Pagi ini Raksa kembali disibukkan dengan kegiatan investigasi. Kekasih Amelia, Alan akhirnya datang memenuhi panggilan penyidikan. Ia datang didampingi pengacara, cukup cerdik atau mungkin Alan memang tidak ingin menghabiskan waktunya di ruang investigasi.
Airlangga ditugaskan untuk menyelidiki alibi Alan diruang terpisah sementara Dian menginterogasi Alan dengan list pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Lima belas pertanyaan telah disiapkan untuk Alan termasuk memastikan Alan berada diluar kota saat kejadian.Raksa diam memantau gerak gerik Alan dari layar monitor. Sesekali ia menggigit jari telunjuknya."Dia benar-benar ada diluar kota saat kejadian, pak." Airlangga berkata setelah beberapa saat meneliti alibi Alan"Benarkah? Orang itu, sepertinya aku pernah kenal tapi dimana?" Raksa terus mengawasi lelaki muda bergaya metropolis yang sedang menjawab pertanyaan Dian."Dia brand ambassador dari produk kosmetik pria sekaligus bankir. Wajahnya banyak terpampang di banner tempat banknya bekerja." jawab Airlangga sambil menyebut salah satu nama bank swasta terkenal."Hem, pantas. Aku melupakan sesuatu." Raksa terdiam sejenak sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Kapan dia tiba di kota ini?""Dari jejak digitalnya, dua hari lalu."Raksa menganggukkan kepala sejenak. "Periksa latar belakangnya dan juga bagaimana dia dan Amelia bisa bersama."Airlangga keluar ruangan untuk mengerjakan perintah Raksa. Chief detektif itu memperhatikan ekspresi Alan saat Dian menanyakan beberapa sahabat Amelia. Alan terdiam setelah menyebut nama salah satu sahabat Amelia."Dia menyembunyikan sesuatu." gumamnya lirih.Pintu ruangan terbuka dan salah satu detektif –Jack– masuk mendekati Raksa. "Ada tamu di ruangan mu.""Ohya, siapa?" Raksa menjawab tanpa menoleh sedikitpun."Lihat saja sendiri!" Jack duduk disebelah Raksa menyantap burger dengan lahap dan segelas coffe latte di tangan sebelahnya.Raksa melirik, aroma lemak burger membuatnya lapar. "Hei, dilarang makan disini!""Aku butuh energi, Capt! Istriku sedang merajuk dan tidak ada sarapan pagi so …," Jack mengacungkan burger isi daging dengan keju melimpah di tangannya.Raksa berdecak lalu berdiri dari kursinya. "Kau perlu makanan sehat, Jack!""Well, satu burger tidak akan membuatku mati Capt!"Raksa menggeleng pelan dan keluar meninggalkan Jack. Hati Jack bertanya tanya siapa gerangan tamu nya itu. Tidak ada janji temu hari ini dan dokter Frans baru akan menemuinya besok pagi."Pak, ini kopi untuk tamu anda!" Seorang petugas wanita memberikan segelas ice coffee padanya.Raksa mengernyit, 'Ini kesukaan Airin, apa dia tamunya?'"Buatkan aku kopi hitam no sugar!" perintahnya kemudian sambil berlalu.Hati Raksa berdebar, jika benar Airin maka itu adalah kejutan menyenangkan. Ia membuka pintu dan mendapati seorang wanita dengan blazer putih yang menutupi kamisol sutra senada. Wajah ayu yang dimimpikannya semalam, kini hadir di hadapan Raksa."Dokter Airin?" Raksa bertanya dengan mempertahankan sikap coolnya, ia tak ingin memperlihatkan rasa bahagianya bertemu Airin."Apa aku mengganggu?" Airin berdiri menyambut Raksa.Senyuman itu membuat Raksa salah tingkah. Andai ia bisa protes pada dokter ayu itu, Raksa akan meminta Airin untuk tidak tersenyum karena bisa mengacaukan pikirannya."Tidak, duduklah. Ini kopimu." Raksa mengulurkan gelas berembun itu pada Airin."Thanks," Airin mengambil sesuatu dari tasnya. "Ini obatnya, dan ingat usahakan jangan meminumnya setiap hari. Lalu ini musik relaksasi, kamu bisa memutarnya sebelum tidur atau mungkin saat bekerja. Biarkan alam bawah sadar yang berjalan dan … jangan memaksakan diri."Raksa tersenyum, matanya tak lepas dari wajah ayu Airin. "Kamu kesini jauh-jauh cuma untuk ini? Aku tersanjung dokter.""Terimakasih, Detektif." sahut Airin dengan penekanan pada akhir kalimat.Keduanya pun tertawa ringan. Airin mengedarkan pandangan ke ruangan Raksa. "Lumayan juga, nyaman.""Ya beginilah, berusaha tetap nyaman meskipun kamu tahu kan tugas detektif bagaimana? Dokter sudah makan siang?""Belum, apa ada tempat makan yang enak disini?" Airin balik bertanya, mata indahnya berbinar.Raksa hendak.menjawab tapi ketukan pintu dari seorang office boy menjedanya. "Kopinya pak komandan!" ucapnya dengan logat Jawa yang kental."Makasih, Sur!"Office boy bernama Surya itu mengangguk hormat lalu keluar ruangan. Raksa menyesap kopinya menikmati kebersamaan bersama Airin. Situasi canggung terjadi kemudian, untuk beberapa lama keduanya hanya saling diam."Kamu," Raksa dan Airin memulainya bersamaan."Kita," keduanya pun tertawa. "Baiklah kamu dulu." Airin mengalah."Kita makan sekarang gimana? Perutku lapar sekali semalam aku lupa mengisi perut.""Boleh, kenapa kamu nggak makan? Sibuk dengan pekerjaan?" Airin bertanya, meminum kembali es kopinya.Raksa menarik nafas berat, "Dua kasus pembunuhan aneh memberi ku sambutan hangat di hari pertama kerja. Sampai detik ini kami belum menemukan titik terang selain keduanya memiliki hubungan di masa lalu."Airin mengangguk dan mendengarkan keluh kesah Raksa. Hampir sebulan detektif tampan itu tidak berkonsultasi dengannya. Ada sedikit rasa rindu yang terselip di hati Airin."Apa itu serial killer?" tanya Airin lagi."Aku menduganya begitu. Tapi sementara ini tidak ada korban baru. Maksud ku, belum." jawab Raksa meminum kembali kopi pahitnya."Lalu, bagaimana kemampuan khusus mu? Apa bisa digunakan?"Raksa terkekeh, "Apa kita mulai sesi konseling disini?"Airin mengedikkan bahu, senyum manis menghiasi wajahnya membuat Raksa begitu gemas. "Terserah padamu, sudah sebulan kan? Siapa tahu ada perubahan secara signifikan dalam dirimu."Raksa tak langsung menjawab, ia ingin menikmati senyum di wajah ayu Airin. Mata hitam indah sebening kaca, rambut lurus melebihi bahu, bibir tipis dan hidung tinggi nya sungguh sangat menawan. Jangan lupakan aroma vanilla coklat yang manis dan mewah dari tubuhnya."Aku rasa tidak, aku terlalu … entahlah, takut mungkin." sahutnya setelah puas menatap wajah Airin."Aku rasa kita perlu makan terlebih dahulu, perutku lapar." Airin memasang ekspresi lucu hingga Raksa yang semula serius menjadi terkekeh."Ayo!"Tanpa disadari Raksa menggandeng tangan Airin dan psikiater muda itu pun tak menolaknya. Mereka berjalan keluar ruangan dan sukses mendapat tatapan mata para detektif pencari berita gosip tentang atasan mereka."Aku keluar dulu, hubungi aku jika urgent saja ok?" pesan raksa pada anak buahnya."Alright captain! Sepertinya kami harus memberi ruang untukmu hari ini!" Jack yang baru saja tiba dari ruang interogasi mengedipkan sebelah mata setelah menatap genggaman tangan Raksa."Jack, you have been promoted by me!" Raksa menunjuk dada bidang Jack dengan candaan."With pleasure, Sir! Enjoy your day!" seru Jack menatap punggung pasangan itu berlalu."Damn, aku rindu saat-saat itu bersama.istriku!" Jack menggerutu dengan gelengan kepala."Yuhuuu, Mr. Jack ada berita bagus untukmu!" Airlangga memanggil dari balik kubikelnya."Apa?! Aku harap bukan berita kepala terpenggal lagi!" Jack menjawab sambil berjalan menuju kubikel Airlangga."Nope! Kita menemukan si jaket misterius!"Airlangga menunjukkan pada Jack beberapa potong gambar yang mencitrakan pria berjaket hitam dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya. "Lihat ini, dia tertangkap cctv berjalan sambil memantau keadaan menuju lift.""Perkiraan jam dengan kematian R?" tanya Jack memperhatikan layar."Hanya seper sekian detik dari rekaman yang ditunjukkan dalam lift.""No way! Apa dia cenayang yang bisa meramalkan kematian seseorang atau justru dia yang merencanakan semuanya?" Jack terbelalak dan menarik kursi putar di dekat Airlangga untuk melihat lebih jelas.Ia mengernyit dan beberapa kali meminta putar ulang tayangan pada Airlangga. "Ini … aneh sekali."Jack memundurkan kursi dan menyandarkan punggungnya. "Apa kau juga sependapat denganku?"Airlangga mengangguk, "Bahkan jika kita membandingkan dua video dalam lift dan di luar lift sama sekali tidak ada sosok pria ini masuk. Lalu bagaimana dia menghilang? Atau dia memang tidak pernah masuk ke dalam lift?""Entahlah, tapi setidaknya kita memiliki g
Pertemuan Raksa dengan kawan lama nya Willy, membuat cerita baru bagi perjalanan karir perdananya di kota ini. Airin duduk manis mendengarkan sambil sesekali mencatat hal penting tentang perubahan sikap Raksa. Sebagai dokter kejiwaan yang tertanggung jawab pada pasien, Airin memperhatikan setiap perubahan ekspresi Raksa.Meski Raksa tidak meminta, tapi Airin tetap melakukannya. Sebulan tidak bertemu detektif muda itu, hatinya bergejolak. Ada rindu yang mulai menggelitik Airin. Hatinya menghangat saat melihat Raksa tertawa."Wil, maksud kamu siapa yang mati? Aku ketinggalan berita sepertinya!" Raksa mulai berbicara serius setelah basa basi tentang kenangan masa SMA.Willy celingukan, "Kita bicara di kantorku, nggak enak kalau sampai terdengar yang lain.""Ehm, dia pacar atau calon istri?" Willy menoleh pada Airin."Saya Airin, temannya." Airin tersenyum menjawab pertanyaan Willy."Oh, maaf aku terlalu asik bernostalgia sampai lupa ada kamu disini. Ayo kita masuk ke dalam."Raksa dan Ai
Hari menjelang gelap saat Raksa kembali ke kantornya. Airin bersikeras untuk pergi ke hotel sendirian. Ia tak mau merepotkan Raksa, terbiasa hidup mandiri di kota besar membuat Airin tidak bergantung pada orang lain."Hotel tempat mu menginap dekat dengan rumahku, bagaimana kalau kita besok bertemu lagi?" Raksa bergerak cepat dengan tidak membuang waktu mendekati Airin."Apa tidak mengganggu kerjamu? Bukankah ada kasus berat yang harus dikerjakan?" Airin balik bertanya setelah memasang seatbelt nya."Itu bisa diatur, lagipula tim ku hebat. Mereka bisa bergerak sendiri tanpa harus aku atur."Airin mengangguk dan kemudian tersenyum, "Baiklah kalau begitu, sampai besok.""Jam tujuh pagi?" Airin mengernyit sejenak, "Kamu yakin bisa bangun pagi?"Raksa tergelak, merasa sindiran Airin menohok dirinya. Airin tahu pasti kegiatan paginya yang selalu membosankan."Untukmu, aku bisa melakukannya!""Oke, sampai ketemu jam tujuh kalau begitu. Bye!" Senyum manis Airin menutup percakapan mereka seb
Raksa dan Jack berdiskusi sejenak, kedua detektif muda ini memutuskan untuk membawa Airin dalam perlindungan sampai ditemukan petunjuk dalam cctv."Airin, maaf tapi, aku rasa kau sebaiknya menginap di rumahku. Setidaknya kami harus memastikan bahwa tidak ada unsur kesengajaan yang melibatkan dirimu dalam masalah. Tapi aku rasa ini kecil kemungkinannya.""Ini jelas kesengajaan Raksa, hanya saja mungkin salah sasaran. Kebetulan saja mobilku ada disana dan terkena imbasnya."Raksa mengedikkan bahunya, "Aku rasa juga begitu. Timku sedang menyelidikinya. Kita pulang? Pakaianmu ada di mobil atau sudah di hotel?""Masih ada dalam bagasi.""Oke, aku akan membatalkan reservasi hotel dan memastikan pengembalian uang muka!" Airin terkekeh geli, "Tidak perlu, itu resiko bukan? Yang penting sekarang adalah keselamatan ku. Aku takut, Raksa."Raksa menarik nafas dalam-dalam, "Aku tahu, ayo kita ke rumahku. Kau perlu beristirahat.""Jack, aku serahkan semua pada mu, ok?" Raksa berteriak pada Jack y
Airin masih gemetar saat situasi telah terkendali, meski ia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya tapi Airin yakin sesuatu yang tidak benar baru saja terjadi. Raksa menutup jendela yang terbuka dan membereskan ceceran kertas di lantai. Meski hal aneh sering menyapa dirinya tapi tetap saja Raksa terkejut dan seringkali ketakutan."Apa yang terjadi? Gangguan makhluk halus lagi?" Tanya Airin menatap penuh tanya pada Raksa."Sayangnya begitu." Raksa duduk disebelah Airin, ia nampak frustasi. Kepalanya mendadak nyeri, bayangan ayahnya jelang kematian ditambah penampakan sosok misterius nan seram itu membuat Raksa tertekan."Aku butuh pil-ku!" Ia berdiri dan mengambil botol obat yang dibawa Airin tadi."Raksa, kau tahu kan tidak selamanya obat-obatan bisa membantumu."Raksa menoleh pada dokter cantik itu, menggenggam erat botol yang belum sempat dibuka. "Lalu aku harus bagaimana? Bayangan masa lalu itu terus datang padaku dan makhluk-makhluk sialan yang tak kenal waktu itu juga terus menampa
Raksa terbangun saat ponselnya terus menerus berdering. Ia tak merespon dan hanya melihatnya saja dan berdecak kesal. Nomor kantornya menghubungi berkali kali. Raksa menyipitkan mata saat cahaya matahari menerobos jendela kamarnya. Otaknya memutar memori semalam, berusaha mengingat kembali yang terjadi. Pelukan erat dari tangan lembut Airin membuat Raksa tersenyum sinting. "Aku melakukannya semalam? Good Raksa, kau memang pembuat masalah."Airin masih terlelap dan menggeliat ringan saat Raksa mengecup kening dokter cantik itu."Morning, sleep well?" Tanya Raksa saat Airin mulai mengerjapkan mata dan tersipu malu ditatap Raksa."Hai, lumayan."Raksa mengusap lembut wajah Airin, wanita yang diimpikannya itu akhirnya jatuh dalam pelukannya semalam. Kabut gairah keduanya mengalahkan segala kepenatan dan berakhir dengan pelepasan sempurna berkali kali. "Jam berapa ini, kamu harus kerja kan?" Airin menjauhkan tubuh polosnya dari pelukan Raksa tapi detektif muda itu tak mengizinkan. Raks
Raksa datang ke kantor hampir mendekati jam makan siang. Wajahnya terlihat berseri ketika menyapa anak buahnya."Selamat pagi!"Dex dan Jack dibuat terheran heran, "ini sudah siang bos! Apa pagimu menyenangkan? Sepertinya segar bugar habis berolahraga?" tanya Jack sedikit sarkas, Dex terkekeh geli.Raksa menatap dua anak buahnya bergantian. Ia memicingkan mata kemudian berkata, "Aku akan mencatat kalimat itu dalam buku merah kalian!"Dex dan Jack seketika terkesiap, "Oh no, jangan lakukan itu, Capt! Kita cuma bercanda ya kan Dex?!" Ucapan Jack terdengar tulus, ia sungguh tak berharap Raksa melakukannya.Raksa terkekeh geli, "Bawa masuk perkembangan terakhir dua kasus kita! Aku ingin laporan lengkapnya sekarang!""Oke, pak!""Dimana Airlangga dan Dian?" Raksa mencari dua timnya yang lain."Ke pusat forensik, mencari tahu si jaket hitam!" jawab Dex cepat."Ah, jaket hitam! Sayang sekali dia mati! Aku tunggu dalam sepuluh menit!" seru Raksa yang berlalu menuju kantornya."Lihatlah dia, t
"Yap, ada apa?" Raksa akhirnya menjawab panggilan dari Willy."Anak-anak mau ngajak kamu ketemuan, malam nanti di kafe ku?" Suara Willy terdengar payah diseberang sana."Ehm, ok. Jam berapa?""Good, sembilan malam! Sepulang kerja, mereka merindukanmu kawan!" Willy lagi-lagi terdengar kesulitan mengatur nafas."Wil, you ok?""Yup, treadmill bro! Aku juga ingin sehat seperti kalian!" sahutnya dengan tawa."Aku pikir kau sedang makan pedas." balas Raksa mengusap keningnya dari peluh."Nope! Oh ya satu lagi kamu ingat Francis? Dia juga datang, mau pamer kalau dia bisa jadi guru mematahkan ucapan pak Fatah yang mengatainya dulu!" Willy begitu bersemangat menceritakan siapa saja yang bakal hadir, melupakan nafas setengah-setengah yang menganggu.Raksa mencoba mengingat orang yang dimaksud Willy, seingatnya Francis murid dengan IQ standar dan sialnya ia selalu menduduki peringkat terbawah di kelas. Lalu bagaimana bisa dia menjadi guru? Dunia memang terkadang bekerja dengan ajaib."Sepertinya
“Kalian menipuku! Kalian memanfaatkan diriku!” James berteriak kasar pada Airin.“Huh, benarkah? Kami membantumu membalas dendam, apa kau lupa itu?!” balas Airin sengit.“Tapi kau tidak mengatakan jika Kevin secara tidak langsung menjadi otak dari pembunuhan adikku!” mata James melotot menahan amarah yang membuncah.“Kau menikmati setiap kematian mereka! Jangan lupakan itu James. Dan yah memang benar, Kevin bertanggung jawab atas semua kemalangan ini!”“Brengsek! Dasar jalang, pelacur, kau pantas disebut penyihir jalang!”“Lakukan apa yang kau mau, karena aku bisa membunuhmu kapan saja!”“Brengsek!”James menghempas tubuh Airin dengan keras, ia gelap mata. Tanpa belas kasihan James kembali menghajar Airin, memukul dan menendang tak peduli dengan rintihan sakit yang keluar dari bibir Airin yang mulai berdarah.Marina berteriak minta tolong, ia berusaha menghentikan tingkah brutal James yang menghajar Airin. Mariana berusaha menghalangi dan melindungi Airin tapi ia justru terkena pukula
“Bersiaplah Dex kita akan menyergap sebelum tim yang menyamar ikut berhalusinasi! Bergerak dengan aba-aba ku oke!”Raksa bergegas keluar diikuti Dex. “Kita kesana?!”“Yup, aku ingin melihat bagaimana terkejutnya Airin saat melihat ku!”Raksa mengemudikan mobilnya dengan cepat menuju gedung tua yang terbengkalai. Kevin rupanya pintar memilih lokasi. Ia menemukan gedung tua yang terbengkalai di dalam hutan pinus di sekitar rumahnya. Dengan sedikit perbaikan gedung tua itu disulap menjadi aula pemujaan sekte iblis.Tim penyergap bersiap, berjalan mengendap ngendap memutari gedung. Tak ada penjaga di bagian depan, Kevin rupanya tak pernah menyangka jika sekte sesat yang tengah didirikannya lagi itu tercium pihak berwenang. Lantunan kidung terdengar menggema, mengusik ketenangan hutan pinus.“Baiklah apa kalian siap?” Raksa memberi aba-aba untuk bersiap masuk.Setelah mendapat kabar kepastian dari pemantau situasi di kantor pusat mereka pun mendobrak masuk. Suasana ricuh terjadi, beberapa
Raksa duduk berhadapan dengan Feni. Wanita dengan jabatan CEO disalah satu perusahaan nirlaba itu terlihat gugup dan sesekali menggigit kukunya yang terawat.“Minum?” Raksa memberikan botol air mineral kecil pada Feni.“Aku mau pengacaraku, tolong!” ucapnya gugup setelah melegakan tenggorokannya.“Tentu, kau akan mendapatkannya. Apa kau sudah memberi kuasa pada pengacara perusahaan atau mungkin pribadi?” tanya Raksa lagi tak memutuskan tatapan.“Ya, sudah.”Suasana tegang kembali tercipta saat Feni kembali terdiam. Raksa tak ingin memaksa ia bicara, Feni yang datang sendiri untuk mengakui dosanya. Raksa tak ingin menekan meski ia ingin melakukannya.“Dia membunuh Alan! Dia juga membunuh Vivian! Selanjutnya pasti aku detektif, tolong lindungi aku! Aku … masih ingin hidup!” Feni akhirnya berkata dengan kalimat terbata.Raksa tersenyum miring, “Begitukah, kenapa dia mengejarmu? Apa yang kalian lakukan sampai rohnya begitu dendam dan haus darah?”“Aku …,” Feni terkesiap, menatap Raksa cur
Agus membersihkan sisa-sisa camilan dan juga gelas-gelas kotor yang tertinggal di meja cafe. Alunan musik dari denting piano masih mengalun merdu menemani para pekerja kafe yang membereskan ruangan.Aluna alias Alicia masih bernyanyi menghibur para pekerja. Matanya sesekali melirik ke arah Agus, mengerling jenaka pada lelaki kurus tinggi tapi cukup enak dipandang itu. Sisa kacang kulit, puntung rokok, bekas kudapan manis yang tercecer dan juga tumpahan jus dibersihkan tanpa terkecuali.“Hai, mau pulang bareng?” Aluna menyapa, mengenakan Coat panjang berwarna coklat ia tersenyum begitu manis pada Agus.“Tentu, tunggu aku sebentar sedikit lagi selesai.” jawab Agus membalas senyuman Aluna.“Aku tunggu di depan?” Agus mengangguk.“Yup, seperti biasa!” Agus berbunga bunga, ia senang Aluna membalas sikap perhatiannya, meski hanya sebatas teman kerja.Ia sesekali menatap Aluna sambil menyelesaikan pekerjaannya. Aluna berhasil mencuri hatinya, tapi sayang Agus harus bersaing dengan yang lain.
Waktu seperti berhenti saat James menerima kabar kematian Aluna. Mirisnya lagi saat ia melihat jasad mengenaskan Aluna di meja otopsi. Adik satu satunya, kesayangan dan kebanggaannya terbujur kaku dengan sejumlah luka pada wajah leher dan kaki.James shock berat, ketika polisi juga mengatakan jika Aluna alias Alicia juga mengalami rudapaksa.“Tak cukupkah dengan menyiksa adikku saja? Apa kalian juga harus mengambil kehormatannya!” ujarnya geram sambil menatap jasad membiru Aluna.Airmata menetes di sela rahangnya yang mengeras. “Aku bersumpah akan membalas semua perbuatan biadab ini pada adikku!”Sumpah yang nyatanya membuat kekalutan James semakin parah. Ia kesulitan tidur dan fokus pada pekerjaannya. Obsesinya menemukan para pembunuh adiknya menjadikan hidup James kacau. Hingga James tiba di satu titik dimana ia menyerah pada keadaan. James nyaris mati jika Airin tidak datang menyelamatkan dirinya. Pertemuan James dan Airin terjadi secara tak sengaja saat James yang kalut tertabrak
Seorang lelaki berjaket hitam berdiri tak tenang di tepi gedung. Berkali kali ia menoleh kebelakang menunggu sesuatu. Berjalan kesana kemari sambil sesekali menghisap rokoknya. Leo terkesiap saat mendengar suara langkah sepatu berheels datang mendekat. Ia menunggu dengan was-was.“Leo?!” teriak wanita cantik dengan dress simple selutut.Mendengar namanya disebut Leo pun berbalik. “Apa kau bawa barangnya?”“Ya tentu saja! Tugasmu sudah selesai?” tanya Airin masih berdiri di tempatnya.“Tentu saja.” Leo menjawab dengan gugup, tangannya gemetar saat keluar dari jaketnya. Airin menangkap gejala itu, “tanganmu gemetar?”“Yah, dengar … ini sangat mengerikan dok! Aku takut, lelaki itu mati? Aku tak melihat apa pun. Aku melakukan semua tugas Kevin, membuka lift dan …,”Leo tak kuasa menahan dirinya, ia menangis. “Aku tak tahu apa yang terjadi dok, aku sungguh tak tahu.”Leo menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia terisak, frustasi dengan apa yang terjadi di depan matanya.“Apa yang kau lih
Beberapa waktu sebelum jasad Ronald Frederick ditemukan.Rahang tegas, kulit pucat berbintik, wajahnya tampan berambut coklat. Lelaki paruh baya yang memakai setelan putih-putih itu duduk tenang dengan buku tebal dan secangkir espresso.Sesekali pandangannya berpindah pada gedung apartemen yang berada di depannya. Ia membuka halaman demi halaman dan membacanya perlahan. Dua lelaki eksekutif masuk ke dalam kafe sambil berbincang. Keduanya bicara dengan sangat antusias sampai obrolannya terdengar pengunjung lain.Lelaki itu berdecak kesal, menyesap kopinya dan membiarkan kafein menyusup, membius dan memberinya ketenangan. Ponselnya berdering, ia kembali berdecak kesal.“Apa aku tidak bisa menikmati hari ku dengan sedikit ketenangan?”Ia menjawab panggilan dari salah satu pengikutnya. “Ya, aku mendengarkan.”“Tuan Kevin, ini berjalan diluar kendali, aku mengikuti semua petunjuk tuan tapi … semua menjadi kacau! Ini gila! Kau minta aku memastikannya terbunuh? Aku melihat dengan mata kepala
Raksa dan tim dibuat semakin sibuk dengan dua pembunuhan terbaru. Keduanya memiliki kesamaan, apalagi jika bukan tulisan ‘Dia Ada Disana!’Dua korban masih memiliki keterkaitan dengan klub science. Vivian dan Alan -kekasih Amelia. Ini mengubah status Alan yang semula enam puluh persen tersangka menjadi korban.Vivian masih terhitung kerabat Amelia, ia tergabung di klub science dan menjadi ketua tim saat penelitian remaja konyol itu dilakukan. Ia tewas di dalam kamarnya dengan kondisi mengenaskan. Satu tusukan di dada dan satu lagi tepat di bagian kiri matanya. Tidak ada saksi mata dan tidak ada satupun yang mendengar jeritan atau keributan.Alan, kekasih Amelia tewas di kamar mandi. Ditemukan dalam bathtub dengan luka sayatan di bagian leher dan kedua lengan. Tubuhnya terendam air hangat yang mencegah pembekuan darah. Hal ini juga mengaburkan jam kematian korban.Ini bukan lagi kasus pembunuhan berskala kecil tapi telah melebar menjadi the real serial killer.“Kau menemukan kesamaan d
Raksa memejamkan mata, berkonsentrasi agar bisa memasuki sisi lain dunia paralel. Kalungnya menghangat, telinganya mulai berdengung dan membawanya perlahan melintas dimensi. Perbedaan tekanan mulai dirasakan, tanda dirinya berhasil menyeberang.Aroma tak biasa samar tercium, campuran anyir darah, sedikit busuk dan bunga. Raksa memantapkan hati, ia akan menggunakan kekuatannya pada kasus ini. “Akhirnya kau datang,”Raksa membuka mata perlahan, wanita bergaun merah itu duduk diam di sebelahnya. Rambutnya yang kusut masai menutupi sebagian wajah yang terluka.“Ingin menyampaikan sesuatu atau aku yang akan memaksamu?” Raksa menoleh pelan ke arah sosok seram itu, secara bersamaan pandangan keduanya bersiborok. Mata merah dan tak ramah membuat siapa pun bakal ciut nyali. Kau takut?“Pertanyaan bodoh! Siapa kau berani menampakkan diri terus menerus padaku!”Sosok itu menatap tajam, menggerakkan kepalanya kaku bak zombie dalam film-film. Raksa tak berkedip menatap sosok menyeramkan yang lu