“Raksha, kamu tidak apa-apa?”Sena buru-buru menghampiri Raksha. Raut mukanya masih menampikkan kecemasan. Dia mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki Raksha, tetapi tidak sedikitpun ada luka yang dia duga sebelumnya.“Tidak apa-apa. Kamu belum makan?” tanya Raksha santai.“Apa yang terjadi dengan Baswara?” Sena masih penasaran.“Dia masih di luar di saung dengan anak buahnya.”Sena diam sejenak untuk berpikir. Dari gelagatnya, dia tahu kalau Raksha tidak memilih untuk tunduk pada Baswara seperti yang dia duga sebelumnya. Namun hal itu belum menghilangkan kekhawatiran dalam hatinya. “Apa yang kamu lakukan kepada mereka?”“Sedikit usil. Sudah, jangan dipikirkan. Ayo makan.”Raksha meninggalkan Sena yang masih gelagapan dibelakangnya. Dia mengambil piring dan daun pisang yang sudah tersedia di meja lalu mengambil nasi dan lauk yang dia rasa cukup.Masih banyak yang ingin Sena tanyakan, tetapi dia tidak bisa menahan rasa laparnya. Dia pun ikut mengambil nasi dan lauk dibelakang Rak
“Ujian minggu depan akan sulit.” Gala memulai pembicaraan seraya melahap pisangnya.“Kau tahu apa yang akan diujikan minggu depan?” tanya Sena penasaran.Gala memandang sekitar, memastikan tidak ada yang mengamati mereka, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke Sena dan Chayla. “Ya, kudengar ujiannya adalah mengambil liontin perak di hutan Dharmawangsa.” Bisiknya pelan.Chayla dan Sena yang mendengarnya mendadak terbelalak. Berbeda dengan Raksha yang tampak bingung.“Mengambil liontin di hutan? Hanya itu ujiannya?” Raksha masih tidak percaya.“Liontin itu bukanlah liontin biasa, Raksha. Liontin perak itu adalah milik Pendekar Pedang Cahaya yang meninggal di hutan.” Chayla menjelaskan.“Pendekar Pedang Cahaya tentunya tidak mati tanpa sebab di hutan Dharmawangsa, kecuali mereka diserang oleh para siluman yang menempati hutan itu. Ketika Pendekar Pedang Cahaya meninggal, Kanuragan Khsatriyans yang masih bersemayam dalam tubuhnya akan terkumpul dan membentuk liontin perak yang tertanam
“Dulu aku ingat kau hendak menjadi prajurit untuk mengangkat martabat keluargamu, Chayla.” hibur Raksha di tengah perjalanannya menyusuri hutan. “Menurutku itu tujuan yang mulia. Kau harus bangga akan pilihanmu ini.”Chayla menatap Raksha lalu tersenyum lirih. “Benarkah?” tanyanya memastikan.“Ya, kau pernah cerita kalau kau adalah anak paling tua di keluargamu. Aku salut dengan kedewasaanmu.”Chayla menundukkan wajahnya yang memerah malu. Senyumnya merekah, menggantikan ekspresi muram yang semula terpahat di wajahnya.“…tapi aku sadar kalau aku masih jauh apabila dibandingkan denganmu dan Sena. Rasanya seperti langit dan bumi.” Chayla menghela napas.“Sudah kubilang, jangan memikirkan orang lain. Fokus pada dirimu.”“Y-ya, kau benar, Raksha.” Chayla membenarkan dengan senyum kikuknya.Tak terasa, bandul perak yang Chayla genggam kala itu berdenging kian keras. Chayla dan Raksha tahu kalau itu adalah tanda liontin perak yang mereka incar semakin dekat.Percikan suara air sungai yang t
“Siapkan perisai dan rantai! Biar aku yang penggal kepalanya!”Teriakan Baswara membangkitkan semangat tarung kelima anak buahnya yang sempat gentar melihat sosok Raksha yang kini menyerupai prajurit arwah yang berzirah lengkap. Dua anak buahnya dengan cepat memendarkan cahaya Kanuragan Khsatriyans di tiap lengan mereka sehingga membentuk perisai yang kokoh. Di saat yang sama, tiga anak buahnya mengubah bentuk cahaya perak di lengan kanan mereka menjadi rantai. Hanya Baswara yang membentuk cahaya Kanuragan Khsatriyans di lengan kanannya menjadi golok sakti.Raksha reflek menunduk rendah ketika rantai perak musuhnya yang hendak melilit tubuhnya itu datang. Dia langsung menerjang untuk membalas. Namun dua anak buah Baswara langsung berembuk rapat sambil mengangkat perisai mereka.Baswara yang semula percaya diri mendadak merinding takut ketika perisai anak buahnya itu sontak luluh lantak di cakar oleh Raksha. Perisai perak sekelas pendekar muda tidak akan kuat menahan cakar siluman hari
“Kemana, Raksha?”Pertanyaan itu berulang kali terngiang di benak Sena. Dia, Gala dan sebagian besar prajurit pemuda sudah menyelesaikan ujiannya dengan baik tanpa perlu menghadapi siluman sesuai dengan strategi yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun tim Raksha dan tim Baswara belum tiba di padepokan.Para prajurit Kanezka dan guru pendekar muda sempat cemas karena ada peserta, terutama Baswara, belum kembali. Besar kemungkinan mereka diserang siluman. Sebelum malam tiba, guru Chandra, guru Harsa, dan prajurit Kanezka berangkat ke hutan untuk mencari tim Raksha dan tim Baswara. Sayangnya, sampai malam ini, belum ada kabar.“Raksha, ayolah. Kamu tidak mungkin gagal hanya karena ujian sepele seperti ini. Aku tahu kamu bisa membimbing Chayla.”Sena kembali uring-uringan. Entah sudah berapa lama dia mengetuk meja dengan jarinya karena kecemasan yang melanda hatinya.“Kuharap tidak terjadi apa-apa terhadap mereka.” Gala mencoba menghibur.“Ya, mereka pasti kembali.”“Prajurit Kanezka dan
“Hahahahaha! Gembel tua! Bagaimana bisa?!” tawa Baswara menggaung. Tatapan angkuhnya tertuju pada Raksha.Di tengah kekalutan pikirannya, Raksha yang mendengar tawa meremehkan Baswara kala itu mendadak terjerumus dalam kebencian dan kemarahan yang luar biasa. Keinginan membunuh keluarga pancaka yang satu ini sontak membeludak dalam hatinya.“Hah, si gembel tua masih hidup ternyata! Lihatlah semua! Lihat bagaimana si gembel ini melukai temannya sendiri! Dia bahkan tidak bisa dipercaya untuk menjaga kerabatnya sesama Pendekar Pedang Cahaya! Aku yakin temannya itu menjadi korban serangan siluman karena kebodohannya!” ejek Baswara keras.Para pendekar muda dan prajurit Kanezka langsung percaya dengan seruan Baswara. Tatapan mereka pada Raksha kala itu tampak sinis.“Gembel tua terkutuk! Kau hanyalah benalu! Kau hanya bisa membuat kekacauan di padepokan ini! Harusnya kau malu!” sentak Baswara memojokkan Raksha.Raksha tidak habis pikir dengan keangkuhan Baswara. Walau dia dan anak buahnya
“Maaf, Yang Mulia. Sampai saat ini kami tidak menemukan jejak terkait Pendekar Dunia Arwah yang mengendalikan Siluman Srigala di lembah ini.”Salah satu prajurit arwah Raksha melaporkan hasil pengamatan terbarunya yang nihil seraya duduk bersimpuh di hadapan tuannya. Kesembilan prajurit arwah lainnya yang bersimpuh mengitarinya pun melaporkan kenihilan yang sama.“Apa ada hal lain selain itu?” tanya Raksha masih tidak puas.“Ya, Yang Mulia.” Salah satu prajurit arwahnya menyambut, “Kami menelusuri jejak jenazah kandidat pendekar yang tewas di lembah ini karena serangan siluman srigala saat ujian kandidat pendekar sebelumnya. Hasilnya, tidak ada jenazah yang tersisa.” lanjutnya.“Tidak ada? Maksud kalian jenazah itu menghilang tanpa jejak? Semua jenazah yang dikuburkan itu?” tanya Raksha lebih spesifik.“Ya, Yang Mulia. Tidak ada jejak penggalian kuburan atau tanda-tanda kalau mayat itu terurai.”“….berarti mereka dibangkitkan menjadi prajurit arwah oleh Pendekar Dunia Arwah yang kita
Entah sudah berapa lama Sena melangkah, tetapi langit yang menaungi terasa gelap karena rimbunnya pepohonan yang tengah dia lewati. Matahari yang bertengger di siang kala itu terik dan menyilaukan, tetapi tidak terasa karena diredam oleh dedaunan lebat pepohonan di hutan ini.Dengan menggunakan mata batinnya, Sena dapat melihat benang tipis yang timbul dari gelang kirinya tengah mengarah ke arah timur, yang menunjukkan arah Raksha berada sekarang. Namun setelah sekian lama berlari dan melangkah, rasanya jarak antara dirinya dan Raksha belum juga memendek.Bukannya harusnya lebih cepat karena Raksha juga pasti berjalan menuju kesini?Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Raksha?Bagaimana kalau Raksha terkena perangkap atau jadi sasaran Baswara dan gerombolannya lagi?Semua kecemasan yang timbul dan pertanyaan yang mencuat malah membuat Sena khawatir. Langkahnya yang semula pelan kembali dia percepat lagi dengan berlari. Kala itu, dia tidak sadar kalau semak-semak disekitarnya ber
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin