Empat hari berlalu semenjak Baswara meminta Raksha dan Sena membawa perlengkapan seluruh prajurit Kanezka yang akan menjalani misi di Kota Madharsa. Baswara dan pasukannya sudah berangkat empat hari yang lalu dan mereka kemungkinan akan tiba di lokasi besok pagi.
Di sisi lain, Raksha dan Sena baru saja usai mengumpulkan perlengkapan prajurit Kanezka seperti tenda, peralatan memasak, pedang, tombak, perisai, zirah, drum berisi bahan-bahan makanan segar dan lainnya. Mereka menghabiskan waktu hampir empat hari lamanya hanya untuk mengumpulkan semua peralatan itu di daerah lapangan kosong sekitar 1000 kaki di arah tenggara Kota Udayana.
Langit malam kala itu tidak terlalu temaram karena terang bulan sabit yang menyinari, ditemani rangkaian bintang di langit. Sena yang baru saja meletakkan peralatan prajurit Kanezka terakhir menatap langit malam sejenak sembari mengatur napasnya. Beberapa saat setelah itu, dia duduk sejenak sembari menyender di drum kayu terdekat.
Langit malam kala itu lambat laun berganti menjadi keunguan, menandakan dini hari telah tiba. Baswara tahu kalau matahari akan segera terbit. Hatinya melonjak senang ketika dia bisa melempar pandangannya ke ujung horizon, sekitar 1000 kaki dari lokasinya sekarang, dia melihat gerbang Kota Madharsa yang terbuka lebar, hancur sebagian, dan tidak terawat.“Ayo! Tegakkan tubuh kalian! Percepat langkah kita! Tujuan kita sebentar lagi tercapai!” Baswara menyeru pasukannya di tengah tubuhnya yang penuh dengan keringat.“OH!” seru pasukan Kanezka yang tengah dipimpin Baswara sekuat yang mereka bisa. Sebagian besar dari mereka tampak lelah karena Baswara memaksa mereka untuk tidak tidur di semalaman hanya untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Madharsa.Baswara sengaja memaksa pasukannya untuk mempercepat perjalanan mereka dari Kota Udayana menuju Kota Madharsa karena hatinya masih gundah akan optimisme Raksha yang begitu yakin akan memenangkan
“Raksha! Sena! Selamat! Kalian berhasil masuk tim inti!” Saguna buru-buru menghampiri sembari Raksha dan Sena bersamaan. Senyum dan tawanya yang lepas terlihat ketara apabila dibandingkan Baswara, Taksa, dan Wanda yang masih muram dan menahan murka.“T-terima kasih, Saguna…tapi ini semua berkat Raksha yang-““Sena benar-benar membantuku. Mungkin kalau tidak ada dia, aku tidak yakin bisa melakukan ini.” sela Raksha seraya merangkul Sena erat.Sena memilih diam sambil tertunduk malu dengan wajah merah padam. Ada sensasi aneh di hatinya ketika dia melihat senyum sumringah Raksha dan mendengar pujian hangat dan tulus dari Raksha.“Tapi aku benar-benar penasaran….bagaimana caranya kalian membawa semua peralatan prajurit Kanezka sebanyak itu hanya dengan berdua saja?! Aku bukannya curiga, kawan! Aku hanya penasaran!” Saguna tidak bisa menuembunyikan rasa keingintahuannya“Maaf….ki
Empat hari berlalu sejak pasukan Baswara tiba di Kota Madharsa. Dalam rentang waktu empat hari itu, Baswara telah memerintah pasukannya untuk beristirahat cukup lalu melatih kesiagaan mereka dengan membentuk barisan ‘anak panah’ sebagai persiapan strategi mereka untuk menembus istana Kota Madharsa.Baswara beruntung karena siluman anjing dan prajurit arwah tidak menyerang markas pasukannya yang ada di depan Gerbang Kota Madharsa. Dia menduga kalau pasukan arwah dan siluman anjing yang ada di Kota Madharsa ini hanya memangsa siapapun yang berani masuk ke Kota Madharsa, tetapi mereka tidak akan menyerang siapapun yang ada di luar kota.Di hari keempat, Baswara telah memantapkan strateginya untuk menerjang masuk Kota Madharsa. Dia dan pasukannya sudah berlatih untuk memantapkan formasi mereka nantinya. Dia memutuskan malam ini adalah malam terakhir mereka beristirahat di markas mereka karena besok pagi dia dan pasukannya akan pergi menyerang.Di malam k
“Prajurit! Rapatkan barisan!”Seruan Baswara di kala terbitnya matahari membuat pasukan Kanezka yang berkumpul di depan Gerbang Kota Madharsa berembuk lalu berbaris rapi. Formasi barisan pasukan terdiri dari pendekar pedang cahaya yang ada di lapis luar, pendekar dewa api, pendekar dewa angin, dan pendekar dewa air di lapisan tengah dan tim inti yang ada di lapisan paling dalam. Bentuk barisan pasukan itu menyerupai kepala anak panah sehingga memudahkan mereka untuk merapatkan pertahanan sekaligus melancarkan pergerakan mereka terus maju menuju Istana Kota Madharsa yang ada di pusat kota.Ratusan pendekar pedang cahaya yang berada di lapisan luar formasi kala itu telah melapisi seluruh tubuh dan kepala mereka dengan zirah perak dari Kanuragan Kshtariyans. Setiap dari mereka menenteng perisai baja perak yang kokoh dan tombak perak yang tajam. Dibelakang mereka, terdapat puluhan pendekar dewa api, pendekar dewa angin, dan pendekar dewa air yang sudah berbaris
“Serangan panah datang lagi! Berlindung!”Seruan Sena membuat seluruh pendekar kembali bersiaga. Taksa yang sudah memasang kuda-kuda bersamaan dengan Pendekar Dewa Angin berkonsentrasi penuh lalu mengibas kedua tangan mereka cepat sehingga hembusan angin kencang yang bergerumbul layaknya tornado datang lalu mematahkan ratusan anak panah yang hampir menerpa pasukan Baswara. Tujuan Taksa untuk menangkis serangan panah itu tercapai. Kini dia mengerling ke arah Saguna.“Tugasku selesai! Saguna, giliranmu!”, seru Taksa.Saguna terkekeh. “Serahkan saja pada kami! Pendekar Dewa Api, bersiaplah!”, serunya seraya memasang kuda-kuda silat bersamaan dengan Pendekar Dewa Api. Api sontak berkobar di tiap kepalan tinju kanan mereka. Api itu melesat bagai kencang ketika Saguna dan Pendekar Dewa Api melempar tinju mereka ke arah langit.Sontak langit di lantai atap balai kota kala itu dipenuhi ratusan bola api yang melesat jatuh ke ara
“Apa-apaan kalian ini, pemalas?! Kenapa kalian malah lelah seperti itu?!”Baswara menyalak murka melihat ratusan pendekar pedang cahaya yang dia pimpin tengah bersimpuh kepayahan sambil terengah-engah, sebagian dari mereka ada yang ambruk pingsan karena kehabisan tenaga. Menerjang Kota Madharsa sambil diterjang ratusan siluman anjing dan amukan prajurit arwah yang menyerang dari segala arah bukanlah sesuatu yang mudah dan sederhana ternyata.Sena mengerling ke arah pasukan Pendekar Dewa Api, Pendekar Dewa Angin, dan Pendekar Dewa Air yang mengalami keletihan yang serupa. Mereka mungkin masih bisa bertarung, tetapi kalau sampai harus ikut masuk istana sepertinya tidak mungkin, pikirnya.Raksha mengedarkan pandangannya. Sama seperti Sena, dia berpikir kalau sebagian besar pasukan Baswara sudah kehabisan tenaga dan apabila kubah emas yang tengah melindungi mereka ini jebol, kemungkinan besar mereka tidak bisa kabur, bahkan melawan siluman anjing dan pra
“Umph…! MMmmm….!”Raksha baru sadar kalau Sena tengah protes, meminta dirinya membuka telapak tangan yang membungkam mulut Sena. Dia pun melepaskan Sena perlahan.“Oh, maaf. Aku lupa.” ujar Raksha kikuk.“Hahh…hampir saja aku kehabisan nafas….” Sena mengatur napasnya sejenak, lalu menatap Raksha kembali.” Raksha! Kenapa kita malah diam saja?! Kita kehilangan kesempatan untuk mendapat bintang jasa lebih besar kalau seperti ini terus!”“Biarkan saja Baswara dan tim intinya itu pergi dulu. Kita bisa menyusul.” balas Raksha tenang.“Menyusul?” Sena tampak bingung. Dia menatap jeruji emas yang mengurungnya seolah-olah dia adalah burung di dalam sangkar emas. Dia menyentuhnya sejenak, sesekali mengetuknya, lalu mencoba mencengkeramnya keras, tapi sama sekali tidak bergeming.Sena menguatkan konsentrasinya sehingga cahaya perak Kanuragan Khsatr
“TERNYATA HANYA SEKUMPULAN BOCAH KANEZKA….”Diendra mendengus, menyiratkan kekecewaan yang begitu besar karena dia sudah mengharapkan kedatangan Raksha Mavendra. Namun yang dia dapat hanyalah sekumpulan pemuda nekat dari Kanezka yang menantang dan dengan lancang menghina Yang Mulia Basudewa.Diendra melirik sekilas ke arah Pawiro yang terjembap pingsan dengan perut yang terhujam lembing hitamnya. Dia tahu kalau orang itu adalah orang yang membuat pintu emas di ruang tahta ini terbuka, yang berarti orang itu adalah dari keluarga bangsawan Hanenda.“…KALIAN ORANG PERTAMA YANG BERANI MEMBAWA KELUARGA HANENDA KESINI. RENCANA KALIAN CUKUP BAIK, TETAPI KALIAN SALAH BESAR KALAU KALIAN PIKIR BISA MENGALAHKANKU, KANEZKA.”Aura ungu Kanuragan Ozora yang menyelimuti tubuh Diendra berkobar layaknya api yang menyalak. Kedua mata ungunya menatap tajam Baswara dan tim inti yang masih terdiam ngeri akan hawa membunuhnya yang mencekik
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin