"Apakah kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku?" Suara Vera Indilia yang tanpa permisi seketika menyapa indera pendengaran Althea, menyebabkan perempuan yang tengah berkutat di depan laptop itu tersentak.
"Bu Vera?" Althea seketika beranjak dari duduknya dan menghampiri perempuan yang masuk tanpa permisi itu.
"Ada perlu apa Bu Vera sampai ke sini?" tanya Althea sopan tetapi malah mendapatkan sambutan yang kurang sedap dari Vera. Perempuan itu malah mendengus tak suka.
"Sudah! Tidak perlu basa-basi! Jawab saja pertanyaanku tadi!" titah Vera Indilia dengan ketus.
"Kamu sengaja kan menumpahkan kopi di bajuku?" imbuh Vera lagi.
Althea seketika menggeleng. "Tidak, Bu. Saya sama sekali tidak sengaja melakukannya," pungkas Althea masih tetap sopan.
Halah! Mengaku saja kalau kamu memang sengaja menumpahkan kopi di bajuku agar aku mendapatkan omelan dari suamiku. Benar kan?" lanjut Vera Indilia kembali berujar dengan nada yang sengit.
Althea menghela napasnya panjang, ia memutar bola matanya singkat. Sudah cukup ia menahan kekesalannya dan sudah cukup pula ia menahan dirinya untuk menahan balas dendamnya. Sepertinya, saat ini adalah saat yang tepat untuk membalaskan secara perlahan-lahan atas apa yang Vera Indilia lakukan kepadanya dahulu kala.
Althea lantas melenggang mengikis jarak antara ia dan Vera. "Jika aku memang sengaja apa yang ingin kamu lakukan?" Althea bersuara penuh penekanan.
Vera membulatkan maniknya, perempuan itu terkejut dengan Althea yang bersuara lebih tinggi dari suaranya. "Ka-Kamu berani...?"
"Kamu berani denganku?" lanjut Vera lagi.
Althea mendengus kesal, perempuan itu melengos ke arah lain sejenak. "Kenapa aku tidak berani? Kamu hanya seseorang tanpa kemampuan apa pun," timpal Althea yang seketika menyebabkan kemarahan Vera Indilia terpantik.
"Beraninya kamu bicara begitu kepadaku??" Vera Indilia mengngkat tangannya hendak melayangkan satu tamparan pada pipi kanan Althea.
Tetapi, dengan cekatan, Althea menahan tangan kanan Vera Indilia yang akan mengarah pada pipinya. Perempuan itu pun melayangkan satu tatapan kesalnya kepada Vera Indilia.
"Jangan pernah menyentuh wajahku dengan tangan kotormu!" tegas Althea, seketika menyebabkan perempuan itu tercekat.
Vera Indilia benar-benar terdiam dengan apa yang diterimanya. Seumur-umur, baru kali pertamanya itulah ia mendapatkan sebuah keberanian dari seorang perempuan, bahkan dari perempuan asing.
Vera merasa harga dirinya jatuh. Ia begitu kesal dengan apa yang diutarakan oleh perempuan itu. Lantas segeralah ia menghempaskan tangannya yang dicengkeraam kuat oleh Althea.
"Sepertinya sekarang aku menemukan lawan yang pas." Vera Indilia mendengus sejenak sedangkan tatapannya tak berhenti pada Althea.
"Aku sama sekali tidak menduga seumur hidupku, aku bisa menemukan perempuan yang berani sepertimu," lanjut Vera Indilia dengan remeh.
Althea tak kalah menatap Vera Indilia dengan tajam, perempuan itu bahkan sama mendengusnya, lantas bersedekaplah dada ia. "Kamu pikir aku adalah lawan yang pas? Mari kita lihat ke depannya Vera Indilia," pungkas Althea dengan berani.
Vera Indilia seketika kembali melebarkan maniknya, perempuan itu kembali shock karena Althea memanggilnya dengan namanya tanpa ada embel-embel "bu" sebagai sebuah kehormatan. Sialan! Vera mengumpat kesal dalam batinnya. Di sisi lain, Vera juga bertanya-tanya dengan siapakah gerangan Althea itu, mengapa perempuan itu bisa seberani itu kepadanya?
Vera Indilia mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha menahan kesalnya. "Awas, kamu!" ancam kecil Vera Indilia, lantas barulah perempuan itu melenggang dari hadapan Althea.
Selepas kepergian Vera Indilia, Althea mendengus kesal. "Kamu belum tahu siapa aku, Vera Indilia. Setelah kamu tahu semuanya, kamu akan terkejut," lirih Althea kesal.
Agung Permana mengetuk pelan pintu sekretarisnya, Althea Agung Permana. Ia sebetulnya cukup gelisah untuk bertemu dengan Althea apalagi setelah kejadian memalukan sebelumnya. Sungguhlah, ia sebagai suami dari Vera Indilia merasa prihatin dengan apa yang terjadi kepada Althea. "Pa-Pak Agung? Pak Agung ada apa repot-repot datang ke ruangan saya? Apakah Bapak butuh bantuan? Biasanya Pak Agung menelepon," pungkas Althea yang kebingungan dengan keberadaan Agung yang tiba-tiba di depan ruangannya itu. Memanglah Agung tak pernah menginjakan kakinya ke ruangan sekretaris dan itulah untuk kali pertamanya ia menginjakan kakinya ke ruangan tersebut. "Boleh saya masuk dulu, saya ingin berbicara denganmu," pungkas Agung. Althea seketika terdiam sepersekian detik sebelum ia menimpali apa yang Agung utarakan. Perempuan itu lantas manggut-manggut mengiyakan usai mencerna apa yang Agung utarakan, "Bo-boleh, Pak." Althea lantas mempersilakan Agung ke dalam ruangan sekretaris miliknya. Perempuan i
"Ini rumah kamu?" Agung Permana berceletuk sembari menoleh ke arah kediaman megah nan luas, bahkan lebih megah dari kediamannya dan sang istri, Vera Indilia. "Em... bisa dibilang begitu, Pak," timpal Althea kemudian mengembangkan senyum tipisnya. Sesaat lalu, Althea hendak beranjak ke kediamannya itu, tetapi perempuan itu tak sengaja berpapasan dengan Agung Permana dan berakhirlah Althea diantar oleh laki-laki itu. Agung Permana pun bersikukuh untuk mengantarkan Althea, untuk menghalau rasa bersalahnya atas apa yang sudah dilakukan istrinya sesaat lalu, mempermalukan Althea di depan umum. Althea sudah menolak permintaan Agung Permana itu, tetapi apa daya? Agung Permana tetap memaksanya dan berakhirlah laki-laki itu mengantarnya pulang. "Pak Agung ingin mampir dulu?" imbuh Althea sembari melepaskan sabuk pengamannya. "Ti-tidak. Lain kali saja, kebetulan ini sudah sore, anak dan istriku pasti merisaukanku karena belum pulang, Al," ujar Agung. "Ah... Pak Agung benar. Kalau begitu t
"Datang juga kamu?" Vera Indilia tersenyum sinis, ketika mendapati kedatangan Althea. Althea memutar bola matanya malas, perempuan itu cukup terkejut ketika melihat Vera Indilia di depan kantor. Althea sama sekali tidak menduga jika ia harus berhadapan dengan Vera Indilia lagi, padahal baru saja sebelumnya Vera Indilia membuat perasaannya runyam. "Aku sudah menunggumu sejak tadi," lanjut Vera Indilia setelah Althea tiba di hadapannya. Althea mengerutkan keningnya keheranan. "Pasti ada suatu hal yang penting sampai seorang istri CEO perusahaan ini di sini pagi-pagi demi bertemu dengan sekretaris rendahan seperti saya," pungkas Althea dengan berani. Mendengar apa yang dituturkan Alteha, Vera Indilia menarik sudut bibirnya, perempuan itu pun mengeluarkan decihannya kesal. "To the point saja..." Vera Indilia menjeda ucapannya barang sejenak, tatapannya kian tajam pada Althea. "Mundur dari pekerjaan ini," imbuh Vera yang seketika menyebabkan Althea membulatkan manik legamnya. "Janga
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung mengecek ponselnya, ia sudah meminta asisten pribadinya untuk menyelidiki kasus kematian Arum Kenanga beberapa tahun silam. Setelah berbicara dengan Althea waktu itu, Agung tak bisa tenang. Ia memikirkan terus-menerus mengenai kecelakaan yang dialami mendiang istrinya, bahkan kala itu Agung tak melihat jasad sang istri karena telah dimakamkan lebih dahulu sesuai permintaan sang ibu. Saat itu Agung tak ambil pusing, ia tak memikirkan lebih banyak perihal mengapa pemakaman jasad sang istri tidak menunggunya terlebih dahulu. Tetapi, sekarang tiba-tiba Agung memikirkannya apalagi sang ibu yang tidak suka dengan Arum Kenanga, istrinya. "Jika memang benar kematian istriku ini disebabkan oleh Ibuku, apa bisa aku memaafkannya?" gumam Agung kemudian ia mendecih perlahan. Agung lantas ambil foto mendiang Arum Kenanga yang ia sematkan di dalam lacinya. Laki-laki itu mengembangkan senyum tipisnya. "Kalau kamu masih hidup, beri aku petunjuk, Sayang! Beri aku petunjuk di mana kamu sekaran
Agung Permana dengan cekatan melepas pagutannya, laki-laki itu cukup tersentak usai mendengar pintu ruangannya diketuk begitu cepat dan saat itulah kewarasannya kembali seperti sedia kala. Ia benar-benar dirundung rasa sesal sekaligus malu setelah melumat bibir Althea, sekretarisnya. "Pa-Pak ta-tadi?" Athea berujar begitu terbata, perempuan itu masih terkejut dengan apa yang Agung Permana lakukan meski debarnya begitu hebat dilanda bahagia. "A-Althea..." Agung gagu ingin berujar apa, laki-laki itu benar-benar canggung bahkan tak berani menatap manik Althea. "Ma-Maafkan aku, Althea. A-Aku benar-benar kehilangan kewarasanku selama beberapa saat. Ka-Kamu mengingatkanku pa-pada Aru..." Tok...Tok...Tok...Suara ketukan pintu kembali menyentak Agung dan Althea, keduanya bahkan menoleh ke arah pintu. "A-Aku akan mengatakannya nanti, Althea. Se-Sekali lagi maafkan aku," pungkas Agung sembari membantu Althea beranjak dari duduknya. "Masuklah!" titah Agung lagi tanpa pikir panjang lagi pa
Althea mengembangkan senyum tipisnya, perempuan itu begitu bahagia karena berhasil membuat Vera Indilia dilanda cemburu dan hal tersebut merupakan suatu kemajuan baginya. Kini Althea kembali melenggang menuju ke ruangan Agung Permana sembari membawa dua berkas miliknya. Althea mengetuk pintu ruang kerja Agung itu dengan perlahan hingga akhirnya ia dengar suara Agung yang memintanya masuk. "Althea?" Agung bergumam lirih, pria itu menatap Althea begitu lekat apalagi setelah kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya, yakni ketika Agung mencium Althea seperti mencium istrinya dulu, Arum Kenanga. Agung Permana lantas menepiskan semua hal yang terbesit di benaknya itu jauh-jauh, apalagi tentang ciumannya kepada Althea. "A-Ada apa, Althea?" tanya Agung Permana usai berdehem berusaha menetralkan perasaannya meski suaranya sedikit terbata. "Ada kiriman berkas untuk Pak Agung," ujar Althea sembari menyerahkan dua berkas yang ada di tangannya. "Oh? Dari siapa, Althea? A-Aku tidak mendapat
Agung memijit pelipisnya gusar. Pria itu duduk di kursi kebesarannya, bersandar dan menatap plafon ruangan dengan warna pastel tersebut. Benaknya begitu riuh, memikirkan soal ibunya yang sudah mendekam di penjara dan istrinya yang masih dalam keadaan kritis. Agung benar-benar bingung ingin melakukan apa setelah ini, hidupnya pora-poranda. Suara ketukan pintu ruangannya, membuat lamunan pria itu buyar. "Masuk!" titah Agung setelah memposisikan dirinya dengan baik, tak bersandar dan menatap pada plafon putih ruangannya itu. Pandangan pertama yang Agung lihat yakni Althea. Perempuan itu datang ke ruangan Agung dengan pakaian rapi seperti biasanya. Beberapa berkas juga ada di tangannya. "Selamat pagi, Pak! Saya tidak mengganggu bukan?" Suara Althea menyapa indera pendengaran Agung, begitu teduh dan sopan. Agung menggelengkan kepalanya lirih. Senyum di bibirnya pun terkembang tulus. Setidaknya, Agung masih bisa tersenyum di depan Althea meski benaknya sedang tak karuan. "Ada apa, Alth
"Apa benar ini kediaman Bu Ayu?" Suara dua pria berseragam seketika menyentak Agung Permana dan sang Ibu yang baru saja melenggang ke kediamannya, baru saja keduanya tiba di rumah setelah kembali dari rumah sakit untuk mengunjungi Vera Indilia yang tengah koma. "Be-Benar, ini kediaman Bu Ayu, Pak. Bu Ayu adalah Ibu saya," timpal Agung Permana sedikit terbata setelah beberapa saat terdiam, pasalnya pria itu cukup tersentak dengan keberadaan dua polisi yang ada di kediaman sang ibu dan dirinya. "Kami membawa surat penangkapan untuk Bu Ayu atas laporan pembunuhan kepada mendiang Arum Kenanga," ujar salah satu polisi tersebut sembari menyerahkan surat penangkapan kepada Agung Permana. Agung Permana melebarkan maniknya, pria itu terkejut bukan main dengan apa yang didengarnya. Bukan hanya Agung Permana, tetapi ibunya pun sama. "Apa-Apaan ini, Pak? I-Itu fitnah! Saya yakin sekali itu adalah fitnah. Saya tidak pernah melakukan pembunuhan kepada mendiang menantu saya," ujar perempuan
"Maaf, Pak! Sepertinya istri Bapak mengalami koma," ujar Dokter usai melakukan pemeriksaan terhadap Vera Indilia. Bagai tamparan keras bagi Agung Permana. Pria itu bergitu tersentak hebat, pasalnya tak menduga jika istrinya akan mengalami koma. Sesaat lalu, Agung Permana berniat untuk menceraikan istrinya karena ulah Vera Indilia yang sudah menyebabkan Arum Kenanga tiada. Tetapi segalanya berubah setelah mendengar kabar mengenai Vera Indilia yang mengalami koma. Agung Permana terisak di depan IGD, pria itu benar-benar terpukul dengan apa yang terjadi. "Kenapa semua ini terjadi kepadamu, Vera? Kenapa?" gumam Agung sendu. Agung Permana terisak beberapa saat di depan IGD dan ia membiarkan siapa pun yang berlalu lalang melihatnya dengan penuh iba. Lantas setelah sesaat pria itu tenang, Agung Permana bangkit dari duduknya. Pria itu merogok saku celananya dan segeralah ia ambil ponselnya."Hallo, Andre! Tarik semua berkas perceraianku kepada Vera Indilia. Aku belum bisa menceraikannya,
Berhari-hari setelah Agung Permana mendapatkan berkas dari orang yang tak diketahui itu, ia sudah berusaha menghubungi Vera, istrinya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak membalas dan mengangkat panggilan suaranya. Agung benar-benar kesal dengan hal itu, apalagi setelah ia mngetahui bahwa istrinya menyebabkan kematian Arum Kenanga, istrinya dulu. Agung bahkan meminta asistennya untuk menyelidiki keberadaan Vera Indilia tetapi tak ada satupun yang bisa mengetahui keberadaan istrinya itu. Vera Indilia memang mengatakan bila akan pergi ke Bogor, tetapi tidak ada yang ditemukan di sana. Tok...Tok.... Pintu ruangan Agung Permana diketuk seketika menyebabkan lamunan pria itu. "Masuk!" titah Agung. "Pak," Suara Andre, asisten Agung, seketika menyebabkan lamunan Agung Permana buyar. "Oh, Ndre! Ada apa? Duduklah!" titah Agung. "Apakah ada kabar?" tanya Agung tanpa basa-basi, menanyakan keberadaan sang istri, Vera Indilia. Andre menyerahkan beberapa lembar foto kepada Agung Permana.
Althea mengembangkan senyum tipisnya, perempuan itu begitu bahagia karena berhasil membuat Vera Indilia dilanda cemburu dan hal tersebut merupakan suatu kemajuan baginya. Kini Althea kembali melenggang menuju ke ruangan Agung Permana sembari membawa dua berkas miliknya. Althea mengetuk pintu ruang kerja Agung itu dengan perlahan hingga akhirnya ia dengar suara Agung yang memintanya masuk. "Althea?" Agung bergumam lirih, pria itu menatap Althea begitu lekat apalagi setelah kejadian yang tak pernah diduga sebelumnya, yakni ketika Agung mencium Althea seperti mencium istrinya dulu, Arum Kenanga. Agung Permana lantas menepiskan semua hal yang terbesit di benaknya itu jauh-jauh, apalagi tentang ciumannya kepada Althea. "A-Ada apa, Althea?" tanya Agung Permana usai berdehem berusaha menetralkan perasaannya meski suaranya sedikit terbata. "Ada kiriman berkas untuk Pak Agung," ujar Althea sembari menyerahkan dua berkas yang ada di tangannya. "Oh? Dari siapa, Althea? A-Aku tidak mendapat
Agung Permana dengan cekatan melepas pagutannya, laki-laki itu cukup tersentak usai mendengar pintu ruangannya diketuk begitu cepat dan saat itulah kewarasannya kembali seperti sedia kala. Ia benar-benar dirundung rasa sesal sekaligus malu setelah melumat bibir Althea, sekretarisnya. "Pa-Pak ta-tadi?" Athea berujar begitu terbata, perempuan itu masih terkejut dengan apa yang Agung Permana lakukan meski debarnya begitu hebat dilanda bahagia. "A-Althea..." Agung gagu ingin berujar apa, laki-laki itu benar-benar canggung bahkan tak berani menatap manik Althea. "Ma-Maafkan aku, Althea. A-Aku benar-benar kehilangan kewarasanku selama beberapa saat. Ka-Kamu mengingatkanku pa-pada Aru..." Tok...Tok...Tok...Suara ketukan pintu kembali menyentak Agung dan Althea, keduanya bahkan menoleh ke arah pintu. "A-Aku akan mengatakannya nanti, Althea. Se-Sekali lagi maafkan aku," pungkas Agung sembari membantu Althea beranjak dari duduknya. "Masuklah!" titah Agung lagi tanpa pikir panjang lagi pa
Agung mengecek ponselnya, ia sudah meminta asisten pribadinya untuk menyelidiki kasus kematian Arum Kenanga beberapa tahun silam. Setelah berbicara dengan Althea waktu itu, Agung tak bisa tenang. Ia memikirkan terus-menerus mengenai kecelakaan yang dialami mendiang istrinya, bahkan kala itu Agung tak melihat jasad sang istri karena telah dimakamkan lebih dahulu sesuai permintaan sang ibu. Saat itu Agung tak ambil pusing, ia tak memikirkan lebih banyak perihal mengapa pemakaman jasad sang istri tidak menunggunya terlebih dahulu. Tetapi, sekarang tiba-tiba Agung memikirkannya apalagi sang ibu yang tidak suka dengan Arum Kenanga, istrinya. "Jika memang benar kematian istriku ini disebabkan oleh Ibuku, apa bisa aku memaafkannya?" gumam Agung kemudian ia mendecih perlahan. Agung lantas ambil foto mendiang Arum Kenanga yang ia sematkan di dalam lacinya. Laki-laki itu mengembangkan senyum tipisnya. "Kalau kamu masih hidup, beri aku petunjuk, Sayang! Beri aku petunjuk di mana kamu sekaran
"Ma-Maksud kamu?" Agung seketika melontarkan pertanyaan atas apa yang ditanyakan Althea kepadanya, laki-laki itu tersentak. "Ya, bisa saja bukan jika istri Pak Agung masih hidup? Saya pernah melihat di film-film banyak orang yang kecelakaannya dipalsukan karena ketidaksukaan kepada menantunya. Ja-Jadi..." "Itu artinya kamu menuduh ibu saya tidak suka kepada Arum Kenanga?" sela Agung seketika menyentak Althea, pandangan Althea pun terkunci pada laki-laki itu. Agung terlihat begitu terpantik amarahnya. Althea tak menimpali barang sejenak dan lebih menajamkan pandangannya. 'Bukankah memang ibu Mas tidak suka denganku?' batin Althea. "Tidak ada yang tahu isi hati seseorang, Pak. Lebih baik Pak Agung pikir-pikir lagi apa yang sebelumnya terjadi sebelum kepergian mendiang istri Bapak," putus Althea. "Saya mengatakan seperti ini karena saya pernah ada di posisi seperti itu dan sangat menyakitkan melihat suami saya sendiri menikah dengan sahabat saya," lanjut Althea penuh penekanan s
Agung Permana menatap resah menatap layar laptopnya padahal jam sudah tengah hari. Sudah semestinya Agung Permana beristirahat tetapi laki-laki itu masih enggan juga. Hingga akhirnya, suara ketukan pintu secara perlahan memecah kefokusannya. “Masuk!” titahnya. Tak lama setelah suara Agung tersebut, Althea melenggang ke dalam ruangan tersebut sembari membawa dua buah berkas di tangannya. Perempuan itu pun mengembangkan senyum manisnya. “Apakah saya mengganggu Pak Agung?” Althea berujar sopan. “Ah... tidak, Althea. Duduklah! Apakah ada yang harus aku tanda-tangani?”“Benar, Pak.” Althea lantas menyerahkan dua berkas yang ia bawa pada Agung Permana.“Apa jadwalku setelah ini, Althea?” Agung bertanya sembari membubuhkan tandatangannya di lembaran yang dibawa Althea. “Setelah jam makan siang, Pak Agung ada temu dengan klien.”“Setelah jam makan siang?” Agung menjeda sejenak ucapannya sembari mengingat-ingat janji temunya. “Astaga!! Kenapa aku bisa lupa.” Agung lantas melirik jam tan