Entah sudah berapa lama Sena melangkah, tetapi langit yang menaungi terasa gelap karena rimbunnya pepohonan yang tengah dia lewati. Matahari yang bertengger di siang kala itu terik dan menyilaukan, tetapi tidak terasa karena diredam oleh dedaunan lebat pepohonan di hutan ini.Dengan menggunakan mata batinnya, Sena dapat melihat benang tipis yang timbul dari gelang kirinya tengah mengarah ke arah timur, yang menunjukkan arah Raksha berada sekarang. Namun setelah sekian lama berlari dan melangkah, rasanya jarak antara dirinya dan Raksha belum juga memendek.Bukannya harusnya lebih cepat karena Raksha juga pasti berjalan menuju kesini?Atau mungkin ada sesuatu yang terjadi pada Raksha?Bagaimana kalau Raksha terkena perangkap atau jadi sasaran Baswara dan gerombolannya lagi?Semua kecemasan yang timbul dan pertanyaan yang mencuat malah membuat Sena khawatir. Langkahnya yang semula pelan kembali dia percepat lagi dengan berlari. Kala itu, dia tidak sadar kalau semak-semak disekitarnya ber
“Hahahahah! Semuanya! Bersiaplah! Si gembel tua itu akan datang! Kita hancurkan dia dengan temannya yang bodoh ini!”Baswara terbahak puas dengan ekspresi bengis. Teman-temannya memaksakan senyum mereka seraya menyeru semangat menyambut antusias tuannya.Di antara gerombolan Baswara yang semangat, hanya Gala yang tampak murung. Dia tidak menyangka kalau Sena akan melawan. Lebih parahnya lagi, dia juga tidak menduga kalau Baswara sampai berani menggunakan racun hanya untuk meredam pemberontakan Sena. Ini benar-benar di luar kendalinya. Rasa bersalah menyelimuti hatinya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan karena dia juga takut dengan Baswara.Di sisi lain, Sena terjembap jatuh. Tidak hanya pandangannya yang buram, tetapi pendengarannya juga lambat laun kian redup. Mulutnya masih komat-kamit memanggil Raksha dengan suara yang kian senyap. Dia memaksakan diri untuk tetap siaga, tetapi semua rasa perih yang timbul memaksa kedua matanya terpejam.Tepat setelah Sena memejamkan matanya
“Ra….cun….Se….na….”Gala memaksakan diri mengucapkan itu walau tubuhnya sudah lemas dan wajahnya membiru karena cekikan kuat Raksha.Raksha merasa ada yang janggal. Dia mengabaikan sejenak amarahnya lalu melepas kasar Gala hingga tubuhnya terjatuh lemas didepannya.Gala terbatuk keras. Mulutnya dia buka lebar-lebar untuk meraup udara yang dia butuhkan. Beberapa menit setelah napasnya kembali stabil, walau tubuhnya masih ringkih dan tidak kuat untuk berdiri, dia memberanikan diri menghadap prajurit arwah yang menatapinya dengan hawa membunuh yang mencekik didepannya.“Itu…penawar racun Sena…..” Gala menunjuk botol kendi yang tergeletak di sebelah tubuh Sena. “Tolong berikan aku waktu untuk memberikannya padanya. Kumohon….setelah itu, kau bebas melakukan apapun padaku….”Raksha mengerling. Apa yang dikatakan Gala benar adanya. Dia pun tidak merasakan adanya hawa membunuh dari Gala, yang berarti Gala tidak sedang berusaha untuk menipunya. Namun dia masih tidak mengerti alasan Gala repot-
“Raksha, jangan kesini!”Sena bangun seraya menjerit dengan wajah yang pucat karena cemas. DI tengah jantungnya yang masih berdegup kencang, dunia yang dia lihat masih setengah buram, tetapi lambat laun kian terlihat jelas. Matanya terbelalak saat wajah Raksha yang ada di sampingnya terlihat begitu jelas dan nyata.“Raksha! Kamu-““Tenang, tenang….” Raksha memegangi Sena yang hampir meraih pundaknya. “Tubuhmu bagaimana? Masih pegal atau nyeri?” tanyanya santai.“Baswara! Mereka menyerang kita! Ini bukan saatnya berleha-leha! Ayo kita pergi dari sini!” Sena beranjak dengan kepala yang masih pusing lalu menarik paksa Raksha untuk pergi entah kemana seperti orang linglung.“Sena, cukup. Tidak ada Baswara disini.” Raksha menenangkan dengan lembut.“Ti-tidak…! Kamu tidak mengerti! Mereka hendak menjebak kita dan-“Mendadak dunia yang Sena lihat seolah jungkir balik. Tubuhnya yang gemetaran mendadak limbung lalu terjatuh. Raksha reflek merangkul Sena agar tidak ambruk.“Uhhh….kepalaku pusin
“Yang Mulia Raksha! Tolong jangan gegabah! Walau mereka lemah, jumlah mereka banyak!” seru Asoka cemas terdengar di dalam kepala Raksha.“Kau punya tugas lain, Asoka. Menyebarlah dengan semua prajuritmu untuk mencari pendekar dunia arwah yang mengendalikan prajurit arwah itu. Pendekar itu pasti tidak mungkin terlalu jauh dari area sini. Biarkan aku yang menjadi umpan.” Perintah Raksha.“I-ini terlalu berbahaya, Yang Mulia. Kita belum tahu pasti kapan kita dapat menemukannya.”“Aku percaya dengan cakar saktimu dan pasukanmu, Asoka.”“….baik, Yang Mulia. Kami pasti akan menangkapnya secepat mungkin!”Raksha mengalihkan perhatiannya pada Sena yang daritadi menatapinya dengan raut muka keheranan. Dia tidak mungkin menggunakan kekuatan Pendekar Dunia Arwah untuk menangkal prajurit arwah yang datang di depan Sena.Sontak lengan kanan Raksha memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans yang perlahan membentuk dua keris kembar. Dia hanya bisa mengandalkan kekuatan pendekar pedang cahaya. Di
Matahari bertengger cukup tinggi di langit, menandakan siang telah tiba. Para prajurit Kanezka berembuk membukakan pintu gerbang menuju padepokan untuk menyambut pendekar muda yang telah berhasil menyelesaikan ujian kedua.Berbeda dengan ujian sebelumnya, Raksha dan Sena kali ini adalah dua pendekar muda yang kembali tiba di padepokan paling pertama. Kedua liontin mereka sudah memancarkan cahaya perak Dewa Kartikeya sehingga mereka sudah dipastikan lulus ujian kali ini.“Kita tiba pertama? Padahal aku mengira sudah ada pendekar lain…” ujar Sena lega bercampur bingung.Baru saja Sena dan Raksha duduk di saung terdekat untuk beristirahat, derap Langkah kaki prajurit Kanezka terdengar riuh dari gerbang. Mereka membawa banyak pendekar muda yang terluka parah dengan luka tebasan, lebam, dan bengkak di sekujur tiap tubuhnya. Liontin mereka pun hancur tidak tersisa. Sebagian dari mereka ada yang tewas.Raut wajah Sena sontak sendu melihat kondisi mengenaskan para pendekar muda yang terluka i
“Ugh….!”Chandra mengerang perih. Darah berlumuran memenuhi zirah dan mantelnya. Para prajurit Kanezka bersamaan memegangi Chandra untuk membantu tabib memulihkan punggung dan kaki Chandra yang robek. Diantara orang-orang yang terluka di tenda ini, bisa dibilang kalau Chandra adalah orang yang lukanya paling parah tetapi masih bertahan hidup.Sena dan pendekar muda lainnya menatap lirih penderitaan Chandra. Namun di sisi lain, Raksha menaruh perhatiannya pada Harsa dan sekumpulan prajurit Kanezka yang ada di pintu tenda kala itu. Tidak ada satupun dari mereka menampikkan sedikit pun rasa empati.Dari tatapan mereka yang dingin terhadap Chandra, Raksha tahu kalau Harsa dan anak buahnya sedang menunggu waktu untuk menangkap Chandra. Dugaan Raksha menguat saat dia melihat beberapa prajurit Harsa membawa rantai perak untuk mengikat Chandra nanti.“Raksha.” Sena tiba-tiba menarik Raksha perlahan sambil berbisik. “…kudengar Padepokan Udayana akan memenjarakan Guru Chandra setelah ujian ini.
“Ayo! Bunuh saja aku! Kau pasti ingin memperbudakku menjadi prajurit arwahmu!”Seruan Chandra yang histeris bercampur pasrah itu belum membuat Raksha bergerak untuk menghabisinya.“Aku lebih baik mati ditangan Pendekar Dunia Arwah daripada harus menanggung malu mati mengenaskan di tangan Pendekar Pedang Cahaya! Cepat! Bunuh aku sekarang!” sentak Chandra seraya menunjukkan lehernya.Raksha berpikir sejenak. Dia baru sadar kalau Chandra masih belum tahu kalau pendekar dunia arwah lainnya yang ada dihadapannya itu adalah Raksha. Ketidaktahuan Chandra ini mempermudah rencananya, pikir Raksha.Di tengah racauan Chandra, tiba-tiba Kanuragan Ozora mengalir deras di tubuh Suja sehingga aura ungu kehitaman memendar dari tiap sisi tubuhnya layaknya api yang berkobar hebat. Chandra sontak berhenti meracau dengan tubuh gemetaran. Dari aura Kanuragan Ozora yang menekan dan hawa membunuh yang kuat ini, Chandra sadar kalau yang ada di hadapannya itu bukanlah Pendekar Dunia Arwah biasa.Chandra berlu
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin