Pusat perjudian yang dulunya begitu berkembang di tengah kota ini sudah dilarang keberadaannya oleh pemerintah setempat. Meski mendatangkan keuntungan deras bagi pemilik usaha, bisnis yang mengundang perdebatan ini akhirnya ditutup. Bangunan megah tadi pun dimofikasi dan disulap menjadi kelab malam yang tak kalah ramai dengan pusat perjudian sebelumnya.
Adhira menarik Ervan memasuki pusat hiburan malam yang diterangi cahaya gemerlap di sepanjang muka bangunan. Segerombolan anak muda memenuhi barisan meja yang mengelilingi panggung dansa. Mereka terus melangkah mendekati meja bar yang berada di sisi belakang gedung. Lampu sorot warna-warni berputar acak mengikuti irama musik. Lantai kaca dan marmer memantulkan sinarnya kembali ke langit-langit.
Pada sisi lain meja bar, ada pintu besi yang dulunya merupakan jalan tembus menuju markas besar narkoba di kota itu.
“Tunggu aku di sini,” ucap Adhira sembari mengantar Ervan ke kursi bar yang aga
Wanita itu mengajak Adhira memasuki sebuah kamar yang sama redupnya dengan lorong yang mereka lalui. Ada sebuah ranjang dengan tumpukan pakaian bekas di atasnya. Sisa puntung rokok serta botol-botol minuman berserakan memenuhi lantai kamar. Tanpa ragu, Adhira mengempaskan tubuh wanita tadi ke atas ranjang.Dengan gusar dia bertanya, “Katakan, siapa yang menyuruhmu mengakui tuduhan pembunuhan terhadap Semias?”“Begitu pentingkah nama itu bagimu? Kau tahu kalau kejadian itu sudah belasan tahun berlalu. Kenapa masih harus diungkit lagi?”“Karena kau menyamarkan pembunuh yang sebenarnya. Sekarang, jawab pertanyaanku, siapa yang memerintahmu membuat pengakuan itu?”“Kau sendiri sudah tahu pembunuhnya.”“Yang menyuruhmu mengaku dan pembunuhnya adalah dua orang yang berbeda.”Wanita tadi meraih cangkir yang ada di meja kecil samping ranjang. Ketika hendak meneguknya, Adhira langsung menaha
Nila tertegun akan tebakan Adhira. Tidak ada orang lain yang bisa dipikirkan Adhira selain gadis yang telah dikenalnya dulu saat di perempatan jalan. Ibu muda yang memukuli anak berusia tiga tahun itu sekarang sudah meninggal dilalap api.Saat itu Nila sempat mengunjungi putrinya. Jadi dia meminta Salimah, yang merupakan komplotan pengemis jalanan, untuk menjemputnya dari panti asuhan.Ternyata saat Nila melihat bayi itu, kengerian makin menghantuinya. Wajah bayi itu mengingatkannya pada pria bejat yang pernah menghamilinya. Dia pun meminta Salimah untuk membawanya kembali ke panti.Namun kesempatan itu justru dipakai Salimah untuk mencari keuntungan. Dia menggunakan bayi malang tadi untuk menarik simpati para pengguna jalan.Mudah bagi Adhira untuk merasa kasihan dengan bayi itu dan menjadikan dia serta sahabatnya orang tua asuh yang baru. Suatu pertemuan menjadi takdir yang terjalin sampai akhir hayat.“Aku ingin membunuh diriku sendiri, ta
“Dia menyukaimu.”Jika ruangan ini tidak redup maka bisa dilihat Adhira hanya tersenyum kecut. Jadi itulah sebabnya Lodra terlihat sangat tulus meminta maaf padanya waktu berada di Pemakaman Nirwana Biru dulu. Adhira mengira keputusan untuk memercayai Lodra sekali lagi adalah keputusan tepat, tapi nyatanya Lodra hanya memperlakukannya seperti sampah.“Menyukaiku?”Nila mengangguk.Adhira langsung mencibir, “Dia mengirimku ke neraka dua kali. Bagaimana itu bisa dikatakan suka?”“Itu karena dia tahu kau menyukai Ervan.”Pernyataan ini seperti awan panas yang mengisi serambi jantungnya. Bagaimana mungkin ada orang yang tahu kalau Adhira menyukai Ervan? Dia tak pernah menunjukkannya pada siapa pun. Setidaknya tidak ada yang tahu dia dan Ervan adalah musuh bebuyutan yang berhasil menjadi teman karib.“Aku melihatnya melamun begitu lama di depan sebuah buku biologi. Aku tidak tahu kekuat
“Jika aku memberitahumu keberadaannya, maukah kau membantuku membuat kesaksian?”Secara samar Adhira yakin sebenci-bencinya dia dengan anak itu, darah yang mengalir tetaplah miliknya. Jiwa yang dia berikan tetap merupakan karunia baru baginya.Nila menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa. Aku sudah berjanji.”Adhira tahu membujuk keledai untuk bernyanyi adalah sesuatu yang mustahil. Tapi dia tahu hasrat terpencil yang ditanam Nila itu. Jadi dia menggunakan sedikit pancingan untuk menjerat keledai ungu ini.“Kau tahu sebenarnya kau adalah korban dari kasus ini. Semua terjadi karena kau tunduk pada Lodra. Saat kau melawan, Lodra tak memiliki apa pun untuk menekanmu.”Sembirat kemerahan lagi-lagi terlukis dari bola matanya. Garis kehitaman masih melingkari mata berkelopak ganda itu.Adhira melihat Nila sekarang sudah menitikkan air mata. Dia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi putri yang selalu dirundung
Adhira melirik ke sekujur tubuh Ervan. Dia baru sadar ada memar kecil di belakang kepalanya. Dia tak tahu apakah ini memar yang diakibatkan benturan yang dulu atau yang baru-baru ini. Ervan tak akan mengizinkannya memeriksa lebih jauh.Ervan meraih kedua tangan Adhira dan berkata dengan serius, “Hira, aku tidak mau kamu berbuat nekad seperti ini lagi.”Adhira selalu mendapati ucapan Ervan dengan serius, tapi dia tahu kali ini Ervan lebih serius dari serius. Dia marah.“Kamu tidak mau aku mendekati wanita itu atau kamu tidak mau aku menyelidiki kasus ini?”Ervan memelotot sebal. Ini membuat Adhira makin gemar mengoloknya.“Wanita itu berusia tak begitu jauh dari kita. Saat melahirkan Laila, usianya masih 16 tahun. Dia saudara sepupu Lodra. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Dia juga dijadikan pelayan di kediaman Refendra.”Ervan tampak tak peduli dengan cerita Adhira, dia hanya bertanya, “Apakah dia
Sambil mengamati gugusan bintang di berkelap-kelip di kejauhan, Adhira menekuri rentetan saksi yang sudah berhasil mereka kumpulkan. Tanpa pengakuan dari para saksi, kasus ini akan sangat sulit dibuka. Adhira sendiri tidak tahu apakah dia akan bisa menjamin Mivar untuk mau maju ke meja persidangan. Atau Nila yang sudah dijadikan alat oleh Lodra untuk membuat kesaksian.“Mereka sedang memeriksa keadaan di bawah.”“Tampaknya kita memang selalu sial kalau bersama-sama seperti ini,” keluh Adhira.“Kamu merasa sial?” tanya Ervan.“Memangnya bukan?” Adhira balik bertanya.Namun kemudian, dia menarik kata-katanya. “Sebetulnya tidak benar-benar sial sih. Kita berada di puncak teratas dari bianglala. Artinya kita memiliki kesempatan menikmati pemandangan paling lama di sini.”Ervan tersenyum kecil. Lesung pipi yang sudah lama hilang itu kembali terbentuk di wajahnya. Tatapan panjang Adhira d
“Apakah kamu membenciku?”Ervan tak langsung menjawab. Dia tak pernah ingin mendengar nama Limawan saat ibunya menceritakan tragedi kematian ayahnya. Sulit untuk tidak membenci anak yang terus mengganggu semasa di SMA dulu.Namun Ervan ternyata gagal mengubah dendamnya menjadi kebencian. Terlebih saat dia tahu bahwa orang di depannya ini hanya korban dari kebengisan para anggota aliansi itu.Ervan menjawab pelan, “Aku tidak bisa membencimu… Hira.”Telinga Adhira memerah.“Hanya kamu yang memanggilku dengan nama itu.”“Saat aku masih kecil, aku ingat ada seorang teman yang pernah menyelamatkanku dari gigitan anjing.”Pikirannya terbang ke masa-masa lampau, saat untuk pertama kalinya dia dibawa oleh Haris ke kediaman Limawan. Mereka masih berusia lima atau enam tahun.Ervan memiliki bayangan samar saat anjing putih berpenampakan seperti serigala itu mengeram ganas ke arahnya.
Bagi pengusaha besar seperti Lodra Refendra, mengadakan pesta pernikahan di pulau pribadi yang eksotis ini bukanlah permasalahan yang sulit. Letaknya sekitar delapan puluh kilometer ke arah utara dari pesisir.Burung camar, pasir putih, laut biru, batu dan karang semua bersatu padu membentuk keindahan tanpa cela. Tempat itu adalah elemen mimpi dari setiap pasangan yang tengah memadu cinta.Gedung kaca di tengah-tengah halaman berumput itu menjulang apik, mengundang mata setiap pengunjung agar segera menapakkan kakinya di sana. Ada pondok-pondok penginapan di sepanjang pantai. Semua sudah disewa oleh Lodra untuk hari istimewanya ini.Siang itu masih terlalu awal. Belum ada pengunjung yang datang ke sana.Lodra duduk tenang di atas bangku rias menunggui waktu yang tepat untuk berbincang dengan Kiara. Setelah menunggu cukup lama, dia pun beranjak menuju ruang yang berada di bagian belakang aula resepsi.“Lodra?”Kiara sudah memakai
Perempuan itu menghampiri rumah tua yang tengah direnovasi menjadi bangunan klinik. Di sampingnya seorang pria tua duduk di kursi roda memandang dengan lesu. Sudah bertahun-tahun dia hidup dan tergantung pada putrinya.“Kak Ervan?” Kiara menyapa dengan lembut pada seorang pria yang masih sibuk mengatur susunan keramik di teras depan.“Di mana Kak Adhi?” tanyanya bingung.Ervan tertegun. Keningnya mengernyit. Serbuk besi dingin seolah menyendat paru-parunya. “Kiara, kamu kembali?”“Aku mendapat kiriman surat dari Kak Adhi seminggu lalu. Katanya dia ingin aku mengurus rumah ini.”“Surat?”Kiara menyerahkan amplop berisikan surat yang ditulis tangan oleh Adhira sendiri.Tahun lalu, atas permintaan Adhira, Ervan membawa Kiara ke luar kota dan mengubah identitasnya. Tadinya Kiara tahu ini bertujuan agar dirinya tidak dijatuhi hukuman atas kematian Teodro belasan tahun lalu. Selama setahun itu juga dia hanya menjalankan hidupnya tanpa kabar apa pun dari Adhira.Kiara berpikir Adhira pasti
Terima kasih sudah ikut melangkah dan berjuang bersama dalam kisah ‘Dendam dan Rahasia Tuan Muda’. Tadinya judul yang akan dipakai adalah Pita Merah, karena ide awalnya didedikasikan untuk para pejuang HIV-AIDS. Adhira dalam cerita ini menggambarkan perjalanan seorang anak manusia yang sesungguhnya begitu cemerlang harus memupuskan masa depannya oleh tuduhan, pengucilan, stigmatisasi, dan pengabaian. Di dunia ini, semua yang terjadi pada Adhira bisa terjadi pada siapa saja. Serangan mental/fisik, isolasi, diskriminasi, begitu sering terjadi pada pengidap HIV-AIDS. Orang-orang menganggap penyakit ini adalah hukuman mati yang pantas diderita oleh kaum-kaum homoseksual, PSK, orang dari ras-ras tertentu, para pecandu, dan kaum-kaum marginal lainnya. Stigmatisasi dan perlakukan buruk yang didapatkan para penderita sesungguhnya bisa didapatkan siapa saja. Anak-anak dengan orang tua HIV-AIDS, komunitas LGBT, perempuan, laki-laki, anak-anak, orang tua, petugas kesehatan. Semua bisa mendapatk
Meskipun Adhira sudah tiada, dirinya hidup bagi Ervan, bagi pejuang HIV-AIDS lainnya, bagi kaum tersisihkan, kaum LGBT, para pecandu, orang-orang yang terkucilkan oleh stigmatisasi dan diskriminasi.“Klinik VCT/IMS ini didedikasikan oleh seorang sahabat untuk seluruh penderita HIV-AIDS. Klinik ini mencakup pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan rehabilitasi yang nantinya akan diberikan secara cuma-cuma….”Pria di atas podium mendeklarasikan sambutan pembuka sebelum acara pemotongan pita peresmian dilakukan. Matanya berair saat melihat orang-orang, anak-anak, para lansia yang duduk menunggu dirinya berbicara itu.“Hari ini, demi mengenang sahabat yang telah pergi itu, saya akan menamainya dengan ‘Adhira’,” ucap Ervan menyudai sambutannya.Kediaman Limawan ditata ulang sejak dua tahun lalu. Dengan menggunakan dana hasil penjualan berlian merah, Ervan berhasil membangun sebuah klinik khusus yang bisa melayani penderita HIV-AIDS.Bangunan rumah dijadikan klinik utama. Sementara gudang y
“Aku tidak kenal dengan sia-sia,” jawab Ervan tanpa aura.Adhira hendak berdiri, tapi dia tak memiliki kekuatan untuk bangkit. Alih-alih mengelak dari rangkulan Ervan, Adhira menjauhkan tubuhnya ke tepi bangku. “Kamu ini benar-benar keras kepala!” umpat Adhira lemah. “Aku… hanya ingin menghabiskan sisa waktu yang ada ini untuk tetap bersamamu.”“Lalu mengapa kamu harus menyerah?”Terlihat wajah Ervan yang merah dan kembali basah oleh air mata.“Karena… aku tidak punya pilihan, Daffin!”Kekuatan Adhira mendadak terenggut dari dirinya, seolah darah yang berkumpul di jantungnya menolak untuk mengalir ke otaknya. Adhira gagal membuat tubuhnya bertahan dengan semua pertanyaan Ervan. Kepalanya kehilangan keseimbangan dan napasnya semakin berat.Dia begitu ingin menghapus kesedihan di wajah Ervan, tapi untuk menyentuhnya saja Adhira sudah tak lagi sanggup.“Sebutkan semua jalan yang kau sudah anjurkan padaku! Aku akan mematuhinya. Aku akan dengan giat menurutinya. Aku rela kamu memakiku, me
Dari balik pintu ruang rawat yang masih ternganga, Ervan bersandar pada dinding, mendengar setiap pertemuan yang mengharu biru tadi dalam kepiluan. Dia masuk saat sudah berhasil membendung luapan kesedihan yang membanjiri kamar rawat Adhira. “Ervan!” ucap Adhira. “Lihat ulahmu!” Ervan mengambil tempat di samping Adhira. Menggenggam tangannya yang begitu dingin. “Cepat atau lambat Laila akan tahu.” Laila menarik Ervan dan merangkul mereka secara bersamaan. “Aku tidak menyangka Laila jadi secengeng ini. Kamu terlalu memanjakannya, Ervan,” ucap Adhira. “Aku tidak cengeng.” “Terus ini apa? Selimutku sampai basah seperti pengungsi banjir,” tukas Adhira. Laila menyudul perut Adhira karena kesal. “Hei, pelan-pelan, dinding perutku sangat rapuh sekarang.” Laila langsung menghentikan tindakan tadi. Wajahnya kembali muram karena dia sudah tahu bahwa Adhira mengidap penyakit yang belum dapat disembuhkan Ervan. “Aku harus kembali ke sekolah. Masih ada kelas tambahan,” ucap Laila tiba-t
Rintik hujan membasahi kaca jendela. Kemelut senja mewarnai langit yang mendung, mengantar bayang-bayang kelabu menuju malam. Seorang gadis memasuki ruang rawat dengan ekspresi sama sendunya dengan cuaca di luar. Adhira masih belum bangun dari tidur panjangnya. Dia baru cuci darah. Butuh prosedur yang rumit bagi pengidap HIV untuk mendapatkan mesin hemodialisa dan Ervan tak menyerah oleh hambatan tersebut. Adhira sempat membaik beberapa hari yang lalu, tapi kemudian, penyakit itu menggerogoti ginjalnya. Kedua tungkai kakinya mulai bengkak dan demamnya tak kunjung reda. Dia juga tak lagi bisa makan makanan biasa. Ervan harus menyuapi makanan yang lunak yang dibencinya itu agar perutnya tak kesakitan. Sesekali Adhira memohon untuk diizinkan makan nasi goreng, tapi Ervan harus melarangnya karena itu akan memperburuk kondisi tubuhnya. “Dokter Ervan, makanannya Laila letakkan di sini ya,” ucap Laila pelan. Dia segan memecah lamunan Ervan yang terlihat sangat serius itu. Ervan menganggu
Ervan duduk memandangi jendela yang basah oleh embun senja. Cuaca mendung mengisi hari yang kelam tersebut. Dia membisu untuk waktu yang sangat panjang. Saat Adhira dilarikan ke rumah sakit, kondisi yang ditemukan jauh dari ekspektasi Ervan. Dia menahannya selama dua bulan di penjara. Obat-obat itu dia telan untuk menghentikan gejala yang muncul. Namun tubuh yang sudah rongsok tersebut tak bisa melakukan sandiwara terus-menerus. Ali masuk dengan hati yang panas. Dia langsung melontarkan kekesalannya pada Ervan. “Baru sehari dia keluar dari penjara dan kamu sudah menggempurnya sampai babak belur. Kamu benar-benar tidak manusiawi, Ervan!” “Bagaimana keadaannya?” “Kamu sendiri tahu dengan jelas. Kenapa bertanya padaku?” “Aku… benar-benar salah.” “Kalian ini, aku tidak tahu harus berkata apa. Kurasa dia juga menginginkannya. Tapi harusnya kamu tahu seperti apa keadaan tubuhnya.” “Kamu benar. Aku tidak seharusnya melakukan ini di saat tubuhnya begitu rentan. Dia menahannya karena ti
Ruang sang urolog tiba-tiba diramaikan oleh adanya pajangan heboh yang ditempel di depan pintunya. Perawat berbisik-bisik dan pengunjung yang lewat terkekeh geli.Elyas baru keluar dari ruang operasi dan melirik keramaian yang terjadi di depan ruang konsultasinya.Ali yang tengah melintasi tempat itu berdiri beberapa menit sambil berpikir. Saat Elyas datang dia segera memberi tahu berita baik tersebut, “Kau mendapat hadiah spesial dari seorang pasien.”Elyas mengernyit waspada. Dia tahu Ali bukan orang yang bisa bergurau dengan cara yang baik. Dia pasti hendak mengerjainya dengan sesuatu.Saat dia mencapai depan ruangannya, matanya memelotot. Sebuah bingkai berisi cairan pengawet dengan jaringan lonjong di dalamnya tertempel di pintu ruangan itu. Sebagai ahli urologi yang handal, tentu dia tahu benda apa itu.Sekonyong-konyong dia melepas benda itu dari pintunya. Namun bingkai itu tertempel dengan sangat erat. Dia memukul-mukul kacanya, tapi tak juga berhasil menyingkirkan pajangan it
Peringatan: Mengandung adegan seksual eksplisit“Aku tidak kuat lagi, Daffin….”Sekali lagi Adhira memohon tanpa daya. Perutnya sudah menggembung terisi oleh cairan surgawi itu. Napasnya tersengal-sengal.“Kasihanilah pria berginjal tunggal ini.”Menatap air mata yang mengkristal di bola matanya, Ervan pun melakukan pelepasan terakhir. Dia menahan tubuh Adhira di atas tubuhnya dan secara perlahan menyangga Adhira ke dalam pelukannya.Penyatuan intim tadi pun terpisah.Adhira telentang lunglai, meraup udara lembab yang menyelubungi dirinya. Ervan membebaskan tawanannya tanpa melepas rangkulan. Dia mendekap rusa mungil yang gemetaran itu dengan erat, enggan membiarkannya terpapar hawa dingin terlalu lama. Adhira meletakkan kepalanya tepat di kerangka rusuk Ervan, mendengar detak jantung yang masih terpacu cepat.Ervan memeriksa pergelangan tangan Adhira yang merah akibat ikatan tadi. Dia mengelusnya penuh penyesalan sambil menjilatinya dengan segenap kelembutan, “Apakah masih sakit?”A