Besoknya … Haiden pulang lebih awal dari kantor karena mengajak Lea bertemu dengan orangtuanya. Mereka akan mengurus surat perceraian yang orangtua Lea ajukan, sekaligus mempertemukan Lea dengan orangtua angkatnya. Masalah perusahaan, Haiden dengan mudah sudah menyelesaikan. Kini tinggal masalah hubungan pernikahannya dengan sang istri. Orangtua Haiden memang tak percaya jika Lea mengajukan perceraian melalui orangtua kandungnya. Namun Kenzie dan Moza (orangtua Haiden) cukup khawatir pada hubungan pernikahan keduanya karena sebelumnya mereka sempat mendengar Haiden dan Lea bertengkar hebat. Haiden dan Lea memang baru pulang dari bulan madu. Namun, apapun bisa terjadi, mengingat putra mereka, Haiden, yang sangat mudah marah. "Di mana Nyonya HaiLe?" tanya Haiden pada kepala maid, sebelumnya tak menemukan sang istrinya dalam kamar. "Nyonya HaiLe pergi ke cafe, Tuan." jawab maid, mendapat anggukan dari Haiden. Haiden langsung keluar dari rumah, berniat menyusul istrinya ke
"Tuan, sebaiknya jangan mendahului." Rekq menahan pundak Orion, di saat tuannya tersebut berniat melepas pakaian Lea. Mereka sudah di markas, di mana Orion telah membawa Lea ke dalam kamarnya–kamar utama dan luas, milik Orion sendiri. "Apa maksudmu?!" geram Orion, tak suka dan kesal karena Rekq melarangnya melepas pakaian Lea. Orion tak berniat apa-apa, hanya melepas pakaian Lea agar dia bisa memandikan perempuan ini. "Biarkan maid perempuan yang melakukan, Tuan. Dan tunggu Nona Lea bangun. Jika Tuan melakukan sendiri, Nona akan menganggap anda kurang ajar. Nona orang asia, sangat menjunjung moral dan kental dengan norma. Jika Tuan tak menghargai budaya Nona, maka Nona bisa sangat membenci Tuan," jelas Rekq, "percuma Tuan mendapatkan Nona, tetapi Nona berakhir membenci Tuan." "Jadi aku harus bagaimana? Aku tidak mengerti cara mendekati perempuan," ungkap Orion, segera berdiri dari ranjang–menatap tangan kanannya dengan muka bingung bercampur antusias. Dia bingung harus bag
"Ada apa?" tanya Kenzie pada Nanda. Sejenak dia menatap ke arah putranya, yang terpenjara dalam sebuah sel khusus. "A-aku … aku tidak bisa menjaga Haiden, Paman. Dia mengancam ku terus," adu Nanda, segera bersembunyi di belakang tubuh Kenzie, berlindung karena dia benar-benar takut pada sosok Haiden yang sekarang. Awalnya, Nanda heran kenapa Haiden dipenjara oleh Kenzie. Dia merasa ada yang salah dengan daddy dari bos-nya, karena alih-alih membiarkan Haiden pergi mencari Lea, Kenzie malah mengurung Haiden. Apa Kenzie tak peduli pada Lea? Yah, awalnya Nanda berpikir begitu. Namun, sekarang dia paham kenapa Haiden di penjara karena Haiden terlalu berbahaya bila dilepas. Kenzie menghela napas lalu mendekat pada jeruji besi. "Daddy sudah mengerahkan anak buah Daddy untuk mencari Azalea. Jadi tolong, tenangkan dirimu," ucap Kenzie dengan nada pelan dan lembut, berupaya membuat Haiden menenang. Hal yang dia takutkan adalah Haiden kembali menjadi sosok monster mengerikan di jalanan.
"Sudah dua hari putra kita terkurung, tanpa makan sama sekali. Apa kamu tidak sedikitpun kasihan pada Haiden, Mas?" Moza berucap lirih, menatap suaminya dengan genangan air mata yang telah memenuhi pelupuk. Kenzie menatap lembut pada istrinya. Dari pancarannya ada raut kesedihan dan ke khawatirkan. "Maafkan aku, Moza. Aku hanya bisa melakukan cara ini supaya putra kita tidak memberontak." "Aku ibunya, Mas. Aku tidak bisa melihat Haiden seperti ini!" Moza memekik, bersamaan dengan air mata yang meluruh jatuh dari pelupuk. "Putraku hanya diberikan air minum. Dia tidak makan selama dua hari ini. Di dalam rumah yang mewah ini, putraku dikurung dan diasingkan. Kenapa? Kenapa kita tidak membiarkan Haiden bebas, Mas?" "Terlalu beresiko dan berbahaya. Haiden sedang dikendalikan kemarahan, dia tidak mengenali kita dan mungkin juga istrinya. Jika kita membiarkannya bebas, dia akan berkeliaran lalu melenyapkan siapapun." Kenzie mendekat pada istrinya lalu menarik wanita yang sangat ia cintai
"Tuan muda Haiden kabur dari ruang tahanan, Tuan besar," lapor salah satu penjaga pada Kenzie, tak menemukan Haiden berada dalam selnya. Kenzie langsung berdiri, wajahnya bingung bercampur panik. Tidak mungkin Haiden bisa kabur begitu saja. Putranya sudah tak bertenaga, juga dalam keadaan di rantai dan dikurung. Kecuali ada yang membebaskan. "Ziea." Reigha memangil istrinya, kebetulan sedang lewat. Ziea menoleh pada suaminya, akan tetapi setelah itu buru-buru beranjak dari sana. Melihat itu, Reigha menghela napas secara pelan. Kenzie juga memperhatikan putrinya, mencurigai jika Ziea lah yang membebaskan Haiden. "Daddy tak perlu khawatir. Haiden mendengarkan perkataan Ziea dan dia tidak akan melakukan apapun selain membawa Lea pulang," ucap Reigha untuk menenangkan ayah mertuanya. "Aku akan menyusul Haiden," lanjut Reigha. Kenzie menganggukkan kepala, tersenyum getir pada Reigha. "Maaf karena membebani mu, Nak." "Tidak sama sekali, Daddy." Reigha berkata pelan, setelah itu se
Cup' Haiden meraup bibir Lea, melumatnya dengan kasar dan penuh nafsu. Lea begitu kaget karena Haiden menciumnya secara tiba-tiba–di depan Orion dan anak buahnya. Namun, Lea tidak berani memberontak dan menolak, dia bisa merasakan kemarahan yang nyata dari suaminya. Mata Lea dan Haiden bertabrakan, sehingga membuat Lea buru-buru membalas ciuman tersebut. Tatapan Haiden sangat menyeramkan, terlihat guratan kemarahan yang dilayangkan pada Lea. Dan ketika Lea membalas ciuman Haiden, barulah sorot mengerikan itu hilang. "Bajingan!" teriak Orion marah. Dia bangkit kemudian melayangkan tinju pada Haiden. "Aku saja belum pernah menciumnya. Berani sekali kau, Jerk!" makinya, mengangkat tinju untuk memukul Haiden. Akan tetapi …- Bug' Haiden menendangnya dengan gerakan yang cepat dan tak terbaca oleh Orion. "Argk." Orion terhempas ke lantai, lagi-lagi bagian belakang kepalanya terbentur pada marmer. Orion menahan sakit kemudian memperhatikan sosok pria tinggi tersebut dengan w
Setelah mengumpulkan para maid, mereka disuruh bersimpuh di depan tubuh Orion yang terbakar dan kepala Orion diletakkan menghadap mereka. Tubuh para maid gemetaran, tak kuat melihat kepala tuan mereka yang terletak di hadapan mereka. Sedangkan tubuh sang tuan, terbakar. Kengerian itu berlangsung secara terus-terusan. Haiden membunuh satu persatu anak buah Orion, kemudian membakarnya dihadapan para maid–sama seperti Orion yang terbakar. Lea semakin mual dan pusing, aroma tubuh yang terbakar terasa menyengat dan menusuk indra penciumannya. "Siapa dari kalian yang memaksa istriku memakai baju sialan itu, Humm?!" dingin Haiden, menatap satu persatu para maid yang duduk di lantai–manik menyala dan tajam. Pada maid yang menunduk takut, reflek melebarkan mata. Mereka saling bersitatap karena terkejut. I-istri? Apa maksud tuan mengerikan ini adalah Lea-- perempuan yang ingin dinikahi oleh tuan mereka? "Jawab!" geram Haiden, akan tetapi tak ada yang berani bersuara. Mereka menunduk
Kelopak mata seorang perempuan terbuka, akan tetapi kembali terpejam ketika menyadari banyak orang di ruangan ini. Mereka bukan orang yang Lea suka, oleh sebab itu Lea memejamkan mata. Dia takut berhadapan dengan orang-orang tersebut–tak lain adalah tante dan sepupu suaminya yang perempuan. "Alah, palingan setelah dia bagung, Haiden akan menjatuhkan talak padanya." Suara tante Haiden terdengar. Dia orang yang sama dengan orang yang menanyakan kapan Lea hamil. Mata Lea terpejam lebih kuat, dan tangannya mencengkeram kuat sprei, mulai cemas dan takut. Pasti mereka akan mengatakan hal-hal yang tidak baik tentang Lea. "Bayangkan saja, dia diculik oleh mafia yang menyukainya, dan tiga hari tinggal bersama dengan si penculik. Tidak mungkin mafia itu tidak meniduri Lea. Ck ck ck, mereka pasti sudah melakukan hubungan badan. Dan Lea-- entah dia dipaksa atau suka rela, dia sudah tidak pantas untuk Haiden. Dia sudah kotor dan hina," ujar orang yang sama, nadanya pelan dan terkesan ketus.
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea, t
"Aku calon suami Alana."Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup.Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting. "
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita pulang.
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …-Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita berpel
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng
Alana kembali mengurung diri di dalam kamar karena tidak tahan di goda oleh para sepupunya. Dia bahkan bahkan berniat menghubungi daddynya supaya menjemputnya pulang, saking tidak tahannya dia dicie-ciekan dengan Ethan. Namun, dia takut itu akan mendatangkan masalah sehingga Alana memilih mengurungkan diri. Lagi pulang hanya satu hati lagi, setelah itu mereka akan pulang dari pulau ini. Hah, Ethan. Alih-alih suka, Alana malah semakin tak Sudi menikah dengan pria itu. Dia benar-benar tidak suka dicie-ciekan. Dia sangat benci!Ceklek'Alana menoleh ke arah pintu, mendapati kakaknya di sana. Ebrahim masuk ke dalam kamar dan berjalan mendekat ke arah adiknya yang duduk di sofa. "Kenapa kau terus mengurung diri, Alana?" tanya Ebrahim, duduk di sebelah adiknya. Alana menatap sejenak pada Ebrahim kemudian lanjut membaca novel di tangan, "aku tidak nyaman dengan kalian. Dikit dikit cie cie cie. Aku tidak suka Kak Ethan dan aku tidak punya hubungan dengan Kak Ethan. Kalian begitu, aku ma
Alana langsung menarik tangannya, meringsut ke lemari kabinet bawah sembari menatap Ethan dengan muka konyol–malu bercampur panik secara bersamaan. Ethan bangkit, melayangkan tatapan dingin ke arah Alana. Setelah itu, dia beranjak dari sana–tanpa mengatakan apa-apa pada Alana. "Eih." Kanza menatap Ethan dengan tampang muka bingung. Pria itu pergi begitu saja dengan muka dingin dan terlihat seperti marah. Mengingat sesuatu, Kanza buru-buru melangkah ke dapur, bersama dengan Anne. "Kamu kenapa, Al?" tanya Kanza dengan nada perhatian, mendekati Alana lalu membantu perempuan itu untuk berdiri. "I-itu … kecoa," jawab Alana, terpaksa berbohong karena dia tak mungkin jujur kalau dia habis …-Haisss! Tangannya! "Trus Kak Ethan …-" Anne bertanya tetapi cukup ragu karena melihat wajah adik iparnya yang terlihat kaku–seperti sedang marah. Sebenarnya Ethan dan Anne seumuran, akan tetapi karena dia berbicara dengan Alana, dia menyebut Ethan dengan embel-embel kakak. Alasannya karena Ethan ja