Malam harinya, Laura duduk di balkon dengan terus termenung. Dia masih memikirkan tentang ucapan Harry siang tadi. Pria itu menawarkan pernikahan kontrak, dengan keuntungan yang membuat Laura mau tak mau terus mempertimbangkannya. “Jika kau menjadi istriku, status sosialmu akan naik, Laura. Kau tidak menginginkan itu?” Saat itu, Laura bergeming, merenungkan tentang semua ucapan pria bermata hazel di sisinya ini. Apa yang Harry katakan itu tidak salah. “Aku yakin, kau ingin membuktikan kepada semua orang jika sekarang kau mampu berdiri sendiri, kan?” Laura kembali menatap Harry dengan kening berkerut. “Anda jangan sok tau,” kilah wanita itu. Dia langsung memalingkan wajah. Laura tak suka saat Harry mulai bisa melihat dan mengetahui apa keinginannya. Melihat sikap skeptis Laura, Harry menjauhkan wajahnya. Pria itu mengambil tisu dan mengelap bibirnya, setelah itu berdiri dan menatap Laura sebentar. “Aku tunggu jawabanmu besok. Ingat, jika kau menolak maka tidak akan ada lagi
Sementara itu, di tempat lain Harry tampak kesal dengan wanita yang ada di depannya sekarang. Jika bukan karena permintaan ayah dan ibunya, mungkin dia sudah mengusir wanita ini sejak tadi. “Jadi, wanita tidak jelas yang kau bawa waktu itu … dia bukan benar-benar kekasihmu, kan, Harry?” Eva bertanya dengan serius. Wajahnya bahkan tampak kesal karena sejak tadi Harry mengabaikannya begitu saja. “Harry, kau dengar aku tidak, sih?” “Namanya Laura, dan dia benar-benar kekasihku." Harry menjawab dengan nada yang enggan. Dia sudah ingin pergi dari tempat ini sekarang juga. “Bohong! Kau pasti hanya berbohong seperti sebelumnya. Ibumu bilang sejak hari itu, kau belum ada membawa wanita itu lagi. semua itu sudah jelas jika kau berbohong, Harry." Harry berdecak mendengar ocehan Eva yang terdengar keras kepala. Wanita itu masih ingin memaksakan kehendaknya dengan sesuka hati. Lagi pula, Eva itu bukanlah tipenya, tetapi mengapa wanita itu tidak pernah sadar sama sekali? Eva me
Laura tampak keheranan, saat melihat semua orang yang ada di kantor sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti. Yang tampak begitu jelas, mereka melihat Laura dengan sinis seolah-olah dia adalah makhluk yang paling menyebalkan. Wanita itu segera melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan mendapati jika ini masih pagi. Itu artinya dia belum terlambat. Lantas kenapa semua orang melihatnya seperti tidak suka? Tak ingin terlalu memikirkan apa yang belum pasti, Laura berjalan dengan cepat. Mungkin di atas nanti dia bisa bertanya dengan Ethan. Namun, saat pintu lift terbuka, wanita itu sedikit kaget ketika melihat ada Harry dan juga Ethan. Selain itu, tak ada orang lain lagi selain mereka berdua, yang membuat kaki Laura mundur perlahan, sembari berkata, "maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda ada di dalam lift." Dia tampak sungkan. Apalagi mengingat bagaimana tawaran Harry kemarin. Ah, tidak! Lebih tepatnya Laura masih membayangkan bagaimana aroma parfum
“A-aku tidak menduga jika semua akan jadi seperti ini,” ujar Laura dengan wajah menunduk. Dia melupakan sikap profesionalnya sebagai sekretaris Harry, setelah tahu masalah apa yang terjadi sekarang. Laura seolah tidak punya muka lagi karena sudah membuat Harry malu. “Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Harry dengan intonasi suaranya yang terdengar dingin. Pria itu tampak sangat jelas jika sedang mengintimidasi Laura sekarang. Laura mendongakkan wajah, dan menatap Harry yang tampak tenang, seolah tak terjadi apa pun. Padahal Laura yakin jika Harry hanya berpura-pura dengan sikap tenangnya sekarang. Pria itu hanya masih memendam amarahnya saja sebelum meledak. Laura yakin itu. “Aku akan mengatakan yang sebenarnya, kalau kita tidak memiliki hubungan apa pun.” Kedua alis Harry berkerut hingga menjadi satu. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap Laura dengan lekat, membuat wanita itu tak bisa berkutik. Laura merasa seperti sedang di
"Jangan bicara omong kosong, Harry!" Rona merah di pipi Laura tampak ketara karena kekesalan wanita itu. Dia berdiri, dan hendak meninggalkan Harry yang masih menatapnya dengan santai. Kenapa pria itu selalu memaksakan kehendaknya seorang diri? “Kau mau ke mana?” “Pergi! Sudah kukatakan berulang kali, aku tak akan pernah setuju dengan idemu itu!” “Kau yakin?” Laura menghentikan kakinya. Wanita itu berbalik, dan menatap Harry yang sedang melihat ke arahnya—seolah sedang menantang wanita itu. “Aku tidak akan pernah—“ Tring! Laura menghentikan kalimatnya, dia melihat ke arah ponsel dalam genggamannya yang bergetar. Rasa kesal wanita itu kian memuncak saat dia melihat nama Caroline yang tertera di sana. “Sstt, untuk apa lagi dia menghubungiku?” batin Laura. Tak ingin Harry tahu permasalahan dia dan kakaknya, Laura menolak panggilan Caroline, dan kembali menatap Harry yang sedang melipat tangan di depan dadanya, dengan sikap angkuh. “Ingat, sampai kapan pu
Wajah Caroline dan Sam tampak memucat begitu mereka melihat siapa yang sedang bersama dengan Laura sekarang. Melihat bagaimana ekspresi dingin Harry, tenggorokan mereka tiba-tiba saja terasa kering. Jadi, Laura benar-benar bersama dengan seorang Harry Thompson? Melihat dua orang yang sejak tadi mentertawakan Laura terdiam, tanpa basa-basi lagi Harry segera memutuskan panggilan itu secara sepihak. Dengan wajah kesal, dan suara yang terdengar ketus, Harry menyerahkan ponsel yang dipegangnya kepada Laura. “Kau ingin dihina seperti ini terus?” “Jangan ikut campur!” Laura mengusap air matanya yang jatuh tanpa bisa dia cegah tadi. Wanita itu tak mau kelihatan lemah di depan orang lain. “Aku pergi!”Namun, belum ada selangkah Laura pergi, Harry kembali menarik tangan wanita itu saat berbalik untuk meninggalkannya. Jelas, dia tahu bagaimana perasaan Laura sekarang. Wanita itu dikucilkan dan dihina oleh saudara kandungnya sendiri. Itu jelas lebih menyakitkan daripada pengkhianatan
“Silakan baca semua syarat yang tertera. Apa semua sudah sesuai dengan keinginanmu atau tidak." Harry menyerahkan surat perjanjian kontraknya pada Laura yang duduk santai di hadapannya. Sekarang, tak ada siapa pun kecuali mereka berdua di dalam ruangan. Dengan gerakan tangan pelan, Laura menerima lembaran kertas berisi kontrak pernikahannya dengan pria itu. Wanita itu membaca dan mencermati semua dengan saksama. Sebelum ini, mereka berdua sama-sama mengajukan persyaratan. Jadi, Laura hanya tinggal memastikan, apakah Harry benar-benar menulis apa saja yang sudah dia ajukan pagi tadi. “Denda 100 juta dollar?” Wajah Laura terperangah saat dia melihat angka yang tertulis di sana. “Kau pasti bercanda, kan? Dari mana aku dapat uang sebesar itu?” Harry sedikit menundukkan tubuhnya—hingga posisi mereka cukup dekat sekarang. Matanya yang tajam, langsung menatap Laura dengan lekat. “Itu akan terjadi jika kau melanggar peraturan di dalam kontrak kita. Jika tidak, maka tak akan ada
"Ayo, turun!" ujar Harry ketika mobil yang dikendarainya berhenti di depan store pakaian dengan brand mewah. Laura hanya bisa mengangguk dengan perlahan. Dia tak punya alasan untuk menolak ataupun membantah perintah Harry, saat memintanya untuk datang ke tempat itu. Dia sudah setuju dengan kontrak pernikahan mereka tadi, itu artinya Laura setuju dengan semua yang berhubungan dengan apa yang ada di dalamnya, termasuk diperkenalkan secara resmi kepada orang tua pria itu. Mata biru Laura tampak begitu kagum ketika mereka melangkah masuk ke dalam store tersebut. Sungguh, seumur hidup Laura, dia tak pernah belanja dan membeli baju di store ini. Ya, hanya saja sesekali Antonio memberikannya sebagai hadiah yang sangat berharga bagi Laura. Wanita itu bahkan tak henti-hentinya merasa kagum, saat melihat para pramuniaga toko langsung datang dan menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat. Salah satu pria berpakaian rapi datang dan langsung menyambut Harry dan Laura dengan seny
"Kau memecatku?" tanya Laura dengan ekspresi tak percaya. "Memangnya aku melakukan kesalahan apa?” Harry mengendikkan bahunya. “Kau kan sudah mendapatkan bayaran mahal dariku. Jadi, jangan serakah!” “Bukan seperti itu ... kontrak kerja kita tidak seperti itu. Aku tidak bisa mengundurkan diri sebelum masa akhir kontrak, kau juga tidak bisa memecatku seenaknya!” sanggah Laura yang masih tidak terima dengan keputusan Harry yang tiba-tiba. Pria itu memecatnya tanpa pemberitahuan. Laura bukan serakah, dia hanya ingin bekerja keras dan mengumpulkan banyak uang, sebelum nanti berpisah dengan Harry. Setidaknya, Laura harus punya persiapan sebelum berstatus janda nanti. “Aku tidak memecatmu seenaknya. Aku punya alasan untuk itu, Laura." “Apa alasanmu? Beritahu aku sekarang!" Harry langsung menjentikkan jarinya di depan Laura yang masih terlihat bingung. “Kau tidak membaca se
"Aktingmu tadi sangat luar biasa, Harry." Harry melihat Laura yang sedang bertepuk tangan dengan wajah riang. Lalu, setelah itu Laura segera menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, yang mana semakin membuat Harry kebingungan. "Maksudmu?" "Kau membelaku di depan ibu mertuaku. Harus kuakui kau cocok jika menjadi aktor," sindir Laura dengan melipat kedua tangan di depan dada. Sungguh, dia nyaris terbawa perasaan karena perlakuan Harry tadi. Harry bersikap sangat baik, seolah dia benar-benar mempercayai dan mencintai Laura di depan ibunya. "Bayaranku akan sangat mahal. Mereka tidak akan mampu membayarnya." "Dasar narsis!" "Sekarang apa yang akan kau lakukan?" "Tidur. Apalagi? Aku masih libur, kan?" Laura meletakkan ponselnya, dan langsung menatap Harry yang juga sedang melihat ke arahnya. Pria itu hanya meng
Kata-kata yang terlontar dari mulut Harry tadi benar-benar membuat hati Laura sakit. Tidak! Bukan karena Harry yang berkata tidak akan menyukainya. Lagi pula, dia memang tidak pernah berharap akan hubungan mereka ini. Walaupun malam tadi, terlintas keinginan dalam benaknya untuk bisa memiliki Harry, tetapi setelah sadar Laura segera membuang jauh-jauh semua pemikirannya itu. Hanya saja, perkataan Harry tadi terlalu kejam. Dia berkata seolah-olah Laura adalah wanita menjijikan, yang tak pantas untuk dicintai siapa pun. "Ya, aku sadar dengan posisiku dan juga siapa diriku," ujar Laura dengan suara pelan, setelah beberapa saat terdiam. Wanita itu hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Berharap dengan itu, dia juga bisa membuang semua rasa sesak di dalam hati yang tiba-tiba hadir. Melihat raut wajah Laura yang berubah, Harry pun terdiam. Tenggorokannya terasa seperti tercekat, saat dia hendak menjawab ucapan dari wanita di hadapannya ini. "Kau turun duluan saja.
“Segera bersiap-siap, orang tuaku, dan teman-temanku menunggu di bawah. Kita akan sarapan bersama.” Laura hanya mendengus mendengar perintah Harry. Dia menatap pria yang sudah rapi dengan pakaian santainya, dengan tatapan tidak suka. “Kau turun saja lebih dulu. Aku akan menyusul.” Tangan Harry yang sedang memakai jam tangan berhenti. Pria itu menoleh, dan melihat wajah Laura yang masam. “Kita turun bersama!” ujar Harry dengan tegas. “Kenapa wajahmu seperti itu? Kau mau semua orang tahu jika pernikahan kita ini hanya kontrak saja?” “Aku tidak akan seceroboh itu, Tuan Harry Thompson! Akan kupastikan semua orang percaya jika kita saling mencintai.” Laura langsung menyunggingkan senyumnya, walau terpaksa. Dia masih kesal dengan sikap Harry saat baru bangun tidur tadi. “Memang seharusnya begitu. Aku membayarmu dengan mahal, sudah sepatutnya kau melayani aku,” sindir Harry yang la
Mendengar ancaman dari Harry, Laura terpaksa diam. Wanita akhirnya hanya bisa pasrah berada dalam pelukan pria besar yang ada di bawahnya. Setelah saling diam, tanpa suara sama sekali, Harry menurunkan tubuh Laura ke sisinya. Pria itu berbaring miring, dan memeluk Laura yang lagi-lagi dibuat terlonjak dengan tingkah Harry. Sungguh, Laura tak bisa menahan debaran di dalam dadanya, ketika tangan besar Harry melingkar di atas perutnya yang ramping. “Pejamkan matamu!” bisik Harry tiba-tiba, yang langsung membuat Laura memejamkan matanya dengan cepat. “Gadis pintar. Selamat malam!”Laura bergeming. Wanita itu hanya bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri yang berdebar dengan kuat. Tubuhnya terasa kaku karena ini pertama kalinya dia berada sedekat ini dengan seorang pria. Setelah mendengar suara napas Harry yang teratur, Laura memberanikan diri untuk membuka matanya. Dia memiringkan wajahnya, hingga tatapan matanya bisa bertemu langsung dengan wajah Harry yang tampak damai.
"Harry, kenapa kau diam saja?" cecar Austin lagi. "Bagaimana dengan pertanyaan Dominic? Kau memaksa sekretaris-mu untuk menjadi istrimu?"“Brengsek!” Harry memaki Austin. Pria itu mengusap wajahnya karena tiba-tiba saja merasa gugup. "Aku bukan pria seperti itu. Kami menikah karena memang sudah waktunya," sanggah Harry, tampak menyakinkan kedua temannya. Austin masih tampak belum puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh temannya itu. "Jadi, kalian benar-benar saling mencintai, kan? Ini bukan pernikahan "palsu", kan, Harry?" Begitu juga dengan Dominic. Bedanya pria itu hanya diam dan mengamati gerak-gerik Harry yang jelas terlihat gelisah. "Kurasa kau mulai mabuk, Austin? Pertanyaanmu tak masuk akal!" Harry kembali mengambil botol wine dan menuangkannya ke dalam gelas. Dia tak mau jika Austin terus-menerus membahas tentang dirinya dan juga Laura. Maka dari itu, Harry berusaha untuk mengalihkan perhatiannya sendiri, d
“Kepastian tentang kapan kontrak pernikahan kita akan berakhir?” Deg! Harry tertegun. Pria itu diam dengan tatapan yang penuh arti. Sebelum ini, mereka memang tidak pernah membahas tentang kapan akhir kontrak mereka. Bahkan, Harry tak pernah memikirkan tentang hal itu dari kemarin. “Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Laura berjalan menghampiri Harry yang berdiri mematung. “Aku hanya butuh kepastian. Aku tidak mau terus hidup dalam kepura-puraan seperti ini.” Harry memandang mata biru milik Laura yang menyiratkan banyak arti. Wanita itu berubah menjadi sedikit pendiam dari pagi tadi, apa ini alasannya? Dengan membuang wajahnya, Harry berkata dengan suara yang dingin. “Kalau begitu ingat baik-baik, kontrak pernikahan kita akan berakhir jika masing-masing dari kita sudah menemukan orang yang kita cintai.” Laura menga
Resepsi pernikahan Harry dan Laura berlangsung dengan mewah. Banyak tamu undangan yang hadir dari kalangan kelas atas, rekan bisnis Harry dan Tuan Thompson juga. Harry dan Laura terus menebar senyum kepada setiap orang yang memberi selamat pada mereka. Wajah Nyonya dan Tuan Thompson juga tampak gembira, meski awalnya Nyonya Thompson terus menolak Laura, sekarang mau tak mau dia harus menerima wanita itu sebagai menantunya. Senyum Harry mengembang, dan wajahnya tampak senang begitu melihat kedua sahabatnya datang. “Selamat, Bro. Akhirnya kau menyusul kami juga.” Austin memeluk Harry dengan perasaan haru. Begitu juga dengan Dominic. Pria tampan itu datang dan memberikan selamat kepada Harry dan juga istrinya. “Aku pikir kau sudah mati rasa.” “Sialan!” Harry memukul dada Dominic dengan tawa pelan. “Aku masih normal, kan? Kalian saja yang tidak sabar.” “Uncle Harry.” Leo dan Felix memanggil Harry secara bersamaan. Kedua anak laki-laki yang sama-sama memakai tuxedo
Satu hari bersama Harry sama seperti satu pekan rasanya. Laura tak henti-hentinya dibuat bertanya-tanya dengan sikap Harry yang berubah-ubah. Pria itu kadang bersikap manis, tetapi dia lebih sering bersikap menjengkelkan. Seperti pada malam tadi, Harry tiba-tiba saja menerobos masuk ke dalam kamar Laura. Entah apa yang pria itu pikirkan, dia langsung tertidur begitu saja, tanpa peduli ketika Laura berusaha mengusirnya. Kini, Laura tampak menghela napas panjang di depan cermin. Bayangan hari kemarin yang dia habiskan terasa begitu panjang. Hingga tak terasa, hari ini pun tiba. Laura menatap dirinya sendiri di depan cermin. Wajahnya sudah dipoles dengan make up yang membuat wajahnya tampak segar. Gaun putih pengantin yang dicoba beberapa hari lalu, entah kenapa sekarang tampak berbeda di matanya. Gaun itu tampak begitu pas, dan membuat Laura tampak sangat indah. “Anda sangat cantik, Nona.” Lamunan Laura buyar. Dia menatap ke arah penata rambut yang juga sedang ters