Tahun 2100, alam tak lagi ramah akibat tangan-tangan serakah yang menghisap habis kekayaan dan sumber daya bumi. Pemanasan global, kejahatan yang merajalela dan tingginya polusi udara membuat populasi manusia makin menurun.
Di tengah hiruk-pikuk dan carut-marutnya dunia, di daerah sekitar lintang khatulistiwa, seorang anak laki-laki kecil mengais tong sampah di belakang sebuah restoran. Sarung tangan woolnya sudah berlubang di sana-sini, namun dia tak peduli hingga dia menemukan apa yang dicari. Sebuah burger yang masih terlihat baru dan bersih, terselip di antara tumpukan sisa-sisa makanan. Diusapnya dengan penuh kasih sayang burger keju itu, lalu dimakannya lahap.
"Devon!" sebuah suara wanita yang sudah dihapalnya berteriak nyaring. Devon menoleh dan meringis.
"Maafkan aku, Bu! Aku lapar!" ujarnya memelas.
"Jangan ulangi lagi! Itu yang terakhir kalinya kau memakan makanan sisa! Mulai besok kita akan makan enak!" seru ibunya.
Mata hijau bocah kecil itu membulat. "Ibu, ibu sudah berhasil mendapatkan pekerjaan?" tanyanya antusias.
"Ya! Ibu sudah mendapat separuh gaji di muka! Kita bisa membeli cukup gandum untuk seminggu ke depan. Sekarang usap mulutmu dan bantu ibu mengirim barang pada pelanggan!" titah ibunya, tanpa senyum lembut khas seorang wanita.
Tanpa senyum lembut, tapi penuh cinta. Gelombang cintanya terpancar dari tatapan mata dan usapan halus di puncak kepala Devon. "Kau harus kuat! Tunjukkan pada ayahmu yang tak bertanggung jawab itu bahwa kita kuat dan bisa hidup tanpanya!" ujar wanita itu datar.
Dari kejauhan, dari balik jendela di lantai dua sebuah gedung kosong, seorang pria berwajah mirip bocah kecil yang berjalan riang bersama ibunya, sedang awas mengamati tingkah laku keduanya. Terdengar helaan napas berat dari laki-laki itu. "Maafkan aku, Violet! Semoga kau bisa membawa anak kita pergi jauh dari sini," gumamnya pelan.
"Tuan Anka Hadar, Ketua Ordo sudah menunggu kedatangan anda," tiba-tiba saja seorang laki-laki bersetelan hitam sudah berada di belakang, menepuk bahunya pelan.
Pria dengan panggilan Anka Hadar itu menoleh dan mengangguk, "Orion sudah siap?"
"Siap lepas landas, Tuan," jawabnya penuh hormat sembari membungkukkan punggungnya.
Anka Hadar kembali mengangguk dan bergegas ke luar ruangan, menaiki tangga darurat hingga ke atap gedung. Orion, sebuah aerocar, mobil terbang paling mutakhir yang dirakit khusus untuk dirinya, mengawang gagah menunggu untuk ditunggangi.
Pria berpakaian necis itu memasuki kendaraannya dengan gagah. Sebelum menutup pintu, lelaki bersetelan hitam kembali mendekatinya dan mengatakan sesuatu, "Ketua Ordo berharap segala berkas kepindahan anda ke Antartika sudah selesai. Anda bisa langsung segera bekerja hari ini juga."
"Semua sudah beres! Aku sudah menghapus identitasku di wilayah ini, jika itu yang majikanmu maksud," tajam sorot mata Anka Hadar pada lawan bicaranya.
Anka Hadar menekan ibu jarinya pada alat pemindai yang terletak di samping pusat kemudi dan tak lama kemudian, pintu tertutup. Orion naik ke ketinggian dan melesat secepat kecepatan suara.
Pria yang tampak begitu tegas dan berwibawa itu mengarahkan pandangan ke luar jendela. Di bawah, tampak hamparan putih dataran es. Tak sampai setengah jam, dia tiba di wilayah kekuasaan Ordo Dark Shadows, Antartika. Orion kesayangannya, selain sanggup melaju dengan kecepatan suara, ia juga bisa melakukan gerak loop, yaitu gerak lompat dari satu ruang waktu menuju ruang waktu yang lain, semacam gerak teleportasi jarak dekat. Kini, semakin jauh ia dari belahan jiwanya, Violet dan anak laki- laki semata wayangnya, Devon.
Orion sudah menentukan titik pendaratan. Anka Hadar mengencangkan sabuk pengamannya sebelum goncangan sedikit kencang itu terjadi. Mobil terbang pintar itu mengeluarkan empat rodanya dari bawah bodi. Sedikit keras menjejakkan bannya di atas permukaan es. Segera, Anka mengubah Orion menjadi sistem kemudi darat. Dia melajukan aero car kesayangan lurus ke arah gunung es beberapa ratus meter di depan. Tepat di bawah kaki gunung, lampu depan Orion mengeluarkan cahaya merah, menembus lapisan salju yang menutupi gunung.
Salju itu perlahan menguap, dinding besi raksasa muncul dari baliknya. Lampu depan Orion kembali menyala, lalu satu ruas dinding bergerak ke atas, membuka jalan untuk Orion bergerak masuk. Dengan kecepatan sedang, Anka mengemudikan mobilnya memasuki salah satu dari sekian banyak deretan tabung raksasa berwarna biru transparan. Tabung itu berfungsi sebagai elevator untuk membawanya ke Restriction Hall. Sebuah ruangan besar rahasia yang menjadi pusat komando Ordo Dark Shadows.
Sesampainya di sana, para petinggi Ordo sudah bersiap menyambut Anka. Sepatu hitam mengkilap Anka menimbulkan bunyi saat bertemu dengan lantai titanium Hall. Puluhan pria berjas hitam berdiri membungkuk menyambut kedatangannya, berjejer rapi di sisi kiri dan kanan jalurnya berjalan.
Segala kharisma, ketegasan dan kekuatan diri terpancar dari tubuh tegapnya. Tak ada seorangpun di ruangan besar itu yang tak tersedot oleh aura seorang Anka Hadar, termasuk para tetua Ordo yang berjumlah lima orang yang sudah duduk melingkar di meja bundar.
"Hadar!" seru seorang tetua, bertubuh kurus, berkulit putih pucat dan keriput. Dia tampak memicingkan mata menangkap sosok Anka yang berdiri beberapa meter di depannya. Bola mata tetua itu berwarna putih keseluruhan, seakan tak memiliki iris.
"Kesalahanmu begitu fatal. Kami sudah akan membunuhmu dan keluargamu kalau saja kami tak ingat kedudukan dan kekuatanmu di sini. Tapi, semua kejahatanmu yang tercatat di Buku Inti, akan kami hapuskan sampai habis tak tersisa jika kau berhasil menjalankan misi yang kami perintahkan padamu," ujar Tetua sembari mengelus jenggot tipisnya yang memutih dan meruncing.
"Apapun itu, Ketua! Saya siap," Hadar membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan.
"Bagus!" sang tetua kembali duduk. "Seperti yang kau tahu, Organisasi Black Emperors sedang bermasalah. Salah satu ordo diidentifikasi akan melakukan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Kaisar Agung. Adalah tugasmu, untuk menyelidiki ordo manakah yang berkhianat, sekaligus menghancurkan mereka. Tumpas segala sesuatu yang membahayakan kekuasaan sang Kaisar Agung!"
"Saya mengerti, Ketua! Saya akan menyelesaikan tugas ini dengan baik," jawab Anka seraya membungkukkan badannya lebih dalam lagi sebelum akhirnya berbalik meninggalkan markas rahasia yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun itu.
Tanpa sadar, wajah berwibawa itu menyeringai teringat kalimat yang sudah dilontarkan oleh tetua. Kejahatan? Satu-satunya kejahatan yang ia lakukan adalah jatuh cinta pada seorang rakyat biasa. Wanita cantik bernama Violet Caseia yang sudah mengubah hati hitamnya menjadi lebih berwarna, hingga melahirkan seorang bayi laki-laki yang begitu mirip dirinya.
Anka menghela napas panjang. Dia kembali teringat pada anak laki-lakinya yang akan memasuki usia 10 tahun bulan depan. Anak yang membawa kode rangkaian genetik spesial yang diturunkan olehnya sebagai ayah kandung. Rangkaian DNA yang berbeda dari manusia normal.
Siap atau tidak, kelak Devon akan menggantikan tempatnya. Anak yang teramat disayanginya itu akan mengalami nasib yang sama seperti dirinya, menyerahkan seluruh jiwa raga untuk patuh seumur hidup pada Dark Shadows.
Bumi sudah kehilangan keindahannya. Yang tersisa hanyalah tanah-tanah gersang dan bukit-bukit tandus. Negara-negara besar dan kecil, negara kaya dan miskin, negara superpower dan berkembang, semuanya sudah runtuh. Bahkan istilah negara sudah lama hilang dari peradaban. Tak ada lagi sekat-sekat bangsa dan negeri. Dunia sudah tidak terbagi menjadi ratusan negara. Semua sistem berganti menjadi satu kepemimpinan terpusat yang dikendalikan oleh organisasi raksasa yang mewakili seluruh ras manusia. Organisasi itu bernama The Black Emperors yang dipimpin langsung oleh Sang Kaisar Agung.Sosok Kaisar Agung yang menjadi misteri, tak begitu dipertanyakan oleh penduduk bumi yang sudah lelah bergelut dengan asa setiap harinya. Kehidupan begitu keras hanya untuk mencari sesuap nasi, sehingga tak ada lagi waktu untuk memikirkan hal lain.Anka Hadar yang salah satu tugasnya adalah menjadi penghubung antar tiap ordo kepada Kaisar, juga tidak pernah melihat wajah itu secara langs
Langit temaram, siang sudah mulai menghilang dan akan segera berganti malam. Violet berjalan lunglai sambil sesekali memijit bahunya. Another ordinary day. Tubuhnya serasa remuk setelah bekerja seharian di dua tempat; sebuah restoran Cina dan perusahaan pengantar barang. Melewati rute biasa, jalan setapak di tengah taman kota, cukup membuat suasana hatinya kembali segar. Melihat dedaunan hijau dan lapangan rumput yang luas adalah kemewahan, mengingat tumbuhan dan segala macam hijau-hijauan adalah hal yang langka akhir- akhir ini. Golden Swan, wilayah yang Violet tempati sekarang merupakan satu- satunya wilayah Ordo yang masih 'hijau', dimana masih banyak hutan, tanaman serta fauna yang hidup di daerah ini. Hanya di Golden Swan, segala flora bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Sementara di wilayah lain, flora tidak bisa hidup. Itu adalah satu rahasia terbesar di abad ini.Kedamaian Violet sedikit terusik mendengar keramaian jauh di tengah padang rumput. Segerombolan anak m
Devon melihat ibunya rebah, tak bernyawa. Darah mengucur deras, sedangkan ia hanya terpaku, tak berbuat apa-apa. Segala yang terjadi terlalu cepat, membuatnya membeku, hilang akal. "Ibu?" hanya itu yang sanggup ia ucapkan.Segala bayangan kejadian dan waktu yang sudah ia lalui bersama ibunya, terlintas di kepala. Saat ia harus mengais tong sampah sambil menunggu ibunya pulang kerja. Saat tubuh kecilnya ikut membantu ibunya mengangkat puluhan paket yang lebih berat dari tubuhnya untuk diantarkan pada para pelanggan. Saat tawa lepas ibunya tatkala mendapatkan gaji yang seketika habis untuk membeli bahan makanan selama sebulan."Ibu?"Akal sehat Devon perlahan kembali. Dia berjongkok, mengangkat jasad ibunya. Dia letakkan di pangkuannya. Tak kehilangan asa, dia mencari-cari denyut nadi sang ibu, berharap ada sedikit tanda kehidupan di sana. Namun, nihil. Ibunya sudah tiada. Hanya raga, tanpa jiwa.Segenap amarah tersedot masuk ke dalam dada
Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang. Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. "De..von," rintihan suara itu terdengar lirih. Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya. Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat. "Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!" "A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti. "Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja. Mata Anka membola. Dia menggeleng-
Devon melihat dengan mata kepalanya saat seseorang yang dia ingat sebagai ayah kandung, yang dulu meninggalkannya begitu saja saat dirinya masih sangat membutuhkan sosok dan perlindungan dari sang ayah, terjatuh dan menggelepar kesakitan bagaikan ikan tanpa air. Dia tak bisa berbuat apapun, kekuatannya menghilang tiba-tiba. "Ayah, bertahanlah!" serunya.Anka perlahan terdiam, terbujur kaku di lantai. Kulitnya mengeriput begitu saja. Seakan ada kekuatan yang menghisap cairan tubuhnya. Devon tak pernah melihat hal semacam itu sebelumnya. Tak sengaja, ekor matanya menangkap cincin yang melingkar di jari manis Devon. Mata ular di cincin itu mengeluarkan sinar putih, makin lama makin terang. Sinar itu kemudian membentuk gelombang dan memancar keluar. Pancaran gelombang itu merambat menyelimuti seluruh tubuh Devon, merasuk ke seluruh pori-pori tubuhnya.Devon merasakan kekuatannya mulai kembali. Rantai besi yang melilit pergelangan tangannya, mampu ia patahkan dengan mudah.
Semilir angin berhembus menerpa rambut pirangnya, memaksa ia agar segera terjaga. Devon memicingkan mata dan mengerjap. Posisi tubuhnya tertelungkup, hanya mengenakan celana katun berwarna putih dan bertelanjang dada. Dia terbangun, mengangkat badannya dan melihat dirinya berada di atas ranjang mewah yang sering ia lihat di saluran televisi kabel berbayar di apartemen kumuhnya. Sebuah smart bed futuristik yang didominasi warna silver yang selama ini hanya bisa ia idam-idamkan sembari memelototi layar televisi. Ranjang yang bisa mendeteksi detak jantung, tekanan darah dan tingkat kecemasan pemakainya. Terdapat banyak tombol di sisi kiri dan kanan ranjang dan sebuah layar hologram di atas kepala ranjang. Devon mencoba memencet sebuah tombol berwarna biru. Sebuah video muncul di layar hologram, menunjukkan apartemen kumuhnya, yang biasa ia tinggali bersama sang ibu. Dia memajukan badannya, ingin melihat lebih jelas. Ada gambar ibunya di situ, tersenyum manis ke arah Devon
Devon berjalan gagah dengan baju kebesarannya, meskipun menurutnya baju yang dipakainya kini sangat ketinggalan jaman dan sama sekali bukan tipenya. Serba hitam, warna yang dibencinya, mengingatkannya akan kegelapan, hening dan kesepian.Dalam langkahnya yang pelan dan teratur memasuki Main Hall, ruangan luas yang didominasi oleh tembok perak dan besi, lantainya terbuat dari berlian murni, tahan gempa dan tahan getaran, sorot matanya tertuju pada para Tetua yang mengikuti tiap geraknya. Tersungging senyum sinis dari bibir Devon. Sebentar lagi, dia akan mendekati para Tetua dan membuat perhitungan dengan mereka. Lengan Devon terayun ringan. Dia sama sekali tak mau bersikap formal.Tanpa ia sadari, cincin bermata ular yang melingkar di jarinya sejak seorang Shepherd memakaikan padanya di hari ibunya terbunuh itu mengeluarkan secercah sinar putih.Para Shepherd kemudian mengarahkan Devon menuju kursi singgasana berwarna hitam metalik yang sudah disiapkan untuk peno
Beberapa kali Devon menguap mengikuti prosesi penobatan dirinya yang terlalu memakan waktu. Para Shepherd mengelilingi singgasananya sembari merapalkan mantra. Sementara para Tetua mengangkat tangannya ke udara sambil bergandengan. Lantai Ruang Utama yang berwarna kristal, tiba-tiba berubah gelap. Atap gedung terbuka perlahan memperlihatkan langit pagi yang cerah tanpa awan. Adalah suatu keajaiban di wilayah kutub untuk melihat langit berwarna biru. Biasanya, hanya ada awan dan kabut disertai semburat aurora."Alam menyambutmu, Devon," ujar salah seorang Tetua.Devon yang sedari tadi duduk diam seraya memegang pedang, hanya tersenyum sinis menanggapi."Setelah ini, kau bisa menuju Atlanta. Kau bisa segera menempati istana Black Emperors yang beberapa waktu ini tak berpenghuni," lanjut seorang Tetua.Devon termangu sesaat. Ditatapnya pedang yang kini berwarna keperakan. Wajah tampannya memantul di sana. Entah bisikan dari mana, Devon mengangkat pedan
Entah berapa lama kegelapan menyelimuti, yang jelas saat itu, Devon merasa begitu damai. Matanya boleh terpejam, tetapi telinganya masih dapat menangkap nyaring suara burung berkicau, ditambah dengan gemericik air yang semakin melengkapi riuhnya. "Bangun, Nak. Mau sampai kapan kau tertidur? Ini sudah siang. Saatnya mencari uang." Lembut suara sang ibu membuat Devon membuka mata lebar-lebar. "Ibu!" Dia berusaha bangkit dari pembaringan. Dia bergerak terlalu kencang, tanpa memperhatikan sekeliling. Kepala Devon terantuk oleh dinding kaca tebal. Barulah saat itu dia sadar bahwa dirinya tengah berada di dalam sebuah tabung transparan. "Apa yang terjadi?" gumamnya kebingungan. Berbagai macam bayangan dan kilasan masa lalu, hadir memenuhi kepalanya. Devon meringis sambil satu tangannya menyentuh dahi. Sementara tangan yang lain, dia gunakan sebagai tumpuan. "Ibu?" panggil Devon lirih. Mau tak mau dia kembali berbaring sembari mengingat-ingat semua yang telah terjadi sebelum dirinya tak s
"Ah, Paman. Kebetulan sekali, aku sudah menunggumu sejak lama. Hampir saja aku membusuk di kandang itu," Devon tertawa pelan, lalu menurunkan tubuh Antonella dan membaringkan gadis itu di depan kakinya begitu saja. "Kau apakan dia?" tanya Robertson Hadar dengan mata terpicing. "Mungkin aku akan membawa dan memasukkannya ke dalam kandang. Sama seperti ayahnya yang telah memperlakukanku seperti hewan," Devon menyeringai sembari mengusap permukaan bibirnya menggunakan ibu jari. "Ini semua adalah salahmu, Robertson Hadar!" terdengar teriakan nyaring dari arah lain pada lorong panjang itu. Devon menoleh ke belakang. Dia mendapati Ganymede berjalan dengan sorot penuh amarah. Satu tangannya tampak menggenggam sebuah botol bening berisikan cairan hijau. Sementara tangan lainnya mengokang senjata. "Apa yang kau lakukan, Ganymede? Jangan bertindak bodoh. Aku bukan musuhmu, tapi dia ...." telunjuk Robertson terarah lurus pada Devon. "Aku akan mengurusnya nanti. Untuk saat ini, aku harus men
Devon tak bisa menghitung, berapa lama dia terkunci di dalam ruangan aneh ini. Selama waktu itu, berkali-kali Antonella melihatnya, menjenguknya ataupun sekedar menggodanya.Entah terbuat dari apa jeruji besi yang mengelilingi Devon saat ini. Yang jelas, dia kesusahan untuk mematahkannya. Emosinya meledak-ledak sejak saat kabut aneh itu merasuki dirinya. Devon merasa dirinya bagaikan hewa buruan yang diamankan di kandang. Dia harus menemukan jalan keluar agar dirinya bisa kembali menguasai keadaan dan membalikkan kekuatan Ganymede. "Anda tak bisa membuka jeruji itu, Yang Mulia," suara lembut seorang wanita membuat Devon terdiam untuk beberapa saat. "Apakah itu kau, Antonella?" Devon menautkan alisnya dan menatap tajam ke arah depan. Lagi-lagi gadis itu ingin bermain-main dengannya. Namun, kali ini kehadiran Antonella tak seperti biasanya. Tak terlihat apapun di luar jeruji, hanya ruangan luas dengan berbagai sisi yang berwarna putih. "Aku ada di sini," ujar suara itu lagi. Sosoknya
Devon memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Seakan ada bandul raksasa yang berdentang di dalam. Matanya terpicing, awas menatap sekitar. Dinding berbentuk jeruji besi terlihat kokoh memutarinya, mengungkungnya di tempat antah berantah ini. Dia bagaikan binatang buas yang dikurung di dalam kandang di tengah ruangan luas yang aneh.Ditatapnya lantai tempatnya berbaring seperti seorang pesakitan. Lantai berbahan logam berwarna hitam, sehitam matanya. "Ganymede!" teriak Devon sambil telentang. Bajunya entah kemana. Dia bertelanjang dada kini. Urat-urat hitam masih tampak menonjol di bawah permukaan kulit."Kau sudah sadar, Yang Mulia? Luar biasa. Padahal aku mencampurkan bermili-mili gram obat penenang, cukup untuk membuat tidur seekor gajah selama seharian," seringai sosok Ganymede yang tiba-tiba saja muncul di ujung ruangan, di luar jeruji tentunya."Kau memang makhluk spesial. Tak ada yang sekuat dirimu. Sekalipun itu Tuan Anka Hadar," Ganymed
Devon sendirian kini. Hanya pedang Nebula saja yang setia menemaninya. Benda itu selalu tersarungkan dengan rapi di samping pinggang. Dia berjalan terseok-seok memasuki pusaran kabut hijau yang entah dari mana munculnya. Seperti ada seseorang atau sesuatu yang mengarahkannya ke sana. Bisikan-bisikan di dalam kepalanya terdengar semakin kencang, sampai-sampai Devon harus menutupi telinganya meskipun itu sia-sia.Sekilas, bayangan wajah Bellatrix, tergambar jelas di benak Devon. Dia tersenyum untuk sesaat, lalu kembali meringis, merasakan nyeri yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Otot-otot tubuh yang timbul di permukaan kulit, kini berubah menjadi kehitaman. Bola mata hijaunya juga mulai memudar, berganti warna menjadi gelap seluruhnya. Akan tetapi, penglihatannya menjadi semakin jelas.Tubuh Devon berubah menjadi semakin kekar. Kekuatannya seakan makin tak terbatas, namun ada satu hal yang makin berkurang, dirinya kini tak bisa mendengarkan nurani dengan jelas. Han
Sudah empat hari berlalu sejak Devon memerintahkan Leya untuk mengemudikan pesawat siluman pulang ke markas Greenwalds. Sedangkan dirinya dan Bellatrix terjebak di daerah aneh ini, sementara kabut hijau semakin menyebar dan merata, padahal mereka berhasil membasmi titik-titik tumbuhnya tanaman beracun di berbagai tempat. "Waspadai langkahmu, Bella," ujar Devon memperingatkan gadis cantik yang berjalan di samping Devon itu. "Aku merasa ada yang aneh dengan badanku," keluh gadis cantik itu. "Apa perlu kita berhenti sebentar? Mungkin kau kelelahan. Kita sudah membasmi tempat tumbuhnya tanaman beracun itu dalam jumlah yang tak terkira banyaknya," Devon yang terlihat khawatir, segera menghentikan langkahnya. Dia putar pedang Nebula dengan kecepatan penuh, sehingga kabut hijau itu kembali terurai dan menyebar menjauh. Sudah berkali-kali Devon melakukan hal ini, namun asap hijau itu selalu berhasil merapat kembali. "Apa masker biohazardmu tak berfungsi? Kau bisa memakai punyaku," tawar De
Leya memencet sebuah tombol yang terletak di sisi ruangan. Dinding di hadapannya kemudian bergeser pelan. Sebuah layar datar berwarna putih muncul dari dalamnya. Sementara Valishka berdiri di sisi Leya, sudah siap dengan benda pipih transparan yang selalu ia bawa kemana pun itu.Ini adalah hari ketiga sejak Leya tiba di markas rahasia. Entah kenapa, saat itu Devon yang berada di darat, tiba-tiba memerintahkannya untuk kembali terlebih dulu tanpa dirinya dan Bellatrix. Atlas yang awalnya menolak, terpaksa menyetujui keinginan Devon. Bahkan Bellatrix telah mengatur titik koordinat dan mengaktifkan kemudi otomatis pesawat siluman sehingga kendaraan canggih itu terbang dan berhenti tepat di atas pusaran kabut pelindung bangunan markas.Fokus utamanya ketika tiba adalah melakukan perawatan terhadap Troy. Halusinasinya makin parah sejak ia digigit oleh makhluk monster, sehingga Leya terpaksa menyuntikkan obat penenang dan penghilang rasa sakit secara bersamaan. Kondisinya se
"Lalu, dimana mereka sekarang? Kenapa tidak terlihat seorang pun makhluk monster itu?" Bellatrix menyapu pandangannya ke segala arah. "Itu nanti saja kita pikirkan. Kita bawa Troy dulu," Devon sigap mengangkat tubuh lemah Troy, memanggulnya di pundak dan memencet pin hitamnya. Ketiga orang itu pun kembali ke pesawat siluman. Atlas menyambut mereka dengan raut cemas. Sementara Leya terpekik senang melihat Troy ditemukan dengan selamat, meskipun kondisinya lemah. Devon meletakkan pria itu hati-hati di atas kursi penumpang. Bellatrix menekan salah satu tombol di sisi kursi hingga sandarannya bergerak horizontal membentuk ranjang. Pandangan Bellatrix tak lepas dari wajah Troy yang pucat. Setitik kekhawatiran muncul dalam dirinya. "M-menurutmu apa dia akan berubah menjadi salah satu monster itu?" tanyanya ragu-ragu. "Apa yang mereka lakukan pada Troy?" Leya turut bertanya. "Mereka menggigitnya," sahut Devon pelan. "Semoga saja tidak ada efek
Devon berada dalam dilema. Jika dia hanya dalam posisi bertahan, entah sampai berapa lama rekan-rekannya akan sanggup berdiri bersamanya. Akan tetapi, jika Devon melawan, maka dia tidak akan bisa mengontrol kekuatannya. Bisa jadi seluruh makhluk yang bermutasi itu akan musnah dan Devon sungguh tak ingin itu terjadi.Dia selalu teringat akan ibunya ketika dia berhadapan ras asli penduduk bumi. Entah dia sanggup atau tidak untuk menahan beratnya rasa bersalah yang mungkin akan dia tanggung."Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kami menunggu perintahmu!" seruan Atlas menyadarkannya."Kita tinggalkan tempat ini untuk sementara!" titah Devon seraya mengeluarkan perisainya yang membentuk kubah di sekeliling dia dan semua rekannya."Bagaimana dengan Troy? Kita tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini!" protes Leya yang segera dijawab dengan gelengan kepala oleh Devon."Tidak ada waktu sekarang! Jumlah mereka terlalu banyak! Nanti aku akan kembali l