Suara pintu yang berderit, membuat Laura membuka matanya. Samar-samar, dia melihat siluet dari sosok laki-laki yang berdiri dengan tenang di depan pintu.
“Antonio,” panggil Laura lirih pada pria berpakaian rapi itu. Dia adalah kakak laki-laki Laura. Putra sulung Keluarga Green. Antonio membuka pintu dengan lebar. Lalu, dia melangkah masuk—membuka tirai-tirai yang menutupi jendela, membuat cahaya matahari masuk ke dalam kamar. Tak ada suara lain yang terdengar, selain derap langkah kaki dari pria berkulit putih itu. “Cepat pergi dari rumah ini.” Suara Antonio terdengar tenang. Tanpa menoleh sama sekali, dia masih menatap ke arah luar di tepi jendela kaca. “A-aku memang ingin pergi, tapi papa yang mengurungku di sini.” Antonio berbalik, menatap Laura yang tampak berantakan. “Kalau begitu, pergilah sekarang!” “Kau kembali untuk membebaskan aku?” tanya Laura. Dia berharapLaura berlari-lari saat hendak masuk ke dalam lift. Dia sudah terlambat tiga puluh menit, dari jam masuk kerja yang seharusnya. Dia harus bersyukur karena pagi tadi Antonio datang. Jika tidak, Laura sama sekali tidak tahu bagaimana nasibnya, atau mungkin pekerjaannya bisa saja hilang. Napas wanita itu naik turun di dalam lift. Sekarang Laura hanya berharap jika Harry belum datang, atau dia bisa minta kompensasi karena sudah lembur malam tadi. “Kau terlambat tiga puluh lima menit.” Bariton tegas itu membuat Laura tersentak, saat pintu lift terbuka. Jantung Laura hampir lepas saat dia melihat tatapan Harry yang dingin, dan tampak mengancam. Sorot mata Harry jelas menyiratkan jika dia sangat kesal sekarang. “Maaf, Tuan. Malam tadi saya lembur. Jadi, saya—“ “Tutup mulutmu! Aku tidak mau mendengar alasan apa pun lagi! Hari ini aku masih memaklumi, tapi tidak dengan di lain waktu. Paham!" bentak Harry yang langsung membuat Laura terdiam. Setelah itu, pria yang memaka
“Sudah jangan banyak bicara!” Harry mengabaikan tatapan penuh tanya dari mata Laura. Pria itu segera pergi meninggalkan Laura yang masih berdiri diam.“Sediki-sedikit mengancam mau memecatku. Dasar arogan!”“Laura,” panggil Harry yang langsung berbalik. Dia menatap wanita itu dengan tajam. “Aku bisa mendengar kata-katamu tadi. Kau mau aku pecat sekarang juga?”Laura menggeleng cepat. Dia segera berlari menyusul Harry, seraya tersenyum dengan mata menyipit. “Maafkan saya, Tuan. Lain kali saya akan menjaga ucapan saya.”“Bisa kupegang ucapanmu?”Laura mengangguk dengan senyum yang dibuat-buat. Sungguh, sebenarnya di dalam hati dia sangat muak dengan sikapnya sendiri yang sok manis di depan Harry sekarang.Mendadak Harry bergeming. Pria itu menggeleng, dan langsung pergi meninggalkan Laura yang masih tersenyum begitu saja. Dia merasa bulu kuduknya berdiri sekarang. “Kenapa senyum wanita itu sangat menakutkan?"Harry merasa tubuhnya merinding. Bahkan di dalam mobil pun dia memilih diam,
“Kau mengatai aku wanita gila?” Laura tertawa sembari menatap Harry dengan sinis. “Kalau seperti itu, kau juga berarti pria gila. Mana ada orang waras yang mau dengan wanita gila?” Napas laura tersengal-sengal karena emosinya yang tak tertahankan lagi. Bisa-bisanya pria itu bicara sembarang, di depannya langsung. Bukannya merasa tersinggung, Harry justru mengabaikan ocehan Laura begitu saja. Pria itu menghentikan mobilnya begitu sampai di depan restoran. “Ayo, turun! Aku sudah sangat lapar.” “Bisa-bisanya kau mengajakku makan setelah bicara sembarangan tentangku tadi.” Laura menggeleng dengan wajah tak percaya.Dia bahkan sudah melupakan tentang sopan santunnya pada Harry yang berstatus atasannya. Biarkan saja! Laura sama sekali tidak peduli. Lagi pula orang seperti Harry tak pantas untuk dihormati. Sungguh, Harry adalah pria paling arogan yang pernah dia temui. “Kau mau makan atau tidak?” “Selesaikan dulu masalah kita. Kau harus berjanji tidak akan bicara tentang perni
Malam harinya, Laura duduk di balkon dengan terus termenung. Dia masih memikirkan tentang ucapan Harry siang tadi. Pria itu menawarkan pernikahan kontrak, dengan keuntungan yang membuat Laura mau tak mau terus mempertimbangkannya. “Jika kau menjadi istriku, status sosialmu akan naik, Laura. Kau tidak menginginkan itu?” Saat itu, Laura bergeming, merenungkan tentang semua ucapan pria bermata hazel di sisinya ini. Apa yang Harry katakan itu tidak salah. “Aku yakin, kau ingin membuktikan kepada semua orang jika sekarang kau mampu berdiri sendiri, kan?” Laura kembali menatap Harry dengan kening berkerut. “Anda jangan sok tau,” kilah wanita itu. Dia langsung memalingkan wajah. Laura tak suka saat Harry mulai bisa melihat dan mengetahui apa keinginannya. Melihat sikap skeptis Laura, Harry menjauhkan wajahnya. Pria itu mengambil tisu dan mengelap bibirnya, setelah itu berdiri dan menatap Laura sebentar. “Aku tunggu jawabanmu besok. Ingat, jika kau menolak maka tidak akan ada lagi
Sementara itu, di tempat lain Harry tampak kesal dengan wanita yang ada di depannya sekarang. Jika bukan karena permintaan ayah dan ibunya, mungkin dia sudah mengusir wanita ini sejak tadi. “Jadi, wanita tidak jelas yang kau bawa waktu itu … dia bukan benar-benar kekasihmu, kan, Harry?” Eva bertanya dengan serius. Wajahnya bahkan tampak kesal karena sejak tadi Harry mengabaikannya begitu saja. “Harry, kau dengar aku tidak, sih?” “Namanya Laura, dan dia benar-benar kekasihku." Harry menjawab dengan nada yang enggan. Dia sudah ingin pergi dari tempat ini sekarang juga. “Bohong! Kau pasti hanya berbohong seperti sebelumnya. Ibumu bilang sejak hari itu, kau belum ada membawa wanita itu lagi. semua itu sudah jelas jika kau berbohong, Harry." Harry berdecak mendengar ocehan Eva yang terdengar keras kepala. Wanita itu masih ingin memaksakan kehendaknya dengan sesuka hati. Lagi pula, Eva itu bukanlah tipenya, tetapi mengapa wanita itu tidak pernah sadar sama sekali? Eva me
Laura tampak keheranan, saat melihat semua orang yang ada di kantor sedang menatapnya dengan tatapan penuh arti. Yang tampak begitu jelas, mereka melihat Laura dengan sinis seolah-olah dia adalah makhluk yang paling menyebalkan. Wanita itu segera melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya, dan mendapati jika ini masih pagi. Itu artinya dia belum terlambat. Lantas kenapa semua orang melihatnya seperti tidak suka? Tak ingin terlalu memikirkan apa yang belum pasti, Laura berjalan dengan cepat. Mungkin di atas nanti dia bisa bertanya dengan Ethan. Namun, saat pintu lift terbuka, wanita itu sedikit kaget ketika melihat ada Harry dan juga Ethan. Selain itu, tak ada orang lain lagi selain mereka berdua, yang membuat kaki Laura mundur perlahan, sembari berkata, "maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau Anda ada di dalam lift." Dia tampak sungkan. Apalagi mengingat bagaimana tawaran Harry kemarin. Ah, tidak! Lebih tepatnya Laura masih membayangkan bagaimana aroma parfum
“A-aku tidak menduga jika semua akan jadi seperti ini,” ujar Laura dengan wajah menunduk. Dia melupakan sikap profesionalnya sebagai sekretaris Harry, setelah tahu masalah apa yang terjadi sekarang. Laura seolah tidak punya muka lagi karena sudah membuat Harry malu. “Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Harry dengan intonasi suaranya yang terdengar dingin. Pria itu tampak sangat jelas jika sedang mengintimidasi Laura sekarang. Laura mendongakkan wajah, dan menatap Harry yang tampak tenang, seolah tak terjadi apa pun. Padahal Laura yakin jika Harry hanya berpura-pura dengan sikap tenangnya sekarang. Pria itu hanya masih memendam amarahnya saja sebelum meledak. Laura yakin itu. “Aku akan mengatakan yang sebenarnya, kalau kita tidak memiliki hubungan apa pun.” Kedua alis Harry berkerut hingga menjadi satu. Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu menatap Laura dengan lekat, membuat wanita itu tak bisa berkutik. Laura merasa seperti sedang di
"Jangan bicara omong kosong, Harry!" Rona merah di pipi Laura tampak ketara karena kekesalan wanita itu. Dia berdiri, dan hendak meninggalkan Harry yang masih menatapnya dengan santai. Kenapa pria itu selalu memaksakan kehendaknya seorang diri? “Kau mau ke mana?” “Pergi! Sudah kukatakan berulang kali, aku tak akan pernah setuju dengan idemu itu!” “Kau yakin?” Laura menghentikan kakinya. Wanita itu berbalik, dan menatap Harry yang sedang melihat ke arahnya—seolah sedang menantang wanita itu. “Aku tidak akan pernah—“ Tring! Laura menghentikan kalimatnya, dia melihat ke arah ponsel dalam genggamannya yang bergetar. Rasa kesal wanita itu kian memuncak saat dia melihat nama Caroline yang tertera di sana. “Sstt, untuk apa lagi dia menghubungiku?” batin Laura. Tak ingin Harry tahu permasalahan dia dan kakaknya, Laura menolak panggilan Caroline, dan kembali menatap Harry yang sedang melipat tangan di depan dadanya, dengan sikap angkuh. “Ingat, sampai kapan pu
“Apa masih sakit?” “Ah, i-itu tidak lagi,” jawab Laura sedikit gagap. Wanita itu kembali tersentak begitu merasakan jarinya yang kembali basah karena Harry yang kembali menghisap darahnya. Lutut Laura lemas seketika. Rasanya dia hampir terjatuh. Bukan karena darah yang keluar, tetapi karena tindakan Harry yang lagi-lagi tidak terduga. Padahal sebelumnya pria itu yang memperingatkan Laura untuk tidak bertindak sesuka hati, dan menyebabkan kesalahpahaman antara mereka. Namun, sekarang kenapa justru Harry yang selalu membuat jantungnya berdegup tidak karuan? “Kalau seperti ini, bisa-bisa aku kena serangan jantung," gumam Laura. “Apa?” tanya Harry yang tidak sengaja mendengar gumaman Laura. Pria itu langsung mendongak, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut istrinya. “Ah, bukan apa-apa." Laura segera menarik tangannya. "Sudah selesai, kan? Aku harus memoto
“Kalian sudah pulang?” Laura menggigit bibirnya sendiri dengan perasaan khawatir. Sementara itu, Harry segera berjalan masuk menghampiri ibunya, dan berusaha membuang semua perasaan gugupnya. “Kapan Mama sampai?” “Belum lama. Kira-kira lima belas menit yang lalu. Kalian dari mana?” Harry merangkul bahu ibunya. Dengan mengajak berbicara, pria itu juga membawa wanita paruh baya itu keluar dari dalam kamar tanpa disadari. “Aku ke kafe Dominic. Setelah itu, kami ke taman wisata mengajak Leo bermain.” “Ah, Leo. Mama jadi ingin bertemu lagi dengan anak itu.” “Kapan-kapan aku akan membawanya pulang,” ujar Harry. Pria itu menoleh ke belakang—menatap Laura dengan kode yang hanya bisa dimengerti oleh keduanya. “Kita turun ke bawah, oke?” “Ya, lagi pula Mama tadi berpikir jika kalian masih tidur di dalam sana.” Harry menggeleng
Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Laura terpaksa tertawa terbahak-bahak agar pria itu lupa dengan apa yang Anna katakan tadi. “Kau seperti tidak tau wanita saja,” ujar Laura sembari menepuk bahu suaminya. “Semua orang pasti akan bicara seperti itu pada pasangan yang baru menikah, kan?” Harry menjauhkan tubuhnya lalu mengangguk pelan. “Kau benar juga.” “Iya. Abaikan saja omong kosong Anna tadi.” Laura masih tertawa seraya menutup mulutnya. Harry hanya menganggukkan kepalanya. Pria itu segera menginjak pedal gas, dan meninggalkan area parkir kafe milik Anna. Sementara itu, Laura menghela napas lega melihat Harry kembali terdiam—dan tidak bertanya apa pun lagi. Dia benar-benar tidak ingin pria itu marah padanya dan menjadi salah paham. *** “Aku lelah sekali.” “Kau ingin makan malam di luar?” Harry menoleh, dia menatap Laura yang sedang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi mobil. Mereka menghabiskan banyak waktu bermain dengan Leo di taman hiburan tadi. Sampai
"Kau pernah sekolah memasak?” tanya Laura seraya melihat gerakan tangan Anna yang gesit. Dia benar-benar kagum dengan kelihaian yang Anna miliki. “Aku hanya kursus sebentar. Selebihnya, aku bisa karena aku memang suka memasak.” “Wah, mungkin itu yang dinamakan bakat alami.” Anna tertawa pelan mendengar ucapan Laura. “Kau bisa datang ke sini kalau mau belajar juga.” “Sungguh?” “Iya. Anggap saja supaya kita bisa kenal lebih dekat. Kemarin itu kita belum sempat berkenalan lebih jauh lagi.” Anna menghela napas dengan panjang. “Leo benar-benar rewel kemarin, maka dari itu kami langsung pulang.” “Tidak masalah. Kalau begitu kapan-kapan aku akan datang ke sini.” “Kalau aku tidak ada, kau bisa langsung menemui para karyawan di sini. Aku sudah memberitahu mereka.” Laura mengangguk, sangat antusias. Sesaat, dia lupa dengan apa yang terjadi sebelum datang ke tempat ini.
“Ini gila, Harry.” Laura sudah tak punya wajah lagi di hadapan suaminya. Bagaimana bisa ayahnya meminta tolong, sembari memberikan ancaman seperti itu? “Ayo, kita pergi saja dari sini,” ujar Laura lagi. Dia menarik tangan Harry, tetapi pria itu sama sekali tidak bergerak. Harry bergeming. Pria itu tetap berdiri dengan wajah tenang, yang justru bisa membuat semua orang yang ada di sana bergetar ketakutan. Melihat bagaimana cara Harry menatapnya, Tuan Green segera berdiri. Pria paruh baya itu membersihkan tangannya dengan senyum kaku. “Maafkan kami, Nak. Aku—“ “Apa yang akan kudapatkan jika aku bisa menolong kalian?” tanya Harry memotong ucapan ayah mertuanya. Pertanyaan yang dilontarkan Harry langsung membuat perhatian keluarga Green, dan Laura beralih padanya. “Ka-kau serius, Nak? Kau sungguh-sungguh akan membantu kami?” “Harry, jangan berbuat gila!” Harry menoleh ke arah Laura. Pria itu berdiri dengan sikap santai—memasukkan kedua tangannya di dalam saku celana, yang e
Laura dan Harry kompak berbalik. Tatapan mata berwarna biru itu berhenti setelah dia melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. Semua anggota keluarga Green ada di depannya. Ayah, ibu, dan Caroline yang sedang tersenyum ke arah mereka berdua. Melihat itu, Laura berdiri mematung dengan perasaan tak menentu. Sebelumnya, Laura sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi, tetapi dia tidak menduga jika waktunya akan secepat ini. "Laura, dia suamimu?" tanya Tuan Green sembari melihat ke arah Harry yang berdiri di samping putri bungsunya itu. "Halo, Nak. Akhirnya kita bertemu juga," sapa Tuan Green tanpa menunggu jawaban dari Laura. *** “Kami tidak tahu kapan kalian menikah.” Tuan Green mulai membuka percakapan di antara mereka. Setelah bertemu di depan kantor polisi tadi, Harry memutuskan untuk mengajak semua anggota keluarga istrinya ke restoran. Meskipun L
“Aku hanya ingin memberinya pelajaran,” jawab Laura dengan mengalihkan tatapan matanya. Dia tidak ingin Harry tahu apa alasannya datang ke sana, dan yang terjadi di dalam keluarganya. Itu sangat memalukan. “Keluargamu ada masalah?” “Aku tidak tau.” Laura menjawab dengan cepat. Wajahnya sedikit panik. “Mereka bukan urusanku lagi. Lagi pula untuk apa aku masih menganggap mereka keluarga? Ayahku sendiri yang memutuskan hubungan itu.” “Itu benar. Jadi, kau menemui laki-laki itu bukan karena kakakmu, kan?” Laura terdiam, dan menatap Harry dengan sedikit bingung. Dari mana Harry bisa tahu jika dia menemui Sam karena Caroline? Laura langsung bangkit dengan cepat, dan terduduk. Dia menyandarkan tubuhnya ke belakang, dengan mata yang menatap langit-langit kamar mereka. Seharusnya, Laura memang tidak memedulikan Caroline lagi. Namun, ketika dia tahu bahwa
Harry mendekat begitu mendengar ucapan Laura dengan perasaan yang tidak bisa dia artikan. Kemudian, dia menyentuh pipi Laura yang terasa sangat panas. Tidak hanya itu, keringat wanita itu juga bercucuran. Wajah Harry tampak sangat panik. Seharusnya demam Laura sudah turun karena dia baru saja meminum obat, tetapi kenapa suhu tubuh wanita itu justru semakin tinggi?Ketika Harry hendak pergi untuk mengambil ponselnya, lagi-lagi Laura menarik tangannya dengan erat. “Mama, temani aku malam ini,” ucap Laura lirih. Mendengar permintaan Laura, mau tak mau Harry akhirnya memilih untuk duduk. Pria itu terdiam dengan sorot mata yang penuh arti. Laura menggenggam tangannya dengan kuat, seolah dia tidak mau kehilangan lagi. Harry tidak pernah tahu seperti apa hidup yang dialami wanita ini. Seperti apa hubungannya dengan semua anggota keluarganya. Namun, satu h
Laura membuang wajah. Wanita itu tampak gugup seketika. “A-aku hanya terbiasa hidup dalam kekerasan.” “Mantan kekasihmu sering melakukan hal seperti ini?” “Ti-tidak. Ini yang pertama kali. Dulu dia tidak seperti ini.” “Dari dulu dia memang seperti itu. Kau hanya baru tahu sekarang.” Harry membuang kapas yang dia gunakan untuk membersihkan luka Laura. Kemudian, dia mengambil salep dan mulai mengoleskannya dengan pelan. “Kau boleh mengeluh kalau ini terasa sakit.” Laura menggeleng kuat. “Ini tidak sakit sama sekali.” Ya, Laura benar. Dia tidak berbohong. Semua luka-luka yang dia rasakan sekarang belum ada apa-apanya dibandingkan luka-luka yang biasa dia dapatkan dari ayahnya. Harry terdiam. Pria itu memilih untuk tidak menanyakan sesuatu lagi. Dia hanya sesekali melihat kening Laura yang tampak berkerut, menahan sakit. “Sudah selesai.”