Hari-hari terus bergulir tanpa terasa. Rutinitas Andrio berubah drastis. Dia yang biasanya menghabiskan waktu dengan bekerja dan menemaninya istrinya jalan-jalan kini hanya bisa diam duduk di atas kursi roda. Orang-orang rumahnya, adik-adik mendiang Anjani termasuk Alena terlihat dengan senang hati merawatnya. Mereka bergantian menyuapinya makan. Alena yang memandikannya dengan air hangat, kadang berendam di bath up, kadang hanya mandi dengan di lap kain. Sungguh, walau wajah-wajah mereka terlihat bahagia melakukannya, Andrio justru merasa sedih melihatnya. Dia merasa amat malu sudah menyusahkan orang-orang yang harusnya dia lindungi. Kadangkala Alena mual-mual dan muntah di wastafel. Dulu dia lah yang membantu istrinya, merapikan rambutnya, memijat tubuhnya. Kali ini dia hanya bisa diam melihat istrinya muntah-muntah. Dulu, jika Kenzy menangis di tengah malam dan membuat Alena terbangun, dia lah yang mengalah, meminta Alena tetap tidur dan dia yang mendiamkan Kenzy. Sekarang jik
Sejak hari itu, Andrio tak pernah lagi mengeluh. Dia berusaha menerima keadaannya dengan lapang dada. Tiap kali dia merasa tertekan dan stres dengan keadannya yang dia ingat adalah perkataan Alena. Dan dia tak ingin melihat Alena menangis jika dia mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi melihat perkembangan pada kakinya yang semakin hari semakin membaik. Andrio jadi makin optimis kalau dia secepatnya akan sembuh. Di samping itu selama masa penyembuhan, orang-orang terdekat datang menjenguknya mulai dari keluarganya sendiri--orang tuanya, kedua mertuanya, Alyssa dan Ardi--teman sesama dokter, kerabat dekat, bahkan tetangga. Mereka ikut mendo'akan kesembuhan Andrio membuat Andrio jadi semangat dan optimis. Tanpa terasa waktu terus berlalu. Dua bulan kemudian, kaki Andrio benar-benar sembuh dan dia bisa berjalan kembali seperti semula. Dan dia sudah bisa kembali bekerja di rumah sakit sebagai dokter seperti biasa. Andrio senang dan bahagia sekali mengetahui dirinya akhirnya sembuh seper
Mobil yang Andrio kendarai akhirnya tiba di pelataran halaman dan terus masuk ke dalam garasi. Sebelum turun dari mobil tak lupa dia meraih sesuatu yang terletak di kursi sampingnya lalu menjejalkan benda itu dengan hati-hati ke dalam tas kerjanya yang longgar. Lalu pria itu turun dari mobil sambil menenteng tasnya. Baru saja dia melangkah beberapa langkah menuju pintu, pintu itu tiba-tiba terbuka dan menampakkan sosok Alena. Wanita itu tersenyum menyambutnya. "Assalamu'alaikum ...," ucap Andrio membalas senyumnya. Wanita itu menjawab salamnya dengan wajah berseri-seri. Mereka berdua lalu masuk ke ruang televisi tempat mereka biasa berkumpul. Alena lalu mengambil tas kerja Andrio dan meletakkannya di meja. "Sini aku bukain dasinya." Alena mulai membuka dasi Andrio dengan cekatan. "Capek, ya, Mas. Istirahat dulu sambil kipas-kipas. Duh suamiku mukanya berminyak gitu." Alena mengusap kening Andrio yang mengkilap. "Hmm kamu kok tumben perhatiannya berlebihan gitu? Pasti ada maunya nih
Hari ini hari minggu. Andrio libur, tidak mendapat tugas apa pun di rumah sakit. Karenanya pagi ini Andrio menemani istrinya jalan-jalan keliling komplek sambil membawa kereta bayi Kenzy. Sebenarnya Alena sudah sering mengajak Kenzy jalan-jalan keliling komplek mencari sinar matahari. Hanya saja biasanya Alena selalu membawa Kenzy jalan-jalan sendiri karena Andrio selalu sibuk. Kali ini Alena dan Andrio memakai baju olahraga. "Aku rasanya kayak mimpi akhirnya aku bisa merasakan ini, jalan-jalan bareng sama anak-anak kita, ya, Mas." Alena mengusap perutnya yang sedikit buncit sambil tangan sebelahnya mendorong kereta bayi dan Andrio mengiring di sampingnya. Mereka berkeliling melihat perumahan tetangga. "Kalau dulu kan kita jalan selalu berdua aja." Alena benar-benar tak menyangka dia akhirnya hamil juga. Dan merasakan bagaimana rasanya hamil. Rasanya masih seperti mimpi. "Iya. Alhamdulillah," jawab Andrio sekenanya. Alena melempar pandang ke mana saja sambil terus bercakap-cakap men
"Al, aku ada ide," ucap Andrio kemudian. Bersusah payah dia meyamakan langkahnya dengan istrinya yang berjalan tergesa. "Apa?" Alena menoleh. "Kamu beneran mau mangga itu kan?" "Enggak." Alena kembali menatap ke depan. Andrio menghela napas. "Aku tahu sebenarnya kamu masih pengin kan? Ya itu artinya harus dikabulin dong." "Tapi kan emang nggak bisa." "Kamu tunggu di sini." Langkah Alena terhenti. Dia menoleh. "Kamu mau apa? Jangan aneh-aneh, deh." "Apa pun akan aku lakuin, Al. Kamu tunggu sini, ya. Cukup liat aksiku dengan tenang dan do'akan. Oke, Sayang?" Alena hanya mengangguk patah-patah, walau dia masih belum mengerti apa yang akan suaminya lakukan. Dia melihat Andrio yang sudah berlari-lari kecil kembali ke arah pohon mangga tadi. Alena melihat aksi Andrio dalam diam dan penuh rasa penasaran. "Mas Andrio mau apa, sih?" Andrio lalu terlihat membungkuk memungut sesuatu entah apa lantas melemparkannya ke salah satu mohon mangga yang bergantungan hingga buah itu bergoyang.
Raut wajah Andrio berubah khawatir. "Kamu kenapa nangis?""Aku terharu sama kebaikkanmu, Mas.""Aku kenapa?" Andrio malah heran. Perasaan dia tak melakukan sesuatu yang wah hingga Alena menangis seperti itu."Kamu sampai segitunya bela-belain ambil mangga buat aku. Sampai nekat nyuri. Bayangin kalau tadi ibu-ibu yang punya mangga itu memperpanjang masalah ini. Terus kamu diteriakin maling lalu digebukin warga gimana coba?"Andrio malah tertawa. "Kan aku udah bilang aku nggak nyuri. Kita bayar tadi. Lagian nggak mungkin juga warga gebukin aku gara-gara aku ambil mangga buat istriku yang lagi hamil. Kalau aku jelasin, mereka pasti ngerti, kok." Andrio kemudian mengangguk-angguk. Dia duduk santai di tanah itu."Tapi kan tetap aja ....""Udah ah nggak usah nangis gitu. Sekarang kita pulang aja, yuk, udah mulai panas juga nih. Makan mangga di rumah.""Nggak mau ...." Alena menggeleng. "Kok malah nggak mau? Aku udah bela-belain lho ini masak nggak mau?""Aku udah nggak pengin lagi."Dahi A
Kebahagiaan yang Alena rasakan selama hamil pasang surut. Itu karena mood Alena sendiri yang cenderung berubah-ubah. Entah kenapa akhir-akhir ini dia seringkali merasa takut bahkan overthingking. Terutama tentang bayinya. Seperti takut bayinya tidak tumbuh sehat di dalam perutnya, takut nutrisi bayinya tidak terpenuhi walau dia sudah banyak makan, bahkan dia takut membayangi bayinya cacat alias tidak sempurna. Sampai Alena sering membaca artikel apa saja yang harus dilakukan agar bayinya sehat dan tumbuh sempurna bahkan cantik. Semenjak hamil, Alena juga tidak diizinkan suaminya bekerja. Sekalipun hanya pekerjaan ringan sekadar beres-beres rumah. Alena hanya berdiam diri menjaga kandungannya sebaik-baiknya. Hal itu membuatnya bosan dan akhirnya menemukan hobi baru, yakni membaca novel online. Awalnya, dia melihat promosian novel online itu dari sebuah sosial media. Dan dari promosi itu, dia tertarik untuk membacanya. Ternyata membaca novel online itu seru, mampu menenangkan pikirann
Selama kehamilannya Alena benar-benar diperlakukan bagai ratu oleh orang-orang sekitarnya. Selalu diperhatikan, dilayani, dan tidak diizinkan bekerja meski hanya pekerjaan ringan. Alena sangat bersyukur untuk itu. Dia benar-benar bahagia. Dia mengusap perutnya yang buncit sambil tersenyum. "Ternyata begini, ya, rasanya hamil. Bahagia sekali rasanya ...." Dia lantas teringat lagi dengan percakapan-percakapannya bersama mendiang Anjani dulu. "Kamu hebat, Anjani. Kamu mau menikahi suami orang dengan tujuan memberi keturunan aja. Ya, meski pun pada akhirnya kamu mencintai suaminya saya. Dan sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu. Saya nggak akan bisa sehebat kamu." "Mbak nggak boleh ngomong begitu. Setiap perempuan punya kehebatan masing-masing. Mbak Alena juga hebat, mampu merelakan suaminya menikah lagi. Mbak Alena bahkan mampu bersikap baik pada istri kedua suamimu, Mbak." Dulu dia berpikir tidak akan bisa hamil, tidak akan merasakan sakitnya melahirkan seperti yang Anjani rasakan
"Kamu nggak coba telepon suamimu?" tanya Mama Marissa.Alena hanya menggeleng."Ini Mama telepon dari tadi nggak diangkat-angkat." Wajah Mama Marissa tampak cemas sambil menatap layar ponsel. Hal itu juga menular ke Alena. Alena jadi mendadak khawatir. Kenapa suaminya tidak mengangkat telepon dari mamanya? Apa sengaja karena ingin memberi suprise? Alena masih berusaha berpikir positif."Mungkin masih di jalan kali, Ma." Putra ikut berbicara dan menenangkan."Aneh," gumam Marissa masih menatap layar ponsel. "Bikin khawatir aja ""Jangan mikir aneh-aneh deh, Ma. Berdoa aja semoga Andrio baik-baik aja dan segera sampai. Mungkin terjebak macet di jalan." Lagi sang papa mertua menenangkan istrinya.Mama Marissa hanya diam masih sibuk dengan ponselnya.Ting Tong!Tak lama kemudian terdengar suara bel menggema. Alena langsung menatap mama mertuanya. "Nah itu pasti Mas Andrio, Ma.""Biar saya ya yang bukain pintu," ucap Bi Jum yang kebetulan lewat di depan meja makan."I-iya, Bi," sahut Alena.
Dua jam kemudian masakan Alena dan Bi Jum sudah terhidang rapi di meja makan bak sajian restoran yang siap disantap."Waduh enak nih keliatannya ...." Mama Marissa menatap hidangan makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Oma jadi nggak sabar buat cicipin." Marissa menyengir lebar melirik cucu kesayangannya sudah duduk di kursi makan di sampingnya."Tunggu Papa!" seru balita itu semangat."Iya, Oma ngerti. Kita tunggu Papa dulu ya baru boleh makan?"Si bocah mengangguk antusias.Alena yang mendengar percakapan itu dari ambang pintu dapur hanya tersenyum simpul. Dia lalu teringat sesuatu dan merogoh ponsel di saku celana kainnya lalu perlahan berjalan ke arah ruang tengah. Hendak menelepon suaminya.***Pria itu duduk bersandar di kursi penumpang. Matanya sejak tadi memindai jalanan yang padat akan kendaraan di depannya. Sesekali macet menghampiri membuatnya semakin gelisah saja. Karena hal itu membuatnya makin lama untuk segera sampai ke rumah.Namun, dia tak lupa ada hal lain yang
Dua tahun kemudianDua tahun sejak kepergian Andrio berlalu. Anak-anak mereka telah tumbuh kian besar dan bisa bicara dengan fasih. Hari-hari yang Alena lalui tanpa Andrio memang terasa berbeda. Walau kadang ditemani keluarganya yang membantunya--entah itu ibu mertuanya, mami dan papi. Malam-malam Alena dia lalui dengan tidur sendiri. Masalah-masalah yang menderanya dia hadapi sendiri.Walau hampir setiap hari mereka bertukar kabar melalui chat dan video call-an. Tetap saja Alena merasa berbeda. Dua tahun dia lewati semua penuh kesabaran dan harapan. Sampai tibalah hari ini. Hari di mana Andrio harusnya pulang."Pagi, Mama ...." Terdengar sayup-sayup suara mungil membangunkan, disusul kecupan hangat di pipi. Wanita itu sontak membuka mata. Lantas menoleh ke samping. Wajah balita mungil dan menggemaskan tersenyum menyambutnya.Alena tersenyum. "Pagi juga, Sayang ....""Bangun, Mama.""Iya, ini Mama udah bangun. Sini peluk dulu." Alena meraih badan mungil itu dan mendekapnya penuh cinta
"Suami gue selingkuh, Al ....""Selingkuh gimana, Far? Lo tahu dari mana itu selingkuhannya? Siapa tahu emang cuman teman kan?""Bukan teman, Al. Tapi selingkuhannya. Udah setahun Al, gue sering baca chatingan mereka. Dari chatingannya jelas-jelas mereka ada hubungan spesial. Gue yang lebih tahu.”"Maaf, Far, co-coba sekarang lo cerita yang jelas sama gue ...."Alena sontak memejamkan mata dan menggelengkan kepala kencang-kencang setiap teringat cerita perselingkuhan sahabatnya itu.Waktu Farah memberitahu kalau pernikahannya sedang dilanda perselingkuhan oleh suaminya. Alena syok tak menyangka dan meminta sahabatnya itu bercerita dari awal pertemuannya dengan calon suaminya hingga bagaimana perselingkuhan itu terjadi. Farah mengadu padanya sambil menangis tersedu-sedu.Farah sudah menikah lima tahun lalu yang itu artinya Farah menikah beberapa bulan setelah dia menikah dengan Andrio, tepat mereka kehilangan kontak satu sama lain hingga Alena pun tidak tahu kapan Farah menikah. Farah j
Mereka akhirnya tiba di rumah Alena. Farah begitu kagum melihat rumah Alena sampai-sampai perempuan itu membuka mulut. Rumah sahabatnya itu begitu mewah, bergaya minimalis modern.Dari depan, rumahnya terlihat tinggi dan megah karena berlantai tiga. Dinding dan tiang-tiang rumahnya terlihat kokoh karena dibangun dengan material batu. Dengan jendela lebar dan pintu yang terbuat dari kaca. Langit-langitnya tinggi. Sementara pagarnya terbuat dari besi yang tingginya melebihi kepala orang dewasa. Bahkan ketika dia sudah turun dari mobil itu pun dia masih saja terpana. "Rumah kalian semewah ini?" Farah menatap Alena tidak percaya.Alena tertawa. "Ah, elo mah berlebihan. Rumah lo emangnya nggak semewah ini?"Farah terdiam, mengingat sesuatu. Lebih tepatnya mengingat masa lalu sahabatnya itu. "Ya maksud gue ... Eng, iya Alhamdulillah kehidupan lo sekarang udah sukses dan nyaman banget." Farah tersenyum kaku. "Gue harus banget berterima kasih sama Andrio atas semua ini."Alena mengernyit hera
"Farah?" tebak Andrio lebih dulu membuat Alena menoleh ke suaminya. Ternyata Andrio juga bisa mengenalnya."Iya, gue Farah," sahut perempuan itu kemudian.Alena kembali menatap perempuan yang mengaku Farah itu. Dia melotot tak percaya. "Farah?! Ya ampun!" Alena sontak berdiri. "Gue hampir nggak bisa ngenalin lo tahu, lo berubah banget!" Alena serta-merta memeluk Farah erat-erat. Sementara yang dipeluk juga membalas hal serupa.Mereka saling berpelukan erat. Tubuh kedua wanita itu bahkan bergerak-gerak ke kiri dan kanan karena Alena begitu antusias. Alena kemudian melepas pelukannya. "Apa kabar lo? Kebetulan banget ya kita ketemuan di sini?""Iya, maaf ya gue nggak ada kabar selama ini," jawab Farah. "Iya, nih. Nomor WA lo udah lama nggak aktif, abis itu nggak ada ngasih kabar ke gue juga. Sombong lo.""Bukannya gitu." Farah menyengir terlihat tak nyaman.Alena tertawa. "Iya, iya, gue cuman bercanda kok."Farah lalu menatap Andrio dan anak-anak mereka. "Kalian pada mau ke mana nih?""M
"Pakaian udah, dalaman udah, pembersih muka udah, pomade udah, jam tangan udah, berkas-berkasnya udah, tiket udah, foto-foto aku sama anak-anak juga udah, hmmm apa lagi, ya ...." Alena mengecek barang-barang yang sudah dia masukkan dalam koper Andrio. "Iya semuanya udah beres."Setelah dirasa semuanya sudah lengkap, Alena pun menutup koper itu lalu menyeretnya dekat pintu agar mudah di bawa keluar. Ada dua koper yang siap Andrio bawa. Sebagian besar isinya adalah pakaian dan barang-barang penting.Bersamaan dengan itu, Andrio keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya. Pria itu baru saja selesai mandi, bertelanjang dada dengan handuk kecil melilit pinggangnya, sedangkan handuk kecil lain menyampir di bahunya. "Udah beresin semua? Makasih, ya, sayang," ucapnya saat melihat kesibukan istrinya menata koper. Dia lalu menatap cermin sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.Alena menoleh. "Udah beres. Cepetan pakai bajunya. Udah kusiapin di lemari paling depan," beritahu Alena. "Ak
Malam harinya, Alena gelisah seorang diri di kamar. Anna dalam gendongannya sejak tadi tak berhenti menangis kencang. Kekhawatiran Alena terjawab ketika dia menempelkan jemari di kening si bayi yang terasa sangat panas. "Ya ampun, Nak. Badanmu panas banget ...." Alena berdiri menggendong anaknya, mencoba mendiamkan meski rasanya mustahil karena bayi itu sedang demam tinggi.Alena melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh. Lalu dia meraih ponsel di atas nakas, mengecek pesan dari Andrio, tapi tidak ada.Alena menarik napas, lalu mengembuskannya kembali. Hal itu dia lakukan berkali-kali sampai perasaannya tenang. "Aku nggak boleh panik. Sebaiknya aku cari tahu di g****e pertolongan pertama waktu bayi lagi demam, apa, ya?" Sambil menggendong bayi dengan tangan sebelah, dia mengotak-atik ponselnya.Dia membaca sekilas informasi yang dia dapat dari g****e. Lalu dia menghubungi Bi Jum lewat chat, minta siapkan air hangat dan kain buat kompresan. "Sabar, ya, Nak. Mama siapin air ha
Satu tahun kemudian ...."Kupandang langit penuh bintang bertaburan ... berkelap-kelip seumpama intan berlian ...." Alena bernyanyi kecil sambil mendorong baby stroller, berjalan mengelilingi taman rumah. Di dalam kereta bayi itu ada Anna dan Kenzy.Satu tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari kehidupan Alena dan Andrio selain anak-anak mereka yang sudah tumbuh besar. Alena yang juga sudah terbiasa mengurusi anak-anaknya.Kenzy sudah berusia satu tahun sepuluh bulan, sedangkan Anna berusia satu tahun satu bulan. Kenzy sudah biasa bicara dengan pengucapan yang jelas, sudah mengerti diajak bicara dan sudah bisa berjalan sendiri tanpa dipimpin, sedangkan Anna sudah bisa bicara namun masih tidak jelas pengucapannya, bisa berjalan dengan dipimpin dan bisa mengerti diajak bicara juga."Mau nyanyi apalagi?" tanya Alena pada anak-anaknya. "Lagu kupu-kupu yang lucu mau?""Mau ...," jawab Kenzy sambil mendongak menatapnya, sedangkan Anna hanya menatap ke segala arah."Oke, kita nyanyi lagu