Raksa terbangun saat ponselnya terus menerus berdering. Ia tak merespon dan hanya melihatnya saja dan berdecak kesal. Nomor kantornya menghubungi berkali kali. Raksa menyipitkan mata saat cahaya matahari menerobos jendela kamarnya. Otaknya memutar memori semalam, berusaha mengingat kembali yang terjadi. Pelukan erat dari tangan lembut Airin membuat Raksa tersenyum sinting. "Aku melakukannya semalam? Good Raksa, kau memang pembuat masalah."Airin masih terlelap dan menggeliat ringan saat Raksa mengecup kening dokter cantik itu."Morning, sleep well?" Tanya Raksa saat Airin mulai mengerjapkan mata dan tersipu malu ditatap Raksa."Hai, lumayan."Raksa mengusap lembut wajah Airin, wanita yang diimpikannya itu akhirnya jatuh dalam pelukannya semalam. Kabut gairah keduanya mengalahkan segala kepenatan dan berakhir dengan pelepasan sempurna berkali kali. "Jam berapa ini, kamu harus kerja kan?" Airin menjauhkan tubuh polosnya dari pelukan Raksa tapi detektif muda itu tak mengizinkan. Raks
Raksa datang ke kantor hampir mendekati jam makan siang. Wajahnya terlihat berseri ketika menyapa anak buahnya."Selamat pagi!"Dex dan Jack dibuat terheran heran, "ini sudah siang bos! Apa pagimu menyenangkan? Sepertinya segar bugar habis berolahraga?" tanya Jack sedikit sarkas, Dex terkekeh geli.Raksa menatap dua anak buahnya bergantian. Ia memicingkan mata kemudian berkata, "Aku akan mencatat kalimat itu dalam buku merah kalian!"Dex dan Jack seketika terkesiap, "Oh no, jangan lakukan itu, Capt! Kita cuma bercanda ya kan Dex?!" Ucapan Jack terdengar tulus, ia sungguh tak berharap Raksa melakukannya.Raksa terkekeh geli, "Bawa masuk perkembangan terakhir dua kasus kita! Aku ingin laporan lengkapnya sekarang!""Oke, pak!""Dimana Airlangga dan Dian?" Raksa mencari dua timnya yang lain."Ke pusat forensik, mencari tahu si jaket hitam!" jawab Dex cepat."Ah, jaket hitam! Sayang sekali dia mati! Aku tunggu dalam sepuluh menit!" seru Raksa yang berlalu menuju kantornya."Lihatlah dia, t
"Yap, ada apa?" Raksa akhirnya menjawab panggilan dari Willy."Anak-anak mau ngajak kamu ketemuan, malam nanti di kafe ku?" Suara Willy terdengar payah diseberang sana."Ehm, ok. Jam berapa?""Good, sembilan malam! Sepulang kerja, mereka merindukanmu kawan!" Willy lagi-lagi terdengar kesulitan mengatur nafas."Wil, you ok?""Yup, treadmill bro! Aku juga ingin sehat seperti kalian!" sahutnya dengan tawa."Aku pikir kau sedang makan pedas." balas Raksa mengusap keningnya dari peluh."Nope! Oh ya satu lagi kamu ingat Francis? Dia juga datang, mau pamer kalau dia bisa jadi guru mematahkan ucapan pak Fatah yang mengatainya dulu!" Willy begitu bersemangat menceritakan siapa saja yang bakal hadir, melupakan nafas setengah-setengah yang menganggu.Raksa mencoba mengingat orang yang dimaksud Willy, seingatnya Francis murid dengan IQ standar dan sialnya ia selalu menduduki peringkat terbawah di kelas. Lalu bagaimana bisa dia menjadi guru? Dunia memang terkadang bekerja dengan ajaib."Sepertinya
Nafas Raksa tersengal, kepalanya berdenyut kencang diikuti tetesan darah yang perlahan keluar dari hidung. Ia terlalu memaksakan diri untuk mencoba kemampuan baru. Raksa masih belum memahami cara kerjanya dan tubuh Raksa perlu penyesuaian diri."Capt! Cepat ambilkan air!" Airlangga berseru pada Dian, detektif muda itu membantu Raksa berdiri dengan benar."Apa yang terjadi?" Airlangga bertanya setelah berhasil membantu Raksa duduk di kursi.Raksa tidak menjawab, tangannya menopang kepala yang masih terasa berat. Bisikan itu kembali muncul membuat suara Airlangga terasa bergema di ruang hampa.Detektif, tolong aku …,Pandangan mata Raksa membayang, ada sosok lain yang berdiri mematung menatapnya di sebelah Airlangga. Bayangan samar yang tak jelas. Raksa tanpa sadar telah membuka pintu dua dunia untuk nya. Kalung yang dikenakannya menghangat di balik kemeja."Siapa kau?" Raksa bergumam lirih,"Siapa? Airlangga, Capt! Apa kau lupa?" Airlangga mengerutkan dahi, cemas dengan kondisi Raksa.
Dex dan Jack pergi ke sekolah tempat Amelia dan Ronald dulunya menimba ilmu. Meski berasumsi terlalu jauh, tapi kedua detektif muda ini tetap menjalankan perintah Raksa."Aku heran, kenapa dia tidak memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat kerjanya saja bukankah itu lebih memungkinkan dan lebih update?" Dex menggerutu di perjalanan.Jack menyeringai sinis, "jika tidak begitu bukan bos kan namanya?"Dex tergelak, "tapi asumsinya yang terlalu jauh, Jack!""Hmm, tidak juga aku rasa. Pembunuhan ini bermotif dendam, aku sepaham dengan dia. Dendam tidak terjadi begitu saja, perlu waktu yang cukup panjang untuk membuat seseorang berbuat nekat.""Perlu pemantik untuk memicu satu kejadian kan?" Dex melanjutkan."Tepat sekali, kejadian terdekat bisa jadi menimbulkan dendam yang sifatnya masif tapi itu terjadi karena kesalahan fatal dan biasanya dilakukan cepat tanpa perhitungan jelas. Tapi dua kejadian ini menurutku begitu rapi." Jack berkata semakin lirih sambil membayangkan runutan cerita
Dex menajamkan pandangan ke arah ruangan gelap -dimana penampakan sosok hitam terlihat- samar terlihat siluet manusia di dalam sana. Ia memicingkan mata tapi seketika lututnya lemas.Sepasang mata merah menyala membalas tatapannya. Dex gemetar, ingin berteriak tapi malu dengan profesi. Ia tak ingin dilihat lemah oleh rekan kerjanya. Apalagi Jack, detektif satu angkatannya itu paling kesal jika membahas perhantuan."Hei, ada apa? Kenapa kau menatap terus ke arah itu?" Tepukan Jack memutuskan Dex dari tatapan si mata merah."Kau lihat disana Jack?" tanya nya dengan terbata.Jack meneropong sesuai arah pandang Dex, ia mengernyit heran lalu berpaling menatap Dex. "Kau terlalu banyak berhalusinasi kawan! Ayo masuk dan jangan biarkan dirimu terjebak dalam ilusi hantu konyol!" Lagi-lagi Jack menarik lengan baju Dex agar mengikutinya masuk ke ruangan kepala sekolah. Seorang lelaki dengan rahang tegas, rambut klimis -dengan kebotakan di bagian tengah kepala- terlihat duduk memperhatikan layar
Selagi Dex dan Jack memeriksa keterkaitan Amelia dan Ronald, terjadi keributan di hunian mewah tempat lokasi terbunuhnya Ronald. Para penghuni apartemen ketakutan dan merasa mendapat teror hantu Ronald yang iseng membuka dan menutup lift. Tentu saja hal ini berimbas pada harga sewa apartemen dan merugikan sang pemilik."Brengsek! Gara-gara dia aku harus mengalami kerugian! Kalau begini tidak ada yang mau menyewa atau tinggal di apartemen ini!" Pria gemuk dengan rambut ikal dan berkacamata melemparkan sejumlah kontrak sewa dan jual beli apartemen di gedung miliknya."Apakah yang menjual kembali apartemen kita juga banyak sayang?" Wanita cantik berpakaian khas Chinese dengan belahan samping yang begitu tinggi hingga nyaris memperlihatkan seluruh tungkai indahnya itu bertanya seraya mencondongkan tubuhnya pada si pria gemuk bermarga Han."Tentu saja! Mereka takut dan merasa hantu Ronald itu melakukan teror setiap malam. Bahkan tak ada yang berani menaiki lift sialan itu meski aku sudah
Usai membayangkan keliaran pikiran mereka tentang pak Han dan Mira, keduanya kembali mengobrol ringan. Ditemani kudapan ringan waffle double cheese dengan saus karamel."Apa kau tidak mencurigai kekasih Ronald? Bisa jadi dia pelakunya karena dendam. Sering terjadi bukan jika pembunuhan kejam justru dilakukan oleh pasangan sejenis?" Alex masih penasaran dengan kenyataan bahwa Ronald menyimpang."Curiga pasti ada, tapi itu bukan ranah ku, kawan! Tapi melihat bagaimana temanku itu terpukul, rasanya tidak mungkin jika dia pelakunya."Dahi Alex berkerut, "Setiap orang bisa menjadi tersangka, termasuk temanmu! Seorang psikopat pintar membuat alibi demi menutupi perbuatannya!"Danny menghela nafas panjang. "Aku harap Kevin bukan orang seperti itu! Aku mengenalnya sejak kecil, meski dia berbeda aku yakin bukan dia pelakunya.""Semoga saja. Tapi itu memang pembunuhan terkeji yang pernah aku lihat. Kau tau bau anyir darah bahkan masih tercium meski kami sudah berusaha menghilangkannya dengan be
“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.
Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih
Beberapa waktu sebelum jasad Ronald Frederick ditemukan.Rahang tegas, kulit pucat berbintik, wajahnya tampan berambut coklat. Lelaki paruh baya yang memakai setelan putih-putih itu duduk tenang dengan buku tebal dan secangkir espresso.Sesekali pandangannya berpindah pada gedung apartemen yang berada di depannya. Ia membuka halaman demi halaman dan membacanya perlahan. Dua lelaki eksekutif masuk ke dalam kafe sambil berbincang. Keduanya bicara dengan sangat antusias sampai obrolannya terdengar pengunjung lain.Lelaki itu berdecak kesal, menyesap kopinya dan membiarkan kafein menyusup, membius dan memberinya ketenangan. Ponselnya berdering, ia kembali berdecak kesal.“Apa aku tidak bisa menikmati hari ku dengan sedikit ketenangan?”Ia menjawab panggilan dari salah satu pengikutnya. “Ya, aku mendengarkan.”“Tuan Kevin, ini berjalan diluar kendali, aku mengikuti semua petunjuk tuan tapi … semua menjadi kacau! Ini gila! Kau minta aku memastikannya terbunuh? Aku melihat dengan mata kepala
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu