“Umph…! MMmmm….!”
Raksha baru sadar kalau Sena tengah protes, meminta dirinya membuka telapak tangan yang membungkam mulut Sena. Dia pun melepaskan Sena perlahan.
“Oh, maaf. Aku lupa.” ujar Raksha kikuk.
“Hahh…hampir saja aku kehabisan nafas….” Sena mengatur napasnya sejenak, lalu menatap Raksha kembali.” Raksha! Kenapa kita malah diam saja?! Kita kehilangan kesempatan untuk mendapat bintang jasa lebih besar kalau seperti ini terus!”
“Biarkan saja Baswara dan tim intinya itu pergi dulu. Kita bisa menyusul.” balas Raksha tenang.
“Menyusul?” Sena tampak bingung. Dia menatap jeruji emas yang mengurungnya seolah-olah dia adalah burung di dalam sangkar emas. Dia menyentuhnya sejenak, sesekali mengetuknya, lalu mencoba mencengkeramnya keras, tapi sama sekali tidak bergeming.
Sena menguatkan konsentrasinya sehingga cahaya perak Kanuragan Khsatr
“TERNYATA HANYA SEKUMPULAN BOCAH KANEZKA….”Diendra mendengus, menyiratkan kekecewaan yang begitu besar karena dia sudah mengharapkan kedatangan Raksha Mavendra. Namun yang dia dapat hanyalah sekumpulan pemuda nekat dari Kanezka yang menantang dan dengan lancang menghina Yang Mulia Basudewa.Diendra melirik sekilas ke arah Pawiro yang terjembap pingsan dengan perut yang terhujam lembing hitamnya. Dia tahu kalau orang itu adalah orang yang membuat pintu emas di ruang tahta ini terbuka, yang berarti orang itu adalah dari keluarga bangsawan Hanenda.“…KALIAN ORANG PERTAMA YANG BERANI MEMBAWA KELUARGA HANENDA KESINI. RENCANA KALIAN CUKUP BAIK, TETAPI KALIAN SALAH BESAR KALAU KALIAN PIKIR BISA MENGALAHKANKU, KANEZKA.”Aura ungu Kanuragan Ozora yang menyelimuti tubuh Diendra berkobar layaknya api yang menyalak. Kedua mata ungunya menatap tajam Baswara dan tim inti yang masih terdiam ngeri akan hawa membunuhnya yang mencekik
“Raksha, lihat…!”Sena terbelalak melihat garis cahaya kuning keemasan di lantai yang dia dan Raksha pijak itu perlahan meredup. Jeruji emas yang mengurungnya dan Raksha itu pun melemah. Namun yang membuat Sena merinding adalah kubah emas yang tengah membentengi pasukan Baswara dan pasukan arwah di luar kota itu pun ikut melemah dan kian rapuh.“Apa yang terjadi?” tanya Sena keheranan.“Kemungkinan ada sesuatu yang buruk yang menimpa Pawiro di dalam istana.” jawab Raksha tenang seraya mengedarkan pandangannya, menatap pendekar pedang cahaya, pendekar dewa api, pendekar dewa angin, dan pendekar dewa air yang kalang kabut panik melihat kubah emas yang melindungi mereka kini kian retak dihantam ratusan siluman anjing dan prajurit arwah dari luar kubah. Tinggal menunggu waktu saja sampai kubah emas ini jebol.“K-kenapa kubah emasnya jadi lemah begini?!”“Si-siluman anjing datang! A-aku bisa m
Bau darah yang menusuk hidung itu harus Raksha dan Sena tahan tepat setelah mereka menapakkan langkah kaki merka yang pertama ke dalam istana.Raksha dan Sena berlari kencang melewati ratusan jasad prajurit Kanezka dan pendekar Dunia Arwah yang menghalangi jalan mereka ketika menyusuri lorong istana. Satu-satunya sumber penerangan mereka adalah obor yang memancarkan api berwarna ungu di tiap sisi lorong yang tengah mereka lalui.Raksha tahu kalau api itu berasal dari Kanuragan Ozora milik Diendra. Bahkan di tengah langkahnya yang kian mendekat, dia bisa merasakan hawa membunuh yang kuat dari Diendra yang rasanya semakin mencekik. Dari aura kesaktian Diendra yang menekan dan bau darah segar yang menyambutnya, Raksha ragu kalau Baswara, Taksa, Wanda, dan Saguna masih bertahan hidup.“Di ujung lorong itu, Raksha! Aku bisa merasakannya!” Sena menyeru sembari menunjuk ke ruang tahta yang ada di ujung lorong yang tengah dia dan Raksha lalui. Cahaya perak K
“Gardapati! Serang!” teriak Raksha di tengah keterpurukannya.Gardapati sontak muncul dari balik bayangan Raksha. Dia menerjang cepat sehingga taringnya berhasil mendarat keras di leher Diendra.Darah hitam menyemburat dari leher Diendra, membuat Diendra meringis menahan keperihan yang menerpa. Namun dia tahan sekuat tenaga rasa perih itu sambil melepas paksa siluman srigala yang masih mengoyak lehernya. Walau aura ungu Kanuragan Ozora Diendra memekik panas dan menusuk tubuh Gardapati, sang siluman srigala masih bersikukuh menahan taring dan cakarnya agar tetap mengoyak lehernya itu.“SRIGALA BODOH! PERGI!”Diendra menyentak bersamaan dengan meledaknya aura ungu Kanuragan Ozora di tubuhnya. Gardapati terpental jauh dengan taring yang hancur dan cakar yang patah akibat ledakan tersebut.Diendra sempat limbung karena darah hitam tubuhnya terus menyemburat dan aliran Kanuragan Ozora miliknya sempat kacau. Beberapa detik setelah
“Sena…tenanglah….”Saguna bisa merasakan kecemasan yang luar biasa ketika melihat raut wajah Sena yang pucat. Kala itu, Sena tengah memfokuskan cahaya biru kehijauan Kanuragan Wiratama di kedua telapak tangannya memancar terang menyinari Saguna, Taksa, Baswara, Wanda, dan Pawiro yang terluka parah.Ajian sakti cahaya pemulihan Sena berhasil membuat luka fatal di tubuh kelima orang itu pulih, tetapi mereka masih kehilangan kesadaran karena kehabisan tenaga. Hanya Saguna yang masih bisa menjaga kesadarannya di tengah tubuhnya yang masih terasa remuk itu.Sena berhenti ketika dia tahu kalau Taksa, Saguna, Baswara, Pawiro, dan Wanda sudah aman dari luka fatal yang mengancam nyawa mereka. Namun kegelisahan masih melanda hatinya. Walau dia sudah fokus sekuat tenaga, hati kecilnya masih berteriak khawatir akan kondisi Raksha di dalam tanah itu.“Saguna, tunggu disini. Aku harus mencari Raksha.” Sena buru-buru beranjak.
“KANEZKA NAIF! APA KAU SEDANG MEMAKSAKAN PERASAANMU YANG TIDAK MASUK AKAL ITU?! DUNIA TIDAKLAH SEBAIK SEPERTI IMAJINASI KALIAN, BEDEBAH!”Diendra menyeru keras, meneriakan amarahnya yang menumpuk semenjak tuannya, Isvara Mavendra, putus asa dan memilih menyepi di Goa Zanitha. Kalau saja tuannya itu tidak memilih Basudewa sebagai suaminya, dia tahu tragedi macam ini tidak harus terjadi.Sena maju menghadang Diendra yang melesat kencang. Tongkat emas saktinya beradu dengan tebasan pedang hitam Diendra yang cepat dan liar. Berulang kali Sena menangkis tebasan horizontal dan diagonal Diendra itu dengan tongkat emasnya, tetapi sengatan panas yang memekik dari api ungu yang membalut bilah pedangnya itu terasa perih di wajah dan tubuhnya.“KALIAN MEMAKSAKAN DIRI UNTUK MENYATU! HANYA UNTUK APA?! HANYA UNTUK SALING MENGKHIANATI SATU SAMA LAIN DI MASA DEPAN?! JANJI SUCI?! SEHIDUP SEMATI?! OMONG KOSONG SEMUANYA!” teriak Diendra keras di tengah seran
“Uhh….”Sena terpaksa bersimpuh karena kehabisan tenaga. Tongkat emas yang merupakan pusaka sucinya kini kembali menjadi tongkat baja. Berulang kali dia menghirup napas lalu membuangnya, tetapi rasa lelah dan perih tidak lepas dari tubuhnya. Dia tidak menyangka kalau menggunakan Kanuragan Wiratama pada pusaka sucinya itu benar-benar menyita banyak tenaga. Dia harus berlatih banyak lagi agar lebih terbiasa.“Masih kuat?” tanya Raksha yang duduk bersimpuh persis di depannya.“Beri aku waktu….Raksha…” Sena masih terengah-engah dengan keringat deras mengalir di tubuhnya. Dia sudah lama mengatur napas, tetapi kelelahan masih melanda tubuhnya.Raksha menghela napas panjang. Dia menyodorkan punggungnya tepat ke hadapan Sena. “Sini. Kamu tidak mungkin jalan sendiri dalam kondisi seperti itu.” pintanya.“Emm….apa ini tidak apa-apa…?” tanya Sena ragu. Dia tidak men
“Tinggal 400 bintang jasa lagi, Raksha!”Sena menyeru sembari membawa gulungan kertas. Buru-buru dia menghampiri Raksha yang tengah duduk santai di salah satu saung Padepokan Pendekar Dewa Matahari kala itu lalu menunjukkan kertas yang dia bawa.Raksha melihat kertas itu kurang lebih berisi pernyataan pengakuan bintang jasa resmi dari Kerajaan Kanezka bahwa Padepokan Pendekar Dewa Matahari mendapatkan 500 bintang jasa karena telah berhasil menyelesaikan misinya di Kota Madharsa. Raksha tahu itu asli karena dia melihat stempel lilin lambang Kerajaan Kanezka dan Padepokan Udayana di ujung kanan bawah kertas itu.“Bagaimana? Hebat, bukan? Hanya Padepokan Pendekar Dewa Matahari yang berhasil mengumpulkan 600 bintang jasa hanya dari dua misi saja! Posisi padepokan kita juga sekarang bukan lagi yang terendah!” Sena menegaskan dengan penuh kebanggaan. Raksha hanya tersenyum sejenak untuk menanggapinya.“…kalau begitu kurang b
“Ah, ini tidak adil!”Sena menendang kursi yang ada di ruang jeruji depannya. Emosinya yang masih meletup-letup memaksa dia untuk duduk di salah satu ranjang jeruji sambil memijat-mijat dahinya yang mendadak terasa pusing. Niatannya untuk segera istirahat di Padepokan Kanuragan Wiratama pupus sudah karena keluarga Mahadri memaksa Raksha dan Sena masuk ke dalam penjara karena masih diduga mencuri pusaka suci milik Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara.“Padahal baru saja kita bebas dari penjara Keluarga Jagadita, sekarang Keluarga Mahadri malah memenjarakan kita lagi?! Ada apa dengan kebebalan mereka?! Mereka bahkan bilang kalau kita bisa bebas kalau kita bisa mengembalikan pusaka suci Keluarga Jagadita dan Keluarga Nismara?! Apa mereka itu dungu?! Sudah kubilang berkali-kali kalau kita berdua ini bukan pencuri!” Sena masih meluapkan amarahnya sambil mengepal kedua tinjunya keras. Cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sempat memancar terang untuk membentuk tombak perak yang akan dia guna
“Ah, akhirnya kita sampai, Raksha!”Sena buru-buru beranjak sambil menatap pelabuhan Kota Udayana yang semakin dekat dari perahunya. Dari terpaan angin kencang dan air yang tidak berombak, dia tahu kalau perahu yang tengah dia tumpangi itu akan membawa dirinya dan Raksha beberapa menit lagi.Raksha yang melihat ke arah yang sama awalnya menghela napas lega karena dia pun ingin istirahat sejenak. Namun kecurigaan tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya ketika dia melihat seorang pria jangkung bertubuh gemuk yang mengenakan seragam katun berwarna ungu dengan rompi dan ikat pinggang berwarna kuning tengah duduk di ujung pelabuhan Udayana. Pria itu adalah Panji Mahadri, salah satu pendekar Dewi Pertiwi yang dulu pernah hampir membunuhnya karena kebenciannya terhadap pendekar Kanuragan Wiratama.Raksha semakin waspada ketika melihat ada dua pria paruh baya yang mengenakan pakaian seragam katun ungu yang sama seperti Panji tengah berdiri tegak di sebelah Panji. Kedua pria paruh baya itu ber
“Kami harus menghajar anda, Yang Mulia?”Asoka dan Gardapati masih kebingungan dengan perintah Raksha. Mereka berdua bahkan kaget ketika melihat Raksha memanggil Suja dari balik bayangannya.“Suja, kau pukul perutku. Asoka kau cabik punggungku. Gardapati kau gigit pundakku.” Perintah Raksha sembari menunjuk ke arah perut, punggung, dan pundaknya.“Apa Yang Mulia yakin dengan ini?” tanya Suja sama bingungnya.“Aku hanya ingin memastikan Sena percaya dengan ceritaku tadi. Cepat lakukan sebelum terlambat!” tegas Raksha sambil menyeru.Asoka dan Gardapati pun berhenti ragu. Asoka yang pertama kali melesat ke punggung Raksha lalu mencakar sebagian punggung Raksha dengan tinju cakarnya yang sengaja dia tidak buat terlalu mematikan agar tuannya bisa menahannya.Raksha bisa merasakan guratan yang tajam di sepanjang pinggangnya hingga darahnya sempat menyembur perlahan, tetapi dia masih bisa menahannya karena dia tahu Asoka menahan diri. Sepersekian detik setelah itu, Gardapati datang menerjan
“Semuanya! Ikuti aku!”Usai Sena menyimpan tongkat emasnya di balik punggungnya, dia pun langsung mengangkut Wanda yang masih tidak sadarkan diri. Seruannya yang keras membuat perhatian puluhan pendekar dewa angin yang masih kewalahan untuk kembali bangkit untuk melarikan diri. Ardiman yang ikut dibantu bangkit oleh para pendekar dewa angin pun kini sadar akan kehadiran Sena yang baru saja menolongnya untuk menjauh. Dia melihat Rakshasa sedang mengalihkan perhatiannya untuk melawan Raksha.“Suradarma….kau…membantu…kami…?” ujar Ardiman di tengah tubuhnya yang sekarat dan tertatih-tatih.“Sekarang bukan saatnya untuk mencurigaiku dan Raksha, Tuan Ardiman! Kita harus segera melarikan diri!” seru Sena balik.Ardiman tidak bisa membantahnya. Kondisinya dan seluruh pasukannya sudah sekarat dan kalau Rakshasa kembali menyerangnya maka kematian adalah kepastian yang akan menimpa mereka semua. Dia pun akhirnya memilih untuk menghilangkan kecurigaan terhadap Sena dan Raksha, lalu memilih memuta
“Raksha, biar aku yang urus ini.”Raksha berhenti melangkah sejenak ketika Sena memintanya sembari mengacungkan tongkat emasnya ke arah pintu goa yang ada di depannya itu. Hanya dengan satu hantaman, puing-puing batu yang menutup pintu goa itu hancur seketika oleh serangan Sena. Kini Sena dan Raksha bisa melihat sosok Rakshasas yang mengaung layaknya harimau raksasa yang hendak menerkam mangsanya, yakni Ardiman, Wanda, dan puluhan Pendekar Dewa Angin lainnya.“Astaga…baru pertama kali kulihat monster sebesar ini…” Sena mengencangkan pegangan tongkat emasnya sambil bersiaga penuh.“Monster itu masih mengincar Adriman. Kita punya kesempatan untuk menyerangnya dari belakang.” ujar Raksha sambil membuat telapak tangan kanannya memancarkan cahaya perak Kanuragan Khsatriyans sehingga membentuk pisau keris. Telapak tangan kirinya yang sudah menggenggam erat pisau kujang emas membuat dia semakin sigap dengan kemampuan silatnya.Namun Raksha tahu kalau Rakshasas bukanlah siluman biasa yang mud
“Wanda…bersiaplah. Akan kita serang mereka lagi sekaligus dengan jurus angin sakti!”Seruan keras Ardiman membuat Wanda langsung bersiaga sembari memasang kuda-kuda tegak. Dia melihat pusaka syal hijau pamannya kini memancarkan cahaya hijau sehingga angin tornado berputar kencang mengitari tubuh mereka dan pasukannya.Tepat setelah Ardiman mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lima pengawal arwah elit yang sebelumnya menyerangnya, dia kini ikut mengarahkan telapak tangan kanannya. Angin kencang yang kini terkumpul di pusaka syal hijau Ardiman menguat, bersamaan dengan puluhan pendekar dewa angin yang baru saja menyembuhkan lukanya lalu ikut berkonsentrasi sehingga angin tornado Ardiman berputar semakin kencang.“Lima prajurit arwah itu tidak menyerang, paman! Ini kesempatan kita!” seru Wanda semangat.“Ya, kita-“Ardiman tiba-tiba berhenti menyeru ketika tanah yang dia, Wanda, dan puluhan prajuritnya pijak berguncang keras, sampai-sampai mereka hampir kehilangan keseimbangan dan
“Pendekar Kanuragan Wiratama harusnya mampus!”Wanda berulang kali menyerukan hal itu dengan keki. Walau Birawa, Pendekar Kanuragan Wiratama yang dia dan keluarganya buru untuk keamanan Nusantara kini sudah mati, dia masih tidak terima kalau yang mengalahkan Birawa ternyata adalah Raksha dan Sena, dua Pendekar Kanuragan Wiratama yang kini paling hebat diantara pendekar kanuragan lainnya.Tidak hanya Keluarga Jaganita, Wanda ingat kalau keluarga lainnya dari Nismara, Mahadri, Pancaka, dan Bhagawanta pun belum menyerah untuk mengerdilkan Pendekar Kanuragan Wiratama sebelum mereka bergabung untuk ikut dalam kompetisi Turnamen Sembilan Bintang Langit.“…sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk memenjarakan mereka di Udayana, nak.”Ardiman tiba-tiba menanggapi Wanda, yang merupakan keponakannya.“Ya, paman! Mereka masih membawa bahaya di Udayana nanti, apalagi saat mereka mengikuti Turnamen Sembilan Bintang Langit!” seru Wanda.“Aku mengerti, nak. Banyak keluarga militer Kanezka yang mulai
“Jangan lambat kalian!”Sena dan Raksha lagi-lagi disentak oleh pendekar dewa angin yang ada di belakang mereka untuk melangkah lebih cepat. Mereka berdua tengah dalam perjalanan ke ujung utara hutan, dimana disana banyak bangunan rumah yang dibuat oleh pendekar dewa angin sebagai tempat mereka beristirahat dan berlatih di Pulau Babar.Raksha mengedarkan pandangannya sekilas. Dia melihat ada dua puluh lebih bangunan rumah yang jaraknya antar tumah sekitar 50 kaki tersebar di ujung hutan ini. Tidak banyak pohon yang tersebar di ujung hutan ini sehingga Raksha bisa merasakan kalau pendekar dewa angin yang ada disini lebih bebas untuk beraktivitas di tempat ini.Raksha yang awalnya mengira dia dan Sena akan dibawa ke salah satu rumah tersebut ternyata salah. Para pendekar dewa angin menyuruh mereka masuk ke salah satu goa yang ada sekitar 60 kaki di arah selatan tempat perumahan tersebut. Ketika Raksha melihat goa yang sempit itu dan jeruji di pintu goanya, dia baru sadar kalau para pen
“Yang Mulia, ternyata benar, pasukan Kanezka tengah mendatangi goa ini dengan persenjataan lengkap.”Bisikan Sakuntala yang terdengar hanya di dalam hati Raksha kala itu sempat membuat Raksha berhenti mengubur mayat terakhir di Goa. Dia melirik Sena sekelabat, setelah dia memastikan kalau Sena masih sibuk mengubur, dia kembali fokus ke Sakuntala.“Berapa kekuatan?” tanya Raksha berbisik.“Tidak banyak, Yang Mulia. Sekitar 30 kekuatan. Mereka semua mengenakan seragam pendekar silat Udayana berwarna hijau.” jawab Sakuntala.“….berarti mereka dari Padepokan Kanuragan Wayu. Kenapa mereka ada di pulau ini?”“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia. Tetapi saya bisa merasakan hawa membunuh dari mereka. Harap berhati-hati, Yang Mulia Raksha.”Raksha diam sejenak lalu berpikir. Dia tahu kalau Padepokan Dewa Angin dan Padepokan Dewa Air seringkali berkoalisi dan bertukar ilmu ajian sakti sehingga dia tidak heran melihat Wanda Jagadita dan Taksa Nismara bisa menguasai jurus pengendalian air dan angin