Bukan hanya itu, pria itu menangkup pipi Lea lalu menciumnya dihadapan Nanda. Bukan hanya Nanda yang terkejut, Lea dan para staf butik juga terkejut melihatnya. Akan tetapi tak ada dari mereka yang berani menegur. Mereka mengenal sosok pria yang baru datang tersebut. Dia-- CEO dari JVM Elektronik yang terkenal pemarah. "Ma-Mas Haiden!" pekik Lea pelan, malu, risih dan cukup deg degkan dengan apa yang suaminya lakukan. Selain terkejut karena Haiden tiba-tiba muncul di sini, Lea juga tambah terkejut karena pria ini langsung menyosor. Ayolah, ini tempat umum!! Haiden tak peduli, menatap istrinya datar kemudian langsung melayangkan tatapan tajam pada Nanda. "Kau senang mengobrol dengan istriku, Heh?!" "Bu-bukan begitu, Bos." Nanda panik seketika. "Lalu kenapa kau tak bilang kalau Nyonya HaiLe ikut kemari?!" tuntut Haiden, memperlihatkan wajah marah yang kentara jelas. Haiden meneguk saliva secara kasar dan gugup. Ya Tuhan! Haiden bisa membunuhnya hanya karena cemburu. L
'Cih, bahkan mereka berani mesum di tempat umum.' batin Pepita, tersenyum culas karena merasa senang dan menang. Dengan foto ini, dia bisa menghancurkan rumah tangga Lea dan Haiden. Lalu setelah itu-- dia bisa mendapatkan Haiden. Setelah mendapatkan foto Lea dan pria mesum itu, Pepita memutuskan untuk mendekat ke sana–menarik Nami yang bengong dengan cukup kasar. Lumayan! Dengan adanya rencana pernikahan antara Nami dan Nanda, Pepita bisa memanfaatkan Nami sebaik mungkin. Mengenai foto yang Pepita ambil tadi, akan dia sebar setelah pulang dari tempat ini. ***Wajah Lea masam, kusut dan menahan malu karena kelakuan Haiden. Pria ini memeluk pinggangnya erat lalu menelusup pada ceruk lehernya–mencium kulit leher Lea tanpa peduli ini tempat umum."Mas Haiden!" pekik Lea, memukul pundak Haiden kemudian mendorongnya supaya Haiden menjauh darinya. "Mas, ini tempat umum. Jangan begini!" bisik Lea, berdesis karena benar-benar risih serta malu. Bayangkan saja! Nanda sampai pura-pura membac
"Aku takut terlambat datang ke sini dan aku ti-tidak sempat sarapan," cicit Nami malu bercampur tak enak. Dia sudah sadarkan diri dan saat ini masih di rumah sakit. Saat matanya bersitatap dengan Pepita, Nami langsung menundukkan kepala karena takut pada Pepita. Benar memang jika dia tak sempat sarapan, tetapi bukan karena takut terlambat ke butik. Dia dan Nanda janjian ke butik jam sepuluh pagi. Jelas dia bisa sarapan. Yang membuat Nami tak sarapan itu karena harus menyiapkan dress Pepita serta membersihkan kamar sepupunya tersebut. Pamannya selalu berangkat jam setengah tujuh dan selalu memilih sarapan di kantor. Setiap kali pamannya berangkat, Pepita akan bersikap jahat padanya. Walau begitu, selama ini Pepita selalu membiarkannya ikut sarapan. Tapi entah kenapa tadi pagi Pepita benar-benar jahat padanya, dia tak diizinkan sarapan sebelum menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepertinya Nami melakukan kesalahan sehingga Pepita marah padanya. "Tidak sempat sarapan padahal kita be
"Nice." Pepita tersenyum manis ketika sudah berhasil mengirim foto tersebut pada salah satu wartawan ternama di kota ini.Dengan kekuasaan yang dimiliki ayahnya, dia mengancam supaya wartawan tersebut membuat berita tentang Lea–sesuai dengan foto yang dia kirim, di mana Lea terlihat tengah dipeluk oleh seorang pria. Perusahaan itu jelas takut padanya karena ayahnya cukup berkuasa di negara ini. Satu lagi, wartawan tersebut tak akan tahu jika yang Lea peluk adalah Haiden karena wajah Haiden tertutup. "Ahahaha … tunggu saja kehancuranmu, Lea sialan. Kamu tidak cantik dan kamu tidak cocok bersanding dengan Tuanku Haiden!" Di awal kalimat, Pepita tertawa tetapi di akhir kalimat nadanya berubah menggeram dan cukup menyeramkan. "Sekarang aku harus memberi pelajaran pada Nami! Cih, gadis kampungan itu tidak cocok bersanding dengan Pak Nanda! Dia juga tidak pantas diperlakukan manis, dia itu pembantu!" pekik Pepita, kesal ketika mengingat Nanda memperlakukan Nami dengan begitu lembut dan pe
Ketika Haiden dan Reigha mengobrol tentang anak--di mana Haiden terus bertanya bagaimana cara merawat anak pada Reigha, istri dari masing-masing pria itu malah asyik mengobrol. Lea tentu menceritakan kejadian di rumah sakit, tentang Pepita yang berusaha menggoda Haiden. "Eh, laris juga yak Kak Den, banyak yang suka," bisik Ziea pelan, supaya kakaknya tak mendengar. Meskipun dia yakin suaminya mendengar karena telinga suaminya sangat tajam. "Iya dong! Suami aku kan tampan maksimal, Bestod!" jawab Lea bangga, dengan nada cukup arogan dan penuh ekspresi. "Ih, macam kambing pun!" Ziea menatap kakaknya sinis kemudian bergidik ngeri. Ziea tak melihat sedikitpun ketampanan dari kakaknya. Yang dia lihat adalah sebuah monsters pemarah seperti cicak raksasa. Tapi-- sebenernya kakaknya siluman kambing atau cicak? Ah, Ziea pusing! "Elleh!" Lea memutar bola mata jengah, "stop menyebut my honey sweety bunny kakanda Haiden Terlope-lope mirip kambing! No! My honey sweety bunny kakanda Haide
Drttt Lea menoleh ke arah HP, teralihkan karena suara handphonenya yang cukup mengganggu. Dia menatap nama kontak yang menelpon kemudian izin pada Ziea dan Nami untuk pergi mengangkat telepon. "Bentar yah, Beib, aku angkat telepon dulu," ucap Lea, mendapat anggukkan dari Ziea dan Nami. Dia pergi ke halaman samping, lalu segera mengangkat telepon. "Halo, Mantan Bos-ku," sapa Lea, membuat seseorang pria di seberang sana tertawa geli. 'Aahaha … seperti biasa, selalu ceria dan manis. Ah, begini, Lea. Apa kamu sudah membaca berita yang kubuat?'"Berita apa, Bos? Berita kebakaran yah? Atau-- apa nih?" tanya Lea, mengerutkan kening karena bingung. Dia belum membuka HP setelah datang ke kediaman Mahendra, jadi dia sama sekali tak tahu berita apa yang Reza maksud. 'Berita yang akan membuatmu senyum-senyum. Ngomong-ngomong, Bapak mengikuti caramu membuat artikel berita. Kamu harus lihat dan kamu pasti bangga pada bos-mu ini, Anak muda.'Lea cekikikan pelan, merasa lucu pada sang mantan bos
"Dia Pepita, Mas Den," jawab Lea, semakin panik dan takut pada suaminya sendiri. Aura Haiden begitu mengerikan, membuat Lea merinding dan tak nyaman. "Jalang sialan itu!" maki Haiden pelan, memalingkan wajah untuk menyembunyikan ekspresi marah dari istrinya. "Mas Haiden Terlope-lope." Lea menyentuh rahang Haiden, membuat suaminya tersebut kembali menoleh padanya, "kumohon, kamu tidak perlu melakukan apapun pada Petita." "Tidak bisa," jawab Haiden cepat. "Mas Haiden," cicit Lea pelan, semakin panik dan khawatir. Masalah Melody saja belum lepas dari bayang-bayang Lea, dia masih suka takut sendiri saat mengingat hukuman mengerikan yang Haiden berikan pada Melody. "Dia punya pilihan untuk tak melakukan kejahatan. Tetapi dia memilihnya. So-- dia harus terima konsekuensinya, Sweetheart." Satu tangan Haiden memeluk pinggang Lea erat, satu lagi menangkup pipi Lea. Ciuman lembut mendarat di bibir Lea, salah satu cara Haiden mendapatkan ketenangan. Lea juga paham, dan dia membiarkan sua
'Aku tak menyangka kalau Lea punya masalah berat dengan keluarga ini. Tetapi dia tetap menjadi pribadi yang ceria, dia berani dan tegar. Aku mengidolakan Lea dan aku akan menjadikannya panutanku.' batin Nami, tersenyum bangga dan tulus–sembari menatap sosok Lea. Setelah makan malam, mereka kembali mengobrol bersama. Nami sangat takjub pada Lea, karena dia besar hati tetapi juga berani menyuarakan isi hatinya. Nami ingin menjadi seperti Lea. Tetapi apakah dia bisa? "Mak Le, kamu nggak apa-apa kan?" tanya Ziea. Sejujurnya sejak dari tadi dia ingin menanyakan perihal ini, akan tetapi dia tak enak. Dia takut membuat Lea tersinggung serta tak nyaman. Namun, Ziea memberanikan diri. Lea menggelengkan kepala, tersenyum lembut pada Ziea. "Aku nggak apa-apa, dan aku merasa sangat lega," ujar Lea pelan, "kamu nggak perlu merasa nggak enak begitu, Ziea. Mereka memang keluargamu tetapi, perbuatan mereka bukan tanggung jawabmu." Ziea menganggukkan kepala kecil, meskipun begitu dia tetap tak
"A-apa? Aku dijodohin sama Papa?" Kaget dan panik Nindi. "Udah. Kamu mandi dulu. Nanti Mama bicarain ke kamu." Setelah sampai di kamar putrinya, Lachi mendorong Nindi masuk ke dalam kamar–menyuruh putrinya untuk segera mandi. *** "Jadi bagaimana? Masih ingin menikahi putri Paman?" tanya Danzel, di mana saat ini dia sedang berbicara dengan anak dari salah satu temannya lamanya di dunia bisnis. Sejak dulu pemuda ini sudah mendatanginya dan mengatakan keinginannya untuk memperistri putranya. Dulu, Danzel menertawakan karena anak ini masih remaja labil. Tapi meski begitu, dia menganggukkan kepala–setuju jika pria ini menikahi putrinya di masa depan. Sejujurnya Danzel tak terlalu serius dan menganggap itu hanya candaan ssmata. Danzel merasa anak ini tak akan bertahan lama dalam rasa sukanya pada Nindi. Dari remaja hingga dewasa–tak mungkin pria ini tak menemukan perempuan lain di luaran sana. Intinya, Danzel tak yakin jika pemuda ini bertahan dalam hal menyukai putrinya. Namu
Saat ini Nindi berada di kontrakan kecil miliknya. Hidupnya berubah drastis setelah empat bulan terakhir ini. Dia menjalani hari-hari penuh dengan kekurangan, dia berusaha bertahan di era miskin yang melanda dirinya karena ingin hidup mandiri seperti ibunya saat muda dulu. Neneknya bilang ibunya seorang perempuan mandiri yang tak pernah mengandalkan kekayaan orangtuanya. Nindi yang selama ini berfoya-foya dengan uang ayahnya, merasa tersindir. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk hidup sendiri. Dia memisah dari keluarga Adam, mencari pekerjaan secara mandiri di perusahaan lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan ekonomi yang serba kurang. Bagi Nindi ini cukup sulit karena dia terbiasa hidup penuh kemewahan. Namun, sejauh ini, Nindi menikmati kehidupan barunya. Derrttt'Nindi meraih handphone di atas meja nakas, samping ranjang kecil miliknya. Dia langsung mengangkat telepon dari sahabatnya, Clara. "Iya, Ra?" ucap Nindi, satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, satu la
"Lihat penampilanmu sekarang, nggak terurus, buruk dan … harus aku akui, kamu jelek banget." "Yang penting aku masih hidup." "Iya, masalahnya, siapa yang mau pacaran sama kamu kalau kamu bentukannya begini, Nindi." Mendengar nama itu, seorang pria yang sedang menunggu pesanannya segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dia bisa melihat dua perempuan sedang duduk bersama, satu perempuan berpenampilan rapi dan satu lagi terlihat seperti gembel. Perempuan gembel itu-- rambutnya berminyak, wajah kusam, pakaian tak disetrika, dan sandal jepit yang dia kenakan sudah diikat tali plastik. Sepertinya sandalnya putus, dan dia mengakalinya dengan tali plastik. Diam-diam pria itu mengambil potret si perempuan gembel tersebut, setelah itu mengamati potret yang ia ambil dengan sangat serius. Sejujurnya meskipun berpenampilan gembel, perempuan ini masih tetap cantik. Hanya saja-- bukankah perempuan ini berasal dari keluarga terpandang, kenapa penampilannya seperti gembel? Apa pamannya–a
"Apa mereka sedang menggunjing istri yah?" timpal Ziea, membuat semua orang menoleh padanya. "Ahahah, tidak mungkin, Ziea." Serena tertawa dengan anggun, menatap lucu pada Ziea. "Positif thinking, pasti membahas mobil. Para pria kan suka begitu," tebak Lea, kali ini mendapat anggukkan dari yang lainnya karena itu masuk diakal dan mereka setuju. "Ah ya ampun!! Pria yang pake kemeja hitam, ganteng sekali." Lea senyum-senyum manis. "Kak Deden?" Ziea memicingkan mata, mendapat anggukan dari Lea. "Tampan kan?!" Lea menaik turunkan alis. "Aduh. Tobat, Lea, tobat! Kamu sudah tua, Sayang!" Ziea mengomeli Lea, tetapi Lea tidak peduli–tetap memuji ketampanan suaminya. "Ada Alana loh di sini. Kamu tidak malu?" "Enggak apa-apa, Aunty. Alana sudah biasa kok," jawab Alana santai. "Pantas anteng, ternyata sudah biasa." Serena tertawa kecil. "Itu adek Kak Zana kan?" bisik Kanza pelan pada Anna, menatap seorang pria yang baru masuk. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi dan p
*** Ethan memasuki rumahnya dengan langkah cool. Hari ini dia pulang lebih cepat dari kantor karena orangtua dan mertuanya sayang ke rumah. Keluarga yang lain juga akan datang, untuk menjenguk Alana yang sedang hamil. Sebenarnya ini kebiasaan keluarga Mahendra yang sangat kekeluargaan. Namun, karena daddynya tak mau kalah dan pada akhirnya yang lain ikut-ikutan. Jadilah hari ini mereka semua datang ke rumah ini. Ah, kakaknya juga datang. Namun, Samuel lebih dulu sampai ke sini dibandingkan Ethan yang merupakan tuan rumah. "Nyonya ada di mana?" tanya Ethan pada salah satu maid, ketika maid itu tergesa-gesa keluar dari sebuah ruangan lalu memberi hormat padanya saat melewatinya. Maid tersebut terlihat panik, segera menyembunyikan buku nyonya-nya ke belakang tubuh. "Ah-- itu, Tuan, Nyonya di-di halaman belakang bersama keluarga." "Humm." Ethan berdehem singkat. "Apa yang kau sembunyikan? Perlihatkan sekarang!" titah Ethan kemudian. Maid tersebut dengan ragu memperlihatkan buku
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alana, melayangkan tatapan tajam ke arah seorang laki-laki. Karena mendapat laporan dari maid–ada seorang pria di depan gerbang rumah, Alana langsung ke sana untuk memeriksa. Alana sejujurnya malas, akan tetapi dia tak ingin membuat keributan. Dia takut pria itu nekat ke dalam atau Ethan tiba-tiba pulang dan salah paham pada si pria itu. Jadi lebih baik Alana turun tangan. "Alana, akhirnya kau bersedia menemuiku." Pria itu begitu senang setelah melihat Alana datang. Dia tersenyum lebar, layaknya seseorang yang telah menemukan berlian langka di dunia. Pria itu mendekat tetapi Alana mundur. "Ck, kamu ngapain datang ke sini, Hendru?!" ketus Alana, menatap sinis dan tak suka pada Hendru. Alana sudah muak dengan Hendru karena pria ini sangat mengganggunya. Hendru meninggalkan kenangan buruk bagi Alana, tetapi pria ini muncul dengan gampangnya dihadapannya, tanpa merasa bersalah sedikit pun atau tak malu sama sekali. "Aku ingin meminta maaf pa
Alana terdiam di depan pintu ruangan Ethan. Dia sudah membuat kopi untuk Ethan akan tetapi dia tak berani untuk mengantarnya akibat dia … memanggil Ethan dengan embel-embel 'mas. Dia melakukannya tanpa sadar dan sekarang dia sangat malu. "Tapi sepertinya Kak Ed juga tidak sadar kalau tadi aku memangilnya Mas," gumam Alana pelan, mengenal napas pela untuk menenangkan diri. Setelah itu, dia membuka pintu ruangan Ethan dan langsung masuk. "Ini kopinya, Kak," ucap Alana pelan, meletakkan kopi di dekat suaminya. Ethan mendongak, sejenak mengamati wajah cantik istrinya lalu tiba-tiba menyunggingkan smirk tipis. "Aku suka." Alana mengerutkan kening, "tapi Kak Ethan belum mencoba kopinya," jawabnya bingung. "Aku suka dipanggil mas olehmu," lanjut Ethan, berhasil membuat pipi Alana memerah dan terasa panas. 'Astaga, jadi Kak Ed sadar? Hah, kok jantungku berdebar-debar kencang? Apakah ini tanda-tanda …- tidak!' Alana langsung membalik tubuh, meletakkan tangan di dada untuk merasakan
"Ugh, Kak Ethan sangat tampan!" gumam Alana pelan, senyum malu-malu ketika melihat suaminya turun dari mobil. Pipinya panas, menyembulkan semu merah yang mempercantik wajahnya. Melihat Ethan berjalan ke rumah, jantung Alana berdebar kencang. Dia segera beranjak dari sana, berjalan buru-buru dan kembali ke tempat semula. "Nyonya, ke-kenapa anda kembali ke sini? Nyonya tidak ingin menyambut Tuan yah?" tanya salah satu maid, cukup bingung karena Alana berlari kecil dari pintu utama. Bukankah seharusnya Alana membukakan pintu untuk suaminya dan menyambutnya? "Ekhm." Alana berdehem singkat, melirik maid dengan wajah datar, "untuk apa?""Jadi … kenapa kami disuruh memantau Tuan, Nyo-Nyonya?" bingung maid tersebut. "Ck." Alana berdecak, "kalian saja yang menyambutnya. Sana sana."Para maid segera beranjak dari sana, menyisakan Alana di ruangan tersebut. Alana meraih novel di atas meja kemudian menutup ke wajah, dia kembali tersenyum malu-malu–mengingat paras Ethan yang sangat tampan.
Mata Tia melebar mendengarkan perkataan Ebrahim. Dia mulai panik dan muali takut. "Ta-tapi … Alana jahat padaku, dan Tuan Ethan melakukan hal buruk padaku, Tu-Tuan Ebrahim," ucap Tia dengan nada gemetar, "anda terkenal baik dan selalu berpihak pada kebenaran." "Dan kebenarannya, kau berencana mencelakai adikku. Aku berniat merebut suami adikku, dan kau menusuk adikku dari belakang," jawab Ebrahim santai, "sekarang kutanya padamu, kau ingin mati di tanganku atau tetap hidup lebih lama dalam lingkar penderitaan yang Ethan ciptakan untukmu." Deg deg deg' Mata Tia melebar, reflek mundur bahkan berakhir terjatuh ke lantai karena lemas dan drop mendengar ucapan Ebrahim. Dia kira dia selamat bila meminta bantuan Ebrahim, akan tetapi status hidupnya malah diperjelas–hanya sebatas mati dan menderita. "Ku sarankan kau memilih Ethan, siapa tahu kau berobat dan Ethan melepasmu," ucap Ebrahim dengan menyunggingkan smirk tipis. Dia sedang menjebak perempuan ini. Faktanya, sekalipun Tia berub