Holla, MyRe. Bagaimana menurut kalian? Nanda jodohnya siapa nih? Jema si problematik, Pepita si Arogan atau Nami si gadis desa? Dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, komentar manis di kolom review dan jangan lupa doa baiknya, MyRe. IG:@deasta18 (Kalau banyak yang suka Nanda, nanti visualnya CaCi buat di IG yah.)
"Kenapa? Ketar ketir? Takut? Deg degkan? Berani menculik ku, tapi takut suamiku saat kusuruh datang ke sini. Aneh kamu, Pak Tua." Lea tersenyum remeh pada Yoga dan Mira. Tak lama seorang perempuan datang dan mendorong Lea. Untung Lea bisa menjaga keseimbangan. "Apa maksudmu, Hah?" marah Lea pada Arukima–adik perempuannya yang mendapat semua kasih sayang dari orang tua mereka. "Kalau bayi dalam perutku kenapa-napa, kamu pikir kamu akan tetap baik-baik saja? Suamiku akan mengulitimu hidup-hidup!" "Ayah!" Arumika memekik marah, tak suka melihat Lea dibawa pulang ke rumah ini dan semakin kesal mendengar ucapan Lea yang menyebut jika dia sedang hamil. "Aku tidak mau dia di sini. Aku tidak mau, Ayah. Aku tidak mau kasih sayang kalian terbagi padanya! Dia itu anak pembawa sial, tidak punya kemampuan, jelek dan jahat. Ayah, usir dia!" "Diam kamu, Arumika!" bentak Yoga pada putri kesayangannya. Dia kesal mendengar ucapan Lea padanya, akan tetapi dia jauh lebih kesal melihat Arumika me
Yoga membeku ketika Lea menyinggung pasal kematian Denis. "Kalau kamu membenciku, bunuh saja aku. Kenapa harus Papa dan Mamaku, Pak Yoga? Atau … kamu sengaja membunuh mereka karena supaya bisa melihatku tersiksa lebih dalam di dunia ini?! Tapi dia adikmu, Papaku adik kandungmu yang sering membantumu saat kamu kesusahan." Suara Lea terasa datar tetapi pancaran matanya penuh kesedihan. Mira membenci perkataan Lea, akan tetapi hatinya tersayat-sayat. Dia benci karena anak yang dia lahiran jauh lebih menyayangi orang lain dibandingkan dirinya. Akan tetapi dia sedih karena … dia tidak bisa menjabarkan bagaimana sedih ini bisa hadir. "Orangtuamu itu kami, Lea. Bukan mereka." Mira mencicit pelan. "Kamu dan suamimu membuatku beranggapan jika yatim piatu jauh lebih menyenangkan dibandingkan memiliki orangtua." Lea berkata serak, bersamaan dengan sebulir kristal yang jatuh dari pelupuk, "tapi Papa Danis dan Mama Intan, mereka membuatku merasa jika orangtua adalah anugerah terindah ya
"Selain usaha milik Denis Pratama, hancurkan semua bisnis keluarga Pratama. Buat mereka semua melarat." Haiden berkata dingin, penuh kemarahan dan dendam menbara pada Nanda. Nanda menganggukan kepala, "aku mengerti, Den. Tapi … bukankah menghancurkan kekayaan Pratama itu terlalu mudah? Maksudku-- kau seorang Haiden, melenyapkan sesuatu yang tak kau suka itu sangat mudah bagimu." Haiden menggeleng pelan. "Aku tidak bisa. Bagaimanapun mereka keluarga Azalea-ku. Se benci apapun Azalea pada orangtua dan adiknya, aku tahu Azalea menyimpan kasih sayang jauh dalam lubuk hatinya." "Wakatta." Nanda mengagukkan kepala, "dendam pada seseorang yang dikasihi oleh orang yang kita cintai memang sulit. Ada hal yang harus kita tahan dari dendam itu agar tak melukai orang yang kita cintai." Haiden menaikkan alis, menoleh pada Nanda yang terasa sangat bijak. Tumben! "Wah, Den. Kau semakin menakjubkan." Nanda tersenyum lebar, "kau orang yang sangat sulit menahan emosi. Jika kau sudah membencinya
"Aaaaa … Kak Deden, lihat istri kamuuuuuu!" jerit Ziea kencang. Lea cengenges dan cengar cengir. Brak' Pintu ruangan terbuka dengan kuat, memperlihatkan Haiden yang memasang wajah cemas. Bagaimana tidak? Adiknya berteriak sangat kencang, Haiden khawatir terjadi sesuatu pada istrinya. Haiden melangkah cepat ke arah adik dan istrinya. "Ada apa?" tanya Haiden pada Ziea, menatap ke arah Lea yang terlihat memasang cengiran. Apa yang terjadi? Haiden khawatir tetapi yang dia khawatirkan terlihat senyum manis. "Ini!" Ziea menunjukkan lengan bajunya yang terkena ingus Lea, "dia pelakunya," ketus Ziea, menunjuk ke arah Lea. Haiden berdecak pelan kemudian menghela napas lega. Setelah itu, dia meraih tissue lalu me-lap jejak ingus istrinya di lengan baju adiknya. Sial! Dia kira apa, ternyata hanya masalah ingus. "Sayang, kalian kenapa?" Moza dan lainnya yang juga sama khawatirnya karena mendengar teriakan Lea, masuk dalam ruangan. "Bukan masalah besar, Mom." Haiden yang menjawab. Se
Setelah beberapa hari di rumah sakit, akhirnya Lea diperbolehkan pulang. Hari ini Haiden ke kantor dan Lea yang tinggal di rumah, hanya menghabiskan waktu dalam kamar. Tak bisa ia pungkiri, dia masih memikirkan masalah kemarin. Lea smpai sekarang bertanya-tanya kenapa orangtuanya bisa sangat tidak tahu malu dan tak tahu diri. Atau … pada dasarnya orangtuanya memang orang jahat yang tak akan pernah berubah? Ketika Lea bersama mereka, Lea disiksa dan tak pernah mendapat kasih sayang. Lalu setelah Lea bahagia dengan paman dan tantenya, orangtuanya tak terima. Mereka menginginkan Lea kembali bersama mereka. Orangtua kandung Lea seolah-olah tak bisa melihat Lea bahagia, sehingga saat Lea bahagia mereka melakukan macam cara agar Lea kembali menderita–saat dulu ketika Lea bersama mereka. Yang Lea lihat, orangtua kandungnya bukan mencintainya atau ingin mengulang kehidupan baru dengan Lea karena sebelumnya telah menyesali perbuatan mereka di masa lalu. Namun, mereka hanya tak rela sebua
Lea terbangun dan tak menemukan Haiden berada di sebelahnya. Kening Lea mengernyit, dia tidak terlambat bangun, bukan, oleh sebab itu Haiden meninggalkannya? Lea menoleh ke arah nakas untuk melihat jam di sana. Dia semakin bingung. Ini masih jam setengah enam, terlalu pagi apabila Haiden berangkat ke kantor. Secinta apapun Haiden pada pekerjaan, selama menjadi istri pria itu, Lea belum pernah mendapati Haiden berangkat setengah enam pagi. Karena panik dan sedikit khawatir pada sang suami, Lea buru-buru bangkit. Tadi malam dia tidur lebih awal, sempat terbangun karena merasa tak nyaman pada perutnya. Lea mendatangi Haiden ke ruang kerja pria itu untuk mengatakan kondisi perutnya yang terasa tak nyaman. Haiden memberinya obat dan setelah itu menemani Lea dalam kamar--untuk tidur. Haiden mengusap perut Lea dan mungkin baru berhenti setelah Lea tidur nyenyak. Sekarang Lea khawatir. Jangan-jangan Haiden berada di ruang kerja, melanjutkan pekerjaan yang tertunda akibat Lea mengganggu–t
Setelah memakan sup buatan suaminya, Lea segera mandi dan mengantar Haiden bekerja. Dia hanya mengantar hingga depan rumah, sama seperti yang Lea lakukan selama menjadi istri Haiden. "Aku mengizinkanmu keluar. Tetapi ajak-- minimal dua pelayan untuk ikut denganmu, Azalea," ucap Haiden lembut, mengusap pucuk kepala istrinya secara lembut dan penuh perhatian. "Oke, Mas Sayang." Lea menyengir lebar, senang karena Haiden menbolehkannya untuk keluar. "Humm." Haiden mengecup kening Lea, setelah itu kembali bersuara, "tetapi jangan terlalu lama di luar. Sebaik-baik istri, dia yang menunggu suaminya di rumah. Dan kau istri yang sangat baik, bukan?" Di akhir kalimat Haiden menaikkan sebelah alis, tersenyum tipis pada sang istri. Sebuah senyuman yang mampu melelehkan hati Lea dan membuat perempuan itu tersipu malu–salah tingkah! "Iya, Mas Haiden Terlope-lope," jawab Lea cengengesan dan malu-malu. Haiden terekekeh pelan, mengusap pucuk kepala Lea kemudian segera berangkat ke kantor–be
"Merusak pemandangan banget!" Ziea berkata ketus, menatap sinis dan kesal pada Arumika serta sosok pria itu. "Sana pergi!" usir Ziea kembali, pada keduanya. Akan tetapi hanya pria itu yang meninggalkan mereka, sedangkan Arumika-- dia bangun dari posisi duduk lalu segera menghampiri Lea. "Ini kan yang kamu mau? Ini yang kamu ingin lihat bukan, Azalea Ariva?" ucap Arumika dengan nada serak dan rapuh, menitihkan air mata akan tetapi secara kasar ia hapus dari pipi. Lea berdecis angkuh. "Aku tidak bilang begitu. Tetapi … selamat atas kehancuranmu, Saudariku. Semoga pelangganmu banyak." Lea kemudian menepuk pelan pundak Arumika, "selamat menjual diri," ucapannya pelan kemudian masuk dalam lift, bersama Ziea yang ketika lewat sengaja menyenggol kuat pundak Arumika. "Makan tuh uang hasil keringatmu. Ahahaha … aroma balsem nggak sih uangnya, soalnya duit dari om-om bau tanah. Ahahaha …." Ziea meledek setelah di dalam lift. "Ahahaha … mana dia si anak emas yang dibanggakan oleh orangtua
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …- Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng
Alana kembali mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahan di goda oleh para sepupunya. Dia bahkan bahkan berniat menghubungi daddynya supaya menjemputnya pulang, saking tidak tahannya dia dicie-ciekan dengan Ethan. Namun, dia takut itu akan mendatangkan masalah sehingga Alana memilih mengurungkan diri. Lagi pulang hanya satu hati lagi, setelah itu mereka akan pulang dari pulau ini. Hah, Ethan. Alih-alih suka, Alana malah semakin tak Sudi menikah dengan pria itu. Dia benar-benar tidak suka dicie-ciekan. Dia sangat benci!Ceklek'Alana menoleh ke arah pintu, mendapati kakaknya di sana. Ebrahim masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekat ke arah adiknya yang duduk di sofa. "Kenapa kau terus mengurung diri, Alana?" tanya Ebrahim, duduk di sebelah adiknya. Alana menatap sejenak pada Ebrahim kemudian lanjut membaca novel di tangan, "aku tidak nyaman dengan kalian. Dikit dikit cie cie cie. Aku tidak suka Kak Ethan dan aku tidak punya hubungan dengan Kak Ethan. Kalian begitu, aku ma
Alana langsung menarik tangannya, meringsut ke lemari kabinet bawah sembari menatap Ethan dengan muka konyol–malu bercampur panik secara bersamaan. Ethan bangkit, melayangkan tatapan dingin ke arah Alana. Setelah itu, dia beranjak dari sana–tanpa mengatakan apa-apa pada Alana. "Eih." Kanza menatap Ethan dengan tampang muka bingung. Pria itu pergi begitu saja dengan muka dingin dan terlihat seperti marah. Mengingat sesuatu, Kanza buru-buru melangkah ke dapur, bersama dengan Anne. "Kamu kenapa, Al?" tanya Kanza dengan nada perhatian, mendekati Alana lalu membantu perempuan itu untuk berdiri. "I-itu … kecoa," jawab Alana, terpaksa berbohong karena dia tak mungkin jujur kalau dia habis …-Haisss! Tangannya! "Trus Kak Ethan …-" Anne bertanya tetapi cukup ragu karena melihat wajah adik iparnya yang terlihat kaku–seperti sedang marah. Sebenarnya Ethan dan Anne seumuran, akan tetapi karena dia berbicara dengan Alana, dia menyebut Ethan dengan embel-embel kakak. Alasannya karena Ethan ja