Adhira melirik ke sekujur tubuh Ervan. Dia baru sadar ada memar kecil di belakang kepalanya. Dia tak tahu apakah ini memar yang diakibatkan benturan yang dulu atau yang baru-baru ini. Ervan tak akan mengizinkannya memeriksa lebih jauh.
Ervan meraih kedua tangan Adhira dan berkata dengan serius, “Hira, aku tidak mau kamu berbuat nekad seperti ini lagi.”
Adhira selalu mendapati ucapan Ervan dengan serius, tapi dia tahu kali ini Ervan lebih serius dari serius. Dia marah.
“Kamu tidak mau aku mendekati wanita itu atau kamu tidak mau aku menyelidiki kasus ini?”
Ervan memelotot sebal. Ini membuat Adhira makin gemar mengoloknya.
“Wanita itu berusia tak begitu jauh dari kita. Saat melahirkan Laila, usianya masih 16 tahun. Dia saudara sepupu Lodra. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Dia juga dijadikan pelayan di kediaman Refendra.”
Ervan tampak tak peduli dengan cerita Adhira, dia hanya bertanya, “Apakah dia
Sambil mengamati gugusan bintang di berkelap-kelip di kejauhan, Adhira menekuri rentetan saksi yang sudah berhasil mereka kumpulkan. Tanpa pengakuan dari para saksi, kasus ini akan sangat sulit dibuka. Adhira sendiri tidak tahu apakah dia akan bisa menjamin Mivar untuk mau maju ke meja persidangan. Atau Nila yang sudah dijadikan alat oleh Lodra untuk membuat kesaksian.“Mereka sedang memeriksa keadaan di bawah.”“Tampaknya kita memang selalu sial kalau bersama-sama seperti ini,” keluh Adhira.“Kamu merasa sial?” tanya Ervan.“Memangnya bukan?” Adhira balik bertanya.Namun kemudian, dia menarik kata-katanya. “Sebetulnya tidak benar-benar sial sih. Kita berada di puncak teratas dari bianglala. Artinya kita memiliki kesempatan menikmati pemandangan paling lama di sini.”Ervan tersenyum kecil. Lesung pipi yang sudah lama hilang itu kembali terbentuk di wajahnya. Tatapan panjang Adhira d
“Apakah kamu membenciku?”Ervan tak langsung menjawab. Dia tak pernah ingin mendengar nama Limawan saat ibunya menceritakan tragedi kematian ayahnya. Sulit untuk tidak membenci anak yang terus mengganggu semasa di SMA dulu.Namun Ervan ternyata gagal mengubah dendamnya menjadi kebencian. Terlebih saat dia tahu bahwa orang di depannya ini hanya korban dari kebengisan para anggota aliansi itu.Ervan menjawab pelan, “Aku tidak bisa membencimu… Hira.”Telinga Adhira memerah.“Hanya kamu yang memanggilku dengan nama itu.”“Saat aku masih kecil, aku ingat ada seorang teman yang pernah menyelamatkanku dari gigitan anjing.”Pikirannya terbang ke masa-masa lampau, saat untuk pertama kalinya dia dibawa oleh Haris ke kediaman Limawan. Mereka masih berusia lima atau enam tahun.Ervan memiliki bayangan samar saat anjing putih berpenampakan seperti serigala itu mengeram ganas ke arahnya.
Bagi pengusaha besar seperti Lodra Refendra, mengadakan pesta pernikahan di pulau pribadi yang eksotis ini bukanlah permasalahan yang sulit. Letaknya sekitar delapan puluh kilometer ke arah utara dari pesisir.Burung camar, pasir putih, laut biru, batu dan karang semua bersatu padu membentuk keindahan tanpa cela. Tempat itu adalah elemen mimpi dari setiap pasangan yang tengah memadu cinta.Gedung kaca di tengah-tengah halaman berumput itu menjulang apik, mengundang mata setiap pengunjung agar segera menapakkan kakinya di sana. Ada pondok-pondok penginapan di sepanjang pantai. Semua sudah disewa oleh Lodra untuk hari istimewanya ini.Siang itu masih terlalu awal. Belum ada pengunjung yang datang ke sana.Lodra duduk tenang di atas bangku rias menunggui waktu yang tepat untuk berbincang dengan Kiara. Setelah menunggu cukup lama, dia pun beranjak menuju ruang yang berada di bagian belakang aula resepsi.“Lodra?”Kiara sudah memakai
Adhira menoleh. Bibirnya bergetar. Dia memicing tajam meredam kengerian. Wajah Lodra menyeret fragmen masa lalu ke ingatannya. Saat Adhira memalingkan wajahnya ke arah laut, Lodra langsung mencengkeram dagunya dengan erat. “Lepaskan dia!” “Kamu ada di bawah kuasaku, Adhira. Pantaskah memerintahku seperti ini?” Adhira menyergah tangan Lodra dan mundur ke penyangga teras. Dia melirik ke jurang yang berupa batu karang itu. “Lepaskan adikku!” “Aku dan Kiara akan menikah. Kenapa kau yang marah?” “Aku tidak akan membiarkannya menikahi bajingan sepertimu.” “Kami sama-sama setuju dengan pernikahan ini. Tidak ada pemaksaan. Kudengar dia juga sudah tidak mengakuimu sebagai kakaknya.” “Dia tidak mencintaimu.” “Dan menurutmu kau mencintaiku?” “Kau tidak pantas dicintai.” Api amarah membara di balik bola mata Lodra. Dia mencengkeram kedua tangan Adhira dengan erat dan mendorongnya hingga ke dinding penyangga. Di saat yang bersamaan, Adhira merasa dirinya pusing dan lemah. Ketakutan men
Lodra menuang teko yang berisi teh yang sama seperti yang sudah diminum yang lain ke dua cangkir yang baru. Dia memberikan satu pada Kiara.“Mari kita saling bersulang, Sayang,” ucap Lodra.Walau Kiara mengikuti arahan Lodra, kedua matanya tak berhenti menatap Adhira. Lodra menyilangkan lengannya ke lengan Kiara dan isi cangkir pun mengalir ke mulutnya. Tindakan mereka segera mendapat tepukan meriah dari para tamu.Mereka menunggu beberapa waktu sebelum Lodra menuang kembali cangkirnya dengan teh tadi.Haris bangkit dari kursinya dan memberi aba-aba pada anggota aliansi yang hadir, “Untuk pernikahan yang abadi. Mari kita bersulang untuk pasangan pengantin hari ini!”Anggota aliansi yang mendapat kehormatan untuk minum itu pun meneguk isi cangkir mereka masing-masing, diikuti Adhira yang sempat mendapat lirikan pasrah dari Ervan.Kiara berdiri dengan kepala tetap merunduk. Meski wajahnya sudah dipoles sed
Suara Kuswan membahana mengisi setiap sudut ruangan yang ada di ruangan pesta. “Kiara!”Para tamu tercekat akan kejadian tadi. Haris dan Gerwin terperangah melihat sang pengantin wanita kini sudah tak lagi bernyawa di pangkuan Kuswan.Adhira berbalik dan menghampiri Kiara tanpa berkata-kata. Hanya ada jarak beberapa detik dari terakhir kali mereka minum sampai Kiara sudah meregang nyawanya di lantai.Hal yang mengejutkan lagi adalah, Lodra hanya berdiri di depannya tak memberi respons apa pun, tidak panik, tidak juga berusaha mencari bantuan. Dia seperti sudah memprediksi kemungkinan tersebut.Saat Adhira hendak meraih Kiara, Kuswan langsung menyergah tubuhnya, “Jangan sentuh dia!”Adhira terempas ke lantai tanpa kekuatan. Tangisnya tertahan, tapi perasaan sesal membelenggu hatinya sekarang. Dia menoleh ke arah Ervan yang mematung tanpa ekspresi.“Kau apakan dia, Adhira?” tandas Kuswan dengan nada tinggi.
“Bangsat kau, Lodra!” maki Gerwin dengan sejuta kemurkaan.Dia hendak melakukan penyerangan pada Lodra, tapi segera dicekal oleh dua penjaga. Walau Adhira akhirnya bisa melepaskan dirinya, ada banyak penjaga yang memagari dirinya dengan Ervan.“Perlu kuberi tahu padamu, kalau Defras sudah sirna sejak kematian Semias. Taktikmu terbaca jelas dan aku tidak butuh menebak kalau kau bahkan tidak bisa memimpin perusahaan kecilmu ini. Kau menjual nama Hadaya Group untuk kepentingan pembangunan Riverside Blossom, lalu merusaknya dengan cara murahan. Kau dan sekelompok putrimu itu hanya seonggok sampah yang menambah daftar panjang aliansi saja.”“Kau….”Bola mata sehitam jelaga hampir keluar dari rongganya.“Kau dan perusahaanmu ini harus mengganti rugi kehilangan ini, Gerwin.”“Kau anak haram sialan!”Umpatan tadi membuat Lodra tertawa kian lebar. Dia mendekati Gerwin dan menar
“Keluarga Defras masih akan baik-baik saja selama kau bisa menutup mulut.” Semias merasa terancam. Dia tahu bahwa dia hanya anak bawang di aliansi ini. Sebagian besar kekayaan keluarga Defras adalah asupan dari Refendra dan Sadana. Tanpa kedua orang itu, Semias hanya pria biasa yang tak memiliki nama. Bertolak dari nuraninya, Semias pun mengantar Adhira pada keluarga Osman. Dia berharap Adhira bisa menjalani hidupnya tanpa perlu mengetahui semua ini. Kalung triquetra yang masih tergantung di leher Adhira disimpan oleh Semias untuk membersihkan kenangan yang tersisa. Semias juga menyimpan gantungan kunci yang masih berada di saku celana Tanusal. Benda itu pernah dia berikan untuk Tanusal sebagai buah tangan dan Tanusal mengaitkkannya ke kunci rumah. Dia juga menjemput Genever yang masih terkatung-katung di pinggir jalan kembali ke rumahnya. Akan tetapi Semias tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Iren. Dia hanya mengatakan Tanusal mati tertembak dan penembaknya sedang dal