Pada akhirnya Alana bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Ethan. Perasaan Alana sangat bercampur aduk, dia merasakan sedih yang mendalam hingga tak dapat membendung air mata ketika daddynya menikahkannya dengan Ethan. Ijab kabul terlaksana dengan sakral, memberikan kesan yang dalam di hati dan membentuk emosional yang luar biasa. Setelah melewati moment itu, Alana sejenak merasakan ketakutan. Sekarang dia bukan lagi milik mommy dan daddynya, bagaimana jika dia sewaktu-waktu merindukan keduanya? Bagaimana jika Alana tak bisa nyaman tinggal bersama pria yang menikahinya? Namun, perasaan itu berganti menjadi debaran dahsyat saat dia diminta menyalam tangan pria yang telah dah menjadi suaminya. Lalu ketika Ethan mencium keningnya, Alana merasa jantungnya berhenti persekian detik. Hatinya … berbunga-bunga tetapi-- ada perasaan gugup yang menyelimuti. Setelah melewati acara demi acara, akhirnya Ethan membawa Alana ke rumah yang akan menjadi tempat tinggal baru untuk Alana. Alana
Alana kira Ethan hanya sekedar menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, akan tetapi pria itu melumat bibirnya dengan penuh hasrat dan gairah. Jantung Alana sungguh tak sanggup dengan semua ini. Dia berniat menghentikan Ethan tetapi dia takut. Alana dalam kebimbangan yang menyesatkan! Untungnya tak lama Ethan melepas pangutan bibir keduanya. Ethan lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis padanya, mengulurkan tangan untuk membersihkan sisa pergulatan keduanya pada bibir Alana. "Lipstik mu bagus juga, Alana," ucap Ethan tiba-tiba. Alana yang canggung tak menjawab, tetapi dia buru-buru menghadap cermin untuk memeriksa kondisi lipstiknya. 'Ga-ganas banget! Lipstik se stay ini-- bisa geser dibuat sama dia?!' batin Alana, menatap bibirnya dengan muka kaget. Bagaimana tidak?! Dia tahu jenis lipstik yang dipakai di bibirnya dan produk tersebut terkenal anti geser, super stay, tahan lama, dan super awet. Namun, di hadapan Ethan, lipstik ini sama sekali tak ada harga dirinya. Lipstik tersebut
"Kapan pulang, Mas Haiden?" tanya Azalea Ariva pada suaminya melalui sambungan telepon. Perempuan yang kerap kali disapa Lea tersebut terlihat berseri-seri, berdebar hatinya karena tak sabar menunggu kepulangan suaminya. Tiga bulan semenjak pernikahan, Lea tidak pernah disentuh oleh suaminya. Hanya di saat malam pertama saja Haiden menyentuhnya, setelahnya tak ada lagi sentuhan panas yang menyapa Lea. Yah, suaminya memang sibuk. Sehari setelah menikah, Haiden kembali bekerja. Lalu beberapa hari kemudian, Haiden ke luar negeri untuk mengurus bisnis. Hari terus berlalu dan Haiden semakin larut dalam pekerjaan. Hubungan pernikahan mereka begitu monoton dan cukup dingin bagi Lea yang mendambakan kehangatan dari suaminya. Di saat Haiden tak keluar negeri, Lea hanya bertemu dengan suaminya saat pagi–saat mereka sarapan bersama. Itupun tanpa pembicaraan. Ketika sarapan, Haiden selalu membawa tablet dan terus menatap tablet dengan tatapan serius, hal tersebut membuat Lea tak berani untuk s
"Azalea." Lea yang sedang mengoles roti seketika mengangkat pandangan. Seperti biasa, pagi harinya selalu diawali dengan sarapan bersama Haiden. Walau pria itu selalu sibuk dengan tabletnya. "Iya, Mas?" tanya Lea seadanya. Tak ingin antusias karena masih mengingat kejadian tadi malam. Dia begitu excited menunggu kepulangan Haiden dari tempat kerja. Dia pikir malam dingin akan menjadi hangat dan penuh cinta. Namun, dia salah besar. Haiden tak mengharapkan hal yang sama dengannya. Dia berakhir tidur, ditemani kepiluan hati serta kehampaan. Sungguh?! Inikah pernikahan indah dan romantis yang Lea impikan? Dia kira setelah berhasil menaklukan Haiden, dia akan menjadi wanita beruntung yang dimanjakan oleh pria ini. Sayangnya itu tak benar. "Roti untukku?" ucap pria itu, menoleh ke arah piring yang masih kosong lalu menatap Lea–isyarat agar perempuan itu memberinya roti. Lea yang sudah selesai mengoles roti dengan selai coklat campur kacang, bahkan ingin mengigitnya, seketika meletakkan
Hari ini Lea kembali berniat menggoda Haiden. Pernikahan yang masih berusia tiga bulan ini, sudah terlalu dingin. Lea tak ingin membuatnya semakin dingin, dia harus secepatnya menghangatkan hubungan antara dia dan suaminya. Sudah jam delapan malam, Lea telah mengenakan lingerie yang ia beli saat siang tadi. Sejujurnya Lea tak diperbolehkan keluar tanpa izin dari Haiden. Tadi siang dia sama sekali tak izin karena dia merasa tak perlu. Izin tak izin, sepertinya Haiden tak akan peduli untuk saat ini–pria itu hanya peduli pada pekerjaan. Lagipula Lea hanya sebentar, jalan-jalan ke mall untuk menenangkan pikiran sejenak. Tampilannya sudah seksi dan jauh lebih menggoda dari malam sebelumnya. Seperti tadi malam, Lea berias dan mengenakan parfum yang banyak. "Halo, Mas Haiden sayang. Malam ini kamu pulang jam berapa yah kalau boleh tahu?" tanya Lea dengan lembut dan manis. Namun, alih-alih mendapat sambutan hangat, dia malah dimarahi oleh Haiden. 'Kepala maid melapor jika kau keluar dari
"Totalnya empat ratus lima puluh ribut," ucap Lea pada seorang pembeli yang saat ini melakukan transaksi pembayaran. Pembeli tersebut memberikan uang sebanyak lima lembar berwarna pink. Lea menerima uang tersebut kemudian memberi kembalian. "Kembalian lima puluh ribu lagi, Kak. Terimakasih sudah mengunjungi cafe kita, semoga harinya menyenangkan." Pembeli tersebut tersipu malu kemudian segera beranjak dari sana. Lea langsung menghela napas, memanggil salah satu staf dan menyuruhnya berganti tugas. "Ck, mungkin saja perempuan itu seorang model, sedangkan aku hanyalah seorang pelayan cafe. Oleh sebab itu Mas Haiden memilihnya. Ah, aku harus mencari pekerjaan lain intinya. Aku tidak boleh kalah. Menikah dengannya, bukan berarti aku berhenti berjuang. Semangat semangat semangat!" gumam Lea antusias pada akhirnya kalimat untuk mensugesti diri sendiri. Akan tetapi dia mengurungkan niat untuk masuk ke dapur karena ternyata cafe sedang ramai. Lea sebenarnya koki di cafe milik sahabatnya i
"Ya Tuhan, boleh nggak sih kalau aku mengatakan menyesal menikah dengan Mas Haiden? Dia sangat sempurna, sedangkan aku-- kurasa pengemis dijalanan lebih sukses dibandingkan aku. Mereka mah … modal duduk sama megang kemasan teh gelas saja bisa menghasilkan uang jutaan perhari. Aku? Kerja hasil giveaway, gaji besar karena yang memberi upah sahabat sendiri. Hah, itupun masih mengeluh. Manusia manusia … kebanyakan ngeluh!" pekik Lea, memukul kepala sendiri beberapa kali, tak peduli pada orang sekitar yang memperhatikan. "Kenapa jadi tak nyambung? Ck, dah jam empat ternyata. Pantas kumat," gumamnya, menghela napas lalu mengeluh lagi. Hingga tiba-tiba saja dia tiba di sebuah tempat yang ramai. "Kebakaran.""Kebakaran.""Kebakaran."Teriakan orang-orang memenuhi tempat tersebut. Melihat itu, Lea mendekat bahkan mendadak ikut dengan para pemuda dan bapak-bapak untuk gotong royong mengangkut air. "Aku tidak bisa, Pak. Aku takut api." Ucap seseorang perempuan sembari melempar ID card. Setel
"Terimakasih atas bantuannya, Lea." Lea tersenyum lebar, berjabat tangan dengan pria perut buncit tersebut–kepala tim yang tadi membuat Lea mendadak menjadi reporter. "Ini." Bapak tersebut memberikan sebuah kartu nama pada Lea. "Secepatnya, datanglah ke perusahaan Medi Zone. Bapak pastikan kamu mendapat pekerjaan di sana," ucap Raja, nama pria tersebut. Lea membulatkan mata, meraih kartu nama tersebut dengan semangat. Dia tersenyum lebar lalu kembali bersalaman secara semangat dengan Raja. "Terimakasih, Pak. Ini yang kubutuhkan.""Semangatmu sangat luar biasa anak muda." Raja tertawa begitu juga dengan Lea. "BTW, Pak." Lea dengan santai menepuk pelan pundak Raja, dia bersikap seolah Raja adalah teman lamanya. "Bagaimana tadi? Aku berbakat tidak jadi reporter?" "Ahahaha …." Raja tertawa cukup kencang, bukan karena menyetujui ucapan Lea akan tetapi karena merasa risau. Dia tak akan lagi menjadikan perempuan ini sebagai reporter, dia sudah jera dan sangat syok. Sekarang dia menyiapk
Alana kira Ethan hanya sekedar menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, akan tetapi pria itu melumat bibirnya dengan penuh hasrat dan gairah. Jantung Alana sungguh tak sanggup dengan semua ini. Dia berniat menghentikan Ethan tetapi dia takut. Alana dalam kebimbangan yang menyesatkan! Untungnya tak lama Ethan melepas pangutan bibir keduanya. Ethan lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis padanya, mengulurkan tangan untuk membersihkan sisa pergulatan keduanya pada bibir Alana. "Lipstik mu bagus juga, Alana," ucap Ethan tiba-tiba. Alana yang canggung tak menjawab, tetapi dia buru-buru menghadap cermin untuk memeriksa kondisi lipstiknya. 'Ga-ganas banget! Lipstik se stay ini-- bisa geser dibuat sama dia?!' batin Alana, menatap bibirnya dengan muka kaget. Bagaimana tidak?! Dia tahu jenis lipstik yang dipakai di bibirnya dan produk tersebut terkenal anti geser, super stay, tahan lama, dan super awet. Namun, di hadapan Ethan, lipstik ini sama sekali tak ada harga dirinya. Lipstik tersebut
Pada akhirnya Alana bersedia menjadi pengantin pengganti untuk Ethan. Perasaan Alana sangat bercampur aduk, dia merasakan sedih yang mendalam hingga tak dapat membendung air mata ketika daddynya menikahkannya dengan Ethan. Ijab kabul terlaksana dengan sakral, memberikan kesan yang dalam di hati dan membentuk emosional yang luar biasa. Setelah melewati moment itu, Alana sejenak merasakan ketakutan. Sekarang dia bukan lagi milik mommy dan daddynya, bagaimana jika dia sewaktu-waktu merindukan keduanya? Bagaimana jika Alana tak bisa nyaman tinggal bersama pria yang menikahinya? Namun, perasaan itu berganti menjadi debaran dahsyat saat dia diminta menyalam tangan pria yang telah dah menjadi suaminya. Lalu ketika Ethan mencium keningnya, Alana merasa jantungnya berhenti persekian detik. Hatinya … berbunga-bunga tetapi-- ada perasaan gugup yang menyelimuti. Setelah melewati acara demi acara, akhirnya Ethan membawa Alana ke rumah yang akan menjadi tempat tinggal baru untuk Alana. Alana
Saat ini Alana sedang menahan senyuman, tetapi sebisa mungkin dia membalikkan ekspresi muka datar. Sekarang dia berada di kediaman utama keluarga Azam, berkumpul di sana karena pengantin Ethan melarikan diri. Yah, Alana senang karena perempuan yang dinikahi oleh Ethan memilih kabur. Dengan begitu, bukankah Ethan tidak akan menikah?! Namun, kasihan juga Ethan dan keluarganya. Ethan terlihat tertekan dan frustasi, sedangkan otangtua Ethan terlihat menyedihkan. 'Alah, bodo amat. Yang terpenting Kak Ethan tidak jadi menikah. Hehehe ….' batin Alana, tiba-tiba menutup mulut karena dia tidak bisa mencegah dirinya untuk tak tersenyum. Katakan Alana jahat, tetapi …- Alana bahagia diatas penderitaan Ethan. "Alana, kenapa kamu--" Kanza mengamati Alana secara teliti, tetapi karena suaranya cukup kencang akhirnya semua orang ikut menatap ke arah Alana. Bahkan Ethan pun menatap ke arah Alana, "kamu senyum senyum yah?"Alana melototkan mata kepada Kanza, wajahnya sudah tegang dan konyol. 'Adi m
"Tidak apa-apa. Itu hak Kak Ethan," jawab Alana santai, diakhiri sebuah senyuman manis pada Ethan. Ekspresi Ethan langsung berubah dingin, kembali fokus pada jalana. Namun, dia kembali bersuara. "Aku memang ingin menikahi perempuan lain dalam waktu dekat," ucap Ethan, "baguslah jika kau tidak keberatan," lanjutnya. Alana mendongak kembali pada Ethan, lagi-lagi memperlihatkan senyuman manis. Setelah percakapan itu, sepanjang jalan, Alana dan Ethan hanya saling mendiami. Alana diam-diam melirik Ethan, jantungnya berdebar kencang dan dadanya bergemuruh hebat. Ethan ingin menikahi perempuan lain? Bukankah seharusnya Alana senang? Tetapi kenapa dia … kesal. 'Ck, ini bagus dong. Jika Kak Ethan menikah dengan orang lain, maka aku dan dia tidak akan dijodoh-jodohin lagi sama keluarga kami. Syukurlah kalau begitu,' batin Alana, mencoba menyingkirkan perasaan tak enak setelah mendengar penuturan Ethan. Tidak mungkin pria ini akan menikah! Akhirnya Alana sampai di rumah. Dia turun
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p