab enteng. “Tapi kamu tidak diapa-apakan sama mereka, kan?”Ervan tak bisa berterus terang kalau dia hampir dipukul karena berusaha membungkam. Dia pun menggeleng, kembali duduk di samping Adhira, menatapnya dengan serius, “Hira, kamu benar-benar mau menyerah?”“Kamu?”Ervan merunduk. “Kemarin dulu aku bertemu dengan Pak Harlan. Dia disiram air keras oleh Lodra. Kondisinya memburuk dan hidupnya bergantung pada mesin.”Adhira mendengar dengan saksama. Dia menarik napasnya, bimbang. Ada balik seluruh penderitaan yang telah dilaluinya, Adhira masih merasa para saksi dan korban itu tak
“Daffin, dia menyakitiku.”Mendengar ini, hatinya kembali teriris, jiwanya seperti disambar halilintar. Ervan mengutuk siapa pun yang tega membuat Hira-nya jadi seperti ini.“Hira….”Ervan membelai kepala Adhira dengan segenap kelembutan. Mengapa mereka harus melakukan ini padanya?Dalam hati, Ervan bersumpah akan membalaskan dendam ini untuk Adhira. Dia akan membuat orang itu menelan ribuan jarum dan memuntahkan sekolam darah. Dia akan mencabik-cabik isi perutnya dan melemparnya di danau piranha. Dia akan mematahkan jari-jarinya, mengiris wajahnya tipis-tipis agar dia meraung kesakitan sebelum mati kehabisan darah. Ervan akan memastikan orang itu merasakan neraka di dunia ini.Namun sekejam apa pun niatnya, dia tetap tak kuasa membalikkan kejadian yang sudah berlalu. Adhira sudah sakit, tubuhnya sudah dirusak, jiwanya sudah dihancurkan.Ervan hanya selimut usang yang tak berdaya melakukan apa pun sela
Setelah mengantar Laila kembali ke panti asuhan, Adhira mengajak Odin ikut bersamanya ke sebuah tempat. Mobil putih itu terus melaju keluar dari kawasan perkotaan, menembus wilayah pedesaan hingga ke area perbukitan.Rumah kecil menyelip di antara rimbunan pohon di puncak bukit, tersembunyi dari lingkungan warga. Mereka harus melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki.Dengan stamina Adhira yang menurun drastis beberapa bulan belakangan, butuh waktu lebih lama bagi mereka untuk bisa mencapai halaman rumah itu.Odin mengikuti langkah Adhira dan Ervan memasuki kawasan yang lebih lebat. Ada jalan setapak yang mengarah ke sebuah pintu di salah satu sisi rumah.“Kita mau ke mana?” tanya Odin.“Kalian tunggu di sini,” pinta Adhira.Ervan segera menghadang langkahnya.“Tenanglah, aku tidak akan kenapa-kenapa. Aku akan memberi tahu kalau memang kalian sudah bisa masuk ke dalam.”Meski dengan ra
“Ada orang yang melakukan ini pada mereka, pada orang tuamu, dan pada puluhan pekerja tambang itu.”“Siapa?”“Aliansi Lima Pilar!”Mivar terlihat enggan menatap wajah Adhira setelah mendengar nama itu disebutkan. Tawa lebar memenuhi wajahnya. Dia berkelit dengan menggeleng-gelengkan kepala.Atas reaksi ini, Adhira hanya bisa berucap, “Aku tidak mengerti bagaimana cara orang-orang itu meracuni pikiranmu. Tapi apakah kau tidak merasa tindakan ini membuat hidupmu sendiri berantakan?”Adhira bangkit dari kursinya karena sudah tak tahan dengan bau asap di ruangan pengap itu. Dia membuka pintu rumah dan udara segar mulai berembus masuk.Seolah baru mendapat serangan telak, Mivar mematung tanpa suara. Sekonyong-konyong, dia meraih lengan Adhira dan mencengkeramnya dengan erat. Adhira sadar memar di lengannya kembali memerah karena cengkeraman kuat itu.“Katakan padaku siapa
Pusat perjudian yang dulunya begitu berkembang di tengah kota ini sudah dilarang keberadaannya oleh pemerintah setempat. Meski mendatangkan keuntungan deras bagi pemilik usaha, bisnis yang mengundang perdebatan ini akhirnya ditutup. Bangunan megah tadi pun dimofikasi dan disulap menjadi kelab malam yang tak kalah ramai dengan pusat perjudian sebelumnya.Adhira menarik Ervan memasuki pusat hiburan malam yang diterangi cahaya gemerlap di sepanjang muka bangunan. Segerombolan anak muda memenuhi barisan meja yang mengelilingi panggung dansa. Mereka terus melangkah mendekati meja bar yang berada di sisi belakang gedung. Lampu sorot warna-warni berputar acak mengikuti irama musik. Lantai kaca dan marmer memantulkan sinarnya kembali ke langit-langit.Pada sisi lain meja bar, ada pintu besi yang dulunya merupakan jalan tembus menuju markas besar narkoba di kota itu.“Tunggu aku di sini,” ucap Adhira sembari mengantar Ervan ke kursi bar yang aga
Wanita itu mengajak Adhira memasuki sebuah kamar yang sama redupnya dengan lorong yang mereka lalui. Ada sebuah ranjang dengan tumpukan pakaian bekas di atasnya. Sisa puntung rokok serta botol-botol minuman berserakan memenuhi lantai kamar. Tanpa ragu, Adhira mengempaskan tubuh wanita tadi ke atas ranjang.Dengan gusar dia bertanya, “Katakan, siapa yang menyuruhmu mengakui tuduhan pembunuhan terhadap Semias?”“Begitu pentingkah nama itu bagimu? Kau tahu kalau kejadian itu sudah belasan tahun berlalu. Kenapa masih harus diungkit lagi?”“Karena kau menyamarkan pembunuh yang sebenarnya. Sekarang, jawab pertanyaanku, siapa yang memerintahmu membuat pengakuan itu?”“Kau sendiri sudah tahu pembunuhnya.”“Yang menyuruhmu mengaku dan pembunuhnya adalah dua orang yang berbeda.”Wanita tadi meraih cangkir yang ada di meja kecil samping ranjang. Ketika hendak meneguknya, Adhira langsung menaha
Nila tertegun akan tebakan Adhira. Tidak ada orang lain yang bisa dipikirkan Adhira selain gadis yang telah dikenalnya dulu saat di perempatan jalan. Ibu muda yang memukuli anak berusia tiga tahun itu sekarang sudah meninggal dilalap api.Saat itu Nila sempat mengunjungi putrinya. Jadi dia meminta Salimah, yang merupakan komplotan pengemis jalanan, untuk menjemputnya dari panti asuhan.Ternyata saat Nila melihat bayi itu, kengerian makin menghantuinya. Wajah bayi itu mengingatkannya pada pria bejat yang pernah menghamilinya. Dia pun meminta Salimah untuk membawanya kembali ke panti.Namun kesempatan itu justru dipakai Salimah untuk mencari keuntungan. Dia menggunakan bayi malang tadi untuk menarik simpati para pengguna jalan.Mudah bagi Adhira untuk merasa kasihan dengan bayi itu dan menjadikan dia serta sahabatnya orang tua asuh yang baru. Suatu pertemuan menjadi takdir yang terjalin sampai akhir hayat.“Aku ingin membunuh diriku sendiri, ta
“Dia menyukaimu.”Jika ruangan ini tidak redup maka bisa dilihat Adhira hanya tersenyum kecut. Jadi itulah sebabnya Lodra terlihat sangat tulus meminta maaf padanya waktu berada di Pemakaman Nirwana Biru dulu. Adhira mengira keputusan untuk memercayai Lodra sekali lagi adalah keputusan tepat, tapi nyatanya Lodra hanya memperlakukannya seperti sampah.“Menyukaiku?”Nila mengangguk.Adhira langsung mencibir, “Dia mengirimku ke neraka dua kali. Bagaimana itu bisa dikatakan suka?”“Itu karena dia tahu kau menyukai Ervan.”Pernyataan ini seperti awan panas yang mengisi serambi jantungnya. Bagaimana mungkin ada orang yang tahu kalau Adhira menyukai Ervan? Dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Setidaknya tidak ada yang tahu dia dan Ervan adalah musuh bebuyutan yang berhasil menjadi teman karib.“Aku melihatnya melamun begitu lama di depan sebuah buku biologi. Aku tidak tahu kekuat