Agung Permana berkutat lagi di depan laptopnya, usai kepulangan Vera Indilia yang hanya menghampirinya sesaat. Laki-laki itu menyiapkan beberapa berkas untuk menemui kliennya.
Tok..Tok...Pintu ruangan Agung Permana seketika diketuk, menyebabkan laki-laki itu mengalihkan fokusnya sejenak."Masuk!"Rupanya Althea yang mengetuk pintu, perempuan itu datang dengan secangkir kopi yang sudah ia buat untuk Agung Permana."Ini kopinya, Pak!" Althea meletakan kopi buatannya di meja Agung Permana."Maaf lama ya, Pak. Di dapur cukup antre," pungkas Althea."Tidak apa-apa, Althea. Aku tidak terburu-buru untuk segera minum kopi," ujar Agung Permana."Omong-omong, duduklah dulu! Aku ingin memberikanmu berkas yang disiapkan untuk menemani klienku," lanjut Agung, kemudian menjeda sejenak pekerjaannya di laptop berwarna silver itu.Althea mengangguk patuh kemudian barulah ia duduk di depan Agung. Sedangkan Agung, dengan segera menyambar kopi buatan Althea."Aku akan meminumnya ya, mataku sudah tidak bisa dikondisikan." Agung terkekeh sejenak, kemudian menyeruput kopi buatan Althea.Senyum Althea bingar dan mempersilakan laki-laki itu untuk menyeruput kopi buatannya, tetapi sialnya sejenak Althea dibuat tercekat usai Agung meminum kopi buatannya."Ada apa, Pak? Apakah kopinya tidak enak?" tanya Althea usai mendapati wajah Agung yang berubah 180 derajat dari sebelumnya, senyum sumringah laki-laki itu bahkan hilang dengan sekejap dan berubah sendu.Agung tak menimpali pertanyaan Althea dan memilih kembali menyeruput kopi buatan sekretarisnya itu. Sontak sekali lagi, Althea dibuat risau dengan wajah Agung yang menyiratkan hal sama, perubahan 180 derajat dari hingar bingar di wajah menjadi kesenduan sempurna."Bagaimana rasanya sama?" gumam Agung dengan suara yang sedikit parau."Bagaimana rasanya sama? Maksudnya, Pak?" Althea mengulang pertanyaan Agung yang membuatnya bingung."Darimana kamu belajar membuat kopi ini, Althea?" tanya Agung lagi tanpa menjawab apa yang Althea utarakan.Althea mengerutkan keningnya heran. "Sa-Saya tidak belajar dari siapa pun, Pak. Itu hanya kopi, semua orang bisa membuatnya," timpal Althea.Agung menggeleng dengan cepat, laki-laki itu mengusak surai legamnya sedikit frustasi. Pikirannya seketika dipenuhi nama Arum Kenanga, mendiang istrinya."A-Arum Kenanga? Ini seperti kopi buatannya," gumam Agung dengan sendu."Ba-Bagaimana bisa kamu membuat kopi seperti mendiang istriku, Althea? Setelah sekian lama, tidak ada yang membangkitkan ingatanku tentang mendiang istriku, tetapi kopimu membuatku ingat tentang mendiang istriku, Althea," racau Agung Permana begitu frustasi.Althea terdiam, perempuan itu menarik sudut bibirnya sumringah di tengah kesenduan Agung Permana. Bukan tanpa suatu alasan Althea melakukannya. Althea sengaja, membuatkan kopi dengan racikannya yang khas, racikan khas ketika dirinya dikenal sebagai Arum Kenanga."Me-Mendiang istri, Pak?" Althea berujar sedikit ragu.Agung Permana manggut-manggut, laki-laki itu mengusap buliran bening di pipinya sejenak. "Istriku sudah tiada tepat setelah aku dan dia menikah. Saat itu aku meninggalkannya karena tugasku untuk berlayar. Aku tidak tahu-menahu apa yang terjadi tetapi yang jelas ibuku mengatakan jika Arum Kenanga, mendiang istriku itu kecelakaan saat Liburan bersama dengan Ibuku, bahkan mobil yang ditumpangi ibuku terbakar tetapi untungnya Ibuku selamat. Sayangnya tidak dengan istriku, istriku tiada dalam kecelakaan itu, bahkan jasadnya tidak ditemukan," jelas Agung Permana.Althea mengepalkan tangannya kesal, perempuan itu menahan amarah menggebu di dadanya, pasalnya semua yang diutarakan oleh Agung Permana dari ibunya itu adalah salah besar.'Kamu sudah dibodohi oleh ibumu sendiri, Mas! Aku sama sekali tidak tewas karena kecelakaan ataupun kebakaran, tetapi aku sengaja didorong hingga jatuh ke jurang, Mas. Aku hampir kehilangan nyawaku karena ibumu dan istrimu sekarang itu, Mas!' batin Althea menjerit kesal."Dan setelah itu kehidupanku runtuh, Althea. Aku pulang dan tak melanjutkan pelayaranku. Aku memilih membuka usaha properti dan menyibukkan diri untuk menghapus rasa sedihku. Hingga 7 bulan setelah kepergian istriku, ibu memintaku untuk menikah lagi, ibu mengenalkanku dengan Vera dan ya... seperti yang kamu lihat sekarang, Vera menjadi istriku dan aku dikaruniai satu bayi laki-laki darinya," lanjut Agung Permana menjelaskan, masih dengan raut sendunya.Althea kembali menahan rasa kesal sekaligus sedihnya usai mendengar semua penjelasan panjang lebar dari sang suami. Perempuan itu menahan amarahnya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat dan meremas rok spannya yang selutut itu."Apakah Pak Agung pernah mencari jasad istri Bapak? Apakah Pak Agung yakin jika istri Bapak sudah tiada?" cecar Althea.Agung Permana terdiam, laki-laki itu mengangguk setelahnya. "Aku selalu pergi ke jurang di mana mobil yang ditumpangi ibuku serta istriku jatuh hingga kebakaran, Althea. Aku selalu pergi ke sana selama 7 bulan lamanya dan aku sama sekali tidak menemukan petunjuk apa pun," jelas Agung."Bahkan aku sudah menyerah dan mengikhlaskan segalanya," lanjut Agung lagi sembari menyeka air matanya.Althea menarik napasnya panjang sembari menetralkan perasaannya yang berkecamuk. "Tidak menemukan petunjuk apa pun? Bagaimana jika Arum Kenanga, istri Pak Agung masih hidup?" tanya Althea lagi memancing laki-laki itu.Agung Permana seketika menatap Althea yang ada di hadapannya. Laki-laki itu melebarkan maniknya. "Kenapa kamu bisa menduga seperti itu?""Sa-Saya sering melihat drama luar negeri, yang tokohnya mungkin saja diselamatkan oleh orang lain ketika di jurang. Ja-Jadi mungkin saja istri bapak seperti itu bukan? Apalagi Pak Agung juga tidak menemukan jasadnya," ujar Althea panjang.Agung kembali terdiam, laki-laki itu mencerna apa yang Althea katakan. "A-Apakah ada kemungkinannya istriku masih hidup?" gumam Agung bertanya-tanya."Tidak ada yang mustahil di dunia ini, Pak," timpal Althea sembari mengangkat bahunya tanda tak tahu."Tetapi, jika istri Pak Agung mungkin masih hidup, apakah Pak Agung akan mengajaknya kembali bersama? Apalagi Pak Agung sudah memiliki istri sekarang," lanjut Althea sedikit penasaran dengan jawaban Agung Permana.Agung terdiam, laki-laki itu cukup terkejut dengan pertanyaan Althea, bahkan Agung Permana tak bisa menjawab apa yang Althea tanyakan."Pembicaraan ini terlalu jauh, Althea. A-Ada yang lebih penting sekarang," ujar Agung sembari mengalihkan pandangannya kembali ke arah laptop silvernya dan kembali mengetik lagi.Althea menarik senyum kecutnya samar-samar. "Saya tahu Pak Agung tidak bisa menjawabnya. Sepertinya terlalu sulit untuk memilih," celetuk Althea lagi terlihat kesal.Agung kembali menghentikan ketikannya pada laptop silver itu, laki-laki itu sontak menatap Althea, sekretaris pribadinya. Manik Agung menatap intens perempuan itu. "Kenapa kamu seolah seperti istriku yang terlihat kesal dan ingin tahu jawaban pastiku?" celetuk Agung.Kini giliran Althea yang tersentak usai mendengar kata "istriku" dilontarkan oleh Agung Permana. Perempuan itu bahkan melebarkan maniknya kemudian akhirnya senyum diberikannya."Saya hanya ingin tahu," ujar Althea."Lupakanlah, Althea! Jangan bahas masalah ini lagi! Ada yang lebih penting sekarang, klienku akan bertemu denganku, jadi temui dia nanti sebelum ke sini." Agung Permana menyerahkan satu map coklat yang berisikan tentang kliennya itu.Althea menarik napasnya menetralkan perasaannya yang sedikit berkecamuk. Lantas segera diambilnya map coklat yang ada di atas meja hitam Agung Permana itu.Althea membuka sejenak map coklat yang berisikan tentang klien Agung Permana itu, tetapi sialnya manik Althea melebar usai mendapati nama Joan Alexander.'Jo-Joan Alexander? U-Untuk apa dia menjadi klien Mas Agung? Apa yang dia rencanakan?' batin Althea bingung dengan laki-laki yang sudah menyelamatkannya itu.Joan Alexander adalah laki-laki blasteran yang sudah menyelamatkannya, tetapi tiba-tiba saja kini namanya tertera sebagai klien dari Agung Permana. Apa yang sebenarnya Joan ingin lakukan? Apakah Joan ingin membantu pembalasan yang akan dilakukan Althea?Althea berulang kali membaca berkas yang diberikan oleh Agung Permana untuk memastikan nama Joan Alexander adalah laki-laki yang ia kenal dan sialnya, segalanya benar. Joan Alexander, klien Agung Permana itu adalah seorang CEO yang sudah menolongnya setahun silam."Arum Kenanga?"Tubuh Althea seketika menegang hebat usai mendengar namanya dipanggil, maniknya melebar sempurna dan pandangannya seketika mengarah pada sosok si pemanggil.Althea seketika bangkit dari duduknya dan mendapati Joan Alexander di hadapannya. "Joan? A-Apaan-apaan kamu?" Althea seketika menarik Joan untuk ke ruangannya dan menutup pintu ruangannya dengan cekatan usai memastikn tidak ada seorang pun yang melihatnya."Surprise!!" ujar Joan dengan senyum sumringahnya, pandangannya pun penuh binar menatap perempuan yang sudah memiliki identitas baru juga wajah baru itu."Surprise apa-apaan ini, Jo? Kenapa kamu tiba-tiba menjadi klien dari Mas Agung? Kenapa kamu tidak mengatakannya kepadaku? Hum?" cecar Althea panjang
Althea telah membulatkan tekadnya untuk membalaskan semua dendamnya, setelah ia dipertemukan kembali dengan mertuanya dulu dan juga sahabat baiknya yang sudah menusuknya dari belakang. Kini Althea melenggang menuju ruangan Agung Permana, di tangannya membawa beberapa berkas yang mesti ditandatangani. Althea perlahan mengetuk pintu coklat tua yang merupakan ruangan Agung Permana. "Masuk!" Althea mendengar suara Agung memintanya masuk dan segeralah ia melenggang ke dalam ruangan Agung tersebut. "Selamat siang, Pak!" "Siang, Althea. Ada apa?" "Ada beberapa berkas yang harus Pak Agung tandatangani," pungkas Althea sembari menyerahkan beberapa berkas yang ada di tangannya itu. "Baiklah." Laki-laki bernama lengkap Agung permana itu pun segera membubuhkan tandatangannya di lembar demi lembar yang Althea serahkan. "Apakah ada lagi, Althea?" tanya laki-laki itu. "Tidak ada, Pak." "Baguslah."Althea manggut-manggut. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." "Tunggu, Althea!" Agung deng
"Apakah kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku?" Suara Vera Indilia yang tanpa permisi seketika menyapa indera pendengaran Althea, menyebabkan perempuan yang tengah berkutat di depan laptop itu tersentak. "Bu Vera?" Althea seketika beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan yang masuk tanpa permisi itu. "Ada perlu apa Bu Vera sampai ke sini?" tanya Althea sopan tetapi malah mendapatkan sambutan yang kurang sedap dari Vera. Perempuan itu malah mendengus tak suka. "Sudah! Tidak perlu basa-basi! Jawab saja pertanyaanku tadi!" titah Vera Indilia dengan ketus. "Kamu sengaja kan menumpahkan kopi di bajuku?" imbuh Vera lagi. Althea seketika menggeleng. "Tidak, Bu. Saya sama sekali tidak sengaja melakukannya," pungkas Althea masih tetap sopan. Halah! Mengaku saja kalau kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku agar aku mendapatkan omelan dari suamiku. Benar kan?" lanjut Vera Indilia kembali berujar dengan nada yang sengit. Althea menghela napasnya panjang, ia memutar
Agung Permana mengetuk pelan pintu sekretarisnya, Althea Agung Permana. Ia sebetulnya cukup gelisah untuk bertemu dengan Althea apalagi setelah kejadian memalukan sebelumnya. Sungguhlah, ia sebagai suami dari Vera Indilia merasa prihatin dengan apa yang terjadi kepada Althea. "Pa-Pak Agung? Pak Agung ada apa repot-repot datang ke ruangan saya? Apakah Bapak butuh bantuan? Biasanya Pak Agung menelepon," pungkas Althea yang kebingungan dengan keberadaan Agung yang tiba-tiba di depan ruangannya itu. Memanglah Agung tak pernah menginjakan kakinya ke ruangan sekretaris dan itulah untuk kali pertamanya ia menginjakan kakinya ke ruangan tersebut. "Boleh saya masuk dulu, saya ingin berbicara denganmu," pungkas Agung. Althea seketika terdiam sepersekian detik sebelum ia menimpali apa yang Agung utarakan. Perempuan itu lantas manggut-manggut mengiyakan usai mencerna apa yang Agung utarakan, "Bo-boleh, Pak." Althea lantas mempersilakan Agung ke dalam ruangan sekretaris miliknya. Perempuan i
"Ini rumah kamu?" Agung Permana berceletuk sembari menoleh ke arah kediaman megah nan luas, bahkan lebih megah dari kediamannya dan sang istri, Vera Indilia. "Em... bisa dibilang begitu, Pak," timpal Althea kemudian mengembangkan senyum tipisnya. Sesaat lalu, Althea hendak beranjak ke kediamannya itu, tetapi perempuan itu tak sengaja berpapasan dengan Agung Permana dan berakhirlah Althea diantar oleh laki-laki itu. Agung Permana pun bersikukuh untuk mengantarkan Althea, untuk menghalau rasa bersalahnya atas apa yang sudah dilakukan istrinya sesaat lalu, mempermalukan Althea di depan umum. Althea sudah menolak permintaan Agung Permana itu, tetapi apa daya? Agung Permana tetap memaksanya dan berakhirlah laki-laki itu mengantarnya pulang. "Pak Agung ingin mampir dulu?" imbuh Althea sembari melepaskan sabuk pengamannya. "Ti-tidak. Lain kali saja, kebetulan ini sudah sore, anak dan istriku pasti merisaukanku karena belum pulang, Al," ujar Agung. "Ah... Pak Agung benar. Kalau begitu t
"Datang juga kamu?" Vera Indilia tersenyum sinis, ketika mendapati kedatangan Althea. Althea memutar bola matanya malas, perempuan itu cukup terkejut ketika melihat Vera Indilia di depan kantor. Althea sama sekali tidak menduga jika ia harus berhadapan dengan Vera Indilia lagi, padahal baru saja sebelumnya Vera Indilia membuat perasaannya runyam. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," lanjut Vera Indilia setelah Althea tiba di hadapannya. Althea mengerutkan keningnya keheranan. "Pasti ada suatu hal yang penting sampai seorang istri CEO perusahaan ini di sini pagi-pagi demi bertemu dengan sekretaris rendahan seperti saya," pungkas Althea dengan berani. Mendengar apa yang dituturkan Alteha, Vera Indilia menarik sudut bibirnya, perempuan itu pun mengeluarkan decihannya kesal. "To the point saja..." Vera Indilia menjeda ucapannya barang sejenak, tatapannya kian tajam pada Althea. "Mundur dari pekerjaan ini," imbuh Vera yang seketika menyebabkan Althea membulatkan manik legamnya. "Janga
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung memijit pelipisnya gusar. Pria itu duduk di kursi kebesarannya, bersandar dan menatap plafon ruangan dengan warna pastel tersebut. Benaknya begitu riuh, memikirkan soal ibunya yang sudah mendekam di penjara dan istrinya yang masih dalam keadaan kritis. Agung benar-benar bingung ingin melakukan apa setelah ini, hidupnya pora-poranda. Suara ketukan pintu ruangannya, membuat lamunan pria itu buyar. "Masuk!" titah Agung setelah memposisikan dirinya dengan baik, tak bersandar dan menatap pada plafon putih ruangannya itu. Pandangan pertama yang Agung lihat yakni Althea. Perempuan itu datang ke ruangan Agung dengan pakaian rapi seperti biasanya. Beberapa berkas juga ada di tangannya. "Selamat pagi, Pak! Saya tidak mengganggu bukan?" Suara Althea menyapa indera pendengaran Agung, begitu teduh dan sopan. Agung menggelengkan kepalanya lirih. Senyum di bibirnya pun terkembang tulus. Setidaknya, Agung masih bisa tersenyum di depan Althea meski benaknya sedang tak karuan. "Ada apa, Alth
"Apa benar ini kediaman Bu Ayu?" Suara dua pria berseragam seketika menyentak Agung Permana dan sang Ibu yang baru saja melenggang ke kediamannya, baru saja keduanya tiba di rumah setelah kembali dari rumah sakit untuk mengunjungi Vera Indilia yang tengah koma. "Be-Benar, ini kediaman Bu Ayu, Pak. Bu Ayu adalah Ibu saya," timpal Agung Permana sedikit terbata setelah beberapa saat terdiam, pasalnya pria itu cukup tersentak dengan keberadaan dua polisi yang ada di kediaman sang ibu dan dirinya. "Kami membawa surat penangkapan untuk Bu Ayu atas laporan pembunuhan kepada mendiang Arum Kenanga," ujar salah satu polisi tersebut sembari menyerahkan surat penangkapan kepada Agung Permana. Agung Permana melebarkan maniknya, pria itu terkejut bukan main dengan apa yang didengarnya. Bukan hanya Agung Permana, tetapi ibunya pun sama. "Apa-Apaan ini, Pak? I-Itu fitnah! Saya yakin sekali itu adalah fitnah. Saya tidak pernah melakukan pembunuhan kepada mendiang menantu saya," ujar perempuan
"Maaf, Pak! Sepertinya istri Bapak mengalami koma," ujar Dokter usai melakukan pemeriksaan terhadap Vera Indilia. Bagai tamparan keras bagi Agung Permana. Pria itu bergitu tersentak hebat, pasalnya tak menduga jika istrinya akan mengalami koma. Sesaat lalu, Agung Permana berniat untuk menceraikan istrinya karena ulah Vera Indilia yang sudah menyebabkan Arum Kenanga tiada. Tetapi segalanya berubah setelah mendengar kabar mengenai Vera Indilia yang mengalami koma. Agung Permana terisak di depan IGD, pria itu benar-benar terpukul dengan apa yang terjadi. "Kenapa semua ini terjadi kepadamu, Vera? Kenapa?" gumam Agung sendu. Agung Permana terisak beberapa saat di depan IGD dan ia membiarkan siapa pun yang berlalu lalang melihatnya dengan penuh iba. Lantas setelah sesaat pria itu tenang, Agung Permana bangkit dari duduknya. Pria itu merogok saku celananya dan segeralah ia ambil ponselnya."Hallo, Andre! Tarik semua berkas perceraianku kepada Vera Indilia. Aku belum bisa menceraikannya,
Berhari-hari setelah Agung Permana mendapatkan berkas dari orang yang tak diketahui itu, ia sudah berusaha menghubungi Vera, istrinya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak membalas dan mengangkat panggilan suaranya. Agung benar-benar kesal dengan hal itu, apalagi setelah ia mngetahui bahwa istrinya menyebabkan kematian Arum Kenanga, istrinya dulu. Agung bahkan meminta asistennya untuk menyelidiki keberadaan Vera Indilia tetapi tak ada satupun yang bisa mengetahui keberadaan istrinya itu. Vera Indilia memang mengatakan bila akan pergi ke Bogor, tetapi tidak ada yang ditemukan di sana. Tok...Tok.... Pintu ruangan Agung Permana diketuk seketika menyebabkan lamunan pria itu. "Masuk!" titah Agung. "Pak," Suara Andre, asisten Agung, seketika menyebabkan lamunan Agung Permana buyar. "Oh, Ndre! Ada apa? Duduklah!" titah Agung. "Apakah ada kabar?" tanya Agung tanpa basa-basi, menanyakan keberadaan sang istri, Vera Indilia. Andre menyerahkan beberapa lembar foto kepada Agung Permana.
Althea mengembangkan senyum tipisnya, perempuan itu begitu bahagia karena berhasil membuat Vera Indilia dilanda cemburu dan hal tersebut merupakan suatu kemajuan baginya. Kini Althea kembali melenggang menuju ke ruangan Agung Permana sembari membawa dua berkas miliknya. Althea mengetuk pintu ruang kerja Agung itu dengan perlahan hingga akhirnya ia dengar suara Agung yang memintanya masuk. "Althea?" Agung bergumam lirih, pria itu menatap Althea begitu lekat apalagi setelah kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya, yakni ketika Agung mencium Althea seperti mencium istrinya dulu, Arum Kenanga. Agung Permana lantas menepiskan semua hal yang terbesit di benaknya itu jauh-jauh, apalagi tentang ciumannya kepada Althea. "A-Ada apa, Althea?" tanya Agung Permana usai berdehem berusaha menetralkan perasaannya meski suaranya sedikit terbata. "Ada kiriman berkas untuk Pak Agung," ujar Althea sembari menyerahkan dua berkas yang ada di tangannya. "Oh? Dari siapa, Althea? A-Aku tidak mendapat
Agung Permana dengan cekatan melepas pagutannya, laki-laki itu cukup tersentak usai mendengar pintu ruangannya diketuk begitu cepat dan saat itulah kewarasannya kembali seperti sedia kala. Ia benar-benar dirundung rasa sesal sekaligus malu setelah melumat bibir Althea, sekretarisnya. "Pa-Pak ta-tadi?" Athea berujar begitu terbata, perempuan itu masih terkejut dengan apa yang Agung Permana lakukan meski debarnya begitu hebat dilanda bahagia. "A-Althea..." Agung gagu ingin berujar apa, laki-laki itu benar-benar canggung bahkan tak berani menatap manik Althea. "Ma-Maafkan aku, Althea. A-Aku benar-benar kehilangan kewarasanku selama beberapa saat. Ka-Kamu mengingatkanku pa-pada Aru..." Tok...Tok...Tok...Suara ketukan pintu kembali menyentak Agung dan Althea, keduanya bahkan menoleh ke arah pintu. "A-Aku akan mengatakannya nanti, Althea. Se-Sekali lagi maafkan aku," pungkas Agung sembari membantu Althea beranjak dari duduknya. "Masuklah!" titah Agung lagi tanpa pikir panjang lagi pa
Agung mengecek ponselnya, ia sudah meminta asisten pribadinya untuk menyelidiki kasus kematian Arum Kenanga beberapa tahun silam. Setelah berbicara dengan Althea waktu itu, Agung tak bisa tenang. Ia memikirkan terus-menerus mengenai kecelakaan yang dialami mendiang istrinya, bahkan kala itu Agung tak melihat jasad sang istri karena telah dimakamkan lebih dahulu sesuai permintaan sang ibu. Saat itu Agung tak ambil pusing, ia tak memikirkan lebih banyak perihal mengapa pemakaman jasad sang istri tidak menunggunya terlebih dahulu. Tetapi, sekarang tiba-tiba Agung memikirkannya apalagi sang ibu yang tidak suka dengan Arum Kenanga, istrinya. "Jika memang benar kematian istriku ini disebabkan oleh Ibuku, apa bisa aku memaafkannya?" gumam Agung kemudian ia mendecih perlahan. Agung lantas ambil foto mendiang Arum Kenanga yang ia sematkan di dalam lacinya. Laki-laki itu mengembangkan senyum tipisnya. "Kalau kamu masih hidup, beri aku petunjuk, Sayang! Beri aku petunjuk di mana kamu sekaran
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan