Althea berulang kali membaca berkas yang diberikan oleh Agung Permana untuk memastikan nama Joan Alexander adalah laki-laki yang ia kenal dan sialnya, segalanya benar. Joan Alexander, klien Agung Permana itu adalah seorang CEO yang sudah menolongnya setahun silam.
"Arum Kenanga?"Tubuh Althea seketika menegang hebat usai mendengar namanya dipanggil, maniknya melebar sempurna dan pandangannya seketika mengarah pada sosok si pemanggil.Althea seketika bangkit dari duduknya dan mendapati Joan Alexander di hadapannya. "Joan? A-Apaan-apaan kamu?" Althea seketika menarik Joan untuk ke ruangannya dan menutup pintu ruangannya dengan cekatan usai memastikn tidak ada seorang pun yang melihatnya."Surprise!!" ujar Joan dengan senyum sumringahnya, pandangannya pun penuh binar menatap perempuan yang sudah memiliki identitas baru juga wajah baru itu."Surprise apa-apaan ini, Jo? Kenapa kamu tiba-tiba menjadi klien dari Mas Agung? Kenapa kamu tidak mengatakannya kepadaku? Hum?" cecar Althea panjang lebar.Joan menghela napasnya panjang, laki-laki yang merupakan CEO itu melepas kaca mata hitam yang membingkainya. "Arum Kenanga....""Jangan panggil aku dengan nama itu, Jo! Sudah aku bilang Arum Kenanga sudah mati! Aku Althea!" tegas Althea dengan penuh penekanan."Oke-oke, baiklah Althea! Dengarkan aku baik-baik! Aku sama sekali tidak menduga jika perusahaanku mengambil properti dari perusahaan Agung. Aku baru mengetahuinya beberapa saat lalu dan ya di sinilah sekarang aku." Joan menjeda sejenak ucapannya, sembari memasukan tangannya pada saku coat hitam yang ia pakai."Lagipula, bukankah sebuah keuntungan bagimu karena aku juga ikut campur pada urusanmu? Aku yakin kamu membutuhkan bantuanku untuk membalaskan dendammu itu, Althea," ujar Joan Alexander."Aku bisa melakukannya sendiri, Jo! Kamu tidak perlu menjerumuskan diri untuk terjun ke masalahku!" timpal Althea dengan suara yang dingin.Joan seketika mencubit hidung Althea dengan gemas. "Dasar keras kepala!""Sudahlah, mau atau tidak mau, aku memaksa! Aku akan ikut membantumu untuk menuntaskan balas dendammu!" tegasnya."Sekarang antarkan aku ke ruangan Agung Permana, aku ingin membahas masalah properti yang akan dibeli perusahaanku," lanjut Joan dengan cepat mengalihkan pembicaraan.Althea merutuk kesal, perempuan itu menyambar berkas yang ada di atas mejanya. "Kamu seorang CEO, Jo! Tidak semestinya kamu mengurus hal sepele seperti ini," ketus Althea sembari melenggang keluar dari ruangannya.Kekehan kecil Joan keluarkan begitu saja sembari mengekori Althea yang sudah lebih dahulu pergi tanpa permisi. "It's for you my spesial queen. Jika bukan karena kamu, aku tidak akan turun mengurus hal seperti ini," gumam Joan lirih yang tak bisa didengar Althea sedikit pun.Langkah panjang Althea berhenti di depan ruangan Agung Permana, kemudian diketuknya perlahan hingga laki-laki yang ada di dalam itu mengizinkannya masuk."Selamat siang, Pak! Klien Bapak, Joan Alexander telah tiba," pungkas Althea."Oh! Baiklah, ajak masuk, Althea!"Althea mengangguk dan segeralah ia mempersilakan Joan duduk di hadapan Agung Permana, sedangkan Althea mengambil duduk di sisi Agung Permana sembari membuka berkas yang telah laki-laki itu berikan kepadanya.Percakapan mulai serius, mengenai beberapa properti yang akan Joan beli untuk keperluan perusahaannya, hingga akhirnya kesepakatan antara keduanya pun berlangsung."Lain kali, saya akan melakukan investasi di perusahaan properti Anda jika diperkenankan. Saya cukup tertarik, apalagi setelah mendengar penjelasan Anda, Pak Agung." Joan mengembangkan senyum sumringahnya dan mengulurkan tangannya."Dengan senang hati, Pak Joan." Agung Permana menjabat tangan Joan Alexander."Saya juga berterima kasih atas kesepakatan kita.""Tidak masalah, saya menyukai properti Anda dan itu adalah alasan saya untuk melakukan investasi.""Sekali lagi terima kasih."Joan Alexander mengangguk kecil menimpali sembari melepaskan jabat tangannya. "Kalau begitu saya permisi." Joan Alexander mengembangkan senyum kecil sekaligus gerlingan mata kepada Althea yang ada di sisi Agung Permana.Diam-diam Althea menghela napas sembari merutuk dalam batinnya. Selama percakapan berlangsung, sesekali Joan memang mengambil pandangan ke arahnya dan hal itu sedikit menyebabkannya gusar.Kepergian Joan Alexander menyisakan Althea dan Agung Permana yang ada di ruangan tersebut. Wajah-wajah sumringah Agung masih tercetak jelas, apalagi usai mencapai kesepakatan dengan Joan Alexander, kliennya."Selamat, Pak! Saya ikut senang dengan kesepakatan Pak Agung dengan Pak Joan tadi," pungkas Althea sumringah."Terima kasih, Althea. Hari ini menjadi hari yang baik untukku," pungkas Agung."Kalau begitu, sekarang kembalilah ke ruanganmu. Aku akan mengirimkan jadwalku untuk besok dan lusa."Althea mengangguk patuh, perempuan itu lantas bangkit dari duduknya untuk meninggalkan ruangan Agung Permana. Tetapi sialnya, sudah terlalu lama Althea duduk dan tubuhnya sedikit sempoyongan apalagi pusing sedikit menghampiri kepalanya."Al-Althea? Kamu baik-baik saja?" Suara Agung menyapa indera pendengaran Althea, pasalnya tiba-tiba perempuan itu sempoyongan dan hampir terjatuh jika Agung tak meraih pinggangnya hingga menyebabkannya jatuh di pangkuannya.Althea menggeleng sembari memijit keningnya. "Sa-Saya sedikit pusing, Pak," ujar Althea jujur.Seketika Agung Permana menjadi risau dengan keadaan Althea, sekretarisnya itu. "Kamu istirahat dulu ya, sepertinya kamu kelelahan. Saya yakin kamu belum makan tadi siang." Agung Permana tanpa aba-abas lagi segera membopong Althea menuju sofa di ruangannya. Laki-laki itu merebahkan Althea yang setengah lemas ke sofanya."Saya izin lepas sepatu kamu ya," pungkas Agung dan hanya diangguki lemah oleh Althea.Usai mendapatkan persetujuan dari Althea, segeralah Agung melepaskan sepatu heels hitam yang dipakai Althea, hingga terpampanglah kaki mulus Althea. Satu hal yang menyebabkan Agung Permana terdiam usai melepaskan sepatu heels dari kaki Althea, laki-laki itu melihat ada tanda lahir di tumit Althea.'Arum Kenanga?' ingatan Agung Permana seketika kembali jatuh pada Arum Kenanga, mendiang istrinya. Laki-laki itu cukup terkejut pasalnya tanda lahir di kaki Althea benar-benar sama seperti milik mendiang istrinya, tepat di tumit.Agung Permana lantas menatap Althea yang setengah tak sadarkan diri itu, dilihatnya lekat-lekat dan perempuan itu berbeda dari mendiang istrinya. 'Tanda lahir seperti ini, bisa saja orang lain punya, bukan?' batin Agung menepis kegundah-gulanannya."Althea? Saya akan belikan kamu makan siang dan obat ya, saya yakin kamu belum makan," pungkas Agung.Althea menggeleng lirih sembari menggenggam tangan Agung Permana tanpa permisi. Tatapannya pun sedikit sayu dan lemah. "Saya baik-baik saja, Pak. Tidak perlu beli obat," ujar Althea."Tapi, Althea? Kondisimu...""Saya baik-baik saja, Pak. Saya hanya butuh istirahat sebentar," pungkas Althea berusaha menenangkan Agung yang diliputi risau."Baiklah jika begitu. Jika ingin sesuatu katakanlah!"Althea mengangguk dan barulah ia melepaskan genggamannya pada Agung Permana. Agung Permana terdiam usai merasakan genggaman tangan Althea terlepas dari tangannya. Entah mengapa Agung merasakan ada sesuatu tak asing ketika Althea menggenggam tangannya, sesuatu yang hilang seolah kembali lagi di tangannya."Pak? Boleh saya minta air minum?" celetuk Althea seketika menyentak lamunan Agung yang masih memikirkan tangan Althea itu.Agung Permana mengangguk dengan cepat. "Saya ambilkan."Langkah panjang Agung pun melenggang, mengambil setengah gelas air mineral dan segeralah diberikannya air mineral itu pada Althea setelah dibantunya perempuan itu duduk di sofa.Althea meneguk habis air mineral yang diberikan oleh Agung tersebut hingga tak tersisa, kemudian barulah ia memberikan gelas kosong itu kepada Agung lagi. "Terima kasih, Pak.""Sama-sama. Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"Althea mengangguk sejenak. "Sepertinya darah rendah saya kambuh tadi," ujar Althea kemudian mengembangkan senyuman tipisnya."Syukurlah kalau begitu. Aku akan membelikanmu makanan yang enak setelah ini.""Eh? Tidak perlu, Pak.""Tidak apa-apa! Anggap saja ini imbalan karena kamu sudah berusaha keras." Agung Permana mengembangkan senyumnya hingga merekah sempurna."Ayo! Saya akan traktir di kantin!" ajak Agung sembari mengulurkan tangannya, mengajak Althea untuk makan bersamanya.Althea ragu-ragu menerima uluran tangan Agung Permana, tetapi pada akhirnya perempuan itu pun menerima uluran tangan laki-laki yang ia cintai itu. Kapan lagi makan dengan laki-laki yang masih dianggapnya sebagai suami? Apalagi setelah sekian lama.Segeralah Althea bangkit dari duduknya menyejajarkan diri dengan Agung Permana, sialnya tubuhnya kembali sempoyongan dan ia pun kembali jatuh di sofa. Sialnya, Agung Permana pun turut serta jatuh bersamanya di sofa, keduanya sama-sama terjebak dengan posisi yang sedikit tak mengenakkan.Agung berada di atas Althea dan jarak antara keduanya hanya sebatas satu jengkal tangan. Lengan Agung pun masih merengkuh pinggang Althea dan semakin menyebabkan posisi keduanya intim. Keduanya bahkan bisa merasakan deru napas satu sama lain dan iris keduanya saling mengunci hingga tatapan intens pun tak terelakan antara keduanya.Tak ada satu kata pun yang keluar dari bibir keduanya, tetapi jantung mereka sama sekali tidak bisa dikontrol, dipenuhi debaran hebat dengan wajah yang sedikit merona.Cantik, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan Althea di mata Agung Permana. Laki-laki itu tersihir dengan kecantikan sekaligus kemolekan perempuan yang menjadi sekretaris pribadinya itu. Wajah rupawan, bibir plum seksinya, maniknya yang menggoda, leher jenjangnya yang putih dan surai legamnya yang berombak, semuanya pas pada Althea dan entah mengapa timbul gairah berdesir di hati Agung Permana. Hingga tanpa permisi, Agung Permana mengikis jarak dengan perempuan itu.Jantung Althea semakin memburu apalagi perlahan dilihatnya Agung memejamkan manik sembari mengikis jarak dengannya. Apa yang akan Agung lakukan kepadanya? Apakah Agung akan mengecupnya? Itulah pertanyaan besar di benak Althea.Hingga semuanya buyar ketika suara ketukan pintu menyentak keduanya. Agung dan Althea segera bangkit dari posisi yang tidak mengenakkan itu."Ma-Maafkan saya, Althea. Ba-Bagaimana keadaan kamu? Ba-Baik?" tanya Agung sedikit gelagapan."Ti-tidak apa-apa, Pak. Sa-Saya sudah ba-baik-baik saja, Pak.""Baguslah kalau begitu. Se-Sekarang kamu boleh keluar," ujar Agung Permana sedikit canggung dengan wajahnya yang merona.Althea segera manggut-manggut kecil, perempuan itu melenggang dengan buru-buru usai memasang kembali heels pada kakinya. Perempuan bertubuh molek itu lantas keluar ruangan Agung Permana dan sialnya, manik Althea dibuat terkejut ketika baru menginjakkan kaki di luar.Debar gairah Althea hilang seketika dan berganti dengan sebuah kekesalan yang terpendam selama dua tahun lamanya. Nyonya Ayu, ibu dari Agung Permana berada di hadapan Althea. Perempuan paruh baya itu masih sama seperti dulu, berwajah tegas dengan tatapan tajamnya. Oh! Sungguh, muak sekali Althea melihat perempuan yang sudah menjerumuskannya pada lubang kematian."Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Minggir! Saya mau lewat! Saya ingin menemui anak saya!" tegas perempuan paruh baya itu menyentak lamunan Althea.Suara tegas, ketus, dingin masih sama seperti dulu. 'Belum saatnya kamu mengungkap segalanya, Althea' batin Althea."Maaf, Bu. Silakan, Masuk!" ujar Althea sopan dengan senyum terkembang di bibirnya, barulah perempuan itu melenggang dari tepi perempuan paruh baya itu.Senyum kecut Althea terlukis begitu saja diliputi kesal. 'Sepertinya dia tidak memiliki rasa bersalah atas apa yang dia lakukan kepadaku,' batin Althea, kemudian mendecih sebal.'Lihat saja! Sebentar lagi kamu tidak akan memiliki kebebasanmu,' batin Althea lagi lantas menuju ke ruangannya dengan kesal.***Althea telah membulatkan tekadnya untuk membalaskan semua dendamnya, setelah ia dipertemukan kembali dengan mertuanya dulu dan juga sahabat baiknya yang sudah menusuknya dari belakang. Kini Althea melenggang menuju ruangan Agung Permana, di tangannya membawa beberapa berkas yang mesti ditandatangani. Althea perlahan mengetuk pintu coklat tua yang merupakan ruangan Agung Permana. "Masuk!" Althea mendengar suara Agung memintanya masuk dan segeralah ia melenggang ke dalam ruangan Agung tersebut. "Selamat siang, Pak!" "Siang, Althea. Ada apa?" "Ada beberapa berkas yang harus Pak Agung tandatangani," pungkas Althea sembari menyerahkan beberapa berkas yang ada di tangannya itu. "Baiklah." Laki-laki bernama lengkap Agung permana itu pun segera membubuhkan tandatangannya di lembar demi lembar yang Althea serahkan. "Apakah ada lagi, Althea?" tanya laki-laki itu. "Tidak ada, Pak." "Baguslah."Althea manggut-manggut. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." "Tunggu, Althea!" Agung deng
"Apakah kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku?" Suara Vera Indilia yang tanpa permisi seketika menyapa indera pendengaran Althea, menyebabkan perempuan yang tengah berkutat di depan laptop itu tersentak. "Bu Vera?" Althea seketika beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan yang masuk tanpa permisi itu. "Ada perlu apa Bu Vera sampai ke sini?" tanya Althea sopan tetapi malah mendapatkan sambutan yang kurang sedap dari Vera. Perempuan itu malah mendengus tak suka. "Sudah! Tidak perlu basa-basi! Jawab saja pertanyaanku tadi!" titah Vera Indilia dengan ketus. "Kamu sengaja kan menumpahkan kopi di bajuku?" imbuh Vera lagi. Althea seketika menggeleng. "Tidak, Bu. Saya sama sekali tidak sengaja melakukannya," pungkas Althea masih tetap sopan. Halah! Mengaku saja kalau kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku agar aku mendapatkan omelan dari suamiku. Benar kan?" lanjut Vera Indilia kembali berujar dengan nada yang sengit. Althea menghela napasnya panjang, ia memutar
Agung Permana mengetuk pelan pintu sekretarisnya, Althea Agung Permana. Ia sebetulnya cukup gelisah untuk bertemu dengan Althea apalagi setelah kejadian memalukan sebelumnya. Sungguhlah, ia sebagai suami dari Vera Indilia merasa prihatin dengan apa yang terjadi kepada Althea. "Pa-Pak Agung? Pak Agung ada apa repot-repot datang ke ruangan saya? Apakah Bapak butuh bantuan? Biasanya Pak Agung menelepon," pungkas Althea yang kebingungan dengan keberadaan Agung yang tiba-tiba di depan ruangannya itu. Memanglah Agung tak pernah menginjakan kakinya ke ruangan sekretaris dan itulah untuk kali pertamanya ia menginjakan kakinya ke ruangan tersebut. "Boleh saya masuk dulu, saya ingin berbicara denganmu," pungkas Agung. Althea seketika terdiam sepersekian detik sebelum ia menimpali apa yang Agung utarakan. Perempuan itu lantas manggut-manggut mengiyakan usai mencerna apa yang Agung utarakan, "Bo-boleh, Pak." Althea lantas mempersilakan Agung ke dalam ruangan sekretaris miliknya. Perempuan i
"Ini rumah kamu?" Agung Permana berceletuk sembari menoleh ke arah kediaman megah nan luas, bahkan lebih megah dari kediamannya dan sang istri, Vera Indilia. "Em... bisa dibilang begitu, Pak," timpal Althea kemudian mengembangkan senyum tipisnya. Sesaat lalu, Althea hendak beranjak ke kediamannya itu, tetapi perempuan itu tak sengaja berpapasan dengan Agung Permana dan berakhirlah Althea diantar oleh laki-laki itu. Agung Permana pun bersikukuh untuk mengantarkan Althea, untuk menghalau rasa bersalahnya atas apa yang sudah dilakukan istrinya sesaat lalu, mempermalukan Althea di depan umum. Althea sudah menolak permintaan Agung Permana itu, tetapi apa daya? Agung Permana tetap memaksanya dan berakhirlah laki-laki itu mengantarnya pulang. "Pak Agung ingin mampir dulu?" imbuh Althea sembari melepaskan sabuk pengamannya. "Ti-tidak. Lain kali saja, kebetulan ini sudah sore, anak dan istriku pasti merisaukanku karena belum pulang, Al," ujar Agung. "Ah... Pak Agung benar. Kalau begitu t
"Datang juga kamu?" Vera Indilia tersenyum sinis, ketika mendapati kedatangan Althea. Althea memutar bola matanya malas, perempuan itu cukup terkejut ketika melihat Vera Indilia di depan kantor. Althea sama sekali tidak menduga jika ia harus berhadapan dengan Vera Indilia lagi, padahal baru saja sebelumnya Vera Indilia membuat perasaannya runyam. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," lanjut Vera Indilia setelah Althea tiba di hadapannya. Althea mengerutkan keningnya keheranan. "Pasti ada suatu hal yang penting sampai seorang istri CEO perusahaan ini di sini pagi-pagi demi bertemu dengan sekretaris rendahan seperti saya," pungkas Althea dengan berani. Mendengar apa yang dituturkan Alteha, Vera Indilia menarik sudut bibirnya, perempuan itu pun mengeluarkan decihannya kesal. "To the point saja..." Vera Indilia menjeda ucapannya barang sejenak, tatapannya kian tajam pada Althea. "Mundur dari pekerjaan ini," imbuh Vera yang seketika menyebabkan Althea membulatkan manik legamnya. "Janga
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung mengecek ponselnya, ia sudah meminta asisten pribadinya untuk menyelidiki kasus kematian Arum Kenanga beberapa tahun silam. Setelah berbicara dengan Althea waktu itu, Agung tak bisa tenang. Ia memikirkan terus-menerus mengenai kecelakaan yang dialami mendiang istrinya, bahkan kala itu Agung tak melihat jasad sang istri karena telah dimakamkan lebih dahulu sesuai permintaan sang ibu. Saat itu Agung tak ambil pusing, ia tak memikirkan lebih banyak perihal mengapa pemakaman jasad sang istri tidak menunggunya terlebih dahulu. Tetapi, sekarang tiba-tiba Agung memikirkannya apalagi sang ibu yang tidak suka dengan Arum Kenanga, istrinya. "Jika memang benar kematian istriku ini disebabkan oleh Ibuku, apa bisa aku memaafkannya?" gumam Agung kemudian ia mendecih perlahan. Agung lantas ambil foto mendiang Arum Kenanga yang ia sematkan di dalam lacinya. Laki-laki itu mengembangkan senyum tipisnya. "Kalau kamu masih hidup, beri aku petunjuk, Sayang! Beri aku petunjuk di mana kamu sekaran
Agung memijit pelipisnya gusar. Pria itu duduk di kursi kebesarannya, bersandar dan menatap plafon ruangan dengan warna pastel tersebut. Benaknya begitu riuh, memikirkan soal ibunya yang sudah mendekam di penjara dan istrinya yang masih dalam keadaan kritis. Agung benar-benar bingung ingin melakukan apa setelah ini, hidupnya pora-poranda. Suara ketukan pintu ruangannya, membuat lamunan pria itu buyar. "Masuk!" titah Agung setelah memposisikan dirinya dengan baik, tak bersandar dan menatap pada plafon putih ruangannya itu. Pandangan pertama yang Agung lihat yakni Althea. Perempuan itu datang ke ruangan Agung dengan pakaian rapi seperti biasanya. Beberapa berkas juga ada di tangannya. "Selamat pagi, Pak! Saya tidak mengganggu bukan?" Suara Althea menyapa indera pendengaran Agung, begitu teduh dan sopan. Agung menggelengkan kepalanya lirih. Senyum di bibirnya pun terkembang tulus. Setidaknya, Agung masih bisa tersenyum di depan Althea meski benaknya sedang tak karuan. "Ada apa, Alth
"Apa benar ini kediaman Bu Ayu?" Suara dua pria berseragam seketika menyentak Agung Permana dan sang Ibu yang baru saja melenggang ke kediamannya, baru saja keduanya tiba di rumah setelah kembali dari rumah sakit untuk mengunjungi Vera Indilia yang tengah koma. "Be-Benar, ini kediaman Bu Ayu, Pak. Bu Ayu adalah Ibu saya," timpal Agung Permana sedikit terbata setelah beberapa saat terdiam, pasalnya pria itu cukup tersentak dengan keberadaan dua polisi yang ada di kediaman sang ibu dan dirinya. "Kami membawa surat penangkapan untuk Bu Ayu atas laporan pembunuhan kepada mendiang Arum Kenanga," ujar salah satu polisi tersebut sembari menyerahkan surat penangkapan kepada Agung Permana. Agung Permana melebarkan maniknya, pria itu terkejut bukan main dengan apa yang didengarnya. Bukan hanya Agung Permana, tetapi ibunya pun sama. "Apa-Apaan ini, Pak? I-Itu fitnah! Saya yakin sekali itu adalah fitnah. Saya tidak pernah melakukan pembunuhan kepada mendiang menantu saya," ujar perempuan
"Maaf, Pak! Sepertinya istri Bapak mengalami koma," ujar Dokter usai melakukan pemeriksaan terhadap Vera Indilia. Bagai tamparan keras bagi Agung Permana. Pria itu bergitu tersentak hebat, pasalnya tak menduga jika istrinya akan mengalami koma. Sesaat lalu, Agung Permana berniat untuk menceraikan istrinya karena ulah Vera Indilia yang sudah menyebabkan Arum Kenanga tiada. Tetapi segalanya berubah setelah mendengar kabar mengenai Vera Indilia yang mengalami koma. Agung Permana terisak di depan IGD, pria itu benar-benar terpukul dengan apa yang terjadi. "Kenapa semua ini terjadi kepadamu, Vera? Kenapa?" gumam Agung sendu. Agung Permana terisak beberapa saat di depan IGD dan ia membiarkan siapa pun yang berlalu lalang melihatnya dengan penuh iba. Lantas setelah sesaat pria itu tenang, Agung Permana bangkit dari duduknya. Pria itu merogok saku celananya dan segeralah ia ambil ponselnya."Hallo, Andre! Tarik semua berkas perceraianku kepada Vera Indilia. Aku belum bisa menceraikannya,
Berhari-hari setelah Agung Permana mendapatkan berkas dari orang yang tak diketahui itu, ia sudah berusaha menghubungi Vera, istrinya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak membalas dan mengangkat panggilan suaranya. Agung benar-benar kesal dengan hal itu, apalagi setelah ia mngetahui bahwa istrinya menyebabkan kematian Arum Kenanga, istrinya dulu. Agung bahkan meminta asistennya untuk menyelidiki keberadaan Vera Indilia tetapi tak ada satupun yang bisa mengetahui keberadaan istrinya itu. Vera Indilia memang mengatakan bila akan pergi ke Bogor, tetapi tidak ada yang ditemukan di sana. Tok...Tok.... Pintu ruangan Agung Permana diketuk seketika menyebabkan lamunan pria itu. "Masuk!" titah Agung. "Pak," Suara Andre, asisten Agung, seketika menyebabkan lamunan Agung Permana buyar. "Oh, Ndre! Ada apa? Duduklah!" titah Agung. "Apakah ada kabar?" tanya Agung tanpa basa-basi, menanyakan keberadaan sang istri, Vera Indilia. Andre menyerahkan beberapa lembar foto kepada Agung Permana.
Althea mengembangkan senyum tipisnya, perempuan itu begitu bahagia karena berhasil membuat Vera Indilia dilanda cemburu dan hal tersebut merupakan suatu kemajuan baginya. Kini Althea kembali melenggang menuju ke ruangan Agung Permana sembari membawa dua berkas miliknya. Althea mengetuk pintu ruang kerja Agung itu dengan perlahan hingga akhirnya ia dengar suara Agung yang memintanya masuk. "Althea?" Agung bergumam lirih, pria itu menatap Althea begitu lekat apalagi setelah kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya, yakni ketika Agung mencium Althea seperti mencium istrinya dulu, Arum Kenanga. Agung Permana lantas menepiskan semua hal yang terbesit di benaknya itu jauh-jauh, apalagi tentang ciumannya kepada Althea. "A-Ada apa, Althea?" tanya Agung Permana usai berdehem berusaha menetralkan perasaannya meski suaranya sedikit terbata. "Ada kiriman berkas untuk Pak Agung," ujar Althea sembari menyerahkan dua berkas yang ada di tangannya. "Oh? Dari siapa, Althea? A-Aku tidak mendapat
Agung Permana dengan cekatan melepas pagutannya, laki-laki itu cukup tersentak usai mendengar pintu ruangannya diketuk begitu cepat dan saat itulah kewarasannya kembali seperti sedia kala. Ia benar-benar dirundung rasa sesal sekaligus malu setelah melumat bibir Althea, sekretarisnya. "Pa-Pak ta-tadi?" Athea berujar begitu terbata, perempuan itu masih terkejut dengan apa yang Agung Permana lakukan meski debarnya begitu hebat dilanda bahagia. "A-Althea..." Agung gagu ingin berujar apa, laki-laki itu benar-benar canggung bahkan tak berani menatap manik Althea. "Ma-Maafkan aku, Althea. A-Aku benar-benar kehilangan kewarasanku selama beberapa saat. Ka-Kamu mengingatkanku pa-pada Aru..." Tok...Tok...Tok...Suara ketukan pintu kembali menyentak Agung dan Althea, keduanya bahkan menoleh ke arah pintu. "A-Aku akan mengatakannya nanti, Althea. Se-Sekali lagi maafkan aku," pungkas Agung sembari membantu Althea beranjak dari duduknya. "Masuklah!" titah Agung lagi tanpa pikir panjang lagi pa
Agung mengecek ponselnya, ia sudah meminta asisten pribadinya untuk menyelidiki kasus kematian Arum Kenanga beberapa tahun silam. Setelah berbicara dengan Althea waktu itu, Agung tak bisa tenang. Ia memikirkan terus-menerus mengenai kecelakaan yang dialami mendiang istrinya, bahkan kala itu Agung tak melihat jasad sang istri karena telah dimakamkan lebih dahulu sesuai permintaan sang ibu. Saat itu Agung tak ambil pusing, ia tak memikirkan lebih banyak perihal mengapa pemakaman jasad sang istri tidak menunggunya terlebih dahulu. Tetapi, sekarang tiba-tiba Agung memikirkannya apalagi sang ibu yang tidak suka dengan Arum Kenanga, istrinya. "Jika memang benar kematian istriku ini disebabkan oleh Ibuku, apa bisa aku memaafkannya?" gumam Agung kemudian ia mendecih perlahan. Agung lantas ambil foto mendiang Arum Kenanga yang ia sematkan di dalam lacinya. Laki-laki itu mengembangkan senyum tipisnya. "Kalau kamu masih hidup, beri aku petunjuk, Sayang! Beri aku petunjuk di mana kamu sekaran
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan