Holla, MyRe. Ada yang benar tebakannya nggak? Hihihi ... semoga suka dengan bab ini yah ... Dukung novel kita dengan cara vote gems, hadiah, komentar dan doa baiknya. Semoga kalian semua sehat selalu dan semangat!! IG:@deasta18
Ketika Lea telah masuk ke dalam rumah, Haiden langsung beranjak dari sana–kembali ke ruang kerja. Sedangkan Lea, dia ke dapur untuk membuatkan Haiden kopi. Setelah itu, Lea segera ke ruang kerja Haiden–mengantar kopi pada suaminya. Haiden menatap lekat pada Lea yang saat ini datang ke ruang kerja-nya. Setiap gerak-gerik perempuan itu tak luput dari pantauan Haiden, matanya tak beranjak dari sang istri. "Aku membuatkan kopi untuk Mas Haiden." Lea berucap senang, menunjukkan raut ceria dengan senyuman lebar yang membuat Haiden terpana melihatnya, "kopi cinta," lanjut Lea, meletakkan kopi di depan suaminya. Lea kemudian meletakkan tangan di dada, melakukan gerakan seperti mencabut sesuatu di sana–di mana dengan cepat dia membentuk finger heart. Setelah itu, Lea mengarahkan finger heart tersebut ke arah Haiden; ia memiringkan sedikit kepala, tersenyum dengan mulut terbuka dan mengedipkan mata genit ke arah suaminya. Haiden mengamati tingkah tengil dan kecentilan istrinya. Persekian
Air mata Mira jatuh ketika menyuapkan makanan pemberian putrinya ke dalam mulutnya. Rasanya sangat sakit dan sesak tiada tara. Dulu dia menyakiti Lea yang ia anggap tak berguna. Dia tanpa belas kasih tak memberinya makan. Namun, saat dia mengalami hal serupa, di mana Haiden tak mengizinkannya untuk makan, Lea lah orang yang menyelamatkannya. Lea tidak tahu dia siapa akan tetapi Lea membantunya secara tulus. Sedangkan dulu, dia tahu Lea adalah putri kandungnya. Akan tetapi kenapa dia tega menyiksanya? 'Keluargaku dulu jahat padaku.' Ucapan Lea tersebut tak hilang dari benak Mira. Dia terus memikirkannya dan itu membuat air matanya banjir. "Mama dulu membuatmu kelaparan, Nak. Tetapi saat Mama yang kelaparan, kamu datang memberi Mama makanan." Mira bergumam pelan, terus menangis menatap kotak bekal yang Lea berikan padanya. "Kamu tumbuh menjadi anak yang sangat baik hati. Kamu-- berhati malaikat." Mira lagi-lagi bermonolog sendiri, tersenyum tipis karena terharu pada Lea. "S
"Mas Haiden kok se benci itu sih sama pelayan tadi?" Lea memicingkan mata, memberontak kecil supaya Haiden menurunkannya dari gendongannya. Untungnya Haiden menuruti, mungkin karena mereka sudah di depan, di mana Nanda sudah menunggu di sana. "Dia pantas untuk dibenci," jawab Haiden dingin, membuat Lea kembali mengerutkan kening karena bingung dan tak mengerti. Jika Haiden membenci maid itu, berarti Haiden mengenal maid tersebut bukan? Karena tidak mungkin Haiden membenci tanpa mengenali. "Mas menge …." Lea ingin menanyakan pasal maid tersebut pada Haiden akan tetapi ucapannya terpotong, terhenti karena Nanda tiba-tiba bersuara secara ceria. "Halo, Adek Lea." Nanda menyapa dengan riang, tersenyum lebar pada Lea. Lea gagal fokus, pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada suaminya langsung buyar. Atensinya seketika teralihkan pada sosok Nanda. "Hai, Abang Nanda. Kelihatanya lagi happy banget nih. Ada sesuatu yah, Kak?" balas Lea ceria, mengimbangi lawan bicaranya yang juga antusias p
"Bagaimana keadaanmu, Nyonya Mira Pratama?" Rekq bertanya dengan nada dingin, menarik sebuah kursi lalu duduk di sana. Mira ada di halaman belakang, diperintahkan untuk membersihkan semua taman yang ada di rumah ini. Tak ada yang diperbolehkan untuk membantunya, Mira harus menyelesaikan sendiri. Mira membungkuk ragu pada Rekq. Dia tidak pernah membungkuk pada seorang bawahan karena dia seorang nyonya besar keluarga Pratama. Akan tetapi, roda hidup sungguh berputar! Sekarang Mira bahkan setara dengan para pelayan. Dia harus memberi hormat pada setiap orang yang tinggi posisinya di rumah ini–bahkan pada kepala maid. Dulu, Mira sangat bangga dengan kekayaan yang dia miliki. Dia arogant dan angkuh. Namun, sekarang dia tidak bisa bersikap sombong lagi. Dia seorang jelata! "Terimakasih atas perhatiannya, Tuan Rekq. Saya baik-baik saja." Mira berkata pelan, menunduk karena seorang pelayan dilarang bersitatap dengan majikannya. Di mansion ini, pelayan harus disiplin dan harus bekerja se
Lagipula bagiamana caranya menolong sedangkan dia belum tentu selamat dari Haiden setelah ini. Awalnya dia mau-mau saja diminta tolongi oleh Jema supaya bisa masuk ke rumah mewah Haiden ini karena Jema bilang dia ingin bertemu dengan Lea untuk menanyakan pasal kematian orangtuanya. Ternyata orangtua Jema bekerja sebagai kepercayaan orangtua angkat Lea. Namun, sebuah insiden kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa otangtua Jema. Ada hal yang janggal sehingga Jema ingin menemui Lea untuk membahas itu. Sayangnya, ternyata Jema datang ke sini bukan untuk itu. Dia mengatakan alasan sebelumnya hanya supaya Kevan bersedia menolongnya masuk ke rumah ini. Alasan Jema ke sini tak lain adalah untuk melabrak Lea yang sedang hamil. Kevan menoleh pada Melody, di mana perempuan itu terlihat sedang menikmati pertengkaran Lea dan Jema. Apakah perempuan iblis itu adalah dalang dari kekacauan ini? "Nyonya Lea." Rekq berlari cepat ke arah Lea yang terlihat sangat kacau. Tanpa tahu apa yang terjadi, R
Bug'Pemilik suara itu menarik lengan Melody kuat kemudian membenturkan kepala Melody secara kasar dan bertenaga ke arah tembok. Suara benturan terdengar jelas, disusul suara rintihan yang membuat Lea di tempatnya merasa kebingungan. "Argk."Lea mengerutkan kening, seketika berhenti memukul Jema dengan sandal. Dia menatap lurus ke arah depan, sepertinya ada seseorang di balik tembok yang menjadi sekat ruangan. Sedangkan Haiden, setelah membenturkan kepala Melody ke tembok, dia langsung menarik perempuan itu ke arah taman lalu mendorongnya ke dalam kolam. Byuarrr'Melody panik dalam air. Keningnya yang terbentur kuat ke tembok dan rasanya sangat sakit ketika bersentuhan dengan air. Dia berusaha mencapai permukaan, akan tetapi rasanya sangat sulit karena kepala yang terdapat berat; berdenyut-denyut dan sangat sakit. Untungnya dia masih bisa mencapai permukaan, di mana dia berenang ketepian untuk mendapat pegangan. Namun, saat tangannya menyentuh pinggiran kolam–sebagai pegangan, se
Lea menghela napas, menatap Haiden yang berakhir tertidur pulas di atas ranjang; bertelanjang dada dan selimut yang menutup dari pinggang hingga seluruh kaki. Katanya hanya ingin mencuci tangan Lea akan tetapi pria itu memakai cara modus sehingga Lea terseret ke arah ranjang. Setelah Haiden mendapatkan apa yang dia mau, pria itu tertidur pulas. Lea sejujurnya ingin membangunkan Haiden, mengingat ini masih jam kerja sang suami. Namun, Lea tak tega dan sangat jarang dia melihat Haiden tidur siang hari. Mungkin Haiden tidur pulas begitu karena memang sudah sangat lelah. "Kasihan juga calon Daddy anakku ini. Kerjanya banyak dan tidur cuma bentar." Lea bergumam pelan, menatap hangat ke arah suaminya yang terlelap. Lea tersenyum lembut, mengusap surai lembat semuanya dengan penuh kasih sayang setelah itu menyempatkan diri mencium pipi suaminya. "Sepertinya Mas Haiden Terlope-lope belum makan siang. Aku akan masakin makan siang untuk Mas Haiden," monolog Lea riang, segera beranjak dar
"Aku ingin makan disuap, Azalea." Lea seketika menatap kaget dengan muka cengang pada suaminya. "Kita makan didepan televisi. Aku ingin makan disuap olehmu sambil menonton," ucap Haiden kembali, memasang muka polos–tak merasa bersalah sedikitpun pada perkataannya. "Maaf, Sayang?" Lea memiringkan kepala sedikit. Dia tak percaya dan masih tak menyangka dengan permintaan suaminya. "Kau tidak bersedia?" Haiden bersedekap di dada, menampilkan muka dingin dan kesal secara bersamaan. "Baiklah. Aku kembali ke kantor," lanjutnya, segera beranjak dari sana. Namun,, langkah Haiden berhenti seketika. Lea mencekal dan menghadang. "I-iya iya. Kita makan depan televisi dan aku akan menyuapi Mas Haiden," ucap Lea, setengah panik karena suaminya merajuk dan masih tak menyangka. Aneh! Mendadak Haiden ingin makan disuap dan di depan tv? **** "Aku merasa sepertinya kau perlu belajar menjaga anak melalui aku, Azalea," ucap Haiden santai, setelah sebelumnya menelan makanan dalam mulut. Dia
"Jam tangan," gumam Ethan, membuka kado yang Alana berikan padanya. Dia sudah di rumahnya, di dalam kamar dan sedang bersantai. Senyuman tipis muncul di bibirnya, mengusap jam tangan pemberian perempuan yang ia cintai. Ethan mencoba jam tangan tersebut ke pergelangan tangan dan ternyata pas. Dia lagi-lagi tersenyum tipis, merasa semakin senang ketika jam tersebut telah ada di pergelangan tangan. Namun, karena dia takut jam tersebut lecet dan terkena debu, Ethan melepas jam itu. Dia kembali memasukkan ke dalam kotak lalu membawanya ke walk in closet. Tetapi Ethan mengurungkan niat, memilih menyimpan jam tersebut di atas nakas sebelah ranjang. Karena dengan begitu, setiap hari Ethan akan melihat jam ini. Setelah meletakkan jam tersebut di atas nakas, Ethan mengeluarkan sebuah surat dari saku celana. Surat tersebut adalah surat yang Alana lempar tadi. Dia diam-diam memungutnya karena dia sangat penasaran dengan isi surat tersebut. [Untuk, Kak Ethan. Selamat hari kasih sayang dan ci
Alana mendekati Daddynya lalu merampas kertas kecil tersebut. "Daddy sama Mommy rese banget sih," ucap Alana dengan nada cemberut, dia meremas kertas secara diam-diam kemudian membuangnya secara sembarang arah. Sebenarnya tak ada yang istimewa pada kertas itu, soalnya yang menulis adalah staf toko jam tangan. Palingan hanya ucapan terimakasih. Namun, kalau daddynya membaca, tetap saja Alana merasa malu. "Jadi Alana dan Kak Ethan kencan sambil mencari kado? Kalian ingin tukar kado yah?" tanya Nanda dengan nada hangat tetapi tatapan jahil pada Alana. "Enggak, Uncle," bantah Alana, memilih di sebuah sofa tunggal. Sebetulanya Alana sudah tak punya muka dan dia ingin sekali meninggalkan tempat ini. Namun, dia takut sekali mommynya mengatakan hal-hal aneh pada Ethan. Alana juga takut kalau Ethan me-melamarnya. Awalnya Alana tak masalah dilamar oleh Ethan. Itu bukan sebuah ancaman baginya karena dia putri kesayangan sang Haiden. Daddynya tak mungkin merelakan Alana pada Ethan. Namun
"Kamu dari mana sih, Alana sayang?" tanya Lea ketika putrinya telah kembali. Dia langsung menghampiri sang putri, menatap Alana lekat dan penuh perhatian. Lea tentu khawatir pada Alana. Tadi malam putrinya hampir terkena masalah yang luar biasa mengerikan. Pagi ini, ada berita buruk tentang seseorang yang membenci putrinya. Lea khawatir orang tersebut melakukan aksi kejahatan pada Alana; menyerang Alana secara fisik. Lea sangat panik tetapi dia tidak berani memberitahu suaminya karena dia takut jika Haiden mengamuk. Meski sekarang suaminya jauh lebih lembut dan hangat, tetapi Haiden tetaplah Haiden. Sumbu pendek, nuklir ataupun gunung berapi. Jadi Lea tak ingin mengambil resiko. Dia memilih menghubungi Ethan, pria yang sudah ia dan suaminya setujui untuk menjadi menantu. Sebenarnya ada opsi menghubungi putranya, tetapi sifat Ebrahim tak jauh dari dadanya–sangat mudah marah. Takutnya, Ebrahim memarahi adiknya yang pergi tanpa pamit. "Aku habis jalan-jalan, Mommy," jawab Lea,
"Aku calon suami Alana." Deg deg deg Alana reflek mendongak pada Ethan, menatap pria itu dengan mimik muka campuran tegang dan malu-malu. Namun, Alana tak seperti biasanya, di mana dia akan kesal serta tak terima ketika Ethan menyebutnya pasangan. Alana hanya … merasa gugup. Satria menatap Ethan dengan senyuman remeh, pria ini pasti orang yang mengaku-ngaku sebagai calon suami Alana. Atau jangan-jangan dia fans fanatik dari Alana? "Kau ini--" Satria menatap Ethan dari atas hingga bawah. 'Pakaiannya sangat berkelas, dia penuh wibawa dan karisma. Orang sepertinya seharusnya jarang menonton televisi. Ah, bisa saja dia berpenampilan seperti ini untuk memikat perempuan. Tapi tak bisa ku pungkiri, dia memiliki aura yang mahal.' batin Satria, dia memperhatikan penampilan Ethan untuk menghina pria ini. Akan tetapi, dia tidak memiliki bahan untuk menghina pria ini. Bahkan semua yang pria ini pakai harganya hampir setara dengan harga mobil miliknya yang biasa ia pakai ke lokasi shooting.
"Angkat kamera kalian dan kalau berani, menghadap padaku!" dingin Haiden, nada menggeram marah dan tatapan sangat tajam–penuh emosi. Alih-alih mengangkat kamera, para wartawan tersebut bergerak mundur. Mereka menunduk dalam, menutupi wajah agar tidak dilihat oleh sang legendaris Mahendra. Rurom menyebut, apabila dalam keadaan marah Haiden menatap seseorang, maka orang tersebut akan menghilang. Tak ada yang bisa membenarkan rumor tersebut, akan tetapi banyak yang menyebutnya nyata. "Kalian berani mengganggu putriku, Hah?!" bentar Haiden dengan suara menggelegar–para wartawan tersentak kaget, tubuh bgemetar hebat dan jantung berdebar kencang. "Ma-maafkan kami, Tuan Haiden," ucap salah satu dari wartawan tersebut. "Kalian semua pantas mati!" dingin Haiden. Lea melepas pelukannya pada putrinya lalu buru-buru menghampiri suaminya. "Mas Deden Terlope-lope, tenangkan diri kamu," peringat Lea, memeluk suaminya sembari satu tangan mengusap dada bidang sang suami. "Sebaiknya kita p
"Putriku. Di-dimana putriku?" Haiden dan yang lainnya datang ke sana. Ebrahim yang memberitahu supaya daddynya datang ke tempat ini. Awalnya Ebrahim dan Ethan sepakat ingin menutup-nutupi masalah ini dari Haiden dan Lea. Akan tetapi, daddynya terus menghubunginya–menyuruh Ebrahim untuk mencari Alana ada di mana. Pada akhirnya Ebrahim mengatakan yang sejujurnya. "Daddy …." Alana langsung berdiri, menangis sembari menatap ke arah daddynya. Haiden merentangkan tangan supaya putrinya datang dan memeluknya. Alana langsung berlari dan …- Bug' Memeluk sosok perempuan di sebelah daddynya–mommynya. Haiden yang masih merentangkan tangan–berharap dipeluk oleh putrinya, terlihat memasang muka kaku dan dengan mata berkedut-kedut. Hell! Dia hanya mendapat angin untuk dipeluk. Semua orang yang melihat itu, berusaha menahan tawa. Lucu akan tetapi salah waktu saja. "Su-sudah, Den. Tak ada yang ingin memelukmu," ucap Reigha, menurunkan tangan Haiden yang masih direntangkan. "Nanti kita
"Sudah?" tanya Ethan, melirik sekilas pada Alana yang masih berendam dalam bath up. Sebenarnya Ethan ingin sekali melirik Alana lebih dari satu detik, tetapi … damn! Dia takut dia mencelakai gadis ini. Alana menekuk kaki lalu memeluk diri sendiri. Dia sudah sadar dan tubuhnya tidak lagi merasa terbakar. "Sudah, Kak," jawabnya pelan, malu karena keadaannya hampir telanjang. "Humm." Ethan berdehem singkat, meraih handuk lalu memberikannya pada Alana. "Aku keluar," ucapnya setelah itu."Kak Ethan, bajuku basah dan aku tidak punya baju lagi," cicit Alana ketika Ethan berniat keluar dari kamar mandi. "Humm." Ethan hanya berdehem, dia keluar dari kamar mandi lalu menghubungi seseorang untuk mengantar pakaian pada Alana. Orang yang dia hubungi adalah Zana, perempuan itu dekat dengan Alana dan tentunya tahu selera berpakaian Alana. Satu lagi. Zana sepupunya dan mereka lumayan dekat. Tak lama Zana datang dengan Ebrahim, di mana raut muka Ebrahim sangat tak bersahabat–khawatir dan marah
Alana menjauhkan pandangan, meraih handphonenya dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Jantung Alana berdebar kencang, padahal dia hanya bersitatap dengan Ethan tetapi kenapa dia gugup? Ada getaran yang tak ia pahami di dalam hati. Di sisi lain, Ethan menghela napas, Alana tidak suka padanya dan dia tidak ingin memaksa. Acara berlanjut dan begitu meriah. Di depan sana, orangtuanya membanggakan Ethan, granddad dan grandma-nya juga memuji Ethan. Di tempatnya Alana ikut senang melihatnya. Dia masih ingat waktu Ethan termenung di ruangannya karena masalah yang iklan. Masih teringat jelas wajah murung Ethan ketika kakaknya menyalahkannya di depan banyak orang, karena masalah tersebut. Namun, di sini Ethan terlihat bersinar. Dia bisa membuktikan dirinya sendiri dan akhirnya dia diakui. Tanpa sadar Alana tersenyum dan bertepuk tangan kecil. Akan tetapi senyumannya langsung lenyap ketika Ethan menatapnya. Lagi-lagi jantungnya berdebar kencang dan Alana tidak nyaman dengan tatapan Ethan. Semua
"Dia memang Azam, tetapi dia berdiri diatas kakinya sendiri. Dia tidak pernah mengandalkan nama belakangnya. Dan Kakak perhatikan Kak Ethan sangat memperhatikanmu, kau sangat beruntung jika mendapatkannya. Karena Kak Ethan tidak peduli pada sekitarnya, dan kau satu-satunya yang akan dia perhatikan.""Kak! Tolong jangan paksa aku. Aku nggak suka Kak Ethan," pekik Alana. Ebrahim menghela napas, berdiri dari sebelah adiknya lalu mengusap pucuk kepala Alana. "Terserah. Tapi-- gengsinya jangan lama-lama. Yang suka pada Kak Ethan itu bukan hanya kau.""Ih apaan sih?!" ketus Alana, langsung menutup pintu dengan kasar–setelah Ebrahim keluar dari kamarnya. Semua orang gila! Sudah Alana bilang kalau dia tidak suka pada Ethan, tetapi orang-orang terus keukeuh menganggap Alana suka pada Ethan. Hell! Bukan hanya Ethan laki-laki di dunia ini, dan … big no untuk pria Azam. Sekalipun Ebrahim sudah menasehati, itu tak mempan pada Alana. Tidak tetap tidak suka! Tok tok tok'Alana membuka pintu deng