Sementara, Viona tak sedikitpun mampu berbicara. Ia merasa tak punya bahan untuk berkata-kata pada perempuan itu. Semua sudah diwakilkan oleh Dion. Selama gadis muda itu mempresentasikan rancangannya, Viona dapat merasakan bahwa, gadis itu adalah gadis yang sangat cerdas dan mempunyai daya tarik yang sangat luar biasa. Tatapannya mampu meluruhkan siapa saja yang memandang di mata indah berbulu lebat dan lentik itu. Ketika ia bertanya tentang pendapat Dion, Viona merasakan, sebuah rasa asing di kalbunya. Ia sedikit tidak menyukai senyum manis yang tercetak indah di bibir sensual wanita cantik itu. Walau ia tahu, Dion tidak begitu acuh tentang pesona yang di miliki wanita itu. Namun, tetap saja, ia merasa sesuatu yang begitu ia takutkan.
“Okey! Saya rasa semua sudah clear. Tinggal pelaksanaan saja. Ohya, Pak Dion, sebagai deal-nya kerja sama ini, saya harap Bapak mensyahkan akad kita. Tolong tanda tangangi surat ini dan mohon kirimkan uang jadinya kesepakatan. Nanti akan saya kirimkan rekap biayanya. Karena, untuk dekorasi, ini diluar kesepakatan kita sebelumnya,” ucapnya kemudian pada Dion.
“Oh, okey! Saya akan mentransfer uang muka nanti setelah berkas saya terima. Selanjutnya akan dibereskan saat semua pekerjaan selesai,” sambung Dion. Gadis yang terlihat masih muda itu tersenyum.
“Terima kasih, Bapak Dion!” ucapnya sambil kembali mengulurkan tangan lembutnya yang putih dan tersenyum pada Dion. Dion menyambutnya dengan senyuman. Lalu, gadis itu menyalami Viona dan berlalu setelah mengangguk pada Dion dan Viona. Melangkah anggun meninggalkan teras menuju mobilnya yang terparkir di sebelah mobil Dion.
Dion menatapi kepergian gadis itu hingga ia memasuki mobilnya. Hingga, mobil Honda Civic merah itu menghilang di balik pagar, melaju tenang di aspal.
“Vie, bagaimana? Kira-kira kamu setuju dengan pendapat Mbak Verille tadi, ‘kan? Atau ada yang mau kamu ubah?” tanya Dion kemudian. Padahal, Viona sempat kecewa dengan pertanyaan itu. Mengapa Dion baru mempertanyakan pendapatnya setelah ia menerima semua usulan Verille tadi? Bukankah tadi ia bilang, dialah permaisuri penghuni istana ini. Maka, dekor yang akan di lakukan sesuai dengan pintanya. Faktanya, semua pendapatnya tidak dibutuhkan. Jangannya menjadi tukang ide tunggal. Bahkan, ia tak mempunyai pendapat sama sekali tadi saat bersama Verille. Ah, sudahlah! Rintihnya.
Ia tidak ingin mempersoalkan itu pada Dion. Ia tak mau hubungan harmonis mereka hancur gara-gara itu. Viona pun menjawab pertanyaan Dion dan mengabaikan kata hati yang berbisik jahat di kalbunya.
“Udah, Mas! ‘Kan udah deal, juga? Ia memang cantik dan pinter,” ucapnya kemudian sambil menoleh ke halaman. Kening Dion mengernyit mendengar kalimat Viona.
“Lho, apa hubungannya antara dia cantik dan pinter sama cocok atau enggaknya dekorasi , Vie?” tanya Dion mengejutkan lamunan Viona. Viona menoleh setelah sadar ucapannya barusan ngelantur.
“Eh, enggak! Maksudku, ia memang pinter dalam mendekor, bisa membayangkan hal yang kira-kira tepat di padukan.” Dion menghempaskan napas kasar.
“Namanya juga Dekorator, ya harus pinterlah! Makanya, orang mau bayar ia mahal,” sahut Dion. Viona tersenyum samar.
“Udah, ah! Yuuk! Mas mau ajak kamu makan siang di suatu tempat. Kata teman-teman di sana menunya enak-enak. Suasananya romantis. Mas ingin menikmati makan kita di sana,” ucap Dion sambil menggenggam jemari Viona.
“Mas, apa nggak sebaiknya kita makan di rumah saja? Aku tadi masak banyak, lho!” sanggah Viona.
“Biar aja. Anggap hari ini hari kita,” ucap Dion. Viona akhirnya mengalah dan mengikuti langkah suaminya ke mobil yang terparkir di halaman.
“Mas kami pulang dulu, ya?” ucap Dion pada salah seorang pekerja yang disambut orang itu dengan acungan tangan ke udara. Viona duduk dengan patuh ketika Dion membukakan pintu samping kemudi. Kemudian, mobil pun melaju di jalanan sepi itu memasuki pusat kota.
***
Di sebuah restaurant yang cukup besar dan ramai, Dion dan Viona duduk di salah satu sudut ruangan. Dion menyantap makanan dengan lahapnya. Sementara, Viona menyuap makanannya dengan pelan dan santai.
“Kenapa? Kamu nggak selera? Apa nggak seenak makananmu di rumah?” tanya Dion menggoda Viona. Viona menoleh.
“Nggak lah, Mas! Masakannya enak, kok!” sahutnya sambil tersenyum tipis.
“Ya, udah, Makan! Ngapain bengong?” Viona menghempas napas dan menyuap makanannya pelan.
“Mas, kau benar tidak tertarik kalau melihat wanita secantik dan semuda Mbak Verille tadi?”
Suapan Dion terhenti seketika. Ia menoleh kaget pada Viona. Lalu, menahan kekehannya mengejek wanita itu.
“Jadi, ceritanya kamu cemburu?” Viona membelalak dengan raut memerah.
“Nggak! Nggak juga, sih! Cuma ….”
“Udah, bilang saja kamu cemburu!” ucap Dion sambil menatap iris coklat Viona yang terkesan malu.
“Aku bilang enggak, Mas! Aku tahu Mas itu nggak mudah jatuh cinta,” jawab Viona menutupi rasa malunya karena perasaannnya diketahui Dion.
“Siapa sih, yang nggak tertarik sama gadis keg dia! Dia cukup menawan. Tubuhnya tinggi, cantik dan cerdas,” sahut Dion sambil terus menyuap santapannya. Viona mulai tercekat. Ia merasa sulit menelan salivanya sendiri. “Enak juga tuh kalau punya anak dari dia,” sambung Dion dengan raut seakan menerawang, seakan sedang menghayalkan sesuatu yang indah. Hal itu membuat raut Viona berubah drastis. Ia menekur sambil memotong makanannya dengan pelan. Wajahnya terlihat murung.
“Mas serius? Kalau rasanya Mas mulai tertarik dengan wanita lain, ya udah! Mas bisa ninggalin aku saja. Asal jangan bohongi aku kayak Mas Divo. Aku nggak kuat, Mas.”
“Ha … ha … ha!” Gelak tawa Dion pun pecah, membuat beberapa orang menoleh pada mereka.
“Kenapa tertawa?” tanya Viona. “Mas senang melihat aku begini?”
Dion kembali terkekeh.
“Beneren cemburu nih kayaknya. Makanya, kasih aku seorang bayi yang lucu!” ucap Dion sambil meraih sepotong cumi dari dalam piring yang ada di hadapannya. Ia tidak acuh pada Viona yang membelalak menatapnya.
Padahal, ia sedikitpun tidak terpikir lagi tentang gadis pendekor itu. Namun, entah mengapa ia masih saja betah mempermainkan Viona.
Viona yang tidak mengetahui sama sekali apa yang Dion pikirkan, menghentikan gerakannya dan meletakkan sendok serta garpu pelan di piring. Ia menatap Dion dengan tatapan sayu.
“Mas memang niat mencari perempuan lain dengan alasan ini? Mas sengaja mencari alasan yang enggak bisa aku luluskan!” Dion masih tak peduli dan tetap menyuap makanannya tanpa menoleh sedikitpun pada Viona.
“Enggaklah! Cuma Mas benar-benar mau anak, Vie. Kamu enggak mau kan suamimu yang ganteng ini di raih wanita lain?” tanyanya lagi tanpa menyerah.
“Mas serius?”
“Ya, iyalah! Serius ini. Mas ingin punya baby dari kamu Viona, anak kita!” tekan Dion.
“Nggak, yang aku maksud tentang wanita itu,” ucap Viona. Kali ini Dion yang menghentikan gerakannya dan menatap Viona.
“Masa bodo sama wanita cantik! Mas cuma pengen punya anak. Kangen direcokin anak kecil yang bisa Mas bawa bermain. Bayu dan Kanaya sudah besar, mereka tentunya tidak bisa bermain seperti dulu lagi.”
Viona terpekur. Hatinya melemah. Ia paham, suaminya itu benar-benar sangat merindukan serang bayi di antara mereka. Viona terdiam dengan wajah sedih, Dion pun akhirnya hiba juga. Ia mengusap punggung tangan Viona lembut.
“Kamu bisa memikirkannya dulu. Masih banyak waktu, kok!” ucapnya kemudian.
Usai menikmati makannya, Viona dan Dion pun beranjak pergi dari tempat itu. Dion berhenti di meja kasir. Sementara, Viona yang masih terganggu dengan permintaan Dion terus melangkah ke luar dari resto sambil menekur, memikirkan ucapan Dion yang terkesan serius. Hingga tanpa sadar, tubuhnya membentur sesosok lelaki bertubuh tegap. Lelaki itu kaget dan membuka kaca matanya sesaat menatap Viona yang ternganga.
Viona mengangkat wajahnya. Dua netranya membulat dan wajahnya memucat karena terkejut, menyadari telah menabrak seseorang. Tanpa sempat melihat wajah orang itu saat sunglasses-nya terbuka, Viona menunduk minta maaf padanya. Lelaki yang ditemani beberapa lelaki bertubuh kekar dan berseragam berwarna gelap itu terdiam kaku menatap Viona. Sebuah senyum tersunging di bibirnya.
“Maaf, Anda harus hati-hati, Nyonya. Anda telah menabrak Tuan kami,” ucap salah satu lelaki yang mengiringi lelaki itu. Viona kembali lebih menunduk dan meminta maaf. Lalu, beringsut ke samping untuk memberi jalan pada rombongan berwajah dingin itu.
Beberapa detik terpaku, lelaki itu melangkah melewati Viona tanpa kata, meninggalkan Viona yang masih menunduk.
“Kenapa?” tanya Dion saat sudah berada di dekat Viona.
“Aku tidak sengaja menabrak lelaki itu, Mas. Dan aku minta maaf?” sahut Viona. Dion ikut ikut melirik sosok lelaki yang membelakangi dan makin menjauh dari tempatnya berdiri itu. Ia Cuma dapat melihat rombongan lelaki berpakaian hitam. Salah satunya berpakaian sedikit cerah. Sepertinya, ia adalah pimpinan rombongan itu. Terlihat dari cara arogan orang itu melangkah yang diiringi oleh yang lainnya.
“Kamu kan sudah minta maaf. Ya sudah! Ayo! Kita pulang,” ajaknya sambil membawa Viona pergi dari tempat itu. Viona mengikuti berusaha mengiringi langkah kaki Dion yang berlangkah besar.
***Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Dion sudah siap untuk berangkat ke kantor seperti biasanya. Namun, ia harus tetap melakukan kegiatan rutin keluarga, yaitu sarapan bersama. Seberapa harus cepatnya ia ke kantor, Dion tidak pernah mengabaikan kegiatan satu itu. Karena, selain cuma waktu makan bersamalah ia bisa bertegur sapa dengan seluruh anggota keluarga secara sempurna, ia juga tidak ingin mengecewakan Viona yang selalu dengan senang hati menyiapkan sarapan pagi untuknya dan keluarga kecil mereka.“Pagi, Sayang!” ucap Dion menyapa Viona pagi itu. Kebetulan, kali ini ia lebih cepat selesai berberes-beres. Jadi, bisa turun lebih cepat dari biasanya. Ketika baru muncul di ruang makan, ia sudah melihat Viona yang sedang menyajikan dan menata makanan di meja. Serta-merta ia melayangkan sebuah kecupan di pelipis isterinya itu. Viona yang memang karakter wanita yang suka menyenangkan hati suami, menyambutnya dengan senyum bahagia. Tentu saja tidak di hadapan Bu Widia dan Kanaya.
Bab 1 Rumah BaruAngin sejuk berhembus menerpa pepohonan. Semilir derunya menggugurkan helai dedaunan yang jatuh di aspal. Di kejauhan sebuah mobil CR-V hitam melaju tenang. Kemudian, berbelok di persimpangan, melambat di depan sebuah pagar besi dengan tembok tinggi yang melingkari halamannya.Di balik pagar, berdiri kokoh sebuah rumah berlantai tiga yang belum sepenuhnya rampung. Bahkan, beberapa pekerja masih sibuk memaksimalkan penyelesaiannya. Beberapa material tergeletak di halaman yang dipenuhi pohon palem yang masih kecil-kecil itu.Seorang lelaki tampan tersenyum di balik kemudi. Ia melirik pada wanita yang duduk anggun di sampingnya. Mobil memasuki gerbang yang pagarnya terbuka lebar. Lalu, berhenti tepat di depan bangunan. Dion menatap Viona syahdu.‘Ini rumah kita! Sebentar lagi kita akan pindah ke sini,” ucapnya sambil menatap mesra wanita cantik berhijab di sampingnya. Lelaki gagah itu turun dari mobil dan melangkah santai ke sisi lainnya. Lalu, membukakan pintu buat Vio
Bab 2Aku Ingin Punya AnakTiba-tiba sesosok tubuh sudah ada di belakang Viona. Lelaki bertubuh tegap tinggi itu mendekap Viona dari belakang. Ia menatap lautan sambil tersenyum. Vona terperanjat. Ia menoleh ke arah suara dan tersenyum saat mendapati Dion sudah berada di belakangnya. Wajah tampan itu menghadirkan segala kehangatan buat Viona. Bisikan itu membuat ia terbuai dalam rasa syahdu. Kehangatan tubuh Dion yang menempel di punggungnya, membuat Viona seketika memejamkan dua netranya sesaat. Ia hanyut dalam rasa damai dalam pelukan Dion.Sejak mereka hidup bersama, Viona memang merasakan kebahagiaan luar biasa. Ia semakin cantik dan berbinar, meski usianya kini tidak muda lagi. Dion adalah suami terbaik yang pernah Viona miliki. Ia sangat paham bagaimana cara membahagiakan seorang isteri. Viona benar-benar merasa hidupnya sangat sempurna bersama Dion. Hari-hari yang ia lewati tak pernah luput dari rasa bahagia.Viona merapatkan punggungnya ke dada lelaki itu. Lalu, kembali mena
Bab 3“Salah satu yang paling Mas suka darimu adalah kamu yang begini, Vie. Mas suka sikap manjamu,” ucapnya dengan suara pelan di sisi telinga Viona. Lalu, ia kembali mengecup pelipis wanita itu.“Katanya nggak ngaruh, tapi bilang nggak bisa melupakan. Nggak nyangka ternyata seorang Dion itu juga munafik!” ejek Viona sambil memutar bola mata. Dion tersenyum.“Soalnya ‘kan Mas tahu apapun tentang kamu. Makanya, tenang aja,” sahut Dion.“Ih, curang!” Dion kembali tergelak di samping Viona.Beberapa saat suasana hening. Mereka larut dengan rasa kasih antara satu dengan yang lainnya.“Mas, janji, ya?”“Janji apa?”“Mas nggak akan menduakan aku sampai kapanpun,” ucap Viona.“Boleh! Asal ada syaratnya!” ucap Dion dengan gaya santai. Spontan Viona berbalik dan menatap Dion.“Kok pakai syarat? Syarat apa?” tanya Viona sambil mengerutkan keningnya. “Beri aku seorang bayi dari rahim kamu!” ucap Dion mantap sambil menatap netra Viona. Viona terdiam beberapa saat dengan dua netra melebar. Ia ti
***Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Dion sudah siap untuk berangkat ke kantor seperti biasanya. Namun, ia harus tetap melakukan kegiatan rutin keluarga, yaitu sarapan bersama. Seberapa harus cepatnya ia ke kantor, Dion tidak pernah mengabaikan kegiatan satu itu. Karena, selain cuma waktu makan bersamalah ia bisa bertegur sapa dengan seluruh anggota keluarga secara sempurna, ia juga tidak ingin mengecewakan Viona yang selalu dengan senang hati menyiapkan sarapan pagi untuknya dan keluarga kecil mereka.“Pagi, Sayang!” ucap Dion menyapa Viona pagi itu. Kebetulan, kali ini ia lebih cepat selesai berberes-beres. Jadi, bisa turun lebih cepat dari biasanya. Ketika baru muncul di ruang makan, ia sudah melihat Viona yang sedang menyajikan dan menata makanan di meja. Serta-merta ia melayangkan sebuah kecupan di pelipis isterinya itu. Viona yang memang karakter wanita yang suka menyenangkan hati suami, menyambutnya dengan senyum bahagia. Tentu saja tidak di hadapan Bu Widia dan Kanaya.
Sementara, Viona tak sedikitpun mampu berbicara. Ia merasa tak punya bahan untuk berkata-kata pada perempuan itu. Semua sudah diwakilkan oleh Dion. Selama gadis muda itu mempresentasikan rancangannya, Viona dapat merasakan bahwa, gadis itu adalah gadis yang sangat cerdas dan mempunyai daya tarik yang sangat luar biasa. Tatapannya mampu meluruhkan siapa saja yang memandang di mata indah berbulu lebat dan lentik itu. Ketika ia bertanya tentang pendapat Dion, Viona merasakan, sebuah rasa asing di kalbunya. Ia sedikit tidak menyukai senyum manis yang tercetak indah di bibir sensual wanita cantik itu. Walau ia tahu, Dion tidak begitu acuh tentang pesona yang di miliki wanita itu. Namun, tetap saja, ia merasa sesuatu yang begitu ia takutkan. “Okey! Saya rasa semua sudah clear. Tinggal pelaksanaan saja. Ohya, Pak Dion, sebagai deal-nya kerja sama ini, saya harap Bapak mensyahkan akad kita. Tolong tanda tangangi surat ini dan mohon kirimkan uang jadinya kesepakatan. Nanti akan saya kirimkan
Bab 3“Salah satu yang paling Mas suka darimu adalah kamu yang begini, Vie. Mas suka sikap manjamu,” ucapnya dengan suara pelan di sisi telinga Viona. Lalu, ia kembali mengecup pelipis wanita itu.“Katanya nggak ngaruh, tapi bilang nggak bisa melupakan. Nggak nyangka ternyata seorang Dion itu juga munafik!” ejek Viona sambil memutar bola mata. Dion tersenyum.“Soalnya ‘kan Mas tahu apapun tentang kamu. Makanya, tenang aja,” sahut Dion.“Ih, curang!” Dion kembali tergelak di samping Viona.Beberapa saat suasana hening. Mereka larut dengan rasa kasih antara satu dengan yang lainnya.“Mas, janji, ya?”“Janji apa?”“Mas nggak akan menduakan aku sampai kapanpun,” ucap Viona.“Boleh! Asal ada syaratnya!” ucap Dion dengan gaya santai. Spontan Viona berbalik dan menatap Dion.“Kok pakai syarat? Syarat apa?” tanya Viona sambil mengerutkan keningnya. “Beri aku seorang bayi dari rahim kamu!” ucap Dion mantap sambil menatap netra Viona. Viona terdiam beberapa saat dengan dua netra melebar. Ia ti
Bab 2Aku Ingin Punya AnakTiba-tiba sesosok tubuh sudah ada di belakang Viona. Lelaki bertubuh tegap tinggi itu mendekap Viona dari belakang. Ia menatap lautan sambil tersenyum. Vona terperanjat. Ia menoleh ke arah suara dan tersenyum saat mendapati Dion sudah berada di belakangnya. Wajah tampan itu menghadirkan segala kehangatan buat Viona. Bisikan itu membuat ia terbuai dalam rasa syahdu. Kehangatan tubuh Dion yang menempel di punggungnya, membuat Viona seketika memejamkan dua netranya sesaat. Ia hanyut dalam rasa damai dalam pelukan Dion.Sejak mereka hidup bersama, Viona memang merasakan kebahagiaan luar biasa. Ia semakin cantik dan berbinar, meski usianya kini tidak muda lagi. Dion adalah suami terbaik yang pernah Viona miliki. Ia sangat paham bagaimana cara membahagiakan seorang isteri. Viona benar-benar merasa hidupnya sangat sempurna bersama Dion. Hari-hari yang ia lewati tak pernah luput dari rasa bahagia.Viona merapatkan punggungnya ke dada lelaki itu. Lalu, kembali mena
Bab 1 Rumah BaruAngin sejuk berhembus menerpa pepohonan. Semilir derunya menggugurkan helai dedaunan yang jatuh di aspal. Di kejauhan sebuah mobil CR-V hitam melaju tenang. Kemudian, berbelok di persimpangan, melambat di depan sebuah pagar besi dengan tembok tinggi yang melingkari halamannya.Di balik pagar, berdiri kokoh sebuah rumah berlantai tiga yang belum sepenuhnya rampung. Bahkan, beberapa pekerja masih sibuk memaksimalkan penyelesaiannya. Beberapa material tergeletak di halaman yang dipenuhi pohon palem yang masih kecil-kecil itu.Seorang lelaki tampan tersenyum di balik kemudi. Ia melirik pada wanita yang duduk anggun di sampingnya. Mobil memasuki gerbang yang pagarnya terbuka lebar. Lalu, berhenti tepat di depan bangunan. Dion menatap Viona syahdu.‘Ini rumah kita! Sebentar lagi kita akan pindah ke sini,” ucapnya sambil menatap mesra wanita cantik berhijab di sampingnya. Lelaki gagah itu turun dari mobil dan melangkah santai ke sisi lainnya. Lalu, membukakan pintu buat Vio