SLEP!!! SLEP!!! SLEP!!!
Auw ….Jeritan memiluhkan terdengar, ketika pisau badik menancap berulang kali di tubuh pasangan suami istri yang kini tidak berdaya. Darah segar mengalir menghiasi kamar hotel 212.Bintang Morales mengintip dari balik cela kecil. Tangan kanannya membungkam mulut sang adik yang masih berusia lima tahun.Sedangkan kedua kaki Bintang saling menyilang rapi, agar adiknya tidak bisa bergerak. Dia hanya memastikan adiknya bisa bernafas.“Apa kamu yakin kedua anak Morales sudah meninggal?” tanya seorang lelaki tampan, usianya sekitar tigapuluh tahun.“Sudah, Bos.”Lelaki tampan itu menatap sosok yang berdiri didepannya dan bertanya, “Seyakin itukah, kamu? Apa kamu pikir keluarga Morales bisa dihancurkan dengan mudah? Tidak, brengsek!”“Keluarga Morales hanya memiliki dua orang anak, kalau bukan anak keluarga Morales yang meninggal, terus siapa? Bukankah sudah jelas korban kebakaran itu menelan sepuluh korban jiwa? Korban yang termuda berusia sekitar lima tahun, sedangkan kedua termuda berusia sekitar Sepuluh tahun!”Untuk memastikan kematian pasutri itu, lelaki tampan kembali menembak.DOR!!! DOR!!! DOR!!!Bintang langsung saja menutup kedua mata adiknya dengan menggunakan telapak tangannya.Tidak ada sebutir airmata pun yang keluar dari pelupuk mata Bintang, dia diam membisu, hatinya seperti ikut mati bersama orangtuanya.Kedua lelaki itu melemparkan pistol dan pisau badik ke samping jenazah. Mereka seakan tidak pernah takut dengan yang namanya hukum.Begitu kedua pembunuh itu pergi, sesosok laki-laki masuk ke dalam kamar hotel 212, “Bintang keluarlah! Aku tahu, kamu dan adikmu bersembunyi dibalik plafon!”Bintang terkejut mendengar suara lelaki itu. Namun, dia tetap diam.“Keluarlah, Bintang! Aku tahu betul ayah dan ibumu membuka plafon disudut kanan agar kamu dan adikmu bisa bersembunyi di sana! Keluarlah, aku akan merawat kalian berdua, sampai kalian benar-benar siap membalaskan dendam atas kematian orangtuamu!”Bintang tidak punya pilihan, berlahan dia membuka cela dan mendorong plafon itu.Dengan bantuan lelaki itu, Bintang dan Mentari turun dari tempat persembunyiannya.Melihat orangtuanya bersimbah darah, Mentari menangis sesunggukan, dia mengoncang tubuh pasutri itu dan berteriak, “papi, mami, bangun! Kenapa diam saja?! Apa mami dan papi bermain tembak-tembakkan lagi? Tapi kenapa mami dan papi tidak bangun seperti biasa?”Mendengar teriakan sang adik, hati sang kakak seperti ikut tertusuk pisau badik, hingga mengeluarkan darah yang tak terlihat. Namun, rasanya menembus sampai ke tulang-tulang, bahkan organ tubuh yang lainnya.Disaat mereka akan meninggalkan kamar hotel 212, tiba-tiba ….DOR!!! DOR!!! DOR!!!Bintang langsung menarik Mentari, kemudian mengunci pintu kamar hotel.“Om bangun! Bangun!” Bintang menepuk kedua pipi lelaki yang juga ikut tertembak dengan orang yang tidak dikenal.“Keluar dari sini, cepat! Jangan pedulikan, om!”“Tapi, Om!” bisik Bintang ragu.“Jangan biarkan pengorbanan orangtuamu sia-sia. Pergi dan bawa adikmu keluar dari sini! Om yakin, kamu pasti bisa,” bisik lelaki itu pelan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.“Adik, lihat kakak!” kata Bintang menatap mata Mentari tanpa berkedip, “Mami dan Papi berpesan, kita keluar dari sini dan bertemu mereka diluar. Kita main lagi, ya? Tapi kali ini berbeda, kamu yang ikutin perintah kakak. Mengerti?”Mentari hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.Bintang membantu Mentari menaiki lemari, dan masuk ke dalam cela yang dibuat oleh orangtuanya.Setelah memastikan plafon sudah tertutup kembali dengan rapi, Bintang memberi isyarat kepada sang adik untuk mengikuti dibelakangnya.‘Aku harus bisa membawa adikku keluar dari hotel ini hidup-hidup, tapi bagaimana caranya? Pasti penjahat itu sudah mengepung tempat ini!’ batin Bintang, bingung.Setelah berpikir matang-matang, Bintang sadar satu-satunya jalan untuknya dan sang adik keluar hanya melalui terowongan kecil yang merupakan jalur kabel listrik.Biasanya terowongan itu digunakan untuk memeriksa listrik hotel secara rutin. Untuk lewat terowongan itu, maka Bintang dan Mentari harus merangkak secara bergiliran.Walaupun dia tahu itu sangat berbahaya, tapi tidak ada pilihan lain. Bagi Bintang sudah kepalang tanggung, kalaupun mereka hanya diam di sana sudah pasti penjahat itu akan menemukan dan menghabisi mereka.Bintang menatap mata sang adik dan berkata, “Jika ingin bertemu papi dan mami diluar, Mentari harus ikuti semua perintah kakak. Biar kita berdua menang, bukan mami dan papi, ya? Mentari mau kan kalau kita menang?”Kembali gadis cilik itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.“Bagus, sekarang ikuti kakak. Ingat jangan menyentuh apapun tanpa perintah kakak.”“Siap, kakak bos.”Jawaban Mentari membuat nafas Bintang terasa sesak, hatinya sakit. Namun, dia harus bisa menyelamatkan adiknya.Berlahan namun pasti, Bintang mulai merayap diikuti oleh sang adik, tepat dibelakangnya. Sesekali Bintang memanggil nama sang adik dan mengingatkan agar jangan menyentuh apapun.Bintang dapat bernafas lega ketika sampai dibagian ujung. Namun, kembali dia menatap sekelilingnya dan jemari tangannya membuka dan menutup.“Kakak kenapa? Kok main hitung-hitungan jari? Apa sekolah kakak, sama kayak sekolahku ya? Belajar hitung-hitung pakai jari?” tanya Mentari dengan polosnya.Bintang hanya mengacak rambut sang adik dan tersenyum, “Kakak lagi menghitung, bagaimana agar kita keluar dari sini dengan aman.”Kening Mentari penuh kerutan-kerutan, dia bingung dengan jawaban sang kakak. Namun, keinginannya lebih kuat untuk memenangkan pertandingan dari mami dan papinya lebih besar, sehingga dia memilih diam dan mendengarkan setiap perkataan sang kakak.Ya! Mentari pikir itu hanyalah sebuah permainan.“Dik, pada hitungan ketiga, kita turun lewat tiang ini. Kamu masih ingat kan, saat kakak ngajarin cara nurunin tiang hingga mendarat dengan aman? Tapi kali ini dibawah tidak ada matras seperti biasa. Jadi harus hati-hati, jangan sampai kakinya patah.” Kata Bintang sambil memotong kabel disampingnya dengan menggunakan gunting yang sejak awal dibawanya.“Iya, kak. Lho kabel itu untuk apa, kak?” tanya Mentari bingung melihat sang kakak menjatuhkan kabel hingga setengah tiang. “Kamu turun duluan, Dik.”Mentari tidak menjawab, dia langsung memeluk tiang dengan erat dan menyilangkan kakinya kemudian meluncur turun. Bintang dapat bernafas lega ketika melihat sang adik dapat mendarat dengan selamat.Bintang melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Mentari. Namun, Bintang berhenti tepat di ujung kabel dan membatin, ‘Maaf, aku harus melakukan ini. Suatu saat aku akan kembali dan mengganti semua kerugian hotel. Aku yakin, penghuni hotel akan segera keluar.’Berlahan Bintang menyalahkan korek api dan meluncur dengan cepat, kemudian menarik pergelangan tangan sang adik dan berlari keluar dari ruangan itu menuju kamar mandi.Bintang langsung saja menguyur Mentari dengan air, begitupun dengan badannya.Kembali Bintang menarik pergelangan tangan Mentari dan keluar lewat sisi kiri. Bintang menutup telinga Mentari dengan erat.BOM!!! BOM!!! BOM!!!BRANG!!! PRANG!!!Bunyi ledakan disertai api langsung menarik perhatian warga. Namun, bukannya menelepon pemadam kebakaran atau membantu memadamkannya, mereka justru sibuk dengan merekam adegan kebakaran mendadak itu.“Kak, mainnya kok serem, kenapa pakai api segala?”Bintang hanya diam, namun dia tahu persis kebakaran itu tidak akan membuat seisi hotel ikut terbakar.Lima belas menit sebelum kebakaran terjadi, Bintang sudah menelepon pihak pemadam kebakaran. Disamping itu, Bintang memotong arus listrik yang menghubungkan seluruh lantai.Bagi Bintang memutuskan aliran listrik seperti itu, bukanlah hal yang sulit. Ibunya yang seorang pengusaha dan bergerak dibidang listrik sering mengajaknya ke kantor.Di sana Bintang banyak bertanya kepada karyawan yang sedang melakukan uji coba tentang listrik. Karena itulah Bintang tahu bagaimana cara membuat kebakaran melalui jaringan listrik, mengatur jarak, hingga tidak menimbulkan korban.“Kak, apa kita sudah menang? Mami dan Papi mana?”“Pertandingan belum berakhir, masih ada yang harus kita lakukan. Ikuti kakak ya?”Bintang membawa Mentari ke dalam kerumunan orang-orang dan menghilang di antara gang sempit. Melihat segerombolan laki-laki yang mengenakan jas hitam menatap sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu. Bintang segera menarik sang adik ke dalam persembunyian dan membungkam mulut sang adik.Walaupun tidak yakin kalau segerombolan lelaki berjas itu adalah penjahat, tapi bagi Bintang sekarang waktunya untuk waspada. Begitu ada kesempatan Bintang langsung mengajak adi
Sepuluh tahun kemudian.Bintang dan Mentari kini tinggal di kota yang jauh lebih kejam dari kota asalnya. Di kota itu selalu terjadi pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan bentuk kejahatan lainnya. Kota di mana polisi tidak bisa tidur dengan tenang, bahkan masyarakat di sana sama sekali tidak takut dengan yang namanya polisi. Balapan liar, turnamen beladiri liar, panjat tebing tanpa pengaman, perkelahian antar warga merupakan hal yang wajar di kota itu. Bagi mereka nyawa bukanlah sesuatu yang berharga.Kota itu terkenal dengan kehidupan mereka yang tidak takut akan hukum, hingga membuat pendatang berpikir dua kali untuk menetap. Namun, berbeda dengan Bintang dan Mentari, mereka justru menyukai tempat itu. Apalagi setelah Mentari tahu kalau orangtuanya telah tiada.Sejak memilih untuk menetap di kota kecil itu, Bintang mengutamakan sekolah Mentari. Dia menyekolahkan Mentari dari hasil ikutan balapan liar, turnamen beladiri liar, bahkan panjat tebing tanpa pengaman dijalani Bintang
“Hebat! Hebat! Beraninya sama lelaki paruh baya, pakai keroyok lagi?! Benar-benar bikin malu anak muda!” cetus Bintang sambil bertepuk tangan, seolah-olah bangga dengan sikap segerombolan orang tak dikenal itu. Sejenak mereka berhenti dan menatap asal suara. Melihat senyuman penuh ejekan dari Bintang, membuat mereka marah dan sebagian menyerang Bintang secara membabi buta.Namun bagi Bintang mereka sama sekali bukanlah tandingannya, dengan mudahnya Bintang memukul mundur orang-orang itu.“Anda tidak apa-apa, Tuan?” tanya Bintang sambil membantu lelaki paruh baya itu berdiri, kemudian menuntunnya ke tepi dan mengobati luka lelaki itu dengan menggunakan obat tradisional. “Apa kamu mengenalku?” tanya lelaki paruh baya itu menatap Bintang.“Apakah menolong orang lain harus saling kenal? Bukankah tidak? Aku tidak tahu kesalahan terletak pada siapa, tapi aku tidak suka melihat mereka mengeroyok, Tuan. Bukankah perkelahian itu tidak seimbang? Mereka ada banyak orang, sedangkan Tuan? Hanya
Sedangkan bagi mereka yang miskin dan tidak punya apa-apa, akan dihina dan dianggap pembawa sial.Istilah yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin, itu berlaku di kota asalnya. Bahkan hukum pun dikuasai oleh orang berduit.Berbeda di kota tempatnya tumbuh dewasa. Di sana justru sebaliknya, hukum tidak bisa dibayar dengan uang. Karena bagi mereka, merekalah hukumnya. Sogok menyogok tidak berlaku. Kekerasan adalah jawaban.“Sudah dekil, bau amis gini, terus mau menyewa rumah kontrakan ini?” Lelaki itu menunjuk rumah yang ada didepannya. “Kamu jangan bermimpi, brengsek!” umpat lelaki itu kesal.“Apa benar harga sewanya pertahun limapuluh juta?” tanya Bintang tidak mempedulikan hinaan lelaki itu.Mata lelaki itu membulat sempurna dan bertanya, “Apa kamu serius mau menyewa rumah ini?”“Aku serius, Tuan.”Walaupun tidak percaya, tapi lelaki itu memilih mengantar Bintang menemui orangtuanya dan memberitahu maksud kedatangan Bintang ke sana.“Apa? Menyewa rumah kontrakan kita? Kamu j
Capter 6‘Sial! Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa bisa keceplosan?’ batin lelaki itu kesal.“Deni! Antar dan tunjukkan Bintang setiap sudut rumah yang sudah dikontraknya. Ayah hanya takut kalau nantinya dia tersesat," kata lelaki itu mengalihkan pembicaraan dan langsung meninggalkan Bintang.Bintang hanya menatap kepergian lelaki itu dalam diam. Jelas sekali ada sesuatu yang disembunyikan lelaki itu. Apa maksudnya dengan pembunuhan tragis? Apakah yang menimpa mami dan papi, juga menimpah kakek dan paman? Atau yang dimaksud lelaki tadi itu rumah mami dan papi? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Bintang.“Ikut aku sekarang!”Suara tegas Deni langsung membuyarkan lamunan Bintang.Tidak mau menimbulkan kecurigaan, Bintang langsung mengikuti langkah kaki Deni menuju rumah yang baru di kontrakannya.Sesampainya di rumah kontrakan, Deni membuka pintu dan melemparkan kunci kearah Bintang. Dengan sigap Bintang menangkapnya.“Tiga puluh lima juta, lengkap dengan fasilitas! Kamu berunt
'Astaga, apa yang harus aku lakukan?' batin Bintang panik, ketika gadis itu tiba-tiba menangis tak terkendali.Bintang yang sama sekali tidak berpengalaman dalam membujuk gadis manja, bingung menghadapi sosok yang ada didepannya.Bukannya prihatin, Bintang justru kesal dan membatin, 'Sial! Kenapa aku harus diperhadapkan dengan gadis manja ini?' Setelah berpikir panjang, akhirnya Bintang mengirim pesan melalui aplikasi hijau pada mentari, adiknya.[Dik, bagaimana cara membujuk gadis yang sedang menangis? Kakak butuh jawaban cepat!][Peluk dia, dan katakan agar dia tidak usah takut, karena kakak bersamanya.] balas Mentari.Sesuai saran Mentari, Bintang memeluk gadis tak dikenal itu. Namun, bukannya tenang tapi gadis itu justru mendorongnya dengan kasar. Matanya yang sembab menatap Bintang, tiba-tiba ....PLAKKK!!!!Bintang mengelus pipinya yang terasa perih akibat tamparan telak dari gadis tak dikenal.Gadis itu berlari meninggalkan Bintang yang kebingungan.Namun, tidak mau terjadi se
Bintang kembali memperhatikan sekelilingnya, sunyi. Tidak ada seorang pun di sana. Dia sendirian."Untuk apa garis merah ini?" tanya Bintang pada dirinya sendiri, ketika memperhatikan garis merah yang ada didepannya.Ya! Didepan Bintang hanya ada garis merah segi empat, yang jaraknya sekitar 4 meter dari tembok. Di belakangnya juga ada potongan-potongan kayu, pakaian satu set, serbuk putih yang Bintang sendiri tidak tahu fungsinya.Namun, dia yakin semua itu saling berhubungan. Entah kenapa dia lebih tertarik dengan adanya garis merah itu.Pasti ada alasannya jika garis merah ini berada di sini! Tapi apa? Kenapa dalam ruangan segede ini hanya ada garis merah, kayu, pakaian, serbuk putih? Aku yakin semua ini pasti ada fungsinya! Tapi apa? Tidak mau penasaran lebih lama, Bintang langsung saja menyentuh garis merah itu menggunakan jari telunjuknya.Secara refleks, Bintang langsung meloncat mundur. Dia terkejut melihat pemandangan yang ada didepannya.Ya! Di dalam garis merah itu, banyak
'Ternyata pilihan kakakku tidak salah, lelaki itu memiliki kemampuan memimpin. Itu jelas terlihat dari caranya yang tidak bertindak gegabah. Kalau seperti ini, aku yakin Bintang mampu melewati ujian mematikan ini!' batin bos besar tanpa senyuman.Kalau bos besar terlihat tenang, tapi tidak demikian dengan dua orang yang bersamanya. Dua orang itu mulai ragu dengan kemampuan Bintang, saat melihat Bintang hanya memperhatikan tanpa ada tindakan selanjutnya.'Panjang benang laser sekitar 25 meter, besarnya benang laser hanya seperti benang jahit. Semua benang laser memiliki warna yang sama, biru.'Setelah memperhatikan secara seksama, Bintang kembali mengambil kayu berbentuk balok, kemudian melangkah kesamping kiri dan melemparnya.Kalau benang laser yang pertama, membela kayu menjadi empat bagian. Berbeda dengan benang laser yang bentuknya lebih pendek, balok itu langsung menjadi serpihan kecil.'Apa mungkin panjang benang laser adalah kuncinya? Karena semakin pendek benang laser, maka k
Ya! Edy membawa Kumbara ke hutan. Hutan di mana Devano Willow harus meregang nyawa, karena perbuatan murid kesayangannya sendiri. Di mana juga Devano Willow menolak keras untuk disembuhkan dan memilih mati. Edy menatap Kumbara dan tersenyum sinis, "Bagaimana? Apa kau suka kejutan ku? Bukankah kau tak menyangka kalau aku akan membawa mu ke sini? Kumbara ... Kumbara ... apa kau pikir aku tak bisa membaca pikiran mu? Tidak, Kumbara! Bukankah Kau ingin memperlambat proses kesembuhan bos ku, kan? Lebih baik pikirkan baik-baik setelah melihat ini." Setelah mengakhiri kalimatnya. Edy mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan melakukan panggilan video call. Melihat Austin yang terbaring di atas ranjang, membuat jantung Kumbara berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia ketakutan. "Edy, aku mohon lepaskan cucuku," pinta Kumbara berlutut di kaki Edy. "Nyawa cucu mu, bergantung padamu. Kalau kau mau memperlambat proses pengobatan bos ku, maka ku pastikan Austin akan kehilangan fungsi organ
"Bagaimana Edy, apakah kau sudah mengirim orang untuk mengawasi Austin Maverick? Cucu kesayangannya?" tanya Ekaputra santai. Dan Kumbara tahu artinya. Itu ancaman tak langsung untuknya."Kau mau membunuh cucu ku? Silahkan! Maka kau tak akan pernah mendapatkan pengobatan apapun dariku. Kau hanya akan menemukan tubuhku mati kaku," ancam Kumbara. Ya! Selain Kumbara maka tak akan ada seorangpun yang dapat mengobati Ekaputra. Jadi Kumbara tahu persis, Ekaputra tak akan berani bertindak bodoh. Karena membunuh Austin Maverick, itu sama saja bunuh diri. "Apa bos memerintahkan untuk membunuh cucu mu? Bukankah tidak? Bos meminta ku mengawasinya. Itu artinya ...," Edy tak meneruskan kalimatnya, dia justru tersenyum menatap Kumbara."Artinya apa, Brengsek!" teriak Kumbara emosi."Itu artinya setiap kesalahan dalam pengobatan yang kau lakukan, maka cucu mu yang akan kena dampaknya. Tapi tenang saja, kami tak akan langsung membunuhnya. Kami akan menerornya terlebih dahulu. Kalau kau bisa memperce
"Sejak kapan kau terluka, Ekaputra? Apa kau menggunakan tenaga angin?" tanya Kumbara memastikan kalau dugaannya tak meleset."Aku terluka sejak tujuh bulan lalu, tepatnya tanggal 3 Desember 2023. Btw dari mana kau tahu kalau aku menggunakan tenaga angin?" tanya Ekaputra curiga."Mengingat kau adalah murid Devano Willow, sangat mustahil ada orang mengalahkan mu. Apalagi membuat kondisi mu seperti ini. Jadi hanya ada satu kemungkinan, kau menggunakan tenaga angin. Apa kau menemukan seseorang yang kuat, hingga kau harus menggunakan tenaga dalam yang selama ini tak pernah kau publikasikan?" Kumbara menatap Ekaputra, seolah-olah tak tahu apa yang sedang terjadi.Ekaputra diam seribu bahasa. Dia tahu berbohong juga percuma. Kumbara tahu betul masa lalunya. Mulai dari Devano Willow yang memilihnya menjadi murid, bagaimana juga dia mengkhianati gurunya sendiri."Kenapa kau diam saja? Apakah tebakanku benar? Apa mungkin dia adik seperguruan mu yang menghilang?" tanya Kumbara pura-pura tak tahu
[Bos Edy, seperti dugaan mu. Kumbara secara sukarela ikut bersama kami. Kami sedang dalam perjalanan. Sekitar lima belas menit lagi kami sampai markas.]Edy mengucek matanya sendiri, tak percaya dengan pesan yang baru saja dibacanya, "Ini bukan mimpi, kan, Bos? Ini nyata, kan? Mereka berhasil menemukan Kumbara, kan, Bos?"Ekaputra Lee tak menjawab, dia langsung saja menarik ponsel yang ada dalam genggaman Edy. Dia penasaran."Apakah benar Kumbara sedang dalam perjalanan ke sini?" tanya Ekaputra tak percaya."Sepertinya rencana ku berhasil, Bos," kata Edy penuh semangat.Benar saja tak sampai lima belas menit. Anak buah Edy telah sampai di markas."Kalau kau ingin membunuhku, silahkan! Tapi jangan pernah menyakiti cucuku, Brengsek!" cetus Kumbara dengan wajah merah padam. Berusaha mengendalikan amarahnya.Ya! Ketika mengetahui orang yang menghadang jalannya adalah anak buah Ekaputra, Kumbara berusaha melarikan diri.Namun, semua berubah ketika anak buah Ekaputra mengatakan kalau sampai
***Sementara itu di negeri seberang, Ekaputra Lee sedang beristirahat di dalam ruangannya. Dia di temani oleh orang kepercayaannya, Edy."Bagaimana? Apakah kau telah menemukan orang yang tepat untuk menyembuhkan ku?" tanya Ekaputra terlihat pasrah.Edy menatap Ekaputra dengan perasaan iba, "Aku sudah menugaskan semua anak buah untuk mencari keberadaan kakek Kumbara. Sepertinya hanya dia yang bisa mengobati mu, Bos.""Berapa lama kemungkinan Kumbara bisa ditemukan? Bukankah membawa Kumbara ke sini itu mustahil? Apalagi kalau dia tahu akulah orang yang ingin bertemu dengannya. Yang aku tahu dia tidak suka dipaksa. Dia bahkan tak tergiur dengan uang," ujar Ekaputra menatap Edy lemas."Menemukannya memang sulit. Karena Yang aku tahu, dia telah lama pensiun dari profesinya. Dia selalu berkelana dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lainnya. Tapi untuk sementara, aku yakin dia berada di Indonesia. Karena tak ada nama Kumbara Osal dalam penerbangan apapun selama sat
"Sebenarnya apa yang terjadi, Bintang? Apa mungkin Dirty dan Richard terluka?" tanya Anggun Maharani menatap Bintang, menyelidiki.Bintang menganggukkan kepalanya pelan sebagai jawaban."Kenapa kau menyembunyikan ini dari kami? Apa bagi mu, kami hanyalah orang asing?" cetus Anggun kecewa.Tubuh Bintang terasa lemas, dia langsung saja duduk di sofa tak jauh darinya berdiri. "A-a-apa kau juga terluka?" selidik Anggun merasa ada yang tak beres.Bintang menganggukkan kepalanya dan berkata pelan, "Andai saja aku tak bergabung dan menjadi pimpinan Fierce Spider. Mungkin tak akan berakhir seperti ini. Diego Smith tak akan terluka parah, tak akan ada namanya pertumpahan darah yang merenggut banyak nyawa anggota Fierce Spider. Dirty dan Richard juga tak akan pernah bergabung dengan Fierce Spider.""Hanya karena aku terluka, mereka bertiga menyembunyikan kondisi sesungguhnya. Kau tahu apa alasan mereka? Mereka hanya tidak ingin aku kepikiran dan membuat kondisiku memburuk.""Sejak awal harusny
***Kaki Bintang terasa lemas, matanya berkaca-kaca, hatinya terasa sakit. Lelaki yang dulunya merupakan orang terkuat di Fierce Spider dan sangat ditakuti, kini terbaring tak berdaya. "Sejak kapan dia seperti ini?" tanya Bintang dengan suara berat."Bos Diego sudah seperti ini setelah beberapa hari kembali ke sini. Namun, tak ada seorangpun yang tahu akan kondisinya. Dia bahkan memintaku untuk tak pernah menemui siapapun yang merupakan mantan anggota Fierce Spider," ujar lelaki itu menatap Diego yang masih terpejam.Bintang melangkah mendekati Diego dan berkata pelan, "Apa karena ini kau memilih meninggalkan kami? Kenapa kau tak memberitahuku, kalau kau juga terluka sama seperti ku? Apa kau tak pernah menganggap ku sahabat?"Berlahan mata Diego Smith terbuka. Dia menatap Bintang dan berusaha tersenyum."Kenapa kau berada di sini?" tanya Diego hampir tak terdengar."Aku ke sini untuk mengobati mu, Diego," jelas Bintang dan langsung mengeluarkan satu botol minuman pemberian lelaki tu
Saat Richard hendak mencari informasi keberadaan Diego Smith, Bintang menentangnya. Dia meminta Richard dan Dirty untuk beristirahat.Bintang menatap Richard dan Diego secara bergantian, kemudian berkata dengan tegas, "Kalau kalian tetap mau mencari keberadaan Diego Smith, maka tanggung sendiri konsekuensinya! Aku akan membuat kalau berdua menyesal telah menentang ku!" "Sepertinya kali ini kita harus menyerah. Apa kau tak lihat rona wajahnya? Selama mengenalnya, aku tak pernah melihat kemarahan seperti itu di wajahnya," bisik Dirty di telinga Richard."Sama. Sebaiknya kita istirahat, sebelum dia tambah marah. Yang ada kita berdua diikat," Richard balik berbisik."Aku minta kalian untuk beristirahat, bukannya bisik-bisik!" bentak Bintang kesal.Ya! Bintang melakukan itu semua karena ketakutannya. Dia takut kalau-kalau, dua sahabat baiknya meninggalkannya ke dunia lain."Iya! Iya! Aku istirahat!" cetus Dirty dan langsung meninggalkan Bintang menuju kamarnya. Begitupun dengan Dirty.'Tu
"Tanaman itu akan menjadi obat jika di konsumsi oleh seseorang yang sedang keracunan. Mau itu racun biasa maupun mematikan. Hanya saja takarannya harus pas, jika tidak akan sangat berbahaya. Namun, karena daun itu lebih dikenal sebagai daun beracun maka tak ada satu manusia pun yang mau mengkonsumsinya. Jangankan mengkonsumsi, bahkan memetik daun itu saja mereka ketakutan," jawab lelaki itu tersenyum.Bintang terdiam, kini dia paham kenapa lelaki itu memintanya meminum air rebusan daun beracun itu."Kau tak perlu lagi mendapatkan pengobatan lanjutan. Kau hanya perlu istirahat dan makan makanan yang bergizi. Organ tubuhmu akan membaik secara berlahan. Sampai kau benar-benar sembuh, maka jangan coba-coba menggunakan tenaga mu, dalam bentuk apapun. Apa kau paham?"Bintang menganggukkan kepalanya sebagai jawaban."Istirahatlah. Aku juga butuh istirahat," ujar lelaki itu dan langsung meninggalkan Bintang sendirian.Keesokan harinya.Seperti biasa sinar matahari dengan berani masuk lewat ce