Share

5. Takdir Laura

Author: Amy_Asya
last update Last Updated: 2025-01-30 12:15:26

Harry membenarkan dasinya sebelum keluar dari mobil.

Di luar sudah ada Ethan—asisten pribadinya yang menunggu sejak tadi. Pria itu memang sangat disiplin. Dia selalu datang lebih dulu daripada Harry.

“Hari ini ada wawancara terakhir untuk calon sekretaris. Anda yang akan melakukan wawancaranya langsung, kan?” tanya Ethan sembari berjalan. Dia sudah sibuk dengan tablet yang ada di tangannya.

Harry hanya mengangguk. Dia sempat menoleh ke arah jam tangannya. Masih ada waktu untuk melakukan sesi wawancara terakhir.

Sekretaris pria itu tiba-tiba saja berhenti tiga bulan lalu, itulah sebabnya Harry membutuhkan seseorang yang hampir mirip dengan pria yang pernah menjadi sekretarisnya itu.

“Ada satu orang wanita yang berhasil sampai di tahap ini,” ucap Ethan dengan hati-hati.

Langkah kaki Harry langsung terhenti. Dia menoleh, menatap Ethan dengan kening berkerut. “Bukankah aku sudah bilang, aku tidak mau sekretaris wanita. Merepotkan!”

“Tapi dia punya potensi yang bagus, Tuan.”

Harry mendesah. Pria itu memijt keningnya saat mendengar Ethan coba untuk menyangkal. “Bawa semua datanya padaku.”

Melihat Harry sedikit goyah, Ethan pun mengangguk dengan senyum lebar. “Baik. Akan saya kirim semua datanya.”

Hal pertama yang terjadi pada pria bermata hazel itu saat melihat tiga kandidat calon sekretarisnya, matanya langsung terkejut dengan mulut menganga. Harry bahkan harus mengecek beberapa kali, guna memastikan jika dia tidak salah dalam melihat.

Benar saja! Penglihatannya masih bagus. Itu artinya dia tidak salah sama sekali.

“Siapa nama wanita ini?” tanya Harry sembari menunjuk foto peserta wawancara kepada Ethan yang masih setia menunggu.

“Laura Green. Semua datanya sudah lengkap di sana. Oh, iya, dia putri bungsu Keluarga Green.”

“Keluarga Green? Bukankah mereka juga punya hotel yang cukup besar. Lalu mengapa putrinya bekerja di Sky Hotels?”

Ethan tampak berpikir sesaat, kemudian menggeleng tanda jika dia tidak tahu apa pun. “Saya dengar hotel mereka sudah terancam pailit. Mungkin, itu sebabnya dia melamar bekerja di sini.”

Harry tertawa pelan.

Dirinya kembali teringat bagaimana Laura kabur dari dia malam tadi.

Wanita itu menolak semua penawaran Harry, dan kabur begitu saja seolah mereka tak akan bertemu lagi.

Akan tetapi, takdir seperti apa ini?

“Tuan, wawancaranya akan dimulai lima menit lagi.”

Harry menghentikan tawanya, lalu menatap Ethan dengan serius. “Kali ini kau saja yang melakukan wawancara terakhir.”

“Saya?”

“Ya, dan siapa pun yang kau pilih aku akan setuju. Aku tau kau mampu melihat setiap potensi dari mereka.”

Ethan tertegun. Ini adalah kali pertama Harry mempercayainya dalam mencari karyawan. Biasanya pria itu akan turun tangan sendiri.

“Kalau saya menyukai cara kerja dari wanita itu—”

“Siapa pun, Ethan. Aku tidak masalah bahkan jika dia harus seorang wanita.” Harry tampak menyakinkan Ethan agar tidak ragu. “Oh, ya. Jika kau sudah mendapatkan seseorang yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan perusahaan, suruh dia untuk tanda tangan kontraknya langsung. Setelah itu, minta untuk temui aku.”

Meski tampak kebingungan, Ethan tetap mengangguk dan segera keluar dari ruangan Harry.

Mengapa tiba-tiba saja bos nya itu berubah?

Biasanya Harry selalu menolak calon sekretarisnya jika wanita, tetapi kali ini kenapa repons pria itu sangat berbeda?

***

Di sisi lain, Laura tampak terus berdoa agar kali ini takdir baik berpihak padanya.

Jika dia ingin hidup mandiri dan kabur dari rumah ayahnya, maka Laura harus berhasil mendapatkan pekerjaan ini.

Dia sangat butuh uang untuk memenuhi semua kebutuhannya sehari-hari. Maka dari itu, Laura berharap jika takdir berpihak kepadanya. Apalagi setelah tahu jika peluangnya lolos tidak sampai lima puluh persen karena dia seorang wanita.

Ya, saat tiba di sini Laura baru tahu jika petinggi di perusahaan ini lebih menyukai sekretaris pria.

“Nona Laura Green!” panggil salah satu staff yang meminta Laura untuk masuk.

Dia sudah menjalani sesi wawancara terakhir tadi, yang kebetulan Laura tidak bertemu dengan pemimpin perusahaan secara langsung.

Saat dia melihat dua orang pria yang berjalan bersisihan keluar dari ruangan Ethan menunjukkan wajah muram, tiba-tiba saja Laura kembali bersemangat. Itu adalah kesempatan jika dia mungkin saja akan diterima.

“Nona Green, silakan duduk. Saya Ethan, asisten pribadi Tuan Thompson. Kita sudah bertemu dan banyak bicara tadi.”

Laura tersenyum dan duduk di kursi yang ada di hadapan Ethan. Pria berkulit putih itu tampak begitu tampan dengan matanya yang abu-abu.

Ah, jika dia diterima di perusahaan ini … itu artinya Laura bisa memandang wajah tampan ini setiap hari.

Membayangkan hal itu saja, Laura tersenyum dan ingin berteriak sekarang juga.

“Jadi—” Laura tampak ragu-ragu untuk melanjutkan pertanyaanya yang membuat Ethan tersenyum tipis.

“Jadi, setelah kami diskusikan. Anda adalah orang yang tepat dengan apa yang kami cari selama beberapa bulan ini, Nona.”

Mata biru Laura terbelalak. “Apa itu artinya—”

“Ya, kami menantikan dedikasi Anda untuk perusahaan ini.”

Laura mengepalkan tangannya, dan hampir saja berteriak kegirangan. Untung saja dia masih bisa mengendalikan diri, dengan mencoba tetap tenang meski hatinya merasa senang tidak karuan.

“Terima kasih, Tuan. Saya pasti akan bekerja dengan baik,” ucap Laura sembari membungkukkan tubuhnya berkali-kali.

Nasib baik berpihak kepadanya kali ini.

“Kalau begitu Anda bisa langsung tanda tangan kontrak kerjanya hari ini?”

“Ya, tentu saja.”

Ethan merasa senang melihat Laura bersemangat. Dia sangat menyukai wanita itu sejak sesi wawancara tadi.

Laura adalah wanita yang tampak ceria dan sangat bersemangat. Dia yakin, wanita itu bisa bekerja sama dengan Harry dengan sangat baik.

Ethan segera memberikan beberapa berkas yang merupakan kontrak kerja mereka. “Sebaiknya Anda baca dulu. Ada beberapa poin penting yang harus Anda pelajari, Nona.”

“Baik. Sebaiknya panggil Laura saja. Tidak usah dengan Nona. Bukankah sekarang kita akan menjadi rekan kerja?” tanya Laura dengan senyum manis.

Mendengar itu, Ethan hanya bisa mengangguk dengan canggung. “Ya, Laura.”

Laura merasa sangat senang. Dia segera membaca semua isi kontrak yang ada di depannya itu. Tak ada yang memberatkannya sama sekali, kecuali pinalti yang harus dia bayar jika mengundurkan diri sebelum waktu kontrak habis.

Namun, Laura sama sekali tak mempermasalahkan hal itu.

Kontrak awalnya hanya dua tahun dan dia sangat yakin jika selama jangka waktu itu Laura tidak akan mengundurkan diri!

“Mana mungkin aku mengundurkan diri jika melihat pria tampan setiap hari,” bisik Laura dengan senyum penuh kemenangan. "Tuan Ethan, ini sudah selesai."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   6. Salah Masuk Kandang

    “Kalau seperti itu, mari saya antarkan Anda untuk bertemu dengan Tuan Thompson.” Mendengar nama itu, Laura mengangguk dengan semangat. Ah, dia tidak peduli dengan kata Jackson tentang Tuan Thompson yang selalu menginginkan kesempurnaan itu. Dia pasti bisa menghadapinya! Apalagi setelah ini, Laura akan mendapatkan kebebasannya dari Keluarga Green… Hanya saja, Laura justru berdiri mematung begitu sampai di dalam ruangan atasannya. Jujur, dia membayangkan Tuan Thompson adalah pria tua dengan perut buncit. Namun, apa yang dilihatnya ini? Atasan barunya itu adalah pria dengan punggung yang lebar tampak tenang melihat ke arah luar, di dekat jendela kaca besar di sudut ruangan! “Apa ini artinya aku akan melihat dua pria tampan sekaligus?” bisik Laura sangat pelan. “Tuan, ini Nona Green. Mulai sekarang dia akan bekerja sebagai sekretaris Anda.” “Baiklah. Bisa tinggalkan kami berdua?” tanya Harry yang masih belum menoleh. Deg! Mendengar suara berat pria itu,

    Last Updated : 2025-01-30
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   7. Calon Istri

    Laura menganga tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Pria itu memintanya untuk mengundurkan diri sekarang dan harus membayar pinalty? “Anda mau memeras saya, ya?” tanya Laura dengan wajah memerah. “Ini namanya tidak professional, Tuan Thompson. Saya tidak akan mengundurkan diri, kalau mau Anda saja yang memecat saya sekarang.” Mendengar tantangan yang Laura katakan, Harry menaikkan sudut alisnya. Setelah itu, dia tersenyum kecil. “Apa jaminannya kau tidak akan menjelekkan nama perusahaanku jika aku memecatmu sekarang? Kau ingin mendapat uang denda … jangan mimpi, Nona Green! Di kontrak tidak ada perjanjian aku harus membayar ganti rugi jika memecatmu sekarang. Siapa yang akan dirugikan?” Laura bergeming. Wanita itu meremas pakaiannya sendiri, menahan amarahnya yang ingin meledak saat ini juga. Di perjanjian kontrak mereka memang tidak ada peraturan bahwa Sky Hotel’s harus membayar ganti rugi jika memecatnya sebelum kontrak berakhir. Di sini jelas Laura yang akan dir

    Last Updated : 2025-01-31
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   8. Bos Tidak Profesional

    “I-ini semua yang harus aku kerjakan?” tanya Laura dengan suara terbata-bata ketika melihat tiga tumpukan berkas yang menjulang tinggi yang dibawa oleh Ethan. Ethan mengangguk, setelah meletakkan tumpukkan berkas terakhir. “Sebenarnya Tuan Harry meminta untuk yang satu tahun terakhir, tapi yang kubawa ini hanya yang tiga bulan terakhir saja.” Mulut Laura menganga tak percaya. "Tiga bulan terakhir? Sebanyak ini?" “Iya. Aku rasa kau bisa cepat belajar dari semua ini. Nanti setelah itu baru arsipkan semua.” Laura mengangguk pasrah. "Baiklah." “Kalau begitu aku pergi dulu. Maaf, karena tidak bisa membantu, ya. Aku juga masih punya banyak kerjaan, Laura.” “Tidak masalah.” Setelah Ethan pergi, Laura duduk dan menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Dia harus mengerjakan semua ini secepat mungkin, sebelum malam tiba. Namun, belum ada lima belas menit sejak Ethan pergi, pria itu kembali lagi. Raut wajahnya tampak sungkan saat mendengar pertanyaan dari Laura. “Ada yang ketinggala

    Last Updated : 2025-01-31
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   9. Jangan Berharap Pada Manusia

    Tepat jam dua belas malam, Laura berhasil menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Harry. Wanita itu akhirnya menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah dan pinggangnya yang terasa sakit. Mata birunya menatap langit-langit kantor yang masih terang. Seharusnya dia bisa segera pulang dan berbaring di atas kasur sekarang, tetapi gara-gara Harry, Laura masih belum mendapatkan flat yang bisa dia sewa. “Apa aku harus menginap lagi di apartemen Jackson?” Laura menggeleng dengan ucapannya sendiri. “Kalau aku bilang aku lembur di hari pertama kerja, dia pasti akan mengomel dan memintaku berhenti.” Merasa putus asa, Laura kembali menghentakkan kakinya hingga berkali-kali. Dia benar-benar lelah hingga tidak bisa berpikir jernih sekarang. Cukup lama, sampai pada akhirnya, dia berdiri, lalu mengemasi barang-barang dan memasukkannya ke dalam tas. Entah bagaimana pun caranya, Laura harus mendapatkan tempat menginap sekarang. Mungkin dia akan menginap di motel, mengingat masih ada sedikit uang d

    Last Updated : 2025-01-31
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   10. Bukan Bagian Keluarga Green

    Suara pintu yang berderit, membuat Laura membuka matanya. Samar-samar, dia melihat siluet dari sosok laki-laki yang berdiri dengan tenang di depan pintu. “Antonio,” panggil Laura lirih pada pria berpakaian rapi itu. Dia adalah kakak laki-laki Laura. Putra sulung Keluarga Green. Antonio membuka pintu dengan lebar. Lalu, dia melangkah masuk—membuka tirai-tirai yang menutupi jendela, membuat cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Tak ada suara lain yang terdengar, selain derap langkah kaki dari pria berkulit putih itu. “Cepat pergi dari rumah ini.” Suara Antonio terdengar tenang. Tanpa menoleh sama sekali, dia masih menatap ke arah luar di tepi jendela kaca. “A-aku memang ingin pergi, tapi papa yang mengurungku di sini.” Antonio berbalik, menatap Laura yang tampak berantakan. “Kalau begitu, pergilah sekarang!” “Kau kembali untuk membebaskan aku?” tanya Laura. Dia berharap

    Last Updated : 2025-02-09
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   11. Tuan Putri yang Malang

    Laura berlari-lari saat hendak masuk ke dalam lift. Dia sudah terlambat tiga puluh menit, dari jam masuk kerja yang seharusnya. Dia harus bersyukur karena pagi tadi Antonio datang. Jika tidak, Laura sama sekali tidak tahu bagaimana nasibnya, atau mungkin pekerjaannya bisa saja hilang. Napas wanita itu naik turun di dalam lift. Sekarang Laura hanya berharap jika Harry belum datang, atau dia bisa minta kompensasi karena sudah lembur malam tadi. “Kau terlambat tiga puluh lima menit.” Bariton tegas itu membuat Laura tersentak, saat pintu lift terbuka. Jantung Laura hampir lepas saat dia melihat tatapan Harry yang dingin, dan tampak mengancam. Sorot mata Harry jelas menyiratkan jika dia sangat kesal sekarang. “Maaf, Tuan. Malam tadi saya lembur. Jadi, saya—“ “Tutup mulutmu! Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi! Hari ini aku masih memaklumi, tapi tidak dengan di lain waktu. Paham!" bentak Harry yang langsung membuat Laura terdiam. Setelah itu, pria yang memaka

    Last Updated : 2025-02-09
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   12. Menemukan Wanita Gila

    “Sudah jangan banyak bicara!” Harry mengabaikan tatapan penuh tanya dari mata Laura. Pria itu segera pergi meninggalkan Laura yang masih berdiri diam.“Sediki-sedikit mengancam mau memecatku. Dasar arogan!”“Laura,” panggil Harry yang langsung berbalik. Dia menatap wanita itu dengan tajam. “Aku bisa mendengar kata-katamu tadi. Kau mau aku pecat sekarang juga?”Laura menggeleng cepat. Dia segera berlari menyusul Harry, seraya tersenyum dengan mata menyipit. “Maafkan saya, Tuan. Lain kali saya akan menjaga ucapan saya.”“Bisa kupegang ucapanmu?”Laura mengangguk dengan senyum yang dibuat-buat. Sungguh, sebenarnya di dalam hati dia sangat muak dengan sikapnya sendiri yang sok manis di depan Harry sekarang.Mendadak Harry bergeming. Pria itu menggeleng, dan langsung pergi meninggalkan Laura yang masih tersenyum begitu saja. Dia merasa bulu kuduknya berdiri sekarang. “Kenapa senyum wanita itu sangat menakutkan?"Harry merasa tubuhnya merinding. Bahkan di dalam mobil pun dia memilih diam,

    Last Updated : 2025-02-11
  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   13. Kesempatan Terakhir

    “Kau mengatai aku wanita gila?” Laura tertawa sembari menatap Harry dengan sinis. “Kalau seperti itu, kau juga berarti pria gila. Mana ada orang waras yang mau dengan wanita gila?” Napas laura tersengal-sengal karena emosinya yang tak tertahankan lagi. Bisa-bisanya pria itu bicara sembarang, di depannya langsung. Bukannya merasa tersinggung, Harry justru mengabaikan ocehan Laura begitu saja. Pria itu menghentikan mobilnya begitu sampai di depan restoran. “Ayo, turun! Aku sudah sangat lapar.” “Bisa-bisanya kau mengajakku makan setelah bicara sembarangan tentangku tadi.” Laura menggeleng dengan wajah tak percaya.Dia bahkan sudah melupakan tentang sopan santunnya pada Harry yang berstatus atasannya. Biarkan saja! Laura sama sekali tidak peduli. Lagi pula orang seperti Harry tak pantas untuk dihormati. Sungguh, Harry adalah pria paling arogan yang pernah dia temui. “Kau mau makan atau tidak?” “Selesaikan dulu masalah kita. Kau harus berjanji tidak akan bicara tentang perni

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   61. Berikan Cucu Untuk Keluarga Thompson

    “Apa masih sakit?” “Ah, i-itu tidak lagi,” jawab Laura sedikit gagap. Wanita itu kembali tersentak begitu merasakan jarinya yang kembali basah karena Harry yang kembali menghisap darahnya. Lutut Laura lemas seketika. Rasanya dia hampir terjatuh. Bukan karena darah yang keluar, tetapi karena tindakan Harry yang lagi-lagi tidak terduga. Padahal sebelumnya pria itu yang memperingatkan Laura untuk tidak bertindak sesuka hati, dan menyebabkan kesalahpahaman antara mereka. Namun, sekarang kenapa justru Harry yang selalu membuat jantungnya berdegup tidak karuan? “Kalau seperti ini, bisa-bisa aku kena serangan jantung," gumam Laura. “Apa?” tanya Harry yang tidak sengaja mendengar gumaman Laura. Pria itu langsung mendongak, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya. “Ah, bukan apa-apa." Laura segera menarik tangannya. "Sudah selesai, kan? Aku harus memoto

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   60. Kedatangan yang Tiba-tiba

    “Kalian sudah pulang?” Laura menggigit bibirnya sendiri dengan perasaan khawatir. Sementara itu, Harry segera berjalan masuk menghampiri ibunya, dan berusaha membuang semua perasaan gugupnya. “Kapan Mama sampai?” “Belum lama. Kira-kira lima belas menit yang lalu. Kalian dari mana?” Harry merangkul bahu ibunya. Dengan mengajak berbicara, pria itu juga membawa wanita paruh baya itu keluar dari dalam kamar tanpa disadari. “Aku ke kafe Dominic. Setelah itu, kami ke taman wisata mengajak Leo bermain.” “Ah, Leo. Mama jadi ingin bertemu lagi dengan anak itu.” “Kapan-kapan aku akan membawanya pulang,” ujar Harry. Pria itu menoleh ke belakang—menatap Laura dengan kode yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. “Kita turun ke bawah, oke?” “Ya, lagi pula Mama tadi berpikir jika kalian masih tidur di dalam sana.” Harry menggeleng

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   59. Tamu Tak di Undang

    Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Laura terpaksa tertawa terbahak-bahak agar pria itu lupa dengan apa yang Anna katakan tadi. “Kau seperti tidak tau wanita saja,” ujar Laura sembari menepuk bahu suaminya. “Semua orang pasti akan bicara seperti itu pada pasangan yang baru menikah, kan?” Harry menjauhkan tubuhnya lalu mengangguk pelan. “Kau benar juga.” “Iya. Abaikan saja omong kosong Anna tadi.” Laura masih tertawa seraya menutup mulutnya. Harry hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu segera menginjak pedal gas, dan meninggalkan area parkir kafe milik Anna. Sementara itu, Laura menghela napas lega melihat Harry kembali terdiam—dan tidak bertanya apa pun lagi. Dia benar-benar tidak ingin pria itu marah padanya dan menjadi salah paham. *** “Aku lelah sekali.” “Kau ingin makan malam di luar?” Harry menoleh, dia menatap Laura yang sedang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Mereka menghabiskan banyak waktu bermain dengan Leo di taman hiburan tadi. Sampai

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   58. Punya Anak?

    "Kau pernah sekolah memasak?” tanya Laura seraya melihat gerakan tangan Anna yang gesit. Dia benar-benar kagum dengan kelihaian yang Anna miliki. “Aku hanya kursus sebentar. Selebihnya, aku bisa karena aku memang suka memasak.” “Wah, mungkin itu yang dinamakan bakat alami.” Anna tertawa pelan mendengar ucapan Laura. “Kau bisa datang ke sini kalau mau belajar juga.” “Sungguh?” “Iya. Anggap saja supaya kita bisa kenal lebih dekat. Kemarin itu kita belum sempat berkenalan lebih jauh lagi.” Anna menghela napas dengan panjang. “Leo benar-benar rewel kemarin, maka dari itu kami langsung pulang.” “Tidak masalah. Kalau begitu kapan-kapan aku akan datang ke sini.” “Kalau aku tidak ada, kau bisa langsung menemui para karyawan di sini. Aku sudah memberitahu mereka.” Laura mengangguk, sangat antusias. Sesaat, dia lupa dengan apa yang terjadi sebelum datang ke tempat ini.

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   57. Percaya Padaku, Laura

    “Ini gila, Harry.” Laura sudah tak punya wajah lagi di hadapan suaminya. Bagaimana bisa ayahnya meminta tolong, sembari memberikan ancaman seperti itu? “Ayo, kita pergi saja dari sini,” ujar Laura lagi. Dia menarik tangan Harry, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Harry bergeming. Pria itu tetap berdiri dengan wajah tenang, yang justru bisa membuat semua orang yang ada di sana bergetar ketakutan. Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Tuan Green segera berdiri. Pria paruh baya itu membersihkan tangannya dengan senyum kaku. “Maafkan kami, Nak. Aku—“ “Apa yang akan kudapatkan jika aku bisa menolong kalian?” tanya Harry memotong ucapan ayah mertuanya. Pertanyaan yang dilontarkan Harry langsung membuat perhatian keluarga Green, dan Laura beralih padanya. “Ka-kau serius, Nak? Kau sungguh-sungguh akan membantu kami?” “Harry, jangan berbuat gila!” Harry menoleh ke arah Laura. Pria itu berdiri dengan sikap santai—memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, yang e

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   56. Bertemu Keluarga Green

    Laura dan Harry kompak berbalik. Tatapan mata berwarna biru itu berhenti setelah dia melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. Semua anggota keluarga Green ada di depannya. Ayah, ibu, dan Caroline yang sedang tersenyum ke arah mereka berdua. Melihat itu, Laura berdiri mematung dengan perasaan tak menentu. Sebelumnya, Laura sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, tetapi dia tidak menduga jika waktunya akan secepat ini. "Laura, dia suamimu?" tanya Tuan Green sembari melihat ke arah Harry yang berdiri di samping putri bungsunya itu. "Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga," sapa Tuan Green tanpa menunggu jawaban dari Laura. *** “Kami tidak tahu kapan kalian menikah.” Tuan Green mulai membuka percakapan di antara mereka. Setelah bertemu di depan kantor polisi tadi, Harry memutuskan untuk mengajak semua anggota keluarga istrinya ke restoran. Meskipun L

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   55. Aku Hanya Peduli Pada Bayinya

    “Aku hanya ingin memberinya pelajaran,” jawab Laura dengan mengalihkan tatapan matanya. Dia tidak ingin Harry tahu apa alasannya datang ke sana, dan yang terjadi di dalam keluarganya. Itu sangat memalukan. “Keluargamu ada masalah?” “Aku tidak tau.” Laura menjawab dengan cepat. Wajahnya sedikit panik. “Mereka bukan urusanku lagi. Lagi pula untuk apa aku masih menganggap mereka keluarga? Ayahku sendiri yang memutuskan hubungan itu.” “Itu benar. Jadi, kau menemui laki-laki itu bukan karena kakakmu, kan?” Laura terdiam, dan menatap Harry dengan sedikit bingung. Dari mana Harry bisa tahu jika dia menemui Sam karena Caroline? Laura langsung bangkit dengan cepat, dan terduduk. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, dengan mata yang menatap langit-langit kamar mereka. Seharusnya, Laura memang tidak memedulikan Caroline lagi. Namun, ketika dia tahu bahwa

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   54. Beri Aku Penjelasan!

    Harry mendekat begitu mendengar ucapan Laura dengan perasaan yang tidak bisa dia artikan. Kemudian, dia menyentuh pipi Laura yang terasa sangat panas. Tidak hanya itu, keringat wanita itu juga bercucuran. Wajah Harry tampak sangat panik. Seharusnya demam Laura sudah turun karena dia baru saja meminum obat, tetapi kenapa suhu tubuh wanita itu justru semakin tinggi?Ketika Harry hendak pergi untuk mengambil ponselnya, lagi-lagi Laura menarik tangannya dengan erat. “Mama, temani aku malam ini,” ucap Laura lirih. Mendengar permintaan Laura, mau tak mau Harry akhirnya memilih untuk duduk. Pria itu terdiam dengan sorot mata yang penuh arti. Laura menggenggam tangannya dengan kuat, seolah dia tidak mau kehilangan lagi. Harry tidak pernah tahu seperti apa hidup yang dialami wanita ini. Seperti apa hubungannya dengan semua anggota keluarganya. Namun, satu h

  • Dekapan Panas Ceo Arrogant   53. Wanita Keras Kepala

    Laura membuang wajah. Wanita itu tampak gugup seketika. “A-aku hanya terbiasa hidup dalam kekerasan.” “Mantan kekasihmu sering melakukan hal seperti ini?” “Ti-tidak. Ini yang pertama kali. Dulu dia tidak seperti ini.” “Dari dulu dia memang seperti itu. Kau hanya baru tahu sekarang.” Harry membuang kapas yang dia gunakan untuk membersihkan luka Laura. Kemudian, dia mengambil salep dan mulai mengoleskannya dengan pelan. “Kau boleh mengeluh kalau ini terasa sakit.” Laura menggeleng kuat. “Ini tidak sakit sama sekali.” Ya, Laura benar. Dia tidak berbohong. Semua luka-luka yang dia rasakan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan luka-luka yang biasa dia dapatkan dari ayahnya. Harry terdiam. Pria itu memilih untuk tidak menanyakan sesuatu lagi. Dia hanya sesekali melihat kening Laura yang tampak berkerut, menahan sakit. “Sudah selesai.”

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status