Kegelapan yang datang menaungi langit menandakan malam sudah tiba. Ratusan kandidat pendekar yang tersisa di padepokan berjalan keluar kota, tepatnya ke perbatasan kota dikawal oleh para prajurit Kanezka.Malam hari adalah waktu yang berbahaya karena di saat malam, para siluman pemburu biasanya berkeliaran di sekitar perbatasan kota. Apabila mereka lengah, maka mereka akan tewas dimakan siluman.Raksha pernah mendengar dari gurunya bahwa siluman sejatinya dapat dikendalikan apabila para pendekar dunia arwah tidak diburu seperti penjahat karena hanya mereka yang bisa mengendalikan insting liar siluman. Sekarang para Pendekar Kerajaan Kanezka kewalahan untuk membasmi siluman dengan cara mereka sendiri. Benar-benar bodoh, pikirnya.Setibanya di perbatasan kota, Raksha melihat jauh ke belakang, sekitar 5000 kaki dari lokasinya, adalah Gerbang Masuk Kota Udayana. Di sekitarnya hanyalah jalan berbukit dengan bebatuan dan rumput pendek ditemani semilir angin malam yang dingin. Di tengah kedi
“Menunduk, Sena! Dari selatan!”Teriakan keras Raksha di tengah jeritan para kandidat dan auman siluman srigala menyadarkan kesiagaan Sena untuk lebih memperhatikan sisi belakangnya. Sena kala itu reflek menunduk dan berhasil menghindari anak panah yang hampir menembus punggungnya.“Raksha?”Sena yakin kalau dia tidak salah dengar akan seruan Raksha yang memperingatinya. Namun kekacauan di sekitarnya membuat perhatiannya teralihkan kembali. Dari sebelahnya, ada seorang kandidat yang menubruknya karena tidak melihatnya.Kandidat itu adalah seorang perempuan, sebaya dengan Sena tetapi lebih pendek darinya. Rambutnya hitam panjang sebahu, dibiarkan terurai berantakan. Wajahnya yang ayu terlihat kacau karena penuh air mata dan keringatnya. Namanya adalah Chalya.Sena tahu kalau Chalya tengah panik karena dikejar siluman srigala yang memburunya. Chalya tidak bisa berdiri karena lututnya mendadak lemas ketakutan. Dia memejamkan matanya saat siluman srigala itu membuka taringnya lebar untuk
“Si Baswara brengsek itu….”, kutuk Sena perlahan. Raksha baru sadar kalau Sena juga memperhatikan kebiadaban Baswara dan gerombolannya yang telah mengorbankan kandidat lainnya untuk keamanan diri dan kelompoknya.Beberapa saat berlalu, Sena duduk bersimpuh sambil menahan nyeri. Rasa perih akibat luka tusuk anak panah yang masih bersarang di bahu kanannya terasa lagi.“Jangan bergerak. Biar kubantu.” Raksha memegangi pundak Sena perlahan.Sena bisa merasakan sensasi hangat yang menenangkan dari telapak tangan kiri Raksha. Tenggelam dalam rasa hangat yang meredakan semua perihnya, dia baru sadar melihat anak panah yang menancap di bahunya kini lepas. Tidak hanya itu, lukanya pun kembali menutup. Sebagian besar rasa perih itu kini hilang.“Sudah kubilang, Baswara itu berbahaya. Untungnya kamu tidak menjadi salah satu korban dia, Sena.” balas Raksha penuh syukur.“Ya, terima kasih atas semua bantuanmu, Raksha. Tapi….” Sena beranjak pelan.“Tapi?”Sena tiba-tiba menatap tajam Raksha. Ekspr
“Aahhh….!”Chalya menjerit ketika dirinya, bersama dengan Raksha dan Sena, jatuh dari batu yang telah runtuh dihancurkan Baswara. Kepulan debu dari pecahan batu datang menutupi pandangan sekitar, tetapi mereka sontak siaga karena mereka bisa merasakan derap langkah kaki siluman srigala datang mendekat cepat.“Raksha, tahan sampai matahari terbit! Aku yakin pasukan Kanezka akan datang sebentar lagi!” seru Sena seraya memendarkan cahaya perak di tangan kanannya menjadi tombak sakti.Raksha tahu kalau rencana Sena itu adalah pilihan terakhir karena mereka berdua tidak lagi melihat batu besar yang serupa untuk kembali berlindung disekitar mereka. Kalaupun ada, pasti sudah ditempati kandidat lain. Raksha dan Sena tentunya tidak mau melukai kandidat lain hanya untuk keselamatan mereka sendiri.“Yang mulia Raksha. Siluman srigala yang datang jumlahnya sangat banyak. Anda membutuhkan bantuan kami agar bisa bertahan.” tawar Asoka yang terdengar didalam kepala Raksha.Raksha tahu kalau itu adal
“Selamat, kalian semua telah lulus menjadi kandidat Klan Pendekar Pedang Cahaya.”Selebrasi Chandra, sang komandan pasukan Kanezka yang datang menjemput para kandidat, kala itu terdengar datar dan dingin. Chandra ditemani puluhan prajurit Kanezka di belakangnya. Setiap dari mereka menumpakki kuda dan mengawal para kandidat yang masih bertahan hidup untuk kembali ke kota Udayana.Di sepanjang perjalanan, Raksha melihat mayat para kandidat yang bergelimpangan dengan luka cakar yang menggurat di punggung, badan, atau leher. Para siluman srigala yang tewas telah hilang terpendar menjadi buih-buih hitam karena terbakar oleh sinar sang matahari.Raksha ingat kalau gurunya pernah berkata bahwa tubuh siluman yang sudah mati tidak akan tahan sampai pagi karena mereka sejatinya bukanlah mahluk hidup seperti hewan, tetapi hewan yang telah dirasuki arwah jahat pengganggu yang berkeliaran di dunia. Ketika hewan biasa menjadi siluman, maka tubuhnya sebagian besar sudah rusak.Raksha melihat sekilas
Raksha melihat langit malam yang perlahan berubah menjadi ungu karena mentari sebentar lagi tiba. Lengan kirinya yang diselimuti Kanuragan Ozora memancarkan aura ungu kehitaman. Dia tengah dikelilingi dua ratus prajurit arwahnya, termasuk Asoka dan Suja, yang bersimpuh hormat kepadanya. Tidak ada siapapun selain dia dan prajuritnya di tengah padang rumput yang lokasinya sekitar 4000 kaki di luar perbatasan Kota Udayana.Raksha duduk bertapa seraya mengatur napas dan menjaga konsentrasinya semalam suntuk. Dia mempertahankan kestabilan Kanuragan Ozora dalam dirinya yang menggerakan dua ratus prajurit arwahnya selama 30 hari terakhir ini. Baginya, ini adalah perkembangan yang baik, tetapi satu hal yang dia sadari bahwa kekuatan prajurit arwah relatif lebih stabil dan kuat di malam hari dibandingkan dengan waktu lainnya.Dalam 30 hari terakhir, Raksha baru mampu memanggil 10 prajurit arwah elit dan ratusan prajurit arwah dengan kekuatan rata-rata. Namun dia tahu langkahnya masih jauh untu
“Raksha!”Sena datang menghampiri Raksha sambil tersenyum. Raksha sempat termenung melihat wajah Sena yang tampil lebih seksi karena penuh dengan keringat. Namun dia mendehem untuk menepis dorongan yang dia rasa aneh itu.“Hai, Sena. Ajian pembentuk senjata suci-mu tadi bagus.” puji Raksha.“Tahu darimana?” tanya Sena balik.“Aku mendengar Guru Harsa memujimu.”Sena terkekeh. Dia menyikut lembut Raksha. “Kamu juga dipuji Guru Harsa, kan? Aku dengar kok. Kamu bahkan sudah mencapai tingkat ksatria!”Raksha hanya mengangkat bahu sambil tersenyum sekilas. Dia tahu latihannya bersama Sena selama satu bulan terakhir membuahkan hasil.Terlepas dari itu, Raksha merasa bahwa dia bisa mencapai tingkatan kanuragan Senjata Suci yang cukup cepat dibandingkan yang lainnya karena dia dibantu oleh Kanuragan Ozora. Dia sebenarnya kagum dengan bakat Sena dan Baswara yang hampir mengimbanginya.“Ini semua berkat latihan bersama kita selama satu bulan terakhir, Sena. Terima kasih ya.” Raksha melanjutkan
“Raksha, kamu tidak apa-apa?”Sena buru-buru menghampiri Raksha. Raut mukanya masih menampikkan kecemasan. Dia mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki Raksha, tetapi tidak sedikitpun ada luka yang dia duga sebelumnya.“Tidak apa-apa. Kamu belum makan?” tanya Raksha santai.“Apa yang terjadi dengan Baswara?” Sena masih penasaran.“Dia masih di luar di saung dengan anak buahnya.”Sena diam sejenak untuk berpikir. Dari gelagatnya, dia tahu kalau Raksha tidak memilih untuk tunduk pada Baswara seperti yang dia duga sebelumnya. Namun hal itu belum menghilangkan kekhawatiran dalam hatinya. “Apa yang kamu lakukan kepada mereka?”“Sedikit usil. Sudah, jangan dipikirkan. Ayo makan.”Raksha meninggalkan Sena yang masih gelagapan dibelakangnya. Dia mengambil piring dan daun pisang yang sudah tersedia di meja lalu mengambil nasi dan lauk yang dia rasa cukup.Masih banyak yang ingin Sena tanyakan, tetapi dia tidak bisa menahan rasa laparnya. Dia pun ikut mengambil nasi dan lauk dibelakang Rak
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin