Raksa menyesap kopinya, menikmati pahit dan harumnya kopi yang menyelusup di indra pengecap dan penciumannya. Ia menunggu dokter Frans keluar dari ruangan otopsi.
"Apa otopsinya sudah selesai?" Dian berjalan mendekat, wajahnya masih terlihat pucat."Hem, sudah tinggal menunggu hasilnya.""Kamu baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali." Raksa sedikit mengkhawatirkan kondisi rekannya."Sedikit pusing tapi kafein pasti membantu."Tak lama kemudian dokter Frans keluar ruangan. Ia membawa salinan hasil otopsi untuk Raksa."Maaf sedikit lama. Ini hasilnya, dari bentuk luka yang ada di tubuhnya tidak menunjukkan keragu raguan. Sembilan tusukan di perut dan satu tepat melubangi jantung. Kami menyimpulkan, Amelia melakukannya sendiri.""Apa? Itu mustahil, satu tusukan saja biasanya cukup membuat pelaku bunuh diri ragu. Tusukan kedua biasanya tidak terlalu dalam, rasa takut mati akan menguasai." Dian mencoba mematahkan pendapat forensik.Dokter Frans menaikkan sudut bibirnya. "Faktanya begitu, semua luka memiliki kedalaman yang hampir sama antara tiga sampai lima centimeter. Awalnya aku juga ragu tapi itu yang terjadi.""Gunting yang diperkirakan sebagai alat juga sesuai dengan bentuk dan ukuran lukanya." Dokter Frans kembali melanjutkan analisanya.Raksa masih belum menanggapi, ia membaca dengan cepat hasil analisa tim forensik."Luka di wajahnya apakah sama?"Dokter Fran mengangguk, "Dia melakukannya sendiri, mengerikan bukan? Kasus ini sedikit janggal apa rekaman cctv mobil tidak ada?"Raksa menggelengkan kepala, "Kami hanya memiliki rekaman dari ponselnya itupun tidak memberikan banyak informasi selain suara aneh.""Suara aneh?" Dokter Frans mengernyit."Suara bergumam tidak jelas, kami sedang menyelidiki kemungkinan pelaku lain dalam mobil. Baiklah dok, kami pergi dulu. Hubungi aku jika kau menemukan sesuatu."Raksa dan Dian berpamitan, beberapa jam berada di ruang otopsi membuat Raksa lapar. Ia baru ingat jika seharian belum sempat mengisi perutnya."Aku lapar sekali, temani aku makan oke?""Makan? Perutku masih mual melihat tadi." Dian menjawab dengan wajah mengiba."Hei, kau harus tetap mengisi perutmu! Pekerjaan kita banyak, aku menebak ini baru permulaan." Raksa menarik nafas dalam-dalam, memasang seatbelt dan melakukan mobil ke tempat makan favorit keluarga nya dulu.Sementara itu kehebohan terjadi di sebuah apartemen. Salah satu lift ditemukan dalam posisi terbuka dengan darah membanjir di dalamnya. Namun anehnya tak ada tubuh kaku yang menjadi korban disana."Apa mungkin ini cuma darah hewan?" Salah satu penghuni bertanya dengan petugas keamanan, wajahnya terlihat sangat ketakutan."Lebih baik, hubungi polisi sekarang! Kita tidak bisa berandai-andai!" Yang lain menimpali.Seorang petugas keamanan bernama Agus melongok ke dalam lift sambil menutup hidungnya. Bau anyir darah yang membanjir membuat ruangan sempit lift itu bak ruang jagal."Atapnya terbuka, apa seseorang naik dan membukanya?" Agus bergumam heran.Ia tak berani mendekat, hanya memperhatikan percikan darah yang merata dalam lift. Agus mengusap tengkuknya, ngeri membayangkan apa yang terjadi di dalam lift.Selang beberapa menit kemudian tim dari kepolisian datang. Pemberian garis batas polisi dilakukan, penghuni apartemen saling berbisik dan hanya bisa menduga apa yang terjadi."Baiklah, ayo kita bekerja kawan!" Andi memasang sarung tangan, ia melongok ke dalam lift. Kali ini dia ditemani oleh Rian karena Budi masih membantu dokter Frans melakukan otopsi."Kira-kira apa ini darah hewan?" Rian bertanya, memperhatikan sampel darah yang diambilnya."Entahlah, jika ini darah hewan bisa dipastikan ini ulah orang gila!"Andi memasang beberapa nomor pada bukti yang ditemukan."Yup, ini darah manusia!" Rian berseru setelah melakukan uji sampel darah.Andi menoleh pada Dian, ditangannya ada kalung dengan inisial RF yang diambil menggunakan pinset. "Kau benar, mungkin namanya RF." Andi menyusuri lantai lift dengan jeli, ia tersenyum saat menemukan kunci yang tergeletak di sudut ruangan.Sedikit berjingkat melewati genangan darah, Andi mengambil kunci mobil dan memeriksa surat kendaraan yang ada di dalam gantungan."Ronald Frederick?" Ia mengernyit saat membaca alamat yang tertera.Andi berjalan menuju parkiran mobil mencari nomor kendaraan yang tertera di sana. Ia berhenti tepat di depan mobil mewah yang terparkir khusus. "Ini dia." Andi mencari memanggil salah satu anggota kepolisian. "Hei, bisa bantu aku kawan?"Andi berbicara pada salah satu anggota, ia meminta bantuan untuk melakukan kroscek kepemilikan kendaraan. Setelah mendapatkan informasi lengkap petugas itu pergi meninggalkan Andi."Baiklah ayo kita lihat apa isi mobilmu!"Hanya perlu beberapa menit saja bagi Andi untuk melepas kamera kecil yang terpasang di dalam mobil. Ia segera memindahkan rekaman cctv ke dalam tablet miliknya. Sambil menunggu, Andi menghubungi detektif Jack yang datang bersamanya tadi."Hei, detektif! Apa kau menemukan hal ganjil disana?""Aku baru sampai, dan belum menemukan apa pun.""Sebaiknya kau cepat, karena ada hal menarik yang pasti ingin kau lihat." Andi memperhatikan keganjilan yang didapat dari rekaman cctv mobil."Baiklah, simpan untukku Andi!"Andi memutuskan sambungan, "What the hell … apa ini?!"***Detektif Jack mulai bekerja di ruangan pengawas, ia meminta Rekaman cctv yang mengarah pada lift di TKP. Ia mendapatkan rekaman cctv di sekitar apartemen, menunjukkan Ronald yang berlari ketakutan. Wajahnya terlihat jelas di kamera dan selalu melihat pada satu sisi."Ruang keamanan menerima panggilan darurat pada jam satu dini hari." Salah satu petugas menerangkan pada Jack, salah satu detektif yang bertugas."Ada feedback?"Petugas keamanan itu menggeleng, "Tidak, kami mencoba bertanya tapi sepertinya dia tidak mendengar."Rekaman cctv kembali diputar dan tepat lima belas menit setelahnya seseorang berpakaian hitam yang selalu membelakangi kamera masuk dalam lift yang sama."Siapa dia? Penghuni apartemen ini?" Jack mulai curiga, instingnya sebagai detektif mulai meraba."Entahlah pak, kami tidak pernah memperhatikan satu persatu penghuni. Selama ini tidak ada kejadian yang mengkhawatirkan jadi …,""Berhenti!" Jack tiba-tiba saja berteriak."Lihat, pintu lift terbuka cukup lama tapi tak ada yang keluar sama sekali. Mundurkan waktu ketika orang itu masuk!"Setelah memundurkan rekaman, Jack kembali memperhatikan. "Tunjukkan rekaman di jam yang sama pada lantai dua belas!"Petugas itu menuruti perintah Jack, mata mereka awas memperhatikan perubahan situasi."Hei, aku yang salah atau memang tidak ada yang keluar dari lift? Cek rekaman semua lantai!" Jack mulai kesal, "Sial, ini akan jadi malam yang panjang." Gumamnya sambil menarik kursi.Beberapa jam berlalu tapi Jack tak juga menemukan jawaban dari hal ganjil yang terjadi. Ia semakin frustasi, telponnya kembali berdering."Ya, ada apa?" Suaranya ketus dan malas menjawab.Jack mendengarkan dengan seksama sebelum matanya membulat sempurna. "Apa?! Baik, aku segera kesana!"Ia menutup telponnya, lalu menoleh pada tiga petugas keamanan. "Tolong kirimkan semua rekaman yang terhubung dengan lift sialan itu!""Dex, ikut aku! Mayatnya ditemukan!" Jack mengajak rekan kerjanya untuk segera keluar dari ruangan pengawas."Ditemukan? Dimana?" Dex segera berlari menyusul Jack."Ditempat yang mustahil orang jangkau!"***Seorang pria menatap kerumunan orang yang berkumpul di parkiran gedung dari kaca jendela apartemen miliknya. Jarinya mengetik pesan untuk sebuah nomor."Gus, ada apa dibawah?" Rupanya lelaki muda itu menghubungi Agus, salah satu anggota keamanan apartemen yang ditinggalinya."Saya belum bisa memastikan pak, tapi sebaiknya bapak menghindari pemakaian Lift di sisi kiri, karena masih dalam penyelidikan."Pria itu menutup panggilannya, menatap lekat kerumunan orang jauh dibawah sana. "Apa ini kebetulan? Terlalu dini untuk menyimpulkan tapi …,"Ponselnya kembali berdering, satu pesan masuk diterima. Selarik senyum sinis menghiasi wajahnya. "Ya, ya … aku yakin kalian pasti ketakutan. Aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan terjadi."Rahangnya mengeras, tatapannya tajam, memorinya kembali ke masa lalu. Masa dimana dirinya menjadi saksi betapa brutalnya penyerangan sekelompok anak muda yang dilakukan pada seorang wanita yang tak berdaya.Raksa memperhatikan dengan seksama hasil temuan para penyelidiknya. Kasus kedua di sebuah apartemen memiliki kemiripan dengan kasus Amelia. Ditemukannya pesan yang sama 'Dia, ada disana!'Dua tim dengan kasus yang berbeda duduk bersama di ruangan meeting. Raksa dan Jack memutar otak, memperhatikan bukti pendukung yang didapat dari dua pembunuhan misterius yang hanya berjarak beberapa jam saja.Raksa mengetuk ngetukkan penanya di atas meja. Tangan yang lain mengurut dahinya yang mulai berminyak. "Apa menurutmu ini dilakukan orang yang sama?"Jack tak menjawab, ia terlihat berpikir keras. Bagaimana tidak mayat kedua ditemukan mengenaskan dengan leher tergorok di atas lift. Sebuah pertanyaan besar bergelayut di kepalanya. Bagaimana cara manusia biasa menarik tubuh Ronald yang berbobot enam puluh tujuh kilogram tanpa bantuan orang lain ke atas kotak lift."Ini tidak masuk akal pak! Sangat sulit dipercaya secara logika!" Jack akhirnya menanggapi pertanyaan Raksa setelah lama terdiam dengan
Raksa merebahkan tubuh letihnya di ranjang king size nan empuk. Ia menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan mata menetralkan rasa dari pandangan-pandangan tak biasa yang menderanya seharian."Bad day, bad case, bad body! Lengkap sudah!" Keluhnya sambil memijat kening.Ia membiarkan televisi layar datar di kamarnya menyala, menampilkan tayangan komedi favoritnya. Suara tawa dan banyolan lucu terdengar memenuhi kamar, tapi Raksa sama sekali tak berniat melihatnya. Ia lelah sekali, berkali kali mendapat visi tentang kematian mengerikan membuat energi Raksa tak seimbang.Memiliki kemampuan tak biasa memang sangat menyiksanya. Selain menguras energi, kemampuan itu juga membuatnya tersiksa. Raksa selalu menolak kemampuan alaminya tapi di sisi lain ia juga kerap manfaatkan. Raksa belum bisa memahami apa yang menjadi takdir hidupnya.Detektif muda itu membuka laci nakas disamping tempat tidur, mengambil botol berisi obat dari dokter langganannya. Anti depresan.Raksa mendengus kasar, dira
Pagi ini Raksa kembali disibukkan dengan kegiatan investigasi. Kekasih Amelia, Alan akhirnya datang memenuhi panggilan penyidikan. Ia datang didampingi pengacara, cukup cerdik atau mungkin Alan memang tidak ingin menghabiskan waktunya di ruang investigasi.Airlangga ditugaskan untuk menyelidiki alibi Alan diruang terpisah sementara Dian menginterogasi Alan dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Lima belas pertanyaan telah disiapkan untuk Alan termasuk memastikan Alan berada diluar kota saat kejadian.Raksa diam memantau gerak gerik Alan dari layar monitor. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya."Dia benar-benar ada diluar kota saat kejadian, pak." Airlangga berkata setelah beberapa saat meneliti alibi Alan"Benarkah? Orang itu, sepertinya aku pernah kenal tapi dimana?" Raksa terus mengawasi lelaki muda bergaya metropolis yang sedang menjawab pertanyaan Dian."Dia brand ambassador dari produk kosmetik pria sekaligus bankir. Wajahnya banyak terpampang di banner tempat
Airlangga menunjukkan pada Jack beberapa potong gambar yang mencitrakan pria berjaket hitam dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya. "Lihat ini, dia tertangkap cctv berjalan sambil memantau keadaan menuju lift.""Perkiraan jam dengan kematian R?" tanya Jack memperhatikan layar."Hanya seper sekian detik dari rekaman yang ditunjukkan dalam lift.""No way! Apa dia cenayang yang bisa meramalkan kematian seseorang atau justru dia yang merencanakan semuanya?" Jack terbelalak dan menarik kursi putar di dekat Airlangga untuk melihat lebih jelas.Ia mengernyit dan beberapa kali meminta putar ulang tayangan pada Airlangga. "Ini … aneh sekali."Jack memundurkan kursi dan menyandarkan punggungnya. "Apa kau juga sependapat denganku?"Airlangga mengangguk, "Bahkan jika kita membandingkan dua video dalam lift dan di luar lift sama sekali tidak ada sosok pria ini masuk. Lalu bagaimana dia menghilang? Atau dia memang tidak pernah masuk ke dalam lift?""Entahlah, tapi setidaknya kita memiliki g
Pertemuan Raksa dengan kawan lama nya Willy, membuat cerita baru bagi perjalanan karir perdananya di kota ini. Airin duduk manis mendengarkan sambil sesekali mencatat hal penting tentang perubahan sikap Raksa. Sebagai dokter kejiwaan yang tertanggung jawab pada pasien, Airin memperhatikan setiap perubahan ekspresi Raksa.Meski Raksa tidak meminta, tapi Airin tetap melakukannya. Sebulan tidak bertemu detektif muda itu, hatinya bergejolak. Ada rindu yang mulai menggelitik Airin. Hatinya menghangat saat melihat Raksa tertawa."Wil, maksud kamu siapa yang mati? Aku ketinggalan berita sepertinya!" Raksa mulai berbicara serius setelah basa basi tentang kenangan masa SMA.Willy celingukan, "Kita bicara di kantorku, nggak enak kalau sampai terdengar yang lain.""Ehm, dia pacar atau calon istri?" Willy menoleh pada Airin."Saya Airin, temannya." Airin tersenyum menjawab pertanyaan Willy."Oh, maaf aku terlalu asik bernostalgia sampai lupa ada kamu disini. Ayo kita masuk ke dalam."Raksa dan Ai
Hari menjelang gelap saat Raksa kembali ke kantornya. Airin bersikeras untuk pergi ke hotel sendirian. Ia tak mau merepotkan Raksa, terbiasa hidup mandiri di kota besar membuat Airin tidak bergantung pada orang lain."Hotel tempat mu menginap dekat dengan rumahku, bagaimana kalau kita besok bertemu lagi?" Raksa bergerak cepat dengan tidak membuang waktu mendekati Airin."Apa tidak mengganggu kerjamu? Bukankah ada kasus berat yang harus dikerjakan?" Airin balik bertanya setelah memasang seatbelt nya."Itu bisa diatur, lagipula tim ku hebat. Mereka bisa bergerak sendiri tanpa harus aku atur."Airin mengangguk dan kemudian tersenyum, "Baiklah kalau begitu, sampai besok.""Jam tujuh pagi?" Airin mengernyit sejenak, "Kamu yakin bisa bangun pagi?"Raksa tergelak, merasa sindiran Airin menohok dirinya. Airin tahu pasti kegiatan paginya yang selalu membosankan."Untukmu, aku bisa melakukannya!""Oke, sampai ketemu jam tujuh kalau begitu. Bye!" Senyum manis Airin menutup percakapan mereka seb
Raksa dan Jack berdiskusi sejenak, kedua detektif muda ini memutuskan untuk membawa Airin dalam perlindungan sampai ditemukan petunjuk dalam cctv."Airin, maaf tapi, aku rasa kau sebaiknya menginap di rumahku. Setidaknya kami harus memastikan bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang melibatkan dirimu dalam masalah. Tapi aku rasa ini kecil kemungkinannya.""Ini jelas kesengajaan Raksa, hanya saja mungkin salah sasaran. Kebetulan saja mobilku ada disana dan terkena imbasnya."Raksa mengedikkan bahunya, "Aku rasa juga begitu. Timku sedang menyelidikinya. Kita pulang? Pakaianmu ada di mobil atau sudah di hotel?""Masih ada dalam bagasi.""Oke, aku akan membatalkan reservasi hotel dan memastikan pengembalian uang muka!" Airin terkekeh geli, "Tidak perlu, itu resiko bukan? Yang penting sekarang adalah keselamatan ku. Aku takut, Raksa."Raksa menarik nafas dalam-dalam, "Aku tahu, ayo kita ke rumahku. Kau perlu beristirahat.""Jack, aku serahkan semua pada mu, ok?" Raksa berteriak pada Jack y
Airin masih gemetar saat situasi telah terkendali, meski ia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya tapi Airin yakin sesuatu yang tidak benar baru saja terjadi. Raksa menutup jendela yang terbuka dan membereskan ceceran kertas di lantai. Meski hal aneh sering menyapa dirinya tapi tetap saja Raksa terkejut dan seringkali ketakutan."Apa yang terjadi? Gangguan makhluk halus lagi?" Tanya Airin menatap penuh tanya pada Raksa."Sayangnya begitu." Raksa duduk disebelah Airin, ia nampak frustasi. Kepalanya mendadak nyeri, bayangan ayahnya jelang kematian ditambah penampakan sosok misterius nan seram itu membuat Raksa tertekan."Aku butuh pil-ku!" Ia berdiri dan mengambil botol obat yang dibawa Airin tadi."Raksa, kau tahu kan tidak selamanya obat-obatan bisa membantumu."Raksa menoleh pada dokter cantik itu, menggenggam erat botol yang belum sempat dibuka. "Lalu aku harus bagaimana? Bayangan masa lalu itu terus datang padaku dan makhluk-makhluk sialan yang tak kenal waktu itu juga terus menampa
“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.
Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih
Beberapa waktu sebelum jasad Ronald Frederick ditemukan.Rahang tegas, kulit pucat berbintik, wajahnya tampan berambut coklat. Lelaki paruh baya yang memakai setelan putih-putih itu duduk tenang dengan buku tebal dan secangkir espresso.Sesekali pandangannya berpindah pada gedung apartemen yang berada di depannya. Ia membuka halaman demi halaman dan membacanya perlahan. Dua lelaki eksekutif masuk ke dalam kafe sambil berbincang. Keduanya bicara dengan sangat antusias sampai obrolannya terdengar pengunjung lain.Lelaki itu berdecak kesal, menyesap kopinya dan membiarkan kafein menyusup, membius dan memberinya ketenangan. Ponselnya berdering, ia kembali berdecak kesal.“Apa aku tidak bisa menikmati hari ku dengan sedikit ketenangan?”Ia menjawab panggilan dari salah satu pengikutnya. “Ya, aku mendengarkan.”“Tuan Kevin, ini berjalan diluar kendali, aku mengikuti semua petunjuk tuan tapi … semua menjadi kacau! Ini gila! Kau minta aku memastikannya terbunuh? Aku melihat dengan mata kepala
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu