Pernikahan!
Biasanya gue selalu merasa iri setiap kali dapat undangan atau datang ke pesta pernikahan. Setiap melihat gelak tawa bahagia dari pasangan pengantin, keluarga dan kolega. Melihat dekorasi-dekorasi yang indah serta cantiknya souvenir-souvenir. Wanita mana yang bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan ‘pengen’ di dalam hati?
Namun mungkin kali ini gue nggak bakalan ngiri lagi, justru merasa ikut bahagia ketika sahabat baik gue waktu SMA menikah. Karena satu bulan lagi giliran gue yang akan tampil secantik dan seanggun itu bersama lelaki yang gue cintai.
gue memang butuh kesabaran ekstra nungguin Altan ngelamar gue. Kami pacaran lebih dari lima tahun, dan setiap hari gue selalu berharap dia bakalan ngelamar gue. Dan akhirnya tepat di tahun ke lima dia ngajakin gue nikah setelah gue berkali-kali ngasih kode sama dia buat ngelamar. Sama sekali enggak romantic sih, Cuma makan malam biasa di sebuah restoran. Tanpa kejutan bahkan cincinnya pun dia kasih di hari lain. Tapi tetep aja, gue suka cara dia ngelamar gue. Mungkin efek dari mencintai sampai gila, bahkan kalau waktu itu gue dilamar di pinggir empang pun gue pasti berpendapat jika itulah lamaran terbaik sepanjang hidup gue.
“Tania! Sini!”
Gue baru saja masuk ke dalam gedung ketika Rani dengan begitu mudahnya mengenali siluet tubuh gue diantara para tamu.
Gue tersenyum, lantas berjalan mendekati Rani yang kini tampak cantik dengan kebaya berwarna putih tulangnya. Di sampingnya ada Rangga yang juga tampak begitu ganteng dengan pakaian adat jawa.
“Congratulation…..” gue memeluk mereka satu persatu.
“Kadonya mana?” Rani pura-pura bersungut.
“Noh….udah gue kasih di depan!” tunjuk gue ke arah pintu masuk, dimana ada meja besar tempat menaruh kado.
“Lo ngado gue apa-an?”
Gue tersenyum jahil lantas mendekatkan bibir gue di samping telinga Rani.
“Kondom.”
“Sembarangan!” Rani langsung memukul lengan gue dengan keras sampai gue nyengir-nyengir.
“Enggak ketemu lo lebih dari tujuh tahun, dan lo enggak ada berubah-berubahnya ya Nia?” Rangga yang sejak tadi diam angkat bicara.
“Lah emang dari sononya gue gini!” jawab gue sambil terkekah.
Rangga melempar pandangannya ke arah pintu.
“Lah terus mana cowok lo? Rani bilang bulan depan lo juga nikah?”
Gue berusaha menyembunyikan kecewa di wajah gue dengan melempar pandangan ke sembarang tempat. “Lagi sibuk, kejar setoran!” jawab gue asal.
“Jadi enggak dateng?”
Gue menggeleng. “Enggak. Udah biasa sih dateng ke kondangan sendirian.”
“Wah bahaya tuh. Kalau ketemu handsome boy di acara kondangan gimana?” kelakar Rangga.
“Ya kalau handsome boy-nya mau. Gue mah hayuuuk aja.”
“Hust! Tania!” Rani menoel lengan gue. “Pamali, enggak boleh ngomong kayak begitu kalik. Apalagi bentar lagi mau nikah.”
Gue nyengir.
“Ih…..Ran! lo percaya banget sih sama takhayul! Enggak bakalan lah. Mau ada perang dunia-pun gue juga bakalan tetep nikah.” Sahut gue yakin. Ya yakinlah. Semua persiapan sudah hampir rampung, Cuma beberapa printilan kecil dan gue yakin bakalan selesai dengan sempurna bulan depan.
“Oh ya, pendamping kamu di mana sih yank?” Rani mengalihkan pembicaraan. Dilihatnya Rangga masih asyik dengan es buahnya. “Turunin atuh itu mangkuk es-nya. Udah makannya….” Rani merebut mangkok es itu lantas menaruhnya di atas meja.
“Aduh beb, sayang banget itu es buahnya masih banyak.” Protes Rangga dengan wajah kecewa namun hanya dihadiahi Rani dengan delikan dari matanya.
Gue melihat adegan itu dengan senyum geli. Enggak nyangka kalau Rani bener-bener nikah sama cowok yang digandrunginya sewaktu SMA, dan enggak nyangka juga kalau Rani bisa main perintah-perintah gitu sama Rangga. Secara dulu Rangga bener-bener cowok perfect di sekolah. Jangankan main perintah, ngobrol sama dia saja cuma beberapa orang saking sungkannya.
“Mana sih temen kamu yank?” Rani tampak tidak sabar.
“Gak tau. Macet kalik beb…” jawab Rangga santai sambil ngelap bibirnya pakai tisu.
“Siapa sih pendamping pengantin pria-nya?” Tanya gue penasaran karena orang yang dimaksud tidak segera menampakkan batang hidungnya.
“Alah, nanti lo juga tau Nia. Dia juga temen satu sekolah sama kita.”
“Masa…?”
“Ho’oh, dia sahabatnya Rangga waktu SMA. Namanya—"
“Noh….itu manusianya dateng!” tiba-tiba Rangga menunjuk kea rah pintu masuk.
Gue dan Rani langsung menoleh. Dari sekian banyak tamu yang datang, tiba-tiba mata gue menangkap sosok wajah familiar di sana. Sosok itu tengah berjalan kearah kami dengan langkah yang tegap dan senyum tipis yang mengembang dari bibirnya.
Tiba-tiba gue merasa cemas. Perut gue yang awalnya biasa saja kini terasa diremas-remas karena bingung.
“Jadi….pendamping pengantin prianya….?” Gumam gue gamang, sementara sosok itu terus berjalan ke arah kami.
“Felix!” Jawab Rangga dengan senyum lebarnya. Matanya tidak lepas dari sosok Felix yang tampak segar dengan kemeja garis-garisnya. Dia mengabaikan wajah gue yang semakin pucat dan berkeringat.
“Hay…..” sapa Felix ketika dia berdiri di depan kami.
Kaki gue terasa lemas seketika.
******
Gue menarik Rani menjauh dari Felix dan Rangga. Meskipun gue bener-bener masih belum perncaya dengan apa yang gue lihat sekarang, namun sepertinya gue butuh penjelasan dari Rani terkait Felix yang tiba-tiba datang ke pesta pernikahannya.
“Apa’an sih Nia? Ijab qabulnya mau segera dimulai tau!” Meskipun menggerutu Rani tetep menuruti tarikan tangan gue.
Gue menghentikan langkah di depan meja prasmanan yang sedikit sepi dan tidak banyak yang berlalu Lalang karena beberapa tamu sudah mulai duduk di kursi masing-masing untuk melihat acara ijab qabul.
“Jawab pertanyaan gue. Siapa Felix?” gue berputar dan menghadap ke arah Rani.
“Lah, bukannya lo juga udah kenal dia? Felix tadi kan bilang kalau kalian udah 3 minggu di Bali?” Rani berbalik Tanya sama gue.
“Bukan itu maksud gue Rani!”
“Terus?”
“Katanya pendamping calon pengantin laki-laki itu temen sekolah kita?” Tanya gue bingung. Gue lirik Felix yang sedang ngobrol Bersama Rangga. Wajahnya tampak rileks seperti biasanya, berbanding terbalik dengan wajah gue yang tampak frustasi.
“Ya emang iya!”
“Iya?” gue mengerutkan alis.
Rani tertawa.
“Tania….gue tahu jaman SMA lo itu salah satu cewek terkenal sampai-sampai lo enggak inget khan Felix siapa?” Rani menatap gue tanpa berkedip. Sorot matanya seakan sedang memaksa gue untuk mengingat sedikit saja sosok tentang Felix.
“Gue sama sekali enggak inget!”
“Emang sih, dia dulu enggak se-keren, se-tampan,sek-kaya dan se-perfeksionis sekarang. Kalau dulu nilai dia Cuma tiga, sekarang nilai dia 99,9. Nyaris sempurna……!”
“Udah deh enggak usah bertele-tele Ran!” dengus gue sebal. Gue Cuma pengen tahu Felix jaman sekolah dulu. Karena gue yakin, enggak ada bocah satu SMA gue dengan wajah seperti Felix dulu. Apa dia operasi plastik?
“Dia yang mana sih?” tanya gue jengkel. “Apa dia operasi plastik, sampai gue enggak kenal?”
Rani memutar bola matanya malas. “Ya enggaklah….” Jawabnya, disusul dengan decakan kesalnya sama gue. “Emang penting ya, bahas masa lalu sekarang? Lo suka banget sih buka luka lama gue. Klau inget jaman SMA gue juga jadi inget khan gimana nempelnya si Rangga sama si Mitha. Kan gue juga jadi ilfeel!”
“Sorry….sorry…sorry…bukan maksud gue buat ngingetin lo soal—"
“Hei!” Suara Rangga memotong kalimat gue. “Cepetan ke sini. Lima menit lagi ijba qobul. Gue tahu Felix tampan, tapi enggak usah pakek acara ngerumpi’in dia segala!” ia menepuk Pundak Felix dan pria itu hanya tersenyum.
Rani tertawa, sedang gue memutar bola mata malas. Kalau saja bukan karena penasaran tentang Felix jaman SMA gue juga ogah narik-narik tangan Rani buat ngejauh begini.
“Udah, mending lo Tanya langsung sama Felix mumpung dia di sini atau lo cari dia di album kenangan.” Rani menyikut lengan gue.
Gue masih bengong.
“Gue kasih clue ya, dia itu sekelas sama Rangga dan biasanya kemana-mana sama Rangga.” Lanjut Rani lantas pergi meninggalkan gue, membuat tingkat frustasi gue tambah memuncak. Andai saja ini bukan pernikahan Rani, mungkin gue udah kabur dari tadi.
Tanpa berfikir dua kali, gue langsung membuka web SMA Dharma Bakti—SMA gue dulu. Dan langsung menuju ke galeri alumni. Di mesin pencarian gue langsung ngetik nama lengkap felix di sana.
Ketemu!
Gue membelalakkan mata tak percaya.
Pantas aja gue enggak inget. Felix jaman SMA adalah cowok bertubuh tambun dengan kacamata tebal dan enggak ada cakep-cakepnya sama sekali.
Omaigat!
Gue yakin kalau dia operasi plastik.
*******
Felix.Gue udah ngebayangin dari semalem gimana ekspresi Tania waktu ngelihat gue di acara pernikahan Rangga.Seminggu yang lalu sahabat baik gue waktu SMA itu ngehubungi gue dan minta gue buat jadi pendamping di acara pernikahannya. meskipun gue memang masih sering ketemu sama Rangga namun gue cukup terkejut mendengar rencananya, sebab pria itu tak pernah membicarakan masalah pernikahan di depan gue. gue pikir, dia sama kayak gue atau bahkan pria modern lain di luar sana, yang beranggapan bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang musti dijadikan kewajiban. Namun ternyata, dia pria yang cukup bertanggung jawab dengan hubungannya, dan gue salut akan hal itu.Semalaman, gue nyaris enggak bisa tidur. Bukan karena pernikahan Rangga, melainkan pengen banget lihat ekspresi Tania waktu ngelihat gue. Rangga memang bilang kalau Rani bakalan mengundang Tania karena ia adalah sahabat baik dari gadis itu.Dan terbukti!Ekspresi terkejut campur salah tingkat
Tania.Lagu dari Giselle—cara melupakanmu mengalun lembut dari dalam mobil hitam yang kini gue tumpangi. Di depan kami, wiper tampak naik turun dengan teratur. Menghalau tetesan hujan yang turun dengan deras di bumi.“Kedinginan ya?” Felix membuka suara. Tangannya terulur menekan tombol AC untuk menurunkan suhu di dalam mobil yang lumayan dingin. karena gue hanya memakai dress out of shoulders, jadi suhu AC ini terlalu menggigit buat gue.“Sayangnya gue enggak bawa selimut.” Dia kembali bercicit yang hanya gue balas dengan lirikan saja.Sejak dalam perjalanan tadi, dia terus mengoceh tentang berbagai hal. Mulai dari hotel di Bali yang mulai beroperasi sampai dengan pernikahan Rangga dan Rani yang begitu mengejutkan. Sedangkan gue sejak tadi hanya menjawab ham-hem saja dan bahkan tak menanggapi sama sekali. Gue pengen segera sampai rumah. Tapi kenapa justru rasanya lama sekali ya?Perjalanan kami mulus-mulus saja membel
Felix.Gue menggeliat bangun dan melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul sepuluh pagi. Astaga, waktu berjalan cepat sekali padahal satu jam lagi gue mesti datang menemui klien di lantai bawah. Sebenarnya mata gue masih begitu berat karena hampir semalaman gue tidak tidur menunggu mobil derek.Mobil derek tersebut tiba pukul setengah empat pagi, setelah gue berjuang mati-matian menahan kantuk di dalam mobil. Sudah ngantuk, dingin pula karena satu-satunya jas gue udah dibawa pulang Tania.Gue meraba-raba nakas lantas menemukan ponsel gue disana. Gue harap sudah ada pesan masuk dari Tania yang mengatakan bahwa dia sudah sampai rumah dengan selamat. Namun nihil! Selain beberapa SMS spam, gue nggak dapet pesan apapun.Sedikit kecewa, namun gue enggak menyerah. Jika dia enggak kasih kabar gue, setidaknya gue yang bakalan menanyakan keadaannya. Boleh khan?‘Sudah sampai rumah belum?’Terkirim……Dengan
Tania.Gue membawa Felix ke warung nasi goreng tenda pinggir jalan. Sengaja, karena gue pengen lihat ekspresi seorang CEO muda itu ketika makan di warung makan yang tidak pernah ia kunjungi.“Di sini?” Tanya Felix ketika kami sudah turun dari mobil. Matanya mengitari sekeliling seperti sedang menilai sesuatu.“Iya.” Angguk gue mantap. “Kenapa? Lo enggak suka?” gue tersenyum miring penuh ejekan. “Enggak mau makan di tempat kayak begini?”Dia hanya mengedikkan bahu.“Tergantung, makanannya enak apa enggak.” Sahutnya, lantas ngeloyor pergi begitu aja ninggalin gue dan masuk ke dalam warung tanpa canggung.“Mang, nasi goreng dua ya.” Serunya pada penjual nasi goreng. “teh anget juga dua.”“Siap mas!” sahut penjual tersebut semangat.Gue bersungut. Niat hati pengen buat Felix kesel, nyatanya justru sekarang gue yang kesel karena ternyata
Suara jerit ponsel terpaksa membangunkan gue di pagi buta seperti ini. gue melirik ke luar jendela hotel. Masih gelap, lampu-lampu kota masih berkelap-kelip, dan itu menandakan bahwa gue belum waktunya bangun.Sebelum gue sempat mengulurkan tangan meraba-raba nakas, jerit ponsel itu sudah lebih dulu bisu. Kembali tenang dan gue bernafas lega karena dapat melanjutkan tidur gue yang terjeda. Namun sial, belum gue kembali dengan posisi nyaman, ponsel gue kembali berjerit.Gue mendengus, dan kembali mengulurkan tangan gue untuk meraba nakas, dimana ponsel gue selalu gue letakkan di sana.Mama calling…..“Heh, kenapa di Jakarta enggak ngomong mama?!” belum gue membuka mulut, suara mama sudah lebih dulu menyambar.“Aduh Ma…telepon subuh-subuh gini Cuma mau blilang itu?” jawab gue dengan suara serak, sementara mata gue masih terpejam menahan kantuk.“Kalau Jessi nggak ngasih tau mama, apa kamu bakalan bil
Tania.Menjelang hari-H pernikahan, gue semakin gugup dan cemas. Gue enggak tahu apa hanya gue yang merasakan hal seperti ini, atau semua calon pengantin lainnya. Yang jelas, kecemasan gue ini sukses membuat gue sulit tidur dan tidak doyan makan.Gue mungkin sedang diserang syndrome menjelang pernikahan. Tidur nggak nyenyak, makan nggak enak bahkan gue mulai berfikir dengan was-was. Gimana pernikahannya nanti kalau kurang ini atau itu? Gimana kalau pas hari-H nanti, baju gue kekecilan, bahkan gue sampai memikirkan cathering yang bakal disajikan di pesta pernikahan nanti.Mama sempat berpesan agar gue tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Mama bilang gue justru bisa stress sampai sakit kalau terlalu kebanyakan mikir. Tapi gimana lagi, gue bener-bener nggak bisa membuang perasaan was-was di hati gue.Sore ini, untuk membuang suntuk ALtan mengajak gue keluar rumah. Sekedar jalan-jalan cari angin atau makan di suatu tempat. Gue sih setuju aja. Disamping ka
Felix.Gue melangkah keluar dari mobil dengan banyak pikiran. Bahkan tadi, gue tidak turun ketika mengantar mama ke rumah bibi. Ada banyak pertanyaan yang bergejolak di dada gue, dan gue nggak tahu kenapa semuanya tentang Tania. Gue tahu jika gue nggak berhak ikut campur masalah pribadinya, apalagi sekarang dia hampir menikah. Tapi tetap saja, kenapa gue tiba-tiba nggak rela dia nikah.“lo mikirin apa sih?” Jessi yang berjalan di samping gue angkat bicara setelah gue bungkam sejak dari mobil tadi.Gue menoleh, baru sadar jika sejak tadi dia mengekor gue masuk ke dalam hotel. “Lo bilang mau tidur di rumah sepupu lo?” Tanya gue sambil menekan tombol lift.“Iya, gue mau pergi setelah memastikan lo masuk kamar dengan keadaan selamat.” Jawabnya sambil menunggu pintu lift terbuka.Gue menghela nafas sembari memasukkan kedua tangan gue ke dalam saku celana.“Gue bukan anak kecil Jes.”Jessi ter
Tania.Moment yang paling membahagiakan bagi seorang wanita itu mungkin ada dua. Pertama, adalah hari pernikahannya dan kedua adalah lahirnya jabang bayi dari perutnya. Dan sekarang, gue sedang menapaki kebahagiaan pertama gue, yaitu menjadi pengantin. Hal yang gue impikan lebih dari apapun selama ini. setelah penantian gue yang terbilang cukup lama. Setelah sabar gue ketika teman-teman gue yang baru pacaran seumur jagung menyalip gue dan lebih dulu menikah. Akhirnya, Tuhan menjawab doa-doa gue selama ini. menikah dengan orang yang gue cintai, dan gue rasa orang yang paling tepat untuk mendampingi seumur hidup gue.“Aduuuuh gue deg-deg-an banget Ran…” berkali-kali gue meremas tangan gue untuk mengurai debar yang sejak semalam membelenggu hati gue. Sesekali gue lirik layar televisi yang terhubung dari kamar hotel ke aula yang berada di lantai bawah. Dimana sekitar setengah jam lagi akad nikah gue bakalan dilaksanakan.“Kalem….tenan
Gue nggak nyangka jika Tania menyetujui ajakan gue untuk jalan-jalan ke taman bermain. Gue pikir dia bakalan menolak mentah-mentah seperti biasanya, tapi ternyata kini dia sudah bersiap. Celana jeans dipadukan dengan kaos pendek membuatnya terlihat segar pagi ini.“Siap?” Tanya gue ketika kami sudah berada di baik kemudi. Gue lirik dia yang duduk tenang di kursinya.“As you can see.” Jawabnya sambil memasang seat belt.Gue mengulas senyum, lantas menghidupkan kendaraan. Tak berselang lama, mobil BMW gue sudah keluar dari basement, memebelah jalan raya yang relative sepi ketika liburan seperti ini.Berbeda dengan jalanan yang lumayan lengang, taman bermain justru penuh dengan lautan manusia. Mumpung libur, mereka pasti menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga sebelum akhirnya kembali pada rutinitas padat mereka yang mencekik keesokan harinya.“Lo mau hiburan apa Tania?” gue memutar pandangan ke sekelili
TaniaCuti gue masih tersisa beberapa hari lagi, sebelum akhirnya gue kembali ke kantor dan menyibukkan diri dengan aktifitas pekerjaan seperti biasanya. Cuti yang rencananya sebagai liburan bulan madu gue, kini hanya berakhir di apartement. Tidur, makan, lihat TV, ngelamun. Setiap malam mama pasti datang menemani gue tidur di sini, sedangkan jika siang hari Rani yang akan datang ketika suaminya sibuk bekerja. Gue tahu jika mereka khawatir sama gue jika sendirian. Tapi tenang, patah hati nggak akan sampai buat gue bunuh diri.Gue memang masih sedih. Siapa coba yang tidak akan berduka ketika patah hati? Apalagi ketika ditinggalkan menjelang akad nikah. Namun gue adalah manusia yang berfikir rasional, tangisan gue atau apapun itu nggak akan merubah keadaan menjadi lebih baik. Jadi gue berusaha untuk bersikap biasa saja di depan orang-orang yang menyayangi gue, meskipun terkadang ada suatu waktu yang membuat gue tidak bisa menahan air mata, yaitu waktu menjelang tidur.
Jika biasanya setelah menikah suami istri akan tinggal serumah dan memulai kehidupan baru dengan bahagia, namun tidak dengan pernikahan gue. Status suami istri hanya ada di buku nikah, selebihnya kami menjalani kehidupan kami masing-masing. Tania tinggal di apartementnya, sedang gue masih betah tinggal di hotel. Meskipun begitu, gue tidak serta merta cuek dengan gadis itu. Sesekali gue menanyakan pada Rani tentang keadaannya di apartement, atau bahkan terkadang gue menelpon mamanya Tania untuk menanyakan kabar gadis itu.Kabar pernikahan gue bukannya sesuatu yang dianggap biasa saja oleh orang-orang di sekeliling gue. Terlebih mama dan tentu saja Jessi. Awalnya mama marah-marah tidak jelas karena tak dikabari tentang pernikahan mendadak gue, namun setelah gue jelaskan semuanya—namun tentu saja bukan tentang keinginan gue bertanggung jawab untuk menutupi aib—akhirnya mama setuju untuk tidak kembali terbang ke Jakarta.Gue tahu jika sekarang Jessi berada dala
Tania.Siapa yang tidak terkejut ketika melihat seseorang yang kita cintai berada di dalam hotel dengan seorang wanita lain. Mungkin, ini lebih seperti mimpi buruk bagi gue. Ketika gue dicampakkan dengan alasan yang tidak jelas hanya melalui sebuah pesan singkat di saat ijab qobul sudah hampir dilaksanakan.Hati gue menjerit. Memberi dorongan bagi gue untuk melampiaskan semua sakit hati yang gue rasakan sekarang pada Altan, namun hati kecil gue berkata lain. Tidak pantas penghianat seperti dia mendapatkan apapun dari gue, bahkan pukulan dari tangan gue yang berharga ini.“Jadi, alasan lo ninggalin gue adalah karena wanita itu?” Tanya gue tenang. Tak ada lagi panggilan ‘aku-kamu’sekarang. Karena gue muak. Karena dia bukan orang yang pantas gue hargai sekarang.Altan menarik nafas lalu menunduk.“Iya.”Dan jawabannya seperti sambaran petir di hati gue. Dada gue sesak, ingin menangis. Namun sekali lagi, gue t
Felix.Gue nggak nyangka kalau status gue berubah secepat ini dari lajang menjadi menikah. Suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan dalam otak gue. Sebenarnya gue juga tidak bermaksud untuk menjadi pengganti suami bagi Tania. Hanya saja ketika melihatnya seperti tadi, perasaan gue bener-bener hancur.“Seharusnya lo nggak usah berbuat senekat ini Fel!” Rangga menyisir rambutnya ke belakang dan tampak frustasi. Sejak tadi dia berdiri di depan gue dengan tatapan menghakimi. Kini kami berada di rooftop hotel, setelah beberapa saat menyalami para tamu yang hadir. Ketika Rangga menghampiri gue dan mengajak gue kesini tadi, Tania sudah dibawa Rani ke dalam kamar. Entah apa yang akan terjadi setelah ini, sama sekali belum gue pikirkan.“Udah terlanjur Ngga. Tania udah jadi istri gue.” Entah kenapa perasaan gue menghangat ketika menyebut tania dengan panggilan ‘istri gue’. Sama sekali tidak ada penyesalan di hati gue, bahkan gue sa
Tania.Moment yang paling membahagiakan bagi seorang wanita itu mungkin ada dua. Pertama, adalah hari pernikahannya dan kedua adalah lahirnya jabang bayi dari perutnya. Dan sekarang, gue sedang menapaki kebahagiaan pertama gue, yaitu menjadi pengantin. Hal yang gue impikan lebih dari apapun selama ini. setelah penantian gue yang terbilang cukup lama. Setelah sabar gue ketika teman-teman gue yang baru pacaran seumur jagung menyalip gue dan lebih dulu menikah. Akhirnya, Tuhan menjawab doa-doa gue selama ini. menikah dengan orang yang gue cintai, dan gue rasa orang yang paling tepat untuk mendampingi seumur hidup gue.“Aduuuuh gue deg-deg-an banget Ran…” berkali-kali gue meremas tangan gue untuk mengurai debar yang sejak semalam membelenggu hati gue. Sesekali gue lirik layar televisi yang terhubung dari kamar hotel ke aula yang berada di lantai bawah. Dimana sekitar setengah jam lagi akad nikah gue bakalan dilaksanakan.“Kalem….tenan
Felix.Gue melangkah keluar dari mobil dengan banyak pikiran. Bahkan tadi, gue tidak turun ketika mengantar mama ke rumah bibi. Ada banyak pertanyaan yang bergejolak di dada gue, dan gue nggak tahu kenapa semuanya tentang Tania. Gue tahu jika gue nggak berhak ikut campur masalah pribadinya, apalagi sekarang dia hampir menikah. Tapi tetap saja, kenapa gue tiba-tiba nggak rela dia nikah.“lo mikirin apa sih?” Jessi yang berjalan di samping gue angkat bicara setelah gue bungkam sejak dari mobil tadi.Gue menoleh, baru sadar jika sejak tadi dia mengekor gue masuk ke dalam hotel. “Lo bilang mau tidur di rumah sepupu lo?” Tanya gue sambil menekan tombol lift.“Iya, gue mau pergi setelah memastikan lo masuk kamar dengan keadaan selamat.” Jawabnya sambil menunggu pintu lift terbuka.Gue menghela nafas sembari memasukkan kedua tangan gue ke dalam saku celana.“Gue bukan anak kecil Jes.”Jessi ter
Tania.Menjelang hari-H pernikahan, gue semakin gugup dan cemas. Gue enggak tahu apa hanya gue yang merasakan hal seperti ini, atau semua calon pengantin lainnya. Yang jelas, kecemasan gue ini sukses membuat gue sulit tidur dan tidak doyan makan.Gue mungkin sedang diserang syndrome menjelang pernikahan. Tidur nggak nyenyak, makan nggak enak bahkan gue mulai berfikir dengan was-was. Gimana pernikahannya nanti kalau kurang ini atau itu? Gimana kalau pas hari-H nanti, baju gue kekecilan, bahkan gue sampai memikirkan cathering yang bakal disajikan di pesta pernikahan nanti.Mama sempat berpesan agar gue tidak terlalu banyak memikirkan hal itu. Mama bilang gue justru bisa stress sampai sakit kalau terlalu kebanyakan mikir. Tapi gimana lagi, gue bener-bener nggak bisa membuang perasaan was-was di hati gue.Sore ini, untuk membuang suntuk ALtan mengajak gue keluar rumah. Sekedar jalan-jalan cari angin atau makan di suatu tempat. Gue sih setuju aja. Disamping ka
Suara jerit ponsel terpaksa membangunkan gue di pagi buta seperti ini. gue melirik ke luar jendela hotel. Masih gelap, lampu-lampu kota masih berkelap-kelip, dan itu menandakan bahwa gue belum waktunya bangun.Sebelum gue sempat mengulurkan tangan meraba-raba nakas, jerit ponsel itu sudah lebih dulu bisu. Kembali tenang dan gue bernafas lega karena dapat melanjutkan tidur gue yang terjeda. Namun sial, belum gue kembali dengan posisi nyaman, ponsel gue kembali berjerit.Gue mendengus, dan kembali mengulurkan tangan gue untuk meraba nakas, dimana ponsel gue selalu gue letakkan di sana.Mama calling…..“Heh, kenapa di Jakarta enggak ngomong mama?!” belum gue membuka mulut, suara mama sudah lebih dulu menyambar.“Aduh Ma…telepon subuh-subuh gini Cuma mau blilang itu?” jawab gue dengan suara serak, sementara mata gue masih terpejam menahan kantuk.“Kalau Jessi nggak ngasih tau mama, apa kamu bakalan bil