Felix.
Gue hampir saja meninggalkan meja kerja untuk pulang ke rumah, ketika pintu ruangan gue berderit perlahan lalu menyembul wajah Tania dari balik sana. Wajahnya dingin seperti biasa, dan tanpa senyum sedikitpun. Khas Tania jika bertatap muka sama gue.
“Ada apa Tania?” gue kembali duduk. Menggeser kursi gue untuk lebih mendekat ke meja.
Sedangkan dia tampak tenang. Berjalan pelan kearah gue.
“Gue mau pamitan.” Jawabnya datar ketika kami saling berhadapan. Akh, dia juga tidak ada inisiatif untuk sekedar duduk dan basa-basi sebentar sama gue. “Udah hampir tiga minggu gue di sini, dan pekerjaan gue udah selesai.”
Gue tercenung beberapa saat. Gue lupa kalau pekerjaan dia sudah rampung, dengan baik pula. gue rasa gue bakal kehilangan semangat gue dalam bekerja kalau dia enggak ada. Meskipun terdengar lucu, gue sering menatap dia diam-diam dari balik kaca jendela ruang kerja gue yang terhubung dengan meja kerjanya.
“Kapan?” Tanya gue kemudian. Terbersit niatan gue untuk membuat sebuah pesta perpisahan untuknya.
“Besok pagi. Penerbangan pertama.” Jawabnya dingin.
Gue menarik nafas pelan. Apa enggak bisa ia menunda kepulangannya sehari aja untuk liburan. Jika iya, pasti dengan senang hati gue bakalan ngaterin dia kemanapun dia mau. Meskipun gue sebenarnya yakin, jika kepulangannya besok di pagi-pagi buta itu hanya ingin menghindari gue. Udah enggak tahan lihat muka gue, udah engap tiap papasan sama gue.
Gue pengen membuka mulut dan mengatakan rencana gue untuk memberinya pesta perpisahan nanti malam. Namun dilihat bagaimana dinginnya dia bersikap sama gue sekarang, rencana gue pasti bakalan ditolaknya mentah-mentah tanpa berfikir panjang.
“Apa lo enggak mau menunda kepulangan lo sehari aja?” gue mengubah arah topik pembicaraan. Meskipun tidak mungkin, gue masih berharap dia mengangguk.
“Enggak bisa. Gue punya banyak kerjaan di Jakarta.” Jawabannya mantap, pun juga ekspresinya. Gue yakin jika besok pagi ada hujan badai yang menunda penerbangannya, ia pun tetap harus bisa pulang apapun caranya.
Sudah gue duga, itu pasti sebuah alasan karena beberapa hari lalu gue sempet teleponan dengan Daniel—bosnya di Jakarta. Bahwa Tania akan mendapatkan libur beberapa hari setelah urusannya di Bali selesai. Gue pikir, ia memang masih akan tinggal di sini untuk beberapa waktu, tapi ternyata tidak.
“Oh…..” hanya itu jawaban yang dapat gue berikan. Lantas apa? Haruskan gue mencekal tangannya terus mengatakan padanya bahwa gue pengen banget dia di Bali untuk beberapa waktu agar kita bisa semakin dekat? Akh, sepertinya gue bakalan kena gampar jika melakukan hal itu.
“Lo yakin enggak mau liburan di sini dulu?”
Dia menatap gue lalu menggeleng. Binar matanya seolah berbicara ‘seberapapun keras lo mencoba, gue enggak bakalan tinggal Felix.’
Gue menghela nafas penuh kekecewaan.
“Kalau begitu gue permisi dulu Fel. Terimakasih sudah mau bekerjasama dengan perusahaan kami.” Dia berbalik dan gue berhak mengumpat diri gue sendiri karena tiba-tiba saja tangan gue sudah terulur menarik pergelangannya.
Gue siap ditampar Tania!
SIAP!
“Tunggu.” Cegah gue.
Dia menoleh, menatap gue dengan alis berkerut.
Gue terdiam beberapa saat. Menunggu apakah dia benar-benar akan menampar muka gue. Tapi setelah beberapa detik berlalu dan kami masih berada di posisi yang sama, gue siap untuk melanjutkan kalimat gue.
“Gue mau minta maaf…..”
Felix! Lo hebat.
Dia mengerjapkan matanya. Hanya bibir merahnya saja yang tampak terbuka sedikit, sepertinya hendak mengatakan sesuatu namun urung dilakukannya.
“Atas kejadian malam itu.”
Ya meskipun sebenarnya gue enggak melakukan apa-apa sama dia.
Dia terdiam beberapa saat setelah kemudian berkata.
“Enggak apa-apa. Karena gue udah ngelupain itu.”
Ya jelas lo lupa. Karena lo enggak inget, Tania. Kalau lo inget, lo bakalan mengucapkan ribuan terimakasih sama gue karena sebenernya gue sama sekali enggak melakukan hal itu sama lo meskipun gue sangat ingin melakukannya. Lo harusnya memberi gue sanjungan selangit karena berhasil menahan hasrat gue untuk tidak melakukan apapun sama tubuh terbuka lo waktu itu.
“Gue berharap, setelah ini kita tidak akan pernah bertemu lagi. Karena gue mau nikah sebentar lagi.” Dia menarik tangannya lalu tersenyum samar. “Dan semoga lo juga segera menemukan seseorang yang bisa lo nikahi nanti.” Kalimatnya terdengar serius, tapi kenapa malah seperti sindiran bagi gue. sindiran karena di usia gue yang sekarang, gue belum laku-laku.
Dia berbalik arah. Berjalan dengan pasti meninggalkan gue tanpa ada inisiatif untuk menoleh sedikitpun ke belakang. Seakan perpisahannya dengan gue adalah sebuah kemenangan baginya.
Diam-diam hati gue terasa ngilu.
Dia menikah? Akh, tiba-tiba saja gue merasa patah hati.
*****
Tania.
Gue sudah menunggu berminggu-minggu untuk hari ini. Hari dimana gue bisa bebas dari pekerjaan gue dan bebas dari pertemuan gue dengan Felix. Sebenarnya jika bukan karena dia, mungkin gue masih menyempatkan diri untuk liburan di Kuta selama dua atau tiga hari. Jarang-jarang kan gue bisa liburan. Tapi mengingat bahwa dia bisa merecoki liburan gue disini, gue lebih memilih pulang ke Jakarta. Toh, sebentar lagi gue married dan pasti Altan bakal ngajakin gue bulan madu, dan gue maunya di Bali saja.
Gue sampai di terminal Kedatangan bandara Soetta tepat pukul 8.15 pagi. Semalam Altan bilang akan jemput gue, tapi kenapa gue nggak melihat batang hidungnya sama sekali di sini?
“Dimana sih?” gue berdecak kecil, mengambil ponsel gue dari dalam tas lantas mencari nama Altan di buku telepon gue.
Tuut…tuutt…..tuut….
Tersambung. Tapi enggak diangkat.
Gue kembali gusar. Jika memang enggak bisa jemput, seharusnya dia bilang sejak semalam. Jadi gue bisa pesen taksi online atau sejenisnya. Altan memang bukan tipe manusia on time, bukan juga tipe manusia yang bisa dengan mudah menepati janji, tapi seharusnya dia tidak seperti ini bukan di pertemuan pertama kami setelah berpisah tiga minggu?
“Hallo…..” telepon gue diangkat setelah panggilan ke-tiga.
Suara Altan terdengar berat. Khas bangun tidur.
“Beb…kamu masih tidur?!” gue berusaha untuk tidak menaikkan nada suara gue, tapi mustahil. Gue sudah terlanjur kesal pada Altan.
“Lho…..kamu udah di Jakarta beb?”
“Ya iyalah….. kemarin kan aku udah bilang kalau bakalan sampe Jakarta pagi.”
Altan belum menyahut.
“Astaga. Sorry beb. Semalam kerja lembur, dan ini aku di kantor.”
gue memutar bola mata malas.
“Jadi…..?”
“Jadi kayaknya aku enggak bisa jemput deh. “jawabnya. “Kamu naik taksi aja ya. Ntar sore aku datang ke rumah, gimana?”
Gue mendesah pelan. Pengen marah sih, tapi masa hampir tiap hari marah-marah terus sama dia.
“Ya udah deh, aku naik taxi aja!” Gue langsung menutup telepon sebelum Altan membalas kalimat gue.
******
2 bulan kemudian.“Tania……!” seseorang berlari-lari kecil ke arah gue dengan senyumannya yang terbuka lebar.Gue membalas senyuman itu lantas melambai kecil dan langsung memeluknya dengan erat ketika ia sampai di depan gue.Namanya Rani, sahabat gue sewaktu SMA. Dulu waktu sekolah, kami sahabat dekat, sebangku lagi. Namun sewaktu kuliah, kami berpisah. Dia mengikuti mamanya ke Surabaya sedangkan gue masih betah-betah aja tinggal di Jakarta.“Enggak nyangka ya, delapan tahun kita enggak ketemu.” Komentar gue ketika kita sudah duduk di bangku kami masing-masing.Seorang waiters datang membawa sebuah buku menu. Karena tak ingin diinterupsi terlalu lama, akhirnya kami memilih langsung memesan. Virgin mojito buat gue, dan stroberi punch untuk Rani.“Lo tambah cantik aja sih Nia?” Rani tertawa ke arah gue. Tawa yang sama dengan delapan tahun lalu, bedanya kini Rani terlihat lebih dewasa dan lebih a
Pernikahan!Biasanya gue selalu merasa iri setiap kali dapat undangan atau datang ke pesta pernikahan. Setiap melihat gelak tawa bahagia dari pasangan pengantin, keluarga dan kolega. Melihat dekorasi-dekorasi yang indah serta cantiknya souvenir-souvenir. Wanita mana yang bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan ‘pengen’ di dalam hati?Namun mungkin kali ini gue nggak bakalan ngiri lagi, justru merasa ikut bahagia ketika sahabat baik gue waktu SMA menikah. Karena satu bulan lagi giliran gue yang akan tampil secantik dan seanggun itu bersama lelaki yang gue cintai.gue memang butuh kesabaran ekstra nungguin Altan ngelamar gue. Kami pacaran lebih dari lima tahun, dan setiap hari gue selalu berharap dia bakalan ngelamar gue. Dan akhirnya tepat di tahun ke lima dia ngajakin gue nikah setelah gue berkali-kali ngasih kode sama dia buat ngelamar. Sama sekali enggak romantic sih, Cuma makan malam biasa di sebuah restoran. Tanpa kejutan bahkan cincinnya pun
Felix.Gue udah ngebayangin dari semalem gimana ekspresi Tania waktu ngelihat gue di acara pernikahan Rangga.Seminggu yang lalu sahabat baik gue waktu SMA itu ngehubungi gue dan minta gue buat jadi pendamping di acara pernikahannya. meskipun gue memang masih sering ketemu sama Rangga namun gue cukup terkejut mendengar rencananya, sebab pria itu tak pernah membicarakan masalah pernikahan di depan gue. gue pikir, dia sama kayak gue atau bahkan pria modern lain di luar sana, yang beranggapan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang musti dijadikan kewajiban. Namun ternyata, dia pria yang cukup bertanggung jawab dengan hubungannya, dan gue salut akan hal itu.Semalaman, gue nyaris enggak bisa tidur. Bukan karena pernikahan Rangga, melainkan pengen banget lihat ekspresi Tania waktu ngelihat gue. Rangga memang bilang kalau Rani bakalan mengundang Tania karena ia adalah sahabat baik dari gadis itu.Dan terbukti!Ekspresi terkejut campur salah tingkat
Tania.Lagu dari Giselle—cara melupakanmu mengalun lembut dari dalam mobil hitam yang kini gue tumpangi. Di depan kami, wiper tampak naik turun dengan teratur. Menghalau tetesan hujan yang turun dengan deras di bumi.“Kedinginan ya?” Felix membuka suara. Tangannya terulur menekan tombol AC untuk menurunkan suhu di dalam mobil yang lumayan dingin. karena gue hanya memakai dress out of shoulders, jadi suhu AC ini terlalu menggigit buat gue.“Sayangnya gue enggak bawa selimut.” Dia kembali bercicit yang hanya gue balas dengan lirikan saja.Sejak dalam perjalanan tadi, dia terus mengoceh tentang berbagai hal. Mulai dari hotel di Bali yang mulai beroperasi sampai dengan pernikahan Rangga dan Rani yang begitu mengejutkan. Sedangkan gue sejak tadi hanya menjawab ham-hem saja dan bahkan tak menanggapi sama sekali. Gue pengen segera sampai rumah. Tapi kenapa justru rasanya lama sekali ya?Perjalanan kami mulus-mulus saja membel
Felix.Gue menggeliat bangun dan melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul sepuluh pagi. Astaga, waktu berjalan cepat sekali padahal satu jam lagi gue mesti datang menemui klien di lantai bawah. Sebenarnya mata gue masih begitu berat karena hampir semalaman gue tidak tidur menunggu mobil derek.Mobil derek tersebut tiba pukul setengah empat pagi, setelah gue berjuang mati-matian menahan kantuk di dalam mobil. Sudah ngantuk, dingin pula karena satu-satunya jas gue udah dibawa pulang Tania.Gue meraba-raba nakas lantas menemukan ponsel gue disana. Gue harap sudah ada pesan masuk dari Tania yang mengatakan bahwa dia sudah sampai rumah dengan selamat. Namun nihil! Selain beberapa SMS spam, gue nggak dapet pesan apapun.Sedikit kecewa, namun gue enggak menyerah. Jika dia enggak kasih kabar gue, setidaknya gue yang bakalan menanyakan keadaannya. Boleh khan?‘Sudah sampai rumah belum?’Terkirim……Dengan
Tania.Gue membawa Felix ke warung nasi goreng tenda pinggir jalan. Sengaja, karena gue pengen lihat ekspresi seorang CEO muda itu ketika makan di warung makan yang tidak pernah ia kunjungi.“Di sini?” Tanya Felix ketika kami sudah turun dari mobil. Matanya mengitari sekeliling seperti sedang menilai sesuatu.“Iya.” Angguk gue mantap. “Kenapa? Lo enggak suka?” gue tersenyum miring penuh ejekan. “Enggak mau makan di tempat kayak begini?”Dia hanya mengedikkan bahu.“Tergantung, makanannya enak apa enggak.” Sahutnya, lantas ngeloyor pergi begitu aja ninggalin gue dan masuk ke dalam warung tanpa canggung.“Mang, nasi goreng dua ya.” Serunya pada penjual nasi goreng. “teh anget juga dua.”“Siap mas!” sahut penjual tersebut semangat.Gue bersungut. Niat hati pengen buat Felix kesel, nyatanya justru sekarang gue yang kesel karena ternyata
Suara jerit ponsel terpaksa membangunkan gue di pagi buta seperti ini. gue melirik ke luar jendela hotel. Masih gelap, lampu-lampu kota masih berkelap-kelip, dan itu menandakan bahwa gue belum waktunya bangun.Sebelum gue sempat mengulurkan tangan meraba-raba nakas, jerit ponsel itu sudah lebih dulu bisu. Kembali tenang dan gue bernafas lega karena dapat melanjutkan tidur gue yang terjeda. Namun sial, belum gue kembali dengan posisi nyaman, ponsel gue kembali berjerit.Gue mendengus, dan kembali mengulurkan tangan gue untuk meraba nakas, dimana ponsel gue selalu gue letakkan di sana.Mama calling…..“Heh, kenapa di Jakarta enggak ngomong mama?!” belum gue membuka mulut, suara mama sudah lebih dulu menyambar.“Aduh Ma…telepon subuh-subuh gini Cuma mau blilang itu?” jawab gue dengan suara serak, sementara mata gue masih terpejam menahan kantuk.“Kalau Jessi nggak ngasih tau mama, apa kamu bakalan bil
Tania.Menjelang hari-H pernikahan, gue semakin gugup dan cemas. Gue enggak tahu apa hanya gue yang merasakan hal seperti ini, atau semua calon pengantin lainnya. Yang jelas, kecemasan gue ini sukses membuat gue sulit tidur dan tidak doyan makan.Gue mungkin sedang diserang syndrome menjelang pernikahan. Tidur nggak nyenyak, makan nggak enak bahkan gue mulai berfikir dengan was-was. Gimana pernikahannya nanti kalau kurang ini atau itu? Gimana kalau pas hari-H nanti, baju gue kekecilan, bahkan gue sampai memikirkan cathering yang bakal disajikan di pesta pernikahan nanti.Mama sempat berpesan agar gue tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Mama bilang gue justru bisa stress sampai sakit kalau terlalu kebanyakan mikir. Tapi gimana lagi, gue bener-bener nggak bisa membuang perasaan was-was di hati gue.Sore ini, untuk membuang suntuk ALtan mengajak gue keluar rumah. Sekedar jalan-jalan cari angin atau makan di suatu tempat. Gue sih setuju aja. Disamping ka
Gue nggak nyangka jika Tania menyetujui ajakan gue untuk jalan-jalan ke taman bermain. Gue pikir dia bakalan menolak mentah-mentah seperti biasanya, tapi ternyata kini dia sudah bersiap. Celana jeans dipadukan dengan kaos pendek membuatnya terlihat segar pagi ini.“Siap?” Tanya gue ketika kami sudah berada di baik kemudi. Gue lirik dia yang duduk tenang di kursinya.“As you can see.” Jawabnya sambil memasang seat belt.Gue mengulas senyum, lantas menghidupkan kendaraan. Tak berselang lama, mobil BMW gue sudah keluar dari basement, memebelah jalan raya yang relative sepi ketika liburan seperti ini.Berbeda dengan jalanan yang lumayan lengang, taman bermain justru penuh dengan lautan manusia. Mumpung libur, mereka pasti menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga sebelum akhirnya kembali pada rutinitas padat mereka yang mencekik keesokan harinya.“Lo mau hiburan apa Tania?” gue memutar pandangan ke sekelili
TaniaCuti gue masih tersisa beberapa hari lagi, sebelum akhirnya gue kembali ke kantor dan menyibukkan diri dengan aktifitas pekerjaan seperti biasanya. Cuti yang rencananya sebagai liburan bulan madu gue, kini hanya berakhir di apartement. Tidur, makan, lihat TV, ngelamun. Setiap malam mama pasti datang menemani gue tidur di sini, sedangkan jika siang hari Rani yang akan datang ketika suaminya sibuk bekerja. Gue tahu jika mereka khawatir sama gue jika sendirian. Tapi tenang, patah hati nggak akan sampai buat gue bunuh diri.Gue memang masih sedih. Siapa coba yang tidak akan berduka ketika patah hati? Apalagi ketika ditinggalkan menjelang akad nikah. Namun gue adalah manusia yang berfikir rasional, tangisan gue atau apapun itu nggak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Jadi gue berusaha untuk bersikap biasa saja di depan orang-orang yang menyayangi gue, meskipun terkadang ada suatu waktu yang membuat gue tidak bisa menahan air mata, yaitu waktu menjelang tidur.
Jika biasanya setelah menikah suami istri akan tinggal serumah dan memulai kehidupan baru dengan bahagia, namun tidak dengan pernikahan gue. Status suami istri hanya ada di buku nikah, selebihnya kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Tania tinggal di apartementnya, sedang gue masih betah tinggal di hotel. Meskipun begitu, gue tidak serta merta cuek dengan gadis itu. Sesekali gue menanyakan pada Rani tentang keadaannya di apartement, atau bahkan terkadang gue menelpon mamanya Tania untuk menanyakan kabar gadis itu.Kabar pernikahan gue bukannya sesuatu yang dianggap biasa saja oleh orang-orang di sekeliling gue. Terlebih mama dan tentu saja Jessi. Awalnya mama marah-marah tidak jelas karena tak dikabari tentang pernikahan mendadak gue, namun setelah gue jelaskan semuanya—namun tentu saja bukan tentang keinginan gue bertanggung jawab untuk menutupi aib—akhirnya mama setuju untuk tidak kembali terbang ke Jakarta.Gue tahu jika sekarang Jessi berada dala
Tania.Siapa yang tidak terkejut ketika melihat seseorang yang kita cintai berada di dalam hotel dengan seorang wanita lain. Mungkin, ini lebih seperti mimpi buruk bagi gue. Ketika gue dicampakkan dengan alasan yang tidak jelas hanya melalui sebuah pesan singkat di saat ijab qobul sudah hampir dilaksanakan.Hati gue menjerit. Memberi dorongan bagi gue untuk melampiaskan semua sakit hati yang gue rasakan sekarang pada Altan, namun hati kecil gue berkata lain. Tidak pantas penghianat seperti dia mendapatkan apapun dari gue, bahkan pukulan dari tangan gue yang berharga ini.“Jadi, alasan lo ninggalin gue adalah karena wanita itu?” Tanya gue tenang. Tak ada lagi panggilan ‘aku-kamu’sekarang. Karena gue muak. Karena dia bukan orang yang pantas gue hargai sekarang.Altan menarik nafas lalu menunduk.“Iya.”Dan jawabannya seperti sambaran petir di hati gue. Dada gue sesak, ingin menangis. Namun sekali lagi, gue t
Felix.Gue nggak nyangka kalau status gue berubah secepat ini dari lajang menjadi menikah. Suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan dalam otak gue. Sebenarnya gue juga tidak bermaksud untuk menjadi pengganti suami bagi Tania. Hanya saja ketika melihatnya seperti tadi, perasaan gue bener-bener hancur.“Seharusnya lo nggak usah berbuat senekat ini Fel!” Rangga menyisir rambutnya ke belakang dan tampak frustasi. Sejak tadi dia berdiri di depan gue dengan tatapan menghakimi. Kini kami berada di rooftop hotel, setelah beberapa saat menyalami para tamu yang hadir. Ketika Rangga menghampiri gue dan mengajak gue kesini tadi, Tania sudah dibawa Rani ke dalam kamar. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, sama sekali belum gue pikirkan.“Udah terlanjur Ngga. Tania udah jadi istri gue.” Entah kenapa perasaan gue menghangat ketika menyebut tania dengan panggilan ‘istri gue’. Sama sekali tidak ada penyesalan di hati gue, bahkan gue sa
Tania.Moment yang paling membahagiakan bagi seorang wanita itu mungkin ada dua. Pertama, adalah hari pernikahannya dan kedua adalah lahirnya jabang bayi dari perutnya. Dan sekarang, gue sedang menapaki kebahagiaan pertama gue, yaitu menjadi pengantin. Hal yang gue impikan lebih dari apapun selama ini. setelah penantian gue yang terbilang cukup lama. Setelah sabar gue ketika teman-teman gue yang baru pacaran seumur jagung menyalip gue dan lebih dulu menikah. Akhirnya, Tuhan menjawab doa-doa gue selama ini. menikah dengan orang yang gue cintai, dan gue rasa orang yang paling tepat untuk mendampingi seumur hidup gue.“Aduuuuh gue deg-deg-an banget Ran…” berkali-kali gue meremas tangan gue untuk mengurai debar yang sejak semalam membelenggu hati gue. Sesekali gue lirik layar televisi yang terhubung dari kamar hotel ke aula yang berada di lantai bawah. Dimana sekitar setengah jam lagi akad nikah gue bakalan dilaksanakan.“Kalem….tenan
Felix.Gue melangkah keluar dari mobil dengan banyak pikiran. Bahkan tadi, gue tidak turun ketika mengantar mama ke rumah bibi. Ada banyak pertanyaan yang bergejolak di dada gue, dan gue nggak tahu kenapa semuanya tentang Tania. Gue tahu jika gue nggak berhak ikut campur masalah pribadinya, apalagi sekarang dia hampir menikah. Tapi tetap saja, kenapa gue tiba-tiba nggak rela dia nikah.“lo mikirin apa sih?” Jessi yang berjalan di samping gue angkat bicara setelah gue bungkam sejak dari mobil tadi.Gue menoleh, baru sadar jika sejak tadi dia mengekor gue masuk ke dalam hotel. “Lo bilang mau tidur di rumah sepupu lo?” Tanya gue sambil menekan tombol lift.“Iya, gue mau pergi setelah memastikan lo masuk kamar dengan keadaan selamat.” Jawabnya sambil menunggu pintu lift terbuka.Gue menghela nafas sembari memasukkan kedua tangan gue ke dalam saku celana.“Gue bukan anak kecil Jes.”Jessi ter
Tania.Menjelang hari-H pernikahan, gue semakin gugup dan cemas. Gue enggak tahu apa hanya gue yang merasakan hal seperti ini, atau semua calon pengantin lainnya. Yang jelas, kecemasan gue ini sukses membuat gue sulit tidur dan tidak doyan makan.Gue mungkin sedang diserang syndrome menjelang pernikahan. Tidur nggak nyenyak, makan nggak enak bahkan gue mulai berfikir dengan was-was. Gimana pernikahannya nanti kalau kurang ini atau itu? Gimana kalau pas hari-H nanti, baju gue kekecilan, bahkan gue sampai memikirkan cathering yang bakal disajikan di pesta pernikahan nanti.Mama sempat berpesan agar gue tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Mama bilang gue justru bisa stress sampai sakit kalau terlalu kebanyakan mikir. Tapi gimana lagi, gue bener-bener nggak bisa membuang perasaan was-was di hati gue.Sore ini, untuk membuang suntuk ALtan mengajak gue keluar rumah. Sekedar jalan-jalan cari angin atau makan di suatu tempat. Gue sih setuju aja. Disamping ka
Suara jerit ponsel terpaksa membangunkan gue di pagi buta seperti ini. gue melirik ke luar jendela hotel. Masih gelap, lampu-lampu kota masih berkelap-kelip, dan itu menandakan bahwa gue belum waktunya bangun.Sebelum gue sempat mengulurkan tangan meraba-raba nakas, jerit ponsel itu sudah lebih dulu bisu. Kembali tenang dan gue bernafas lega karena dapat melanjutkan tidur gue yang terjeda. Namun sial, belum gue kembali dengan posisi nyaman, ponsel gue kembali berjerit.Gue mendengus, dan kembali mengulurkan tangan gue untuk meraba nakas, dimana ponsel gue selalu gue letakkan di sana.Mama calling…..“Heh, kenapa di Jakarta enggak ngomong mama?!” belum gue membuka mulut, suara mama sudah lebih dulu menyambar.“Aduh Ma…telepon subuh-subuh gini Cuma mau blilang itu?” jawab gue dengan suara serak, sementara mata gue masih terpejam menahan kantuk.“Kalau Jessi nggak ngasih tau mama, apa kamu bakalan bil