"Sebagai istri yang baik, tidak seharusnya kau membahas pria selain aku!" lanjut Haiden, langsung melumat bibir Lea setelahnya. Lea melebarkan mata, cukup kaget karena Haiden melumat kasar bibirnya. Lea memberontak dan berusaha melepas pangutan tersebut. Bibirnya terluka dan sialnya Haiden masih terus melumatnya, seakan Haiden lapar dan bibir Lea adalah sumber makanan pokok. "Mas Haiden, ceritaku belum selesai. Kamu salah--" Lea baru berhasil melepaskan bibir Haiden, akan tetapi pria itu kembali mendapatkan bibirnya. Haiden menggendong tubuh Lea kemudian membawanya ke ranjang. Dia membaringkan tubuh Lea lalu tanpa membuang waktu langsung mengambil tempat di atas tubuh istrinya. Haiden akhirnya melepaskan pangutan kasar itu. Lea segera menjelaskan cerita tadi. "Mas Haiden, ceritaku belum selesai dan …-" "Diam!" sentak Haiden, menggeram marah sembari membekap kuat mulut Lea. Dia tak ingin mendengarkan apapun tentang pria lain dari cerita istrinya, apalagi jika itu proses
"Habis aku dan si dosmud–dosen muda tabrakan, aku langsung deg degkan, jantungku berdebar tak karuan dan …-" "Kau bisa diam?!" dingin Haiden, sangat tidak tahan mendengar cerita istrinya. Ocehan membuatnya marah, topik yang Lea suguhkan lebih horor dari cerita apapun yang pernah Haiden dengar. Namun, selain menghadirkan cerita yang mengerikan, cerita Lea juga dapat memancing darah tinggi, ganguan jiwa berupa psychopath darah rendah, dan juga efek semburan kemarahan godzilla. Lea menggelengkan kepala kemudian melanjutkan ceritanya, tak peduli pada kemarahan Haiden. "Aku deg degkan karena laptop dosen itu jatuh trus kopi ku tumpah ke atas dokumen rekap nilai dari empat kelas yang dia ambil, Mas. Jantungku rasanya mau copot, Mas. Bagaimana caraku mengganti laptopnya dan seperti apa caraku bertanggung jawab untuk mengatasi rekap nilai yang terkena tumpahan kopiku?" Haiden seketika itu juga menatap lekat pada istrinya, dia mendengkus kasar kemudian berdecak kesal. Hell! Dia kira
Lea telah selesai memasak dan sekarang dia berada di dalam kamarnya. Dia sedang bersantai sembari membaca novel. Haiden belum kembali dan handphonenya yang berada dalam laci, terus berbunyi. Akan tetapi Lea pura-pura tak mendengar. 'Haaah … tiba-tiba aku merindukan suasana Medi Zone. Mereka sangat baik padaku dan aku bersenang-senang selama bekerja di sana. Tapi … Mas Haiden tidak membolehkan,' batin Lea, entah kenapa dia teringat dengan tempat kerjanya dulu. Tak ada yang mengenal Lea siapa, tetapi semua orang bersikap baik padanya. Lea sangat happy selama bekerja di sana, sayangnya Haiden tak mengizinkan. Ceklek' Mendengar suara pintu, Lea menoleh dan menemukan suaminya ada di sana. Haiden terlihat memasang wajah dingin, membuat Lea yang sudah memasang senyuman langsung memudarkan senyuman tersebut. Deg deg deg' Jantung Lea berpacu dengan kuat, tubuhnya terasa kaku–Lea mencemaskan sesuatu. Bagaimana jika Haiden kembali seperti dulu?! Haiden kembali dalam wajah berba
Besoknya … Haiden pulang lebih awal dari kantor karena mengajak Lea bertemu dengan orangtuanya. Mereka akan mengurus surat perceraian yang orangtua Lea ajukan, sekaligus mempertemukan Lea dengan orangtua angkatnya. Masalah perusahaan, Haiden dengan mudah sudah menyelesaikan. Kini tinggal masalah hubungan pernikahannya dengan sang istri. Orangtua Haiden memang tak percaya jika Lea mengajukan perceraian melalui orangtua kandungnya. Namun Kenzie dan Moza (orangtua Haiden) cukup khawatir pada hubungan pernikahan keduanya karena sebelumnya mereka sempat mendengar Haiden dan Lea bertengkar hebat. Haiden dan Lea memang baru pulang dari bulan madu. Namun, apapun bisa terjadi, mengingat putra mereka, Haiden, yang sangat mudah marah. "Di mana Nyonya HaiLe?" tanya Haiden pada kepala maid, sebelumnya tak menemukan sang istrinya dalam kamar. "Nyonya HaiLe pergi ke cafe, Tuan." jawab maid, mendapat anggukan dari Haiden. Haiden langsung keluar dari rumah, berniat menyusul istrinya ke
"Tuan, sebaiknya jangan mendahului." Rekq menahan pundak Orion, di saat tuannya tersebut berniat melepas pakaian Lea. Mereka sudah di markas, di mana Orion telah membawa Lea ke dalam kamarnya–kamar utama dan luas, milik Orion sendiri. "Apa maksudmu?!" geram Orion, tak suka dan kesal karena Rekq melarangnya melepas pakaian Lea. Orion tak berniat apa-apa, hanya melepas pakaian Lea agar dia bisa memandikan perempuan ini. "Biarkan maid perempuan yang melakukan, Tuan. Dan tunggu Nona Lea bangun. Jika Tuan melakukan sendiri, Nona akan menganggap anda kurang ajar. Nona orang asia, sangat menjunjung moral dan kental dengan norma. Jika Tuan tak menghargai budaya Nona, maka Nona bisa sangat membenci Tuan," jelas Rekq, "percuma Tuan mendapatkan Nona, tetapi Nona berakhir membenci Tuan." "Jadi aku harus bagaimana? Aku tidak mengerti cara mendekati perempuan," ungkap Orion, segera berdiri dari ranjang–menatap tangan kanannya dengan muka bingung bercampur antusias. Dia bingung harus bag
"Ada apa?" tanya Kenzie pada Nanda. Sejenak dia menatap ke arah putranya, yang terpenjara dalam sebuah sel khusus. "A-aku … aku tidak bisa menjaga Haiden, Paman. Dia mengancam ku terus," adu Nanda, segera bersembunyi di belakang tubuh Kenzie, berlindung karena dia benar-benar takut pada sosok Haiden yang sekarang. Awalnya, Nanda heran kenapa Haiden dipenjara oleh Kenzie. Dia merasa ada yang salah dengan daddy dari bos-nya, karena alih-alih membiarkan Haiden pergi mencari Lea, Kenzie malah mengurung Haiden. Apa Kenzie tak peduli pada Lea? Yah, awalnya Nanda berpikir begitu. Namun, sekarang dia paham kenapa Haiden di penjara karena Haiden terlalu berbahaya bila dilepas. Kenzie menghela napas lalu mendekat pada jeruji besi. "Daddy sudah mengerahkan anak buah Daddy untuk mencari Azalea. Jadi tolong, tenangkan dirimu," ucap Kenzie dengan nada pelan dan lembut, berupaya membuat Haiden menenang. Hal yang dia takutkan adalah Haiden kembali menjadi sosok monster mengerikan di jalanan.
"Sudah dua hari putra kita terkurung, tanpa makan sama sekali. Apa kamu tidak sedikitpun kasihan pada Haiden, Mas?" Moza berucap lirih, menatap suaminya dengan genangan air mata yang telah memenuhi pelupuk. Kenzie menatap lembut pada istrinya. Dari pancarannya ada raut kesedihan dan ke khawatirkan. "Maafkan aku, Moza. Aku hanya bisa melakukan cara ini supaya putra kita tidak memberontak." "Aku ibunya, Mas. Aku tidak bisa melihat Haiden seperti ini!" Moza memekik, bersamaan dengan air mata yang meluruh jatuh dari pelupuk. "Putraku hanya diberikan air minum. Dia tidak makan selama dua hari ini. Di dalam rumah yang mewah ini, putraku dikurung dan diasingkan. Kenapa? Kenapa kita tidak membiarkan Haiden bebas, Mas?" "Terlalu beresiko dan berbahaya. Haiden sedang dikendalikan kemarahan, dia tidak mengenali kita dan mungkin juga istrinya. Jika kita membiarkannya bebas, dia akan berkeliaran lalu melenyapkan siapapun." Kenzie mendekat pada istrinya lalu menarik wanita yang sangat ia cintai
"Tuan muda Haiden kabur dari ruang tahanan, Tuan besar," lapor salah satu penjaga pada Kenzie, tak menemukan Haiden berada dalam selnya. Kenzie langsung berdiri, wajahnya bingung bercampur panik. Tidak mungkin Haiden bisa kabur begitu saja. Putranya sudah tak bertenaga, juga dalam keadaan di rantai dan dikurung. Kecuali ada yang membebaskan. "Ziea." Reigha memangil istrinya, kebetulan sedang lewat. Ziea menoleh pada suaminya, akan tetapi setelah itu buru-buru beranjak dari sana. Melihat itu, Reigha menghela napas secara pelan. Kenzie juga memperhatikan putrinya, mencurigai jika Ziea lah yang membebaskan Haiden. "Daddy tak perlu khawatir. Haiden mendengarkan perkataan Ziea dan dia tidak akan melakukan apapun selain membawa Lea pulang," ucap Reigha untuk menenangkan ayah mertuanya. "Aku akan menyusul Haiden," lanjut Reigha. Kenzie menganggukkan kepala, tersenyum getir pada Reigha. "Maaf karena membebani mu, Nak." "Tidak sama sekali, Daddy." Reigha berkata pelan, setelah itu se
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub