Keesokan hari, Sacie terbangun karena seorang pembantu masuk ke kamarnya. Ava, wanita paruh baya yang menyapanya lembut kini berada di depan pintu. Sacie cukup malu mengenai kondisi kamarnya yang sangat berantakan akibat kejadian semalam. Dia pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Menjadi keluarga Johanson tidak membuat Sacie menjadi wanita manja. Dia sudah mandiri sejak masa sekolah. Sacie merupakan putri semata wayang dan menjadi satu-satunya wanita di rumah besar keluarga Johanson. Ibunya sudah meninggal sejak dia lahir, hal itu pula yang mendorong Sacie menjadi wanita mandiri. Meskipun ayahnya, Denzel Johanson berusaha selalu memanjakannya.
Kebiasaan Sacie yang juga disukai Denzel adalah membuat sarapan. Sacie cukup ahli di dapur, dia bisa membuat berbagai macam sajian yang menggugah selera. Sesuai, keahliannya tersebut, pagi ini Sacie berniat membuat sarapan untuk suaminya. Setelah membersihkan tubuh, Sacie langsung pergi ke dapur.
“Ava, kau tahu di mana Matt?” Sacie menatap Ava yang terkejut ketika dia mengambil beberapa bahan makanan di kulkas.
Ava menunduk lalu menjawab, “Tuan Muda sudah berangkat bekerja pagi tadi, Nona.”
Sacie terkesiap. Matt berangkat bekerja usai kemarin resepsi pernikahan? Bagaimana bisa dia meninggalkan dirinya begitu saja. “Ah, begitu rupanya.”
Ava menatap Sacie sedikit takut. Meski begitu dia tetap melanjutkan, “Tuan Muda sempat berpesan kalau dia akan pulang terlambat malam ini, Nona.”
Ucapan Ava semakin membuat Sacie bingung. Banyak pertanyaan yang membumbung untuk diutarakan, namun Sacie menahannya dengan kuat. Dia akan bertanya kepada Matt nanti.
Gagal membuat sarapan untuk suaminya, Sacie tetap memasak untuk dirinya. Ava sudah melarang, baginya memasak adalah pekerjaan pembantu bukan seorang tuan rumah. Sekaligus, dia takut dimarahi Matthew karena membiarkan Sacie memasak sendiri.
Seharian itu dihabiskan Sacie untuk mempelajari rumah Matthew. Dia juga meminta tolong Ava untuk menjelaskan semua hal yang biasanya dilakukan Matthew. Bagaimana pun juga Matthew adalah suaminya. Dia sudah bertekad untuk memperlakukan Matthew dengan baik meskipun pernikahan dan perkenalannya terlalu mendadak. Selain itu, dia juga ingin mempersembahan kebaktiannya pada sang ayah untuk menerima Matthew lewat pernikahannya.
Waktu sudah semakin malam, beberapa kali Sacie melirik jam. Dia sudah menatikan Matthew pulang sejak satu jam yang lalu, tapi ternyata laki-laki itu masih belum memunculkan batang hidungnya. Sacie menguap kesekian kalinya. Tubuhnya semakin lelah, dan tanpa sadar dia tertidur di sofa.
Jam sebelas malam, Sacie terbangun bersamaan dengan deru mobil yang terdengar. Dia beranjak dari sofa dan mengusap wajahnya. Cukup menyesal kenapa tadi tertidur, Sacie berusaha untuk. Tepat ketika Matthew membuka pintu dia tersenyum manis dan langsung menyapanya lembut, “hai.” Senyum wanita itu begitu manis membuat Matthew terdiam beberapa saat.
“Kau belum tidur?” Matthew melirik sedikit lalu berjalan tanpa membalas sapaan Sacie.
Melihat keadaan seperti itu, Sacie cukup terkejut. Matthew sangat berbeda ketika sebelum menikah. Dia kira Matthew laki-laki yang cukup hangat. Perlakuannya sedikit banyak sudah menimbulkan persepsi tersendiri baginya. Beberapa kali, Matthew selalu bertanya mengenai keadaan dan kabarnya.
Sacie menghentikan lengan Matthew, “tunggu, kau belum makan kan?” pertanyaan itu menggantung beberapa detik.
Matthew melepaskan tangan Sacie di lengannya. “Tidak usah terlalu peduli denganku. Kau urus saja dirimu sendiri.”
Tidak tahan karena merasa diabaikan akhirnya Sacie bersuara. “Apa aku berbuat salah padamu? Kenapa kau menghidariku? Bahkan tadi pagi aku terkejut karena kau langsung ke kantor.”
Matthew yang semula ingin ke kamar akhirnya membalikkan tubuhnya. Diteliti penampilan Sacie dari kepala sampai kaki. Tubuh putih mulus itu sempat membuatnya kecanduan. Ah, kalau saja dia jalang yang bisa dibuang kapan saja, Matthew akan menerkamnya sekarang. “Biar aku perjelas. Hubunganku denganmu hanya sebatas bisnis. Mr. Denzel menjanjikan kontrak kerja sama denganku dan kau juga tahu. Dia merelakan putrinya untuk menjadi jaminan perjanjian ini.”
Ucapan Matthew membuat hati Sacie mencelos. Apalagi ini, setelah tadi pagi dan malam ini diabaikan, dia justru mendapat pernyataan pedas yang membuat harga dirinya direndahkan. “Kau adalah putri Johanson yang hanya dimanfaatkan dan aku menerimanya karena tidak memiliki pilihan lain.”
Matthew menarik lengan Sacie dan membawanya ke ruang kerja miliknya. Ruangan yang sebenarnya tidak boleh dimasukki oleh sembarangan orang. Dia menyuruh Sacie duduk di sofa, sementara dirinya mengambil map yang berisi penjanjian pernikahan. Di lembaran kertas itulah dia menyuruh Sacie untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. “Aku tidak perlu basa-basi. Baca saja perjanjiannya. Anggap itu adalah kontrak antara kita berdua.”
Mata Sacie melahap seluruh kalimat yang tertulis jelas di lembaran putih kertas itu. Ketika matanya menangkap kata terakhir, air matanya luruh. Dia mendongak, melihat Matthew yang tampak tenang di sofa sebelahnya. “Kau membuat ini untuk memanfaatkanku?”
Matthew mengangguk dan menerbitkan senyum. “Privasi antara aku dan kau akan aku jaga dengan baik. Kita hanya perlu kontak fisik ketika ada acara formal.”
Sacie menarik napas panjang, “semua perjanjian itu hanya untuk keuntungamu, Matt.”
“Tidak. Jelas tidak. Aku juga membuat batasan tersendiri untukku agar aku tidak menyentuhmu lagi setelah malam pertama.”
Dada Sacie terlalu sesak. Air matanya terus menetes. “Kau sungguh memanfaatkan kerja sama dengan ayahku.”
Matthew memijit pelipisnya. “Jangan memperpanjang pembicaraan, kau sudah membaca seluruh isi perjanjian. Tanda tangan dan pergilah ke kamarmu. Mulai sekarang kita akan tidur beda kamar. Kau bebas melakukan apapun yang kau suka asal tidak menganggu privasiku dan seluruh larangan di perjanjian itu.”
“Dulu kau sempat bilang kalau kau ingin mencintaiku.” Sacie menatap mata Matthew lama. Dia ingin kejujuran laki-laki itu.
“Manusia bisa berubah. Aku melakukannya agar kau mau menjadi istriku, karena pada dasarnya perjanjian dengan keluargamu adalah yang paling penting.” Matthew memajukkan tubuhnya menghadap Sacie. “Jangan pernah berpikir kalau aku akan mencintaimu. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu.”
“Kau tidak bisa melakukan itu!” Sacie meninggikan suaranya karena begitu frustrasi dengan ucapan Matthew. Dia tidak menyangka Matthew akan melakukan kebohongan besar. Dia menerima pernikahan itu karena Matthew yang menyakinkannya di samping sebagai kebaktiannya kepada ayahnya. Tapi, ternyata laki-laki itu menghancurkan seluruh kepercayaannya. Sacie marah dengan perilaku Matthew.
“Jangan berpikir untuk kabur dari rumah ini atau mencari gara-gara denganku. Pernikahan kita sudah tersebar luas ke seluruh negri, bahkan banyak wanita yang menyatakan iri denganmu karena berhasil menikah denganku. Kau juga tidak mau mengecewakan ayahmu kan?” Matthew merasa menang dengan pertanyaan itu. Salah satu senjata terbesar untuk melemahkan Sacie adalah ayahnya. Meski perkenalannya terlalu singkat, tetapi dia adalah pengamat yang baik. Sacie terlalu takut untuk membuat Si Tua itu kecewa dan sakit hati.
Matthew meletakkan bolpoin di depan Sacie. “Anggap kita tidak ada hubungan apapun. Bertindaklah sesuai akal sehat kalau tidak mau mengecewakan ayahmu.”
Sacie meremas map di tangannya. Dadanya bergemuruh, tetapi ucapan Matthew terlalu menusuk untuknya. Dia sudah berjanji akan menerima pernikahan dan Matthew dengan baik. “Matt, kenapa kau melakukan semua ini?” satu pertanyaan yang membuat Matthew mengeraskan rahang.
“Semua tidak akan terjadi kalau ayahmu tidak bertindak sesuka hatinya. Dia mencari gara-gara dengan perusahaanku. Dan untuk itu aku harus membayar mahal dengan mempertaruhkan hidupku sendiri, termasuk menikahi wanita sepertimu.”
“Kenapa kau tidak mau menerimaku? Aku bahkan menerimamu dengan baik.” Sacie membutuhkan penjelasan. Ucapan Matthew terlalu membingungkan.
“Jangan samakan aku denganmu. Sudahlah, cepat tanda tangan dan hentikan semua omong kosong ini. Aku perlu istirahat.”
Hati Sacie terlalu sakit. Meski begitu dia tetap membubuhkan tanda tangannya. “Aku sudah berjanji dengan ayahku untuk bahagia. Aku tahu, mungkin kau belum bisa menerimaku karena pernikahan kita terlalu mendadak.” Sacie mengusap air matanya, lalu melanjutkan, “aku tidak akan menyerah. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku, Matt.”
Satu-satunya lelucon paling lucu yang pernah didengar Matthew adalah ucapan Sacie saat ini. Dia benar-benar tidak menyangka wanita itu terlalu berani untuk membuatnya bertekuk lutut hanya karena cinta. Seolah dialah pria romantis yang akan bersujud pada romantisme manusia. Persetan!
“Dengarkan aku, Sacie Johanson. Kau tidak perlu bersusah payah untuk membuatku mencintaimu karena aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Hubungan kita hanya karena bisnis.” Matthew menarik bolpoin dan map yang sudah ditanda tangani Sacie. Dia menatap wanita itu lekat, “pergilah. Mulai sekarang jalani hidupmu sendiri dan patuhi seluruh perjanjian ini.”
Sacie menarik napas panjang. Hati dan pikirannya terlalu sesak. Bayangan pernikahan yang begitu bahagia tiba-tiba lenyap begitu saja. Dia tidak pernah tahu bahwa ekspetasi adalah hal paling menakutkan.
“Aku tahu kau mungkin tidak akan mencintaiku, Matt. Tapi, kau tidak akan pernah tahu permainan takdir.” Sacie beranjak dan langsung ke luar dari ruang kerja Matthew tanpa menoleh sedikit pun.
Sacie tidak peduli dengan ucapan Matthew minggu lalu. Yang jelas, statusnya sekarang adalah istri dari pengusaha terkaya New York. Mencintai atau dicintai memang hal yang berbeda, tetapi dia sudah berjanji dan janji harus ditepati.“Matt, kau mau sarapan?” suara Sacie mengejutkan Matthew yang baru saja menenggak air putih. “Kalau kau mau, aku akan membuatkannya.”Perkataan yang tidak pernah Matthew lewatkan adalah Sacie yang terus menanyakan sarapan untuknya. Dia tidak cukup mengerti bagaimana pola pikir wanita itu, sudah seminggu lalu dia dengan tegas menolak Sacie. Tetapi, Sacie justru semakin mendekatinya. Termasuk menanyakan kabar dan sarapan.“Aku tidak pernah sarapan.” Matthew meletakkan gelas bening di wastafel, barulah dia pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur ucapan Sacie membuatnya berpikir sepanjang perjalanan.“Aku tahu kau mungkin merasa terganggu dengan pertanyaan yang sama selama seminggu ini. Tapi, ingat Matt aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan kalau
Pertengkaran hebat yang terjadi di kediaman Matthew dan Sacie membuat Anna terguncang. Selama malam itu, dia hanya menangis di pelukan Matthew. Laki-laki itu bahkan sudah kehabisan akal untuk membujuk agar Anna menyudahi tangisannya. Meskipun terlihat dingin, sebenarnya Matthew begitu perhatian, hal itulah yang membuat Anna berani untuk menumpahkan kesedihannya kepada Matthew.“Bangunlah, kau terlihat sangat lelah,” suara serak Matthew berhembus di telinga Anna. Wanita itu merasakan kehangatan sampai membuatnya terusik dan membuka kedua mata cantiknya. Lenguhan manja terdengar manis di telinga Matthew. Laki-laki itu pun mengecup bibir Anna dan melumatnya. Anna yang belum siap tentu merasa kesal karena hampir kehabisan napas. “Matt, kau ini!” protesnya. Matthew menarik ujung bibirnya, “ayo bangun, aku harus bekerja sekarang.”Seperti seorang wanita yang tidak ingin ditinggal oleh sang kekasih, Sacie menarik selimut lalu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Matthew seraya membuj
Ruangan yang berada di lantai teratas itu berubah sesak ketika Matthew tiba-tiba datang dan langsung menarik Sacie masuk ke ruangannya. “Apa kau bodoh?” pertanyaan menohok dari Matthew membuat Sacie mengeratkan genggaman tangannya. Satu kali pun dia tidak pernah dihina seperti itu di keluarganya. Justru hanya ada pujian dan pujian yang terus mengalir di orang-orang sekitarnya. Sacie hidup dalam keluarga yang selalu mendukung dan menyayanginya, hingga tidak mungkin ada orang yang berani mempermalukannya. Namun, apa yang dilakukan Matthew sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia dapatkan dulu. Di depan laki-laki itu, dia seperti manusia tanpa harga diri dan tanpa otak. Setengah jam sebelumnya, begitu mengetahui Sacie datang ke kantornya, dia dengan cepat berberes diri lalu menyusul wanita itu tanpa memedulikan panggilan Anna. Marah bercampur kesal dan kebencian menguasai Matthew. Laki-laki itu menatap tajam tepat di depan Sacie. Ada ketidaksukaan yang teramat dalam. “Kau lup
Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah. Seolah siap menuju langit untuk menggapai mimpi manusia. Di antara banyak gedung tinggi, G I Company adalah salah satu yang paling mencolok. Diklaim sebagai kiblat investasi New York, GI Company telah membawa banyak perubahan. Roda ekonomi New York tak lepas dari pengaruh perusahaan investasi tersebut.“APA?! Kau pikir aku memiliki gedung setinggi ini dan membayar gaji dengan nominal sebesar itu berhak mendapatkan kabar buruk darimu?!” kemarahan Matthew Clooney membuat George Hught yang menjabat sebagai Chief Investment Officer menggigil.“Perusahaanku bukan badan amal yang akan memberikan gaji secara cuma-cuma. Pikirkan itu!” wajah Matthew semakin merah tanda bahwa kemarahannya tidak main-main.George terus menunduk. Dia tahu masalah besar di perusahaan ini layak untuk diperdebatkan. “Sir, tetapi beberapa investor kita tidak memberikan alasan yang jelas. Mereka tiba-tiba mencabut seluruh saham.”Matthew berdiri dari kursinya. Lengan kekar
Sesuai kesepakatan kemarin, hari ini Matthew menemui Si Tua dan putrinya di restoran yang terletak di New York Central Hotel. Tempat megah di New York bagi para pebisnis kelas atas. Di sanalah para pengusaha sering mengadakan pertemuan besar.“Mr. Clooney. Selamat datang,” sapa Denzel Johanson. Pemilik bisnis properti terkenal di New York yang keberadaannya cukup dihormati. Laki-laki inilah yang dipanggil Si Tua oleh Matthew. Denzel merupakan salah satu orang berpengaruh yang keberadaan bisnisnya menjamur sampai ke Asia. Ekspansi pasarnya sudah menjadi buah bibir para pebisnis New York yang dengan kata lain Denzel adalah orang yang memiliki kuasa untuk melakukan apapun.“Mr. Denzel. Terima kasih.” Matthew menjabat uluran tangan Denzel dengan bibir yang tertarik ke atas.Mereka pun saling menyapa sebelum memutuskan untuk duduk. “Ah ya, perkenalkan ini putriku, Sacie Johanson.”Matthew menatap wanita yang mengenakan dress berwarna cream. Penampilan yang cukup sederhana namun memiliki pe
Ruangan yang berada di lantai teratas itu berubah sesak ketika Matthew tiba-tiba datang dan langsung menarik Sacie masuk ke ruangannya. “Apa kau bodoh?” pertanyaan menohok dari Matthew membuat Sacie mengeratkan genggaman tangannya. Satu kali pun dia tidak pernah dihina seperti itu di keluarganya. Justru hanya ada pujian dan pujian yang terus mengalir di orang-orang sekitarnya. Sacie hidup dalam keluarga yang selalu mendukung dan menyayanginya, hingga tidak mungkin ada orang yang berani mempermalukannya. Namun, apa yang dilakukan Matthew sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia dapatkan dulu. Di depan laki-laki itu, dia seperti manusia tanpa harga diri dan tanpa otak. Setengah jam sebelumnya, begitu mengetahui Sacie datang ke kantornya, dia dengan cepat berberes diri lalu menyusul wanita itu tanpa memedulikan panggilan Anna. Marah bercampur kesal dan kebencian menguasai Matthew. Laki-laki itu menatap tajam tepat di depan Sacie. Ada ketidaksukaan yang teramat dalam. “Kau lup
Pertengkaran hebat yang terjadi di kediaman Matthew dan Sacie membuat Anna terguncang. Selama malam itu, dia hanya menangis di pelukan Matthew. Laki-laki itu bahkan sudah kehabisan akal untuk membujuk agar Anna menyudahi tangisannya. Meskipun terlihat dingin, sebenarnya Matthew begitu perhatian, hal itulah yang membuat Anna berani untuk menumpahkan kesedihannya kepada Matthew.“Bangunlah, kau terlihat sangat lelah,” suara serak Matthew berhembus di telinga Anna. Wanita itu merasakan kehangatan sampai membuatnya terusik dan membuka kedua mata cantiknya. Lenguhan manja terdengar manis di telinga Matthew. Laki-laki itu pun mengecup bibir Anna dan melumatnya. Anna yang belum siap tentu merasa kesal karena hampir kehabisan napas. “Matt, kau ini!” protesnya. Matthew menarik ujung bibirnya, “ayo bangun, aku harus bekerja sekarang.”Seperti seorang wanita yang tidak ingin ditinggal oleh sang kekasih, Sacie menarik selimut lalu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Matthew seraya membuj
Sacie tidak peduli dengan ucapan Matthew minggu lalu. Yang jelas, statusnya sekarang adalah istri dari pengusaha terkaya New York. Mencintai atau dicintai memang hal yang berbeda, tetapi dia sudah berjanji dan janji harus ditepati.“Matt, kau mau sarapan?” suara Sacie mengejutkan Matthew yang baru saja menenggak air putih. “Kalau kau mau, aku akan membuatkannya.”Perkataan yang tidak pernah Matthew lewatkan adalah Sacie yang terus menanyakan sarapan untuknya. Dia tidak cukup mengerti bagaimana pola pikir wanita itu, sudah seminggu lalu dia dengan tegas menolak Sacie. Tetapi, Sacie justru semakin mendekatinya. Termasuk menanyakan kabar dan sarapan.“Aku tidak pernah sarapan.” Matthew meletakkan gelas bening di wastafel, barulah dia pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan dapur ucapan Sacie membuatnya berpikir sepanjang perjalanan.“Aku tahu kau mungkin merasa terganggu dengan pertanyaan yang sama selama seminggu ini. Tapi, ingat Matt aku tidak akan menyerah. Aku akan membuktikan kalau
Keesokan hari, Sacie terbangun karena seorang pembantu masuk ke kamarnya. Ava, wanita paruh baya yang menyapanya lembut kini berada di depan pintu. Sacie cukup malu mengenai kondisi kamarnya yang sangat berantakan akibat kejadian semalam. Dia pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Menjadi keluarga Johanson tidak membuat Sacie menjadi wanita manja. Dia sudah mandiri sejak masa sekolah. Sacie merupakan putri semata wayang dan menjadi satu-satunya wanita di rumah besar keluarga Johanson. Ibunya sudah meninggal sejak dia lahir, hal itu pula yang mendorong Sacie menjadi wanita mandiri. Meskipun ayahnya, Denzel Johanson berusaha selalu memanjakannya.Kebiasaan Sacie yang juga disukai Denzel adalah membuat sarapan. Sacie cukup ahli di dapur, dia bisa membuat berbagai macam sajian yang menggugah selera. Sesuai, keahliannya tersebut, pagi ini Sacie berniat membuat sarapan untuk suaminya. Setelah membersihkan tubuh, Sacie langsung pergi ke dapur.“Ava, kau ta
Sesuai kesepakatan kemarin, hari ini Matthew menemui Si Tua dan putrinya di restoran yang terletak di New York Central Hotel. Tempat megah di New York bagi para pebisnis kelas atas. Di sanalah para pengusaha sering mengadakan pertemuan besar.“Mr. Clooney. Selamat datang,” sapa Denzel Johanson. Pemilik bisnis properti terkenal di New York yang keberadaannya cukup dihormati. Laki-laki inilah yang dipanggil Si Tua oleh Matthew. Denzel merupakan salah satu orang berpengaruh yang keberadaan bisnisnya menjamur sampai ke Asia. Ekspansi pasarnya sudah menjadi buah bibir para pebisnis New York yang dengan kata lain Denzel adalah orang yang memiliki kuasa untuk melakukan apapun.“Mr. Denzel. Terima kasih.” Matthew menjabat uluran tangan Denzel dengan bibir yang tertarik ke atas.Mereka pun saling menyapa sebelum memutuskan untuk duduk. “Ah ya, perkenalkan ini putriku, Sacie Johanson.”Matthew menatap wanita yang mengenakan dress berwarna cream. Penampilan yang cukup sederhana namun memiliki pe
Gedung-gedung pencakar langit berdiri megah. Seolah siap menuju langit untuk menggapai mimpi manusia. Di antara banyak gedung tinggi, G I Company adalah salah satu yang paling mencolok. Diklaim sebagai kiblat investasi New York, GI Company telah membawa banyak perubahan. Roda ekonomi New York tak lepas dari pengaruh perusahaan investasi tersebut.“APA?! Kau pikir aku memiliki gedung setinggi ini dan membayar gaji dengan nominal sebesar itu berhak mendapatkan kabar buruk darimu?!” kemarahan Matthew Clooney membuat George Hught yang menjabat sebagai Chief Investment Officer menggigil.“Perusahaanku bukan badan amal yang akan memberikan gaji secara cuma-cuma. Pikirkan itu!” wajah Matthew semakin merah tanda bahwa kemarahannya tidak main-main.George terus menunduk. Dia tahu masalah besar di perusahaan ini layak untuk diperdebatkan. “Sir, tetapi beberapa investor kita tidak memberikan alasan yang jelas. Mereka tiba-tiba mencabut seluruh saham.”Matthew berdiri dari kursinya. Lengan kekar