Cahaya keunguan memancar tipis dari mata Raksha, menandakan dia tengah menggunakan Kanuragan Ozora dalam dirinya. Asoka telah dia perintahkan untuk bergerak senyap diantara bayang-bayang orang yang ada di sekitar sana sampai akhirnya dia bersembunyi masuk ke dalam bayangan pria malang yang tengah ditarik paksa oleh prajurit Kanezka.Raksha bisa melihat apa yang Asoka amati di balik pakaian pria malang itu. Dia melihat memang benar kalau pria itu menyembunyikan kalung itu di balik bajunya.“Ambil kalung itu dan pergi menjauh, Asoka. Tunggu perintahku selanjutnya.” titah Raksha dalam senyap.“Baik, Yang Mulia.”Dalam sepersekian detik, Asoka melesat secepat satu kedipan mata untuk keluar dari bayangan Raksha lalu mengambil tasbih di balik pakaian pria itu tanpa suara kemudian kembali bersembunyi dalam bayangan. Tidak ada siapapun yang sadar akan kehadiran Asoka yang hanya sekilas itu karena perhatian mereka semua teralihkan pada jerit tangis bocah perempuan dan keributan antar si pria y
Setelah memutar jalan cukup panjang dan petunjuk dari pria yang dia tolong sebelumnya, Raksha akhirnya tiba di padepokan Pendekar Pedang Cahaya. Bangunan seluas lebih dari 1000 kaki itu adalah tempat kedua terluas setelah kediaman patih istana di kota ini. Raksha juga baru sadar kalau patih istana di kota Udayana ternyata adalah Gesang Pancaka, yang berarti dia bisa saja terlibat masalah yang dia tidak harapkan di masa depan kalau buat ribut di kota ini.Namun semua sudah kepalang basah. Raksha sudah tiba memasuki lapangan besar dimana hampir ribuan anak muda, usia mereka sekitar 16 sampai 20 tahun, sebagian besar dari mereka adalah pria, berbaris ke tiap meja untuk mendaftarkan diri. Di tiap meja sudah ada prajurit yang mencatat kandidat yang datang.“Maaf, tuan, apa disini tempat mendaftarkan diri menjadi Pendekar Pedang Cahaya?” tanya Raksha memastikan pada salah satu prajurit Kanezka yang ada didekatnya.Sang prajurit tidak langsung menjawabnya. Dia menatap remeh penampilan Raksha
Raksha bangkit sambil membersihkan debu yang menempel di rompi dan celananya. Perhatiannya kembali tertuju pada petugas pencatat didepannya.“Kau ini, sudah paling tua, penampilanmu kampungan, belum lagi kau berani melawan keluarga Pancaka. Kau ini hidup darimana sih? Goa? Hutan?” sindir petugas pencatat itu dengan tatapan sinis.“Kau ini benar-benar seperti domba yang tersesat. Buat apa kau jauh-jauh kesini meninggalkan kampungmu hanya untuk mati? Ujian kandidat pendekar pedang cahaya itu bukan sesuatu yang harus kau remehkan, orang kampung! Sudah kampungan begini kau malah menantang keluarga Pancaka! Kujamin hidupmu tidak akan tenang sebelum kau memohon ampun padanya sambil bertekuk lutut!”, lanjut petugas itu masih belum puas memaki Raksha.Raksha hanya mengangkat bahu. Dia sudah dua kali berseteru dengan dua anggota keluarga Pancaka di hari pertama dia tiba di Udayana. Dia tidak menyangka kalau mereka begitu arogan. Lebih parahnya lagi, Prajurit Kanezka bahkan tidak datang menenga
“Ya, terima kasih atas pengertiannya, Sena. Tapi kusarankan agar kau lebih berhati-hati lagi saat menolong orang. Aku yakin kau lebih muda dariku dan masa depan milikmu lebih cerah dariku. Jangan terlalu dekat denganku. Aku sudah membuat banyak orang menjadi musuh.” Raksha berulang kali memperingati.“Aku tidak peduli. Toh, keinginanku menjadi pendekar bukanlah untuk menjadi budak keluarga Pancaka ataupun lainnya.” tepis Sena mengulang-ulang jawabannya.Raksha menghela napas panjang. Entah Sena yang terlalu naif atau terlalu percaya diri dengan kemampuannya sampai-sampai dia berani bersikap seperti itu membuat Raksha berang.“Kenapa kau ingin menjadi Pendekar Pedang Cahaya, Raksha?” tanya Sena lagi.Tidak mungkin Raksha menjawab kalau dia ingin membalas dendam. Dia sudah memikirkan alasan palsunya apabila ada orang yang ingin menanyakan perihal ini.“Aku hanya ingin mengubah nasibku. Sepertinya menjadi pendekar dapat mengangkat martabatku di masa depan nanti.”“Benarkah?”“Ya, benar.”
“Ugh…”Sengatan panas cahaya Dewa Kartikeya semakin menusuk hingga Raksha kesulitan untuk fokus. Dia berlutut sejenak untuk menahan kepedihannya. Di saat yang sama, ejekan Baswara dan anak buahnya menghujaninya di tengah penderitaannya.“Sudah, relakan saja tanganmu! Kembali saja ke kampungmu dengan tangan buntung, gembel!”“Tidak apa-apa, gembel! Ayah dan ibumu pasti menerimamu walau kau hanya bertangan satu! Itupun kalau kau masih punya malu! Hahahahahah!”“Bagaimana, gembel?! Nyawa atau harga dirimu yang kosong?! Tidak usah berlagak! Memohonlah padaku! Aku ini pemaaf, loh!”Kebencian Raksha kian menjadi setiap melihat senyum sinis dan tatapan meremehkan Baswara dan anak buahnya. Dia memejamkan matanya untuk mengalihkan semua fokusnya pada lengan kanannya. Semuanya akan percuma kalau dia hanya marah buta pada orang-orang bodoh didepannya itu.Walau pelan, lambat laun Raksha bisa merasakan Kanuragan Khsatriyans di lengan kanannya lebih dalam. Dia tidak lagi merasakan aliran kanuragan
Kegelapan yang datang menaungi langit menandakan malam sudah tiba. Ratusan kandidat pendekar yang tersisa di padepokan berjalan keluar kota, tepatnya ke perbatasan kota dikawal oleh para prajurit Kanezka.Malam hari adalah waktu yang berbahaya karena di saat malam, para siluman pemburu biasanya berkeliaran di sekitar perbatasan kota. Apabila mereka lengah, maka mereka akan tewas dimakan siluman.Raksha pernah mendengar dari gurunya bahwa siluman sejatinya dapat dikendalikan apabila para pendekar dunia arwah tidak diburu seperti penjahat karena hanya mereka yang bisa mengendalikan insting liar siluman. Sekarang para Pendekar Kerajaan Kanezka kewalahan untuk membasmi siluman dengan cara mereka sendiri. Benar-benar bodoh, pikirnya.Setibanya di perbatasan kota, Raksha melihat jauh ke belakang, sekitar 5000 kaki dari lokasinya, adalah Gerbang Masuk Kota Udayana. Di sekitarnya hanyalah jalan berbukit dengan bebatuan dan rumput pendek ditemani semilir angin malam yang dingin. Di tengah kedi
“Menunduk, Sena! Dari selatan!”Teriakan keras Raksha di tengah jeritan para kandidat dan auman siluman srigala menyadarkan kesiagaan Sena untuk lebih memperhatikan sisi belakangnya. Sena kala itu reflek menunduk dan berhasil menghindari anak panah yang hampir menembus punggungnya.“Raksha?”Sena yakin kalau dia tidak salah dengar akan seruan Raksha yang memperingatinya. Namun kekacauan di sekitarnya membuat perhatiannya teralihkan kembali. Dari sebelahnya, ada seorang kandidat yang menubruknya karena tidak melihatnya.Kandidat itu adalah seorang perempuan, sebaya dengan Sena tetapi lebih pendek darinya. Rambutnya hitam panjang sebahu, dibiarkan terurai berantakan. Wajahnya yang ayu terlihat kacau karena penuh air mata dan keringatnya. Namanya adalah Chalya.Sena tahu kalau Chalya tengah panik karena dikejar siluman srigala yang memburunya. Chalya tidak bisa berdiri karena lututnya mendadak lemas ketakutan. Dia memejamkan matanya saat siluman srigala itu membuka taringnya lebar untuk
“Si Baswara brengsek itu….”, kutuk Sena perlahan. Raksha baru sadar kalau Sena juga memperhatikan kebiadaban Baswara dan gerombolannya yang telah mengorbankan kandidat lainnya untuk keamanan diri dan kelompoknya.Beberapa saat berlalu, Sena duduk bersimpuh sambil menahan nyeri. Rasa perih akibat luka tusuk anak panah yang masih bersarang di bahu kanannya terasa lagi.“Jangan bergerak. Biar kubantu.” Raksha memegangi pundak Sena perlahan.Sena bisa merasakan sensasi hangat yang menenangkan dari telapak tangan kiri Raksha. Tenggelam dalam rasa hangat yang meredakan semua perihnya, dia baru sadar melihat anak panah yang menancap di bahunya kini lepas. Tidak hanya itu, lukanya pun kembali menutup. Sebagian besar rasa perih itu kini hilang.“Sudah kubilang, Baswara itu berbahaya. Untungnya kamu tidak menjadi salah satu korban dia, Sena.” balas Raksha penuh syukur.“Ya, terima kasih atas semua bantuanmu, Raksha. Tapi….” Sena beranjak pelan.“Tapi?”Sena tiba-tiba menatap tajam Raksha. Ekspr